KERIS KYAI SETAN KOBER 1
Karya :
Apung
BAB 1 : AYAM
JANTAN DARI PENGGING 1
Sandyakalaning
Majapahit, Perang Paregreg.
Mendung
gelap menyelimuti langit Majapahit akibat perselisihan sesama saudara, banyak
terjadi ketidak puasan dan pertengkaran diantara para kerabat raja Majapahit.
Kerajaan
Majapahit mulai rapuh, salah satu penyebabnya adalah, adanya perang Paregreg,
yang terjadi bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Demak Bintara yang beragama
Islam di pesisir utara pulau Jawa, yg mulai bangkit dibawah rajanya Raden Patah
yang disebut juga Sultan Bintara atau Sultan Patah.
Keruntuhan
kerajaan Majapahit terjadi ketika para prajurit Majapahit dibawah Prabu
Brawijaya pamungkas, bertempur melawan pasukan Demak, dibawah pimpinan Senapati
Agung Kasultanan Demak, Sunan Ngudung.
Senapati
Agung Kasultanan Demak Bintara, Sunan Ngudung gugur, terbunuh oleh Senapati
Agung Majapahit, Adipati Terung, kemudian sunan Ngudungpun digantikan oleh
Sunan Kudus.
Pasukan
Demak dibawah pimpinan Sunan Kudus berhasil mendesak pasukan Majapahit,
sehingga pasukan Majapahit mengalami kekalahan, sehingga sejak saat itu
pudarlah masa kejayaan Majapahit.
Keluarga
kerajaan tercerai berai dan terpaksa meninggalkan istana, Raja Majapahit, Prabu
Brawijaya Pamungkas melarikan diri menuju ke arah Gunung Lawu, dan terpaksa
berpisah dengan sebagian keluarga kerajaan yang lainnya.
Salah satu
putera Sang Prabu Brawijaya Pamungkas yang bernama Pangeran Dayaningrat, atau
disebut juga Adipati Dayaningrat, penguasa Kadipaten Pengging Witaradya di kaki
gunung Merapi sebelah tenggara, dalam suasana kerajaan yang carut marut,
terpaksa kehilangan istrinya, Dewi Asmayawati, yang meninggal dunia.
Kesedihan
yang mendalam karena kehilangan istrinya, menyebabkan Adipati Dayaningrat jatuh
sakit , tak lama kemudian, Adipati Dayaningrat juga meninggal dunia, menyusul
istrinya.
Tinggalah
sekarang dua orang putra Adipati Dayaningrat, yang sulung Kebo Kanigara dan
yang bungsu bernama Kebo Kenanga, umur keduanya hanya terpaut beberapa warsa
saja.
Waktu demi
waktu telah berlalu, Kebo Kanigara lebih sering tidak berada di Pengging dan
menyerahkan urusan wilayah Pengging kepada Kebo Kenanga.
Kebo Kenanga
memeluk agama Islam dan disebut juga Ki Ageng Pengging. Kemudian iapun juga
bersahabat dengan beberapa orang pinunjul lainnya.
Suatu saat,
Ki Ageng Pengging terkejut, ketika kedatangan dua orang tamu, utusan dari
Sultan Demak Bintara, dan dengan hormat, Ki Ageng Pengging menemui tamu utusan
Raja.
Setelah
berbincang mengenai berbagai hal, sampailah kedua tamu itu mengatakan, bahwa ia
mengemban dawuh dalem Kanjeng Sultan Demak Bintara.
Dawuh dalem
Kanjeng Sultan Patah, memerintahkan Ki Ageng Pengging untuk menghadap Sultan
Demak Bintara,
Kepada kedua
utusan itu, Ki Ageng Pengging mengatakan :”Mohonkan ampun pada Kanjeng Sultan,
saya belum bisa menghadap Kanjeng Sultan sekarang“
“Baik Ki
Ageng, akan saya sampaikan kepada Kanjeng Sultan” jawab utusan dari Demak.
Setelah merasa
cukup, maka kedua orang utusan itupun berpamitan, lalu kembalilah mereka ke
kotaraja Demak dan melaporkan hasilnya kepada Sultan Patah.
Tidak jauh
dari daerah Pengging, di arah utara, di desa Tingkir di kaki gunung Merbabu, Ki
Ageng Tingkir, kakak iparnya sekaligus sahabatnya, menjadi cemas mendengar
penolakan Ki Ageng Pengging terhadap utusan raja, dan bergegaslah Ki Ageng
Tingkir menuju Pengging.
Betapa
senangnya Ki Ageng Pengging kedatangan kakak iparnya, tapi mukanya berubah
menjadi sedih ketika Ki Ageng Tingkir berkata :”Adi, aku mendengar kabar,
adimas menolak panggilan Sultan Demak, benarkah ?”
‘Ya kakang,
itu benar, saya memang menolaknya, tidak ada gunanya saya menghadap Sultan
Demak, saya hanyalah seorang dari desa, tidak pantas apabila saya menghadap
Kanjeng Sultan Demak Bintara yang besar“ jawab Ki Ageng Pengging.
“Jangan
begitu adimas, tidak ada salahnya adi menghadap Kanjeng Sultan ke Demak, Sultan
Demak bukan orang lain bagi adi, adimas adalah putra Adipati Dayaningrat, cucu
sang Prabu Brawijaya pamungkas, Sultan Bintara adalah kakak dari ibumu, dewi
Asmayawati “ kata Ki Ageng Tingkir.
“Kakang,
kenapa baru sekarang Kanjeng Sultan teringat akan saudaranya yang di desa ?”
tanya Ki Ageng Pengging
“Adimas,
menolak panggilan Raja dapat diartikan memberontak terhadap kekuasaan Sultan,
lebih baik Adi menghadap Kanjeng Sultan, biarlah kakang nanti mengantar adimas
ke Demak” kata Ki Ageng Tingkir.
“Sudahlah
kakang, terima kasih, tidak usah, biarlah aku untuk kali ini tidak menghadap
Kanjeng Sultan” kata Ki Ageng Pengging.
Demikianlah,
mereka berbincang sampai sore, Nyai Ageng Pengging saat itu dalam keadaan
hamil, sudah saatnya melahirkan.
Malam itu,
Ki Ageng Pengging telah memanggil dalang wayang beber untuk main di pendapa.
Hari itu,
hari Rebo Legi, 8 Jumadilakir, tahun Dal, musim kelima, disaat hampir fajar,
lahirlah seorang bayi laki-laki, anak Ki Ageng Pengging.
“Kakang,
sudilah kakang memberi nama pada anakku ini “ pinta Ki Ageng Pengging.
“Baiklah
adimas, anakmu kuberi nama Mas Karebet, nama Karebet artinya adalah wayang
beber, karena lahirnya bertepatan dengan pertunjukan wayang beber” jawab Ki
Ageng Tingkir.
“Terima
kasih kakang” kata Ki Ageng Pengging.
Selama tiga
hari Ki Ageng Tingkir berada di Pengging, berbincang-bincang sambil melihat dan
menimang Mas Karebet dengan suka citanya.
Dalam pada
itu, dua orang utusan Sultan Patah, telah sampai di kotaraja Demak, dan
melaporkan hasilnya kepada Kanjeng Sultan Patah.
"Panggil
Ki Ageng Wanalapa, sekarang" kata Kanjeng Sultan Patah kepada seorang
prajurit Wira Tamtama untuk memanggil penasihat kerajaan, Ki Ageng Wanalapa.
Dengan
tergesa-gesa menghadaplah Ki Ageng Wanalapa di hadapan Kanjeng Sultan Bintara.
Ki Ageng
Wanalapa, yang dulunya adalah Ki Patih Wanasalam telah mengundurkan diri
sebagai patih, dan berganti nama menjadi Ki Ageng Wanalapa, dan sekarang ia
telah diangkat menjadi penasehat Kerajaan Demak.
“Kakang
Wanalapa “ kata Sultan Bintara,
“Dawuh dalem
Kanjeng Sultan” jawab Ki Ageng Wanalapa sambil menunduk.
“Kakang
Wanalapa, ketahuilah, Ki Ageng Pengging saat ini, tidak mau menghadap ke Demak,
itu bisa diartikan kalau ia membantah perintah raja, sudah bisa dianggap
memberontak kepada Raja“ kata Sultan Bintara.
Dengan penuh
perhatian, Wanalapa mendengarkan kata-kata Sultan Bintara.
“Kakang
Wanalapa, pergilah ke Pengging, temuilah Ki Ageng Pengging, sampaikan pesanku,
suruh dia datang menghadapku ke Demak" kata Kanjeng Sultan.
“Sendika
dawuh Kanjeng Sultan” jawab Ki Ageng Wanalapa.
“Berangkat
secepatnya kakang, lalu hasilnya segera kakang laporkan kepadaku” kata Sultan
Bintara.
Ki Ageng
Wanalapa mengerti dengan jelas maksud Sultan Bintara, ia mohon diri dan segera
mempersiapkan untuk pergi ke Pengging dengan empat orang prajurit Demak.
Meskipun
usia Ki Ageng Wanalapa telah lanjut, tapi ia masih tangkas untuk melakukan
perjalanan ke daerah Pengging.
Perjalanan
dari Demak, menyusuri tepi sungai Tuntang, menuju arah ke selatan, lalu
berbelok ke arah matahari terbenam, jauh sebelum sampai di Rawa, rombongan
berbelok ke selatan, dikejauhan tampak gunung Telamaya dan gunung Merbabu, dan
langkah kaki mereka terus menuju daerah Pengging yg berada di kaki gunung
Merapi.
Setelah
sampai di Pengging, Ki Ageng Wanalapa langsung menuju pendapa Pengging,
mengutarakan maksudnya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng
Pengging menyambut kedatangan tamunya, utusan dari Demak dengan penuh hormat
“Selamat
datang di Pengging, Ki Ageng Wanalapa, silahkan duduk “ kata Kebo Kenanga.
“Terima
kasih anakmas Pengging” jawab Ki Ageng Wanalapa.
Setelah
beristirahat sejenak, sampailah Ki Ageng Wanalapa menerangkan tujuannya menemui
Ki Ageng Pengging.
Semua yang
diperintahkan oleh Kanjeng Sultan Bintara, telah disampaikan semuanya :“Anakmas
Pengging dipersilahkan sowan ke Kraton Demak, menemui Kanjeng Sultan Bintara“
“Ki Ageng
Wanalapa, saya mohon maaf, saat ini saya belum dapat sowan ke kotaraja Demak”
kata Kebo Kenanga.
“Berarti
anakmas Pengging tetap tidak mau sowan Kanjeng Sultan” tanya Ki Ageng Wanalapa.
“Belum Ki
Ageng, sampaikan permohonan maaf saya kepada Kanjeng Sultan” jawab Ki Ageng
Pengging.
“Baiklah
anakmas Pengging, saya beri waktu tiga warsa untuk sowan ke Demak, setelah
lewat tiga warsa, dan anakmas Pengging tetap tidak mau datang ke Demak, maka
semua tindakan selanjutnya terserah Kanjeng Sultan Bintara” kata Ki Ageng
Wanalapa.
“Terima
kasih Ki Ageng “ jawab Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng
Wanalapa beserta pengawalnya kemudian mohon pamit dan diantar sampai diluar
pendapa.
Kembali Ki
Ageng Wanalapa beserta empat pengawalnya melakukan perjalanan ke arah utara,
menuju kotaraja Demak.
Sampai di
kotaraja Demak, Ki Ageng Wanalapa tidak pulang kerumah dulu didaerah Wanasalam,
tetapi langsung menuju keraton Demak, menghadap Kanjeng Sultan Patah.
Setelah
diterima Sultan Bintara, maka Ki Ageng Wanalapa menceritakan semua pertemuannya
dengan Ki Ageng Pengging, runtut teratur, mulai dari awal sampai akhir.
“Hamba
memberi batas tiga warsa, kalau sudah sampai tiga warsa Ki Ageng Pengging tetap
tidak mau menghadap ke Kraton, maka hukuman yang harus diterima oleh Ki Ageng
Pengging terserah kepada Kanjeng Sultan” kata Ki Ageng Wanalapa.
“Baiklah
kakang, sebelum tiga warsa, mudah-mudahan Adimas Kebo Kenanga mau datang ke
kotaraja Demak” kata Sultan Bintara.
Waktu terus
berlalu, siang berganti malam, dan malampun telah berganti menjadi pagi, tak
terasa waktu sudah berjalan tiga warsa, dan selama ini Sultan terus menunggu
kedatangan Ki Ageng Pengging.
“Hmm
penantian yang sia-sia” guman Sultan Bintara :“ Biar nanti Kanjeng Sunan Kudus
yang menyelesaikan persoalan ini, sebagai duta pamungkas“
Kanjeng
Sultan lalu memanggil salah seorang prajurit Wira Tamtama, dan berkatalah
Sultan Bintara :“Pergilah dua orang prajurit ke Kudus, panggil Kanjeng Sunan
Kudus sekarang juga”
"Sendika
dawuh Kanjeng Sultan" kata prajurit itu.
Bergegaslah
prajurit itu, mengambil kudanya dan bersama seorang prajurit yg lainnya, mereka
memacu kudanya menuju Kudus.
“Persoalan
Ki Ageng Pengging sudah merupakan tugas Kanjeng Sunan Kudus sebagai seorang
Senapati perang Kasultanan Demak“ guman Kanjeng Sultan.
Hari itu
adalah hari Jum’at Pon, di suatu pagi hari yang cerah di daerah Pengging yang
terletak di kaki gunung Merapi, daerah yang subur, beberapa embun masih
menempel di daun, didalam halaman rumah Ki Ageng Pengging.
Dengan
memanggul cangkul, Ki Ageng Pengging bersiap berangkat kesawah.
"Hm,
kenapa hari ini hatiku merasa tak tenang" berkata Ki Ageng Pengging di
dalam hatinya.
Ketika
kakinya mulai melangkah, hati Ki Ageng tercekat, hampir terloncat, ketika
mendengar pekikan lirih seekor burung gagak.
“Kenapa
suara burung gagak yang lemah, telah mampu mengejutkan aku” guman Ki Ageng
Pengging.
Belum juga
kakinya keluar halaman, dilihatnya seekor kuda berlari menuju kearahnya.
Ki Ageng
bergeser ke tepi, tapi kuda itu berhenti tepat didepan Ki Ageng Pengging, dan
ternyata Ki Ageng Pengging pernah melihat orang yang duduk dipunggung kuda itu.
“Oh kau ki
sanak, kau berasal dari desa Tingkir ?” tanya Ki Ageng Pengging.
“Betul Ki
Ageng, saya akan menyampaikan sebuah kabar penting” jawab orang berkuda itu.
“Masuklah,”
kata Ki Ageng Pengging
“Terima
kasih Ki Ageng” jawab orang berkuda itu.
Keduanya
lalu menuju pendapa dan utusan dari Tingkir itupun duduk berhadapan dengan Ki
Ageng Pengging.
“Saya hanya
sebentar Ki Ageng, hanya menyampaikan berita, bahwa Ki Ageng Tingkir tadi malam
telah meninggal dunia “ kata utusan dari desa Tingkir.
Betapa
terkejutnya Ki Ageng Pengging, mendengar berita itu, sesaat mulutnya seperti
terkunci, tapi setelah kesadarannya pulih, terdengar beberapa kalimat lirih,
terucap dari mulutnya.
Utusan dari
Tingkirpun berdiam diri, menunggu perintah dari Ki Ageng Pengging.
“Pulanglah
dulu ke Tingkir, aku segera kesana”, kata Ki Ageng Pengging.
“Baik Ki
Ageng, saya mohon pamit”, kata utusan dari Tingkir yang segera berdiri, dan
berjalan menuju kudanya lalu dipacunya kembali kudanya menuju ke desa Tingkir.
Dari
pendapa, Ki Ageng Pengging segera mencari istrinya, dan berkata :”Nyai, Ki
Ageng Tingkir telah meninggal dunia, aku akan pergi ke Tingkir sekarang”.
“Baik Ki
Ageng” kata Nyai Ageng Pengging.
Ki Ageng
Pengging segera menyiapkan kudanya, dan dipacunya dengan cepat menuju desa
Tingkir.
Mendung
menyelimuti desa Tingkir, kedatangan Ki Ageng Pengging ke Tingkir, disambut dengan
linangan air mata Nyai Ageng Tingkir.
“Adi,
kakakmu telah mendahului pergi“ kata Nyai Ageng Tingkir.
Ki Ageng
Pengging tidak mampu berkata apapun, dirinya merasa kehilangan atas kematian Ki
Ageng Tingkir, terlintas dalam ingatannya, selama ini mereka bersama-sama
menuntut ilmu mengalami susah dan senang berdua, dan sekarang Ki Ageng Tingkir
telah mendahuluinya.
Dilihatnya
Nyai Ageng yang masih berurai air mata, Ki Ageng Pengging berkata dalam hati
:“Betapa sepi hidup Nyai Ageng Tingkir“
Upacara
pemakamanpun segera dilangsungkan, dan setelah selesai upacara pemakaman, maka
Ki Ageng Pengging minta diri pulang ke Pengging.
“Baik Adi,
tapi bawalah barang-barang milik Ki Ageng Tingkir yang masih ada” kata Nyai
Ageng Tingkir.
“Saya tidak
akan mengambil Nyai, tetapi saya akan ‘ninggali’, saya nanti yang akan memberi,
Nyai“ jawab Ki Ageng Pengging.
Nyai Ageng
Tingkir melihat Ki Ageng Pengging memacu kudanya meninggalkan desa Tingkir,
dengan sejumlah tanda tanya dihati :"Aku akan diberi, apa yang akan
diberikan Ki Ageng Pengging kepadaku ?"
Sementara
itu, Ki Ageng Pengging memacu kudanya menuju Pengging, hatinya masih merasa
kehilangan seorang saudara dan sahabat yang sehati.
Ketika
memasuki daerah Pengging, lari kudanya diperlambat, karena setiap bertemu
dengan rakyat Pengging, dilihatnya, rakyat Pengging mengangguk hormat
kepadanya.
Rakyat
Pengging yang sederhana, mereka petani yang rajin memang sangat menyintai
pemimpinnya, Ki Ageng Pengging.
Pada saat
yang sama, di kaki Gunung Muria sebelah selatan, di daerah Kudus, salah seorang
Wali Sanga yang juga merupakan Senapati Perang Kasultanan Demak, Sayyid Jaffar
Shodiq, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, sedang memberi pelajaran
mengaji kepada para santri di Panti Kudus.
Tapi Sunan
Kudus melihat ada santri yang bertugas diluar ruangan, berdiri didepan pintu,
ingin mengatakan sesuatu kepada Sunan Kudus.
Sejenak,
Sunan Kudus keluar ruangan, dan bergerak menemui santrinya.
”Ada apa ?”
tanya Sunan Kudus.
“Ada tamu
Kanjeng Sunan, dua orang prajurit Wira Tamtama dari kotaraja Demak, ingin
bertemu dengan Kanjeng Sunan” jawab santri tersebut.
“Baik,
persilahkan dia duduk, aku segera kesana” jawab Sunan Kudus.
Setelah
mengangguk hormat, santri tersebut bergegas menemui tamunya kembali.
Sunan Kudus
kembali memasuki ruangan, memberi pengarahan kepada para santri, lalu berjalan
ke pendapa menemui dua orang prajurit Demak.
Di Pendapa,
telah menunggu dua orang tamunya, dan Sunan Kudus pun menemuinya, berbicara
mengenai kabar keselamatannya.
Setelah
berbicara panjang lebar, Sunan Kudus lalu berkata : “Ada titah Kanjeng Sultan
kepada saya ?”
“Ya Kanjeng
Sunan, dawuh dalem Kanjeng Sultan Bintara, Kanjeng Sunan Kudus diharapkan
datang menghadap Kanjeng Sultan Bintara, sekarang” jawab salah seorang prajurit
Demak.
“Baik
prajurit, kalian berangkatlah dulu, saya segera menyusul,” kata Sunan Kudus,
kemudian kedua Prajurit itupun mohon pamit, minta diri kembali ke kotaraja
Demak.
Setelah itu,
Sunan Kudus memerintahkan kepada dua orang santrinya, untuk mempersiapkan tiga
ekor kuda dan mengikutinya pergi menghadap Sultan Demak.
Berangkatlah
Sunan Kudus disertai dua orang santrinya, menuju arah matahari terbenam, ke
arah barat, menuju kotaraja Demak.
Menjelang
matahari terbenam, tiga ekor kuda memasuki kotaraja Demak dan langsung menuju bangunan
besar, Kraton Demak.
Sultan
Bintara, yang memang telah menunggunya, langsung mempersilahkan Sunan Kudus
untuk masuk kedalam, sedangkan kedua santrinya menunggu di pendapa.
“Kanjeng
Sunan, persoalan Ki Kebo Kenanga di Pengging, memerlukan penyelesaian segera,
waktu yang telah diberikan oleh kakang Wanalapa telah genap tiga warsa, dan
ternyata Ki Ageng Pengging tetap tidak mau datang menghadap ke Demak, bagaimana
menurut pendapat Kanjeng Sunan Kudus ?“ tanya Sultan Bintara.
“Sendika
dawuh Kanjeng Sultan, memang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, Ki Ageng
Pengging jelas mbalela, tidak mengindahkan titah Rajanya untuk datang menghadap
ke kraton Demak” jawab Sunan Kudus.
“Baiklah,
kalau begitu, Kanjeng Sunan Kudus sebagai seorang Senapati perang Kasultanan
Demak, supaya berangkat ke Pengging sebagai duta pamungkas, untuk menyelesaikan
persoalan Pengging" perintah Sultan Demak.
“Sendika
dawuh Kanjeng Sultan” kata Sunan Kudus.
“Baiklah
Kanjeng Sunan, apakah Kanjeng Sunan perlu membawa prajurit ?” tanya Sultan
Bintara.
“Tidak perlu
Kanjeng Sultan, cukup dengan beberapa orang santri Kudus “ jawab Sunan Kudus.
Setelah itu,
Sunan Kudus segera mohon pamit, dan berangkat menuju ke timur, kembali ke
Kudus.
Setelah
sampai di Kudus, Sunan Kudus memerintahkan kepada tujuh orang santrinya untuk
ikut berangkat ke Pengging.
“Kita
berangkat besok pagi “ kata Sunan Kudus.
Esoknya,
delapan orang terlihat keluar dari Panti Kudus, berjalan menuju arah selatan.
Mereka
berjalan lurus, menyusuri sungai, dan menuju ke arah rawa.
Sunan Kudus
menyuruh salah seorang santri untuk membawa sebuah bungkusan, yang didalamnya
terdapat sebuah bende pusaka Sunan Kudus yang suaranya ngedab-edabi, Kyai Sima.
“Kita
berjalan kearah selatan, menyusuri kali Serang, menuju kearah kaki gunung Merbabu,
setelah itu kita menuju arah gunung Merapi” kata Sunan Kudus.
Sunan Kudus,
yang mengemban tugas dari Sultan Demak, mengajak tujuh orang santrinya,
berjalan cepat , menerobos hutan yang tidak begitu lebat, menuju daerah
Pengging, dikaki gunung Merapi .
Selain
seorang santri membawa bende pusaka Kyai Sima, beberapa orang santri yang lain
telah membawa beberapa ontong jagung muda dan ketela pohon, sebagai bekal
makanan, meskipun mereka juga sudah terbiasa makan beberapa buah yang mereka
jumpai di hutan.
Jauh sebelum
mencapai kaki bukit Telomoyo, Sunan Kudus berbelok ke arah selatan, dan
sampailah rombongan itu di tepi sungai Cemara, kemudian merekapun bermalam di
hutan itu.
Tepat pada
waktu tengah malam, Sunan Kudus mengambil pusaka bende Kyai Sima yang dibawanya,
lalu iapun memukul bende itu dengan pelan, tapi akibatnya sangat mengejutkan.
Suara bende
menggetarkan hati, seperti suara harimau mengaum menggelegar, menggetarkan
udara dingin di kaki gunung Merbabu.
Beberapa
penduduk yang berada disekitar sungai Cemara, banyak yang tergetar hatinya
mendengar sebuah auman seekor harimau yang garang.
“Besok pagi,
perjalanan kita lanjutkan, kita jalan terus menuju Pengging“ kata Sunan Kudus.
Di daerah
Pengging, dalam tidurnya , Ki Ageng Pengging bermimpi, seakan-akan berjumpa
dengan seekor harimau gembong yang sangat besar, mengaum dahsyat, hingga Ki
Ageng Pengging terkejut dan terbangun.
“Hm suara
bende pusaka Kyai Sima milik Kanjeng Sunan Kudus, sudah tiba saatnya, hari ini
waktunya sudah genap tiga warsa, waktu yang diberikan kepadaku untuk menghadap
Kanjeng Sultan di Demak“ guman Ki Ageng Pengging.
Matahari
telah memancarkan sinarnya, pagi yang cerah, Sunan Kudus berjalan terus
keselatan, setelah melewati kali Pepe, lalu berbelok sedikit menuju desa
Pengging.
Ketika
memasuki desa Pengging, Sunan Kudus berjumpa dengan seorang petani yang sedang
menuntun seekor kerbau.
“Maaf ki
sanak, apakah langgar yang kelihatan itu langgar Ki Ageng Pengging?“ tanya
Sunan Kudus.
“Betul ki
sanak, tapi saat ini Ki Ageng sedang berduka, karena kakak iparnya yang di desa
Tingkir telah meninggal dunia” jawab petani itu.
“Baiklah,
terima kasih ki sanak” kata Sunan Kudus.
Rombongan
Sunan Kudus, terus berjalan menuju pendapa Pengging, ketika dilihatnya seorang
wanita didalam halaman rumah, Sunan Kudus berkata :”Nyai, tolong sampaikan
kepada Ki Ageng Pengging, Sunan Kudus ingin menemuinya”
Perempuan
itu lalu masuk kerumah, dan tak lama kemudian, Ki Ageng Pengging keluar menemui
tamunya.
“Silahkan
duduk Kanjeng Sunan” kata Ki Ageng Pengging dengan penuh hormat.
“Terima
kasih Ki Ageng” jawab Sunan Kudus, dan merekapun duduk di amben, di pendapa.
Setelah
menanyakan kabar keselamatan masing-masing, berkatalah Sunan Kudus :“Ki Ageng,
dawuh dalem Kanjeng Sultan Demak Bintara, sekarang juga Ki Ageng harus memilih,
di luar atau didalam, memilih di atas atau dibawah”
Agak lama Ki
Ageng berdiam diri, mencerna pertanyaan Sunan kudus, dan akhirnya dengan tenang
pertanyaan Sunan Kudus dijawabnya :”Kanjeng Sunan Kudus, luar dan dalam adalah
milikku, atas dan bawah adalah juga milikku, karena itu, saya memilih keduanya”
“Ki Ageng,
dawuh dalem Kanjeng Sultan kepada saya untuk menjadi seorang duta pamungkas,
diberi purba wasesa penuh untuk menyelesaikan masalah Pengging” kata Sunan
Kudus.
“Baiklah
Kanjeng Sunan, saya tetap dalam pendirian saya, saya memilih keduanya” jawab Ki
Ageng Pengging.
"Jawaban
Ki Ageng berarti Ki Ageng Pengging tetap tidak mau menghadap kepada Kanjeng
Sultan di Demak Bintara" kata Sunan Kudus.
"Belum
Kanjeng Sunan" kata Kebo Kenanga.
“Ki Ageng,
apa boleh buat, saya hanya sebagai orang yang melaksanakan perintah raja” kata
Sunan Kudus.
“Lalu apa
yang Kanjeng Sunan kehendaki ?“ tanya Ki Ageng Pengging.
“Kematian Ki
Ageng Pengging” jawab Sunan Kudus tegas.
“Kalau itu
yang dikehendaki Kanjeng Sultan Bintara lewat Kanjeng Sunan Kudus, baiklah,
tetapi Kanjeng Sunan harus membuat penyebab adanya sebuah kematian, karena tak
ada mahluk yang mati sendiri, hanya satu permintaan saya, biarlah hanya saya
saja yang bertanggung jawab, jangan disangkut pautkan persoalan saya dengan
semua rakyat di Pengging” kata Ki Ageng Pengging.
“Baiklah Ki
Ageng, saya tidak akan menyangkutkan persoalan ini dengan siapapun, termasuk
semua rakyat Pengging” kata Kanjeng Sunan Kudus.
“Saya sudah
ikhlas untuk mati Kanjeng Sunan, silahkan Kanjeng Sunan menusuk siku saya” kata
Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus
mencabut kerisnya, dan iapun menusuk siku Ki Ageng Pengging, lalu terlihat
tubuh Ki Ageng Pengging bergetar, dan jatuhlah tubuh Ki Ageng Pengging.
Dengan cepat
Sunan Kudus melompat kedepan, menangkap tubuh Ki Ageng Pengging yang akan jatuh
kebawah.
“Kanjeng
Sunan, rakyat Pengging tidak bersalah, bebaskan mereka” ucap Ki Ageng Pengging
lirih.
“Baik Ki
Ageng” jawab Sunan Kudus sambil memeluk tubuhnya, dan sesaat kemudian Ki Ageng
Penggingpun telah meninggal dunia.
Perlahan-lahan
Sunan Kudus meletakkan tubuh Ki Ageng Pengging di amben, dan perlahan-lahan
pula, Sunan Kudus bersama para santrinya, meninggalkan halaman rumah penguasa
Pengging.
Setelah
keluar dari halaman, Sunan Kudus bersama tujuh orang santrinya berjalan cepat
menerobos hutan, menuju kearah utara.
Di pendapa
rumah, Nyai Ageng Pengging yang keluar membawa kendi berisi air minum untuk
tamunya, hanya melihat tubuh Ki Ageng Pengging yang terbujur di atas amben.
Jerit Nyai
Ageng, mengakibatkan beberapa tetangga mendatangi rumahnya, sesaat kemudian
terdengarlah suara kentongan dipukul keras dengan irama cepat, titir.
Di siang
hari yang sepi, Pengging diributkan oleh suara titir yang ber sahut-sahutan,
dan tak lama kemudian, belasan orang berkumpul di rumah Nyai Ageng Pengging,
dan mereka semuanya berlarian mengejar pembunuh Ki Ageng Pengging.
Ketika
mereka memasuki hutan, belasan orang yang mengejar Sunan Kudus, terpaksa
menghentikan pengejarannya, karena dari dalam hutan terdengar suara harimau
mengaum dahsyat yang mampu menggetarkan udara Pengging.
Puluhan
penduduk Pengging memilih kembali pulang ke rumah Nyai Ageng, untuk merawat dan
memakamkan jenazah Ki Ageng Pengging.
Sementara
itu, setelah melintasi daerah di kaki gunung Merbabu, dengan cepat Sunan Kudus
bersama tujuh orang santrinya berjalan kearah sungai Tuntang di sebelah timur
rawa Pening.
“Kita
bermalam di tepi sungai Tuntang” kata Sunan Kudus.
“Baik
Kanjeng Sunan” kata beberapa santrinya.
“Kita
berjalan ke arah Kudus atau langsung menuju ke kotaraja Demak, Kanjeng Sunan? “
tanya salah seorang santrinya.
“Kita
langsung ke kotaraja Demak, dari sini kita terus menuju ke timur, menyusur
sungai Tuntang, tidak usah lewat jalan ke utara” jawab Sunan Kudus.
“Kita tidak
lewat Bandar Bergota ?“ tanya santrinya.
“Tidak usah,
lewat Bergota terlalu jauh, jalannya memutar, meskipun sudah agak ramai, saat
ini ada beberapa nelayan yang tinggal di daerah Bergota” jawab Sunan Kudus,
"Kalau
kita lewat daerah Asem Arang, kita harus menginap semalam lagi, tapi kalau kita
menyusuri sungai Tuntang dan kalau perjalanan kita lancar, besok sore kita
sudah sampai di kotaraja Demak” kata Sunan Kudus.
“Baik
Kanjeng Sunan” kata santrinya.
“Kita
bermalam di hutan ditepi sungai, setelah melewati pohon nyamplung itu “kata
Sunan Kudus.
Mereka
berjalan terus, matahari hampir terbenam, lembayung senja telah menghiasi
langit di arah barat
“Kita menuju
sungai, sebaiknya kita mandi dulu, setelah itu kita melaksanakan kewajiban
kita, sholat Maghrib.” Kata Sunan Kudus.
Malam itu
rombongan Sunan Kudus bermalam di hutan, dengan batu titikan dan serabut aren
kering, salah seorang santri membuat api, sedangkan santri yang lain
mengeluarkan jagung dan ketela pohon.
Dengan
berkerudung kain panjang, mereka menikmati ketela bakar dan jagung bakar
”Alangkah
nikmatnya jagung bakar ini’ kata salah seorang santri.
“Ya, ketela
pohon ini kebetulan mempur, empuk sekali” kata santri lainnya.
Malam itu
rombongan Sunan Kudus tertidur nyenyak, dan sebelum fajar, mereka terbangun.
Setelah
menunaikan kewajiban sholat Subuh berjama’ah, maka Sunan Kudus mengajak mereka
melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Tuntang menuju arah matahari terbit.
Setelah
beberapa lama mereka berjalan, mereka hampir sampai disuatu kedung yang tenang.
“Didepan ada
Kedung Srengenge, kedung itu dalam, kita sedikit memutar, jangan lewat kedung
itu, berbahaya, banyak buaya”, kata Sunan Kudus.
Setelah
melewati kedung Srengenge, Sunan Kudus menuju arah utara, dan ketika matahari
tepat diatas kepala, rombongan telah tiba di sebuah ara-ara yang keluar apinya,
Mrapen.
“Kita
beristirahat disekitar tanah yang mengeluarkan api’ kata Sunan Kudus
“Setelah
dari daerah Mrapen, kita lanjutkan perjalanan kita, kotaraja Demak sudah dekat”
kata Sunan Kudus.
Di kotaraja
Demak, matahari hampir terbenam, ketika terlihat Sunan Kudus yang sedang
berjalan diikuti tujuh orang santrinya, menuju Kraton Kasultanan Demak.
Dua orang
prajurit di pintu gerbang, yang mengenal Sunan Kudus sebagai senapati Perang
Kerajaan Demak, mengangguk hormat.
Sunan Kudus
memerintahkan para santrinya untuk menunggu diluar pintu gerbang, hanya Sunan
Kudus sendiri yang masuk kedalam kraton.
Di ruang
dalam, dua orang prajurit Wira Tamtama, prajurit pengawal raja, mengangguk
hormat ketika melihat Sunan Kudus.
“Sampaikan
kepada Kanjeng Sultan, aku akan menghadap” kata Sunan Kudus.
“Baik
Kanjeng Sunan” kata salah seorang prajurit Wira Tamtama, dan langsung berjalan
menuju ruang dalam.
Tak lama
kemudian Prajurit Wira Tamtama keluar dari ruang dalam dan berkata ”Kanjeng
Sunan dipersilakan masuk, ditunggu Kanjeng Sultan di ruang dalam”
“Terima
kasih” kata Sunan Kudus, lalu Sunan Kudus berjalan menuju ruang dalam.
Didalam
ruangan, sudah menunggu Kanjeng Sultan Patah, dan ketika melihat Sunan Kudus
masuk ruangan, Sultan Bintarapun berdiri dan menyambut :”Silakan duduk Kanjeng
Sunan”
Setelah
mengabarkan keselamatan masing-masing, mulailah Sunan Kudus bercerita mulai
dari awal, sampai terbunuhnya Ki Ageng Pengging.
“Hanya satu
permintaan Ki Ageng Pengging, rakyat Pengging jangan di sangkut pautkan dengan
peristiwa ini” kata Sunan Kudus.
“Baik
Kanjeng Sunan, kita anggap persoalan Ki Ageng Pengging sudah selesai, rakyat
Pengging tidak akan disangkut pautkan dengan persoalan Adi Kebo Kenanga” kata
Sultan Bintara.
"Terima
kasih Kanjeng Sultan" kata Sunan Kudus.
“Malam ini
Kanjeng Sunan menginap di Demak saja, besok pagi baru ke Kudus” kata Sultan
Demak Bintara.
“Terima
kasih Kanjeng, hamba mohon diri, besok setelah terbit fajar, hamba langsung
pulang ke Kudus”” kata Sunan Kudus,
Setelah
berpamitan, maka Sunan Kudus berjalan keluar ruangan, menemui Wira Tamtama. “
Saya beserta tujuh orang santri, diperintahkan Kanjeng Sultan untuk bermalam di
Demak”
“Baik
Kanjeng Sunan, kamar segera kami siapkan” kata seorang Wira Tamtama.
Malam itu,
Sunan Kudus beristirahat dan tidur di Demak, dan ketika keesokan harinya langit
diatas Demak sudah terlihat terang, berjalanlah Sunan Kudus diiringi tujuh
orang santrinya, meninggalkan kotaraja Demak menuju Kudus.
Hari
berganti hari, tujuh hari setelah kematian Ki Ageng Pengging, kembali mendung
tebal menyelimuti desa Pengging yang terletak di kaki gunung Merapi.
Pagi itu,
udara sejuk di kaki gunung Merapi digetarkan oleh bunyi kentongan satu dua,
satu dua, terus menerus tanpa henti.
Seorang
petani yang sedang mencangkul di sawah, menengadahkan kepalanya :“Suara
kentongan satu dua, ada orang yang meninggal dunia, siapa dia ? “
“Di sebelah
selatan, arah rumah Nyai Ageng Pengging” katanya dalam hati.
Diletakkan
cangkulnya, lalu dibersihkannya, kemudian dengan cepat ia berjalan menuju rumah
Nyai Ageng Pengging.
Ternyata
saat itu sudah banyak orang yang berkumpul dirumah Nyai Ageng Pengging,
“Siapakah
yang telah meninggal dunia ?” orang itupun bertanya kepada tetangganya.
“Nyai Ageng
Pengging telah meninggal dunia” kata tetangganya itu.
Gemparlah
seluruh desa Pengging, Nyai Ageng Pengging meninggal dunia tujuh hari setelah
meninggalnya Ki Ageng Pengging.
Di desa
Tingkir, Nyai Ageng Tingkir berlinang air mata ketika mendengar kabar
meninggalnya Nyai Ageng Pengging :“Kasihan Karebet, dia yatim piatu, ayah
ibunya telah meninggal dunia”.
Beberapa
hari kemudian, di pagi hari yang cerah, di depan makam Ki Ageng Tingkir, duduk
seorang perempuan tua, Nyai Ageng Tingkir, kepalanya menunduk hidupnya terasa
sepi, angan-angannya melayang, kapan ia bisa menyusul suaminya.
Terbayang
adik iparnya, Ki Ageng Pengging yang akan memberinya sesuatu, dan angan-angan
Nyai Ageng Tingkir semakin melambung tinggi.
“Ki Ageng
Pengging akan ‘ninggali’ sesuatu, memberi sesuatu kepadaku, apa yang akan
diberikan Ki Ageng Pengging kepadaku ?” tanya Nyai Ageng Tingkir kepada dirinya
sendiri.
Tiba-tiba
Nyai Ageng Tingkir tersentak kaget “ Karebet, pasti Karebet !”
“Mas Karebet
, pasti Mas Karebetlah yang akan diberikan Ki Ageng Pengging kepadaku” guman
Nyai Ageng Tingkir.
Tak lama
kemudian, dipelupuk mata Nyai Ageng Tingkir mengalir air mata, lalu iapun
berkata :“Ngger Karebet , tunggu sebentar, biyung akan segera menjemputmu ke
Pengging”
Nyai Ageng
Tingkir segera berdiri, kaki tuanya melangkah pelan, semampunya ia berjalan
menuju desa Pengging.
Menjelang
sore hari, perlahan-lahan masuklah Nyai Ageng Tingkir ke halaman rumah Nyai
Ageng Penging, ditemuinya pengasuh Karebet
“Dimana
anakku Karebet ?” tanya Nyai Ageng Tingkir.
“Sejak pagi
hari Mas Karebet tidak kelihatan, mungkin bermain dihutan Nyai Ageng” kata
pengasuh Karebet.
“Apakah
Karebet sering pergi sendiri, padahal usianya baru tiga warsa ?" tanya
Nyai Ageng Tingkir.
“Ya Nyai
Ageng, Mas Karebet sering bermain di hutan” jawab pengasuhnya.
Malam itu
Nyai Ageng Tingkir menginap di rumah Nyai Ageng Pengging, dan malam itu Karebet
yang masih kecil tidak pulang kerumah.
"Karebet,
kau tidur dimana malam ini ngger” guman Nyai Ageng Tingkir.
Keesokan
harinya, ketika langit di arah timur sudah memerah, Nyai Ageng Tingkir masih
menunggu kedatangan Karebet, setelah hari menjadi terang, terlihat seorang anak
kecil berjalan memasuki halaman rumah Nyai Ageng Pengging,
Melihat
kedatangan Karebet, Nyai Ageng Tingkir tidak bisa menahan tangisnya, dan
berlari nyongsongnya, Karebet di peluk dan digendongnya masuk ke dalam rumah.
“Anakku
Karebet, kau dari mana saja ngger” kata Nyai Ageng Tingkir.
Pagi itu,
Nyai Ageng Tingkir mengumpulkan penduduk Pengging, dan berkatalah Nyai Ageng
Tingkir dihadapan rakyat Pengging.
”Saudaraku
semua rakyat Pengging, saya minta kerelaan hati saudaraku semua, hari ini Mas
Karebet akan saya bawa ke Tingkir, sekarang saya yang akan menjadi biyungnya,
biarlah disana Karebet menjadi anak saya, nanti apabila Ki Kebo Kanigara pulang
ke Pengging dan bertanya tentang Mas Karebet, jawablah, Mas Karebet berada di desa
Tingkir, dan sekarang ia telah menjadi anakku” kata Nyai Ageng Tingkir
Setelah
berkata demikian, Nyai Ageng Tingkir terdiam sesaat, menunggu jawaban rakyat
Pengging, dan ternyata tidak seorangpun rakyat Pengging yang berkeberatan.
Pagi hari
itu juga, Nyai Ageng Tingkir membawa Karebet ke desa Tingkir, dan mulai saat
itu, Nyai Ageng Tingkir telah mempunyai seorang anak angkat, Karebet.
Di desa
Tingkir, Karebet mendapat limpahan kasih sayang yang tulus dari seorang
perempuan tua, Nyai Ageng Tingkir.
Matahari
masih terlihat terbit di arah timur, tenggelam di arah barat, begitulah alam
terus bergerak secara teratur, hari berganti hari, sekian belas warsa telah
berlalu, tak terasa Karebet telah menjadi seorang Jejaka tumaruna, seorang
Jejaka yang tampan dari Tingkir, Jaka Tingkir.
Saat itu,
Kasultanan Demak masih tetap berdiri tegak, dibawah perintah seorang raja,
Sultan Trenggana, anak Sultan Patah.
Pedhut ampak
ampak terlihat terlihat jelas di puncak gunung Merbabu, ketika seorang pemuda
tampan, Jaka Tingkir, menuruni lembah, kembali pulang menuju desa Tingkir.
Sudah dua
purnama, Karebet yang sering dipanggil Jaka Tingkir pergi meninggalkan ibunya,
untuk belajar ilmu jaya kawijayan guna kasantikan kepada beberapa orang
pinunjul.
Di kejauhan,
dilihatnya gunung Merapi yang membara dipuncaknya, beberapa purnama yang telah
lalu, Jaka Tingkir telah sampai disana, lalu berjalan menjelajah ke beberapa
tempat, ke lereng Gunung Lawu, lalu berjalan lurus ke arah selatan, Segara
Kidul .
Terbayang
wajah Nyai Ageng Tingkir yang cemas sedang menanti kedatangannya.
“Tidak lama,
aku pergi hanya dua candra saja“ kata Karebet didalam hati, masih lebih lama
ketika ketika dia berada di Sela , setelah dari Sela, berjalan ke arah timur,
melewati pinggir bleduk lumpur lalu berbelok ke arah utara, berjalan melingkari
gunung Muria, mengunjungi bandar Jepara lalu berjalan menyusuri pantai hingga
sampai daerah Asem Arang.
"Hanya
dua candra” kata Karebet, dua candra, waktu yang sama seperti ketika dia pergi
ke gunung Sumbing , lalu berjalan mendaki gunung Sindoro, diteruskan dengan
mendaki ke gunung Prahu yang dipuncaknya terdapat reruntuhan candi.
Kedua
kakinya terus melangkah dengan irama yang teratur, menuju desa Tingkir.
Memasuki
desa Tingkir, Karebet berjalan cepat menuju rumahnya, dilihatnya seorang
perempuan tua sedang menyapu halaman.
Nyai Ageng
Tingkir yang sedang menyapu halaman, terkejut dan segera melemparkan sapunya
ketika dilihatnya Karebet berjalan ke arahnya.
Dipeluknya
badan karebet yang tegap, pelukannya masih seperti ketika dia memeluknya semasa
masih anak-anak.
“Ngger
anakku Karebet, kau pergi terlalu lama, sudah enam candra kau tidak pulang, kau
tinggal biyungmu sendiri dirumah” kata Nyai Ageng Tingkir.
“Tidak
biyung, aku hanya pergi dua candra” jawab Jaka Tingkir.
“Enam candra
ngger, kau telah pergi terlalu lama, enam candra” kata biyungnya.
“Ya biyung”
sahut Karebet yang heran mendengar perkataan Nyai Ageng Tingkir.
Nyai Ageng
Tingkir melepaskan pelukannya, masih dengan berurai air mata, dibimbingnya
tangan karebet dengan penuh kasih “Makanlah dulu ngger, kau pasti lapar”
“Ya biyung”
jawab Karebet.
"Ngger
Karebet, bersihkan dulu tanganmu di belakang" kata Nyai Ageng Tingkir
menyuruh Karebet kebelakang rumah untuk mencuci tangan dan kakinya, sedangkan
dia sendiri sibuk menyiapkan nasi dan sayur serta mengambil kendi yang berisi
air minum.
"Kasihan
anakku Karebet, ia pasti lapar" kata Nyai Ageng Tingkir dalam hati.
"Makanlah
ngger Karebet" kata Nyai Ageng Tingkir.
"Ya
biyung' jawab Karebet, dan iapun makan nasi sambil duduk di atas lincak.
"Ngger
Karebet anakku, sepasar yang lalu, uwamu, kakang Kebo Kanigara datang kesini
mencarimu" kata Nyai Ageng Tingkir.
"Siwa
Kebo Kanigara kesini seorang diri biyung?" tanya Karebet.
"Ya,
uwamu ke sini sendiri" kata Nyai Ageng Tingkir.
Sambil
mengunyah makanan, pikiran Karebet terus melayang, uwanya, Kebo Kanigara, kakak
dari ayahnya, Kebo Kenanga, sudah beberapa kali menemui dirinya di Tingkir,
mengamati perkembangan ilmunya, bahkan sering juga mereka berlatih olah
kanuragan bersama.
Kebo
Kanigara yang mumpuni dalam ilmu kanuragan, sangat memperhatikan perkembangan
ilmu Karebet, dan dari Kebo Kanigara lah dia menerima ilmu perguruan Pengging
yang pada saat itu didalam dirinya telah luluh dengan ilmu dari beberapa
perguruan lainnya.
Sambil terus
mengunyah makanan, angan-angannya terus melayang, mengembara tinggi di awan.
Terbayang
kembali, ketika setahun yang lalu dirinya berjalan sendiri dari daerah Asem
Arang menuju ke arah matahari terbenam.
Dari bandar
Bergota, Karebet membawa sebuah bungkusan kecil berisi selembar dua lembar
pakaian dan beberapa makanan, berjalan ke arah barat menerobos semak dan perdu,
berenang menyeberangi dua sungai besar, dan sampailah dia di hutan yang lebat,
Alas Roban.
Matahari
yang berada diatas kepalanya, tidak mampu menerobos lebatnya hutan, dan
Karebetpun berjalan semakin ke tengah hutan yang rapat dengan pepohonan yang
tinggi.
Alas Roban
yang penuh dengan pohon-pohon besar, seperti bayang-bayang hantu yang tangannya
siap menerkam, tetapi yang akan diterkamnya adalah Karebet, ayam jantan dari
Pengging, seorang pemberani, keturunan raja Majapahit, cucu buyut raja
Majapahit Prabu Brawijaya Pamungkas.
Karebet
berjalan terus, dan ketika dilihatnya didekat sebuah pohon munggur ada sebatang
pohon yang roboh melintang di tengah jalan, maka Karebet berniat beristirahat
duduk disitu.
Perutnya yg
memang sudah terasa lapar, minta segera diisi, kemudian diambilnya dari dalam
bungkusan yang dibawanya, sebuah ketela rebus.
"Ketela
ini terasa manis" kata Karebet lirih.
Ketika
Karebet sedang makan, didengarnya ada suara berisik yang lemah, dan dengan
panggrahitanya yang tajam, dia bisa merasakan, ada beberapa pasang mata yg
sedang mengawasinya.
Karebet
segera berdiri, bersiaga penuh, siap menghadapi segala kemungkinan.
"Silahkan
ki sanak keluar, jangan bersembunyi dibalik pohon" kata Karebet.
Tak lama
kemudian muncullah empat orang berwajah garang, dengan membawa senjata tajam,
mereka mengepung Karebet.
"Begal
Alas Roban" kata Karebet.
"Bandha
apa nyawa !!" gertak perampok yang berjambang lebat.
"Ki
sanak, saya bukan orang kaya, tidak punya harta apapun, saya hanya lewat saja,
dan saya harap ki sanak tidak akan mengganggu saya" kata Karebet.
"Serahkan
bungkusan yang kau bawa" kata perampok yang bertubuh tinggi kurus.
"Bungkusan
ini hanya berisi selembar kain dan sedikit makanan, tidak ada barang berharga
apapun didalam bungkusan ini" jawab Karebet.
"Serahkan
bungkusan itu atau kau memilih mati disini" sambungnya lagi.
Berhadapan
dengan gerombolan begal Alas Roban, Karebet merasa tidak ada jalan lain, selain
bertempur.
"Ambilah
kalau ki sanak mampu" kata Karebet bersiaga.
Terdengar
suitan nyaring dari pemimpinnya, dan ke empat begal Alas Roban segera menyerang
Karebet.
Dengan
tangkasnya Karebet menghindari ayunan golok perampok yang bertubuh tegap gagah,
tetapi belum juga kakinya berdiri mapan, pedang pendek perampok bertubuh tinggi
mendesir disamping telinganya, setelah itu disusul tusukan pedang yang hampir
bersamaan dari dua perampok lainnya.
Tubuh
Karebet bergerak cepat, serangan lawannya dapat dihindari, bahkan ujung jarinya
bergerak cepat akan menyentuh leher pemimpin perampok, tapi terpaksa ditarik
kembali karena datang serangan tebasan pedang pendek perampok lainnya,
Karebet
melompat kebelakang, tapi begal Alas Roban tidak melepaskannya, ke empat
perampok itu bergantian menyerang.
Sebuah
pedang terjulur ke arah lambung, memaksa Karebet menghindar dengan menggeliat
kesamping, disusul datang serangan tendangan kaki dari pemimpin begal, Alas
Roban, tidak ada jalan lain selain menangkis dengan sikunya.
Sesaat
kemudian terjadi benturan keras, siku Karebet menangkis tendangan kaki pemimpin
perampok, dan akibatnya membuat pemimpin perampok terkejut.
Siku Karebet
bergetar, tapi kaki pemimpin perampok itu terpental, terlempar kebelakang,
terlihat dia berguling sekali, lalu dengan susah payah dia berusaha berdiri,
siap untuk menyerang Karebet sekali lagi.
Beberapa
saat telah berlalu, perkelahian masih berlangsung cepat, pemimpin gerombolan
begal Alas Roban menjadi heran, sudah sekian lama mereka mengeroyok seorang
pemuda, tapi belum bisa mengalahkannya.
Jangankan
mengalahkan lawannya yang masih muda, menyentuh tubuhnyapun, mereka tidak
mampu.
Dengan
sepenuh tenaga, pemimpin perampok mengayunkan goloknya, tapi alangkah terkejutnya,
ketika telapak tangannya menjadi sakit ketika goloknya seakan-akan membentur
sebuah perisai yang tidak terlihat, yang hanya berjarak sekilan dari tubuh
pemuda perkasa itu.
Setelah
dilihatnya berulang kali, ternyata semua senjata perampok satupun tak ada yang
mampu menyentuh tubuh pemuda itu, semuanya membentur tameng tidak terlihat,
yang berjarak sekilan dari tubuhnya.
"Anak
ini memiliki sebuah ilmu kebal yang luar biasa, ilmu apa ini ?" tanya
perampok itu didalam hatinya.
Ternyata
bukan hanya gerombolan begal Alas Roban saja yang terkejut melihat benturan
senjata dengan perisai yang tidak kasat mata ditubuh Karebet yang berjarak
sekilan, seseorang yang sedang berdiri bersembunyi dibalik pohon munggur, juga
melihat perkelahian itu dengan heran.
"Ngedab-ebabi,
ternyata anak seumur itu sudah mampu menguasai Aji Lembu Sekilan" kata
orang tersebut didalam hati, dan iapun semakin memperhatikan gerak Karebet
lebih tajam lagi.
Karebet
merasa perkelahian itu sudah cukup lama, maka iapun berniat untuk mengakhirinya.
Dengan
sebuah tendangan mendatar, tumitnya mengenai pinggang salah seorang perampok,
lalu tangannya bergerak cepat memukul tangan yang memegang pedang.
Perampok itu
hanya merasa tangannya bergetar keras dan sekejap kemudian, ternyata pedangnya sudah
berpindah ketangan lawannya.
Melihat
lawannya kini memegang sebuah pedang, begal Alas Roban merasa tidak akan mampu
mengalahkan pemuda perkasa itu, maka pemimpin perampok dengan cepat membuat
suatu keputusan untuk menyelamatkan diri.
Sekejap
kemudian terdengar sebuah suitan nyaring, dan keempat gerombolan begal Alas
Roban yang ganas dengan cepat melarikan diri masuk kedalam gerumbul pepohonan
di tengah hutan.
Karebet
hanya memandang kearah hilangnya para perampok, dan sekarang ditangannya
tergenggam sebuah pedang milik salah seorang begal Alas Roban.
Namun sesaat
kemudian Karebet terkejut bukan buatan, ketika ia mendengar suara orang batuk,
disertai dengan suara gemerisik dibalik pohon munggur.
Ternyata
seseorang bersembunyi dibalik pohon munggur tanpa dketahuinya, dan suara
nafasnya tidak dapat ditangkap oleh lantipnya panggrahita, pasti dia orang
pinunjul, seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan.
Karebet
tidak sempat berpikir siapa orang yang telah bersembunyi dibalik pohon, yang
dapat dilakukan saat itu adalah mengetrapkan Aji Lembu Sekilan sejauh
kemampuannya.
Karebet
bergerak memutar tubuhnya menghadap ke arah pohon munggur, bersiaga sepenuhnya
menghadapi orang yang bersembunyi dibalik pohon itu.
Sekejap
kemudian Karebet terlihat berdiri kokoh diatas kedua kakinya yang renggang,
jari tangannya dengan kuat menggenggam pedang rampasan, mengetrapkan Aji Lembu
Sekilan yang telah manjing dalam dirinya, dalam tingkat kemampuannya yang
paling tinggi, dan ia pun telah bersiap sepenuhnya menghadapi serangan orang
yang bersembunyi dibalik pohon munggur.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar