Sabtu, 14 Juni 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 1



KERIS KYAI SETAN KOBER 1

Karya : Apung

BAB 1 : AYAM JANTAN DARI PENGGING 1

Sandyakalaning Majapahit, Perang Paregreg.

Mendung gelap menyelimuti langit Majapahit akibat perselisihan sesama saudara, banyak terjadi ketidak puasan dan pertengkaran diantara para kerabat raja Majapahit.
Kerajaan Majapahit mulai rapuh, salah satu penyebabnya adalah, adanya perang Paregreg, yang terjadi bersamaan dengan berdirinya Kesultanan Demak Bintara yang beragama Islam di pesisir utara pulau Jawa, yg mulai bangkit dibawah rajanya Raden Patah yang disebut juga Sultan Bintara atau Sultan Patah.
Keruntuhan kerajaan Majapahit terjadi ketika para prajurit Majapahit dibawah Prabu Brawijaya pamungkas, bertempur melawan pasukan Demak, dibawah pimpinan Senapati Agung Kasultanan Demak, Sunan Ngudung.

Senapati Agung Kasultanan Demak Bintara, Sunan Ngudung gugur, terbunuh oleh Senapati Agung Majapahit, Adipati Terung, kemudian sunan Ngudungpun digantikan oleh Sunan Kudus.
Pasukan Demak dibawah pimpinan Sunan Kudus berhasil mendesak pasukan Majapahit, sehingga pasukan Majapahit mengalami kekalahan, sehingga sejak saat itu pudarlah masa kejayaan Majapahit.
Keluarga kerajaan tercerai berai dan terpaksa meninggalkan istana, Raja Majapahit, Prabu Brawijaya Pamungkas melarikan diri menuju ke arah Gunung Lawu, dan terpaksa berpisah dengan sebagian keluarga kerajaan yang lainnya.
Salah satu putera Sang Prabu Brawijaya Pamungkas yang bernama Pangeran Dayaningrat, atau disebut juga Adipati Dayaningrat, penguasa Kadipaten Pengging Witaradya di kaki gunung Merapi sebelah tenggara, dalam suasana kerajaan yang carut marut, terpaksa kehilangan istrinya, Dewi Asmayawati, yang meninggal dunia.
Kesedihan yang mendalam karena kehilangan istrinya, menyebabkan Adipati Dayaningrat jatuh sakit , tak lama kemudian, Adipati Dayaningrat juga meninggal dunia, menyusul istrinya.
Tinggalah sekarang dua orang putra Adipati Dayaningrat, yang sulung Kebo Kanigara dan yang bungsu bernama Kebo Kenanga, umur keduanya hanya terpaut beberapa warsa saja.
Waktu demi waktu telah berlalu, Kebo Kanigara lebih sering tidak berada di Pengging dan menyerahkan urusan wilayah Pengging kepada Kebo Kenanga.
Kebo Kenanga memeluk agama Islam dan disebut juga Ki Ageng Pengging. Kemudian iapun juga bersahabat dengan beberapa orang pinunjul lainnya.

Suatu saat, Ki Ageng Pengging terkejut, ketika kedatangan dua orang tamu, utusan dari Sultan Demak Bintara, dan dengan hormat, Ki Ageng Pengging menemui tamu utusan Raja.
Setelah berbincang mengenai berbagai hal, sampailah kedua tamu itu mengatakan, bahwa ia mengemban dawuh dalem Kanjeng Sultan Demak Bintara.
Dawuh dalem Kanjeng Sultan Patah, memerintahkan Ki Ageng Pengging untuk menghadap Sultan Demak Bintara,
Kepada kedua utusan itu, Ki Ageng Pengging mengatakan :”Mohonkan ampun pada Kanjeng Sultan, saya belum bisa menghadap Kanjeng Sultan sekarang“
“Baik Ki Ageng, akan saya sampaikan kepada Kanjeng Sultan” jawab utusan dari Demak.
Setelah merasa cukup, maka kedua orang utusan itupun berpamitan, lalu kembalilah mereka ke kotaraja Demak dan melaporkan hasilnya kepada Sultan Patah.

Tidak jauh dari daerah Pengging, di arah utara, di desa Tingkir di kaki gunung Merbabu, Ki Ageng Tingkir, kakak iparnya sekaligus sahabatnya, menjadi cemas mendengar penolakan Ki Ageng Pengging terhadap utusan raja, dan bergegaslah Ki Ageng Tingkir menuju Pengging.
Betapa senangnya Ki Ageng Pengging kedatangan kakak iparnya, tapi mukanya berubah menjadi sedih ketika Ki Ageng Tingkir berkata :”Adi, aku mendengar kabar, adimas menolak panggilan Sultan Demak, benarkah ?”
‘Ya kakang, itu benar, saya memang menolaknya, tidak ada gunanya saya menghadap Sultan Demak, saya hanyalah seorang dari desa, tidak pantas apabila saya menghadap Kanjeng Sultan Demak Bintara yang besar“ jawab Ki Ageng Pengging.
“Jangan begitu adimas, tidak ada salahnya adi menghadap Kanjeng Sultan ke Demak, Sultan Demak bukan orang lain bagi adi, adimas adalah putra Adipati Dayaningrat, cucu sang Prabu Brawijaya pamungkas, Sultan Bintara adalah kakak dari ibumu, dewi Asmayawati “ kata Ki Ageng Tingkir.
“Kakang, kenapa baru sekarang Kanjeng Sultan teringat akan saudaranya yang di desa ?” tanya Ki Ageng Pengging
“Adimas, menolak panggilan Raja dapat diartikan memberontak terhadap kekuasaan Sultan, lebih baik Adi menghadap Kanjeng Sultan, biarlah kakang nanti mengantar adimas ke Demak” kata Ki Ageng Tingkir.
“Sudahlah kakang, terima kasih, tidak usah, biarlah aku untuk kali ini tidak menghadap Kanjeng Sultan” kata Ki Ageng Pengging.
Demikianlah, mereka berbincang sampai sore, Nyai Ageng Pengging saat itu dalam keadaan hamil, sudah saatnya melahirkan.

Malam itu, Ki Ageng Pengging telah memanggil dalang wayang beber untuk main di pendapa.
Hari itu, hari Rebo Legi, 8 Jumadilakir, tahun Dal, musim kelima, disaat hampir fajar, lahirlah seorang bayi laki-laki, anak Ki Ageng Pengging.
“Kakang, sudilah kakang memberi nama pada anakku ini “ pinta Ki Ageng Pengging.
“Baiklah adimas, anakmu kuberi nama Mas Karebet, nama Karebet artinya adalah wayang beber, karena lahirnya bertepatan dengan pertunjukan wayang beber” jawab Ki Ageng Tingkir.
“Terima kasih kakang” kata Ki Ageng Pengging.
Selama tiga hari Ki Ageng Tingkir berada di Pengging, berbincang-bincang sambil melihat dan menimang Mas Karebet dengan suka citanya.

Dalam pada itu, dua orang utusan Sultan Patah, telah sampai di kotaraja Demak, dan melaporkan hasilnya kepada Kanjeng Sultan Patah.
"Panggil Ki Ageng Wanalapa, sekarang" kata Kanjeng Sultan Patah kepada seorang prajurit Wira Tamtama untuk memanggil penasihat kerajaan, Ki Ageng Wanalapa.
Dengan tergesa-gesa menghadaplah Ki Ageng Wanalapa di hadapan Kanjeng Sultan Bintara.
Ki Ageng Wanalapa, yang dulunya adalah Ki Patih Wanasalam telah mengundurkan diri sebagai patih, dan berganti nama menjadi Ki Ageng Wanalapa, dan sekarang ia telah diangkat menjadi penasehat Kerajaan Demak.
“Kakang Wanalapa “ kata Sultan Bintara,
“Dawuh dalem Kanjeng Sultan” jawab Ki Ageng Wanalapa sambil menunduk.
“Kakang Wanalapa, ketahuilah, Ki Ageng Pengging saat ini, tidak mau menghadap ke Demak, itu bisa diartikan kalau ia membantah perintah raja, sudah bisa dianggap memberontak kepada Raja“ kata Sultan Bintara.
Dengan penuh perhatian, Wanalapa mendengarkan kata-kata Sultan Bintara.
“Kakang Wanalapa, pergilah ke Pengging, temuilah Ki Ageng Pengging, sampaikan pesanku, suruh dia datang menghadapku ke Demak" kata Kanjeng Sultan.
“Sendika dawuh Kanjeng Sultan” jawab Ki Ageng Wanalapa.
“Berangkat secepatnya kakang, lalu hasilnya segera kakang laporkan kepadaku” kata Sultan Bintara.
Ki Ageng Wanalapa mengerti dengan jelas maksud Sultan Bintara, ia mohon diri dan segera mempersiapkan untuk pergi ke Pengging dengan empat orang prajurit Demak.
Meskipun usia Ki Ageng Wanalapa telah lanjut, tapi ia masih tangkas untuk melakukan perjalanan ke daerah Pengging.

Perjalanan dari Demak, menyusuri tepi sungai Tuntang, menuju arah ke selatan, lalu berbelok ke arah matahari terbenam, jauh sebelum sampai di Rawa, rombongan berbelok ke selatan, dikejauhan tampak gunung Telamaya dan gunung Merbabu, dan langkah kaki mereka terus menuju daerah Pengging yg berada di kaki gunung Merapi.
Setelah sampai di Pengging, Ki Ageng Wanalapa langsung menuju pendapa Pengging, mengutarakan maksudnya untuk menemui Ki Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging menyambut kedatangan tamunya, utusan dari Demak dengan penuh hormat
“Selamat datang di Pengging, Ki Ageng Wanalapa, silahkan duduk “ kata Kebo Kenanga.
“Terima kasih anakmas Pengging” jawab Ki Ageng Wanalapa.
Setelah beristirahat sejenak, sampailah Ki Ageng Wanalapa menerangkan tujuannya menemui Ki Ageng Pengging.
Semua yang diperintahkan oleh Kanjeng Sultan Bintara, telah disampaikan semuanya :“Anakmas Pengging dipersilahkan sowan ke Kraton Demak, menemui Kanjeng Sultan Bintara“
“Ki Ageng Wanalapa, saya mohon maaf, saat ini saya belum dapat sowan ke kotaraja Demak” kata Kebo Kenanga.
“Berarti anakmas Pengging tetap tidak mau sowan Kanjeng Sultan” tanya Ki Ageng Wanalapa.
“Belum Ki Ageng, sampaikan permohonan maaf saya kepada Kanjeng Sultan” jawab Ki Ageng Pengging.
“Baiklah anakmas Pengging, saya beri waktu tiga warsa untuk sowan ke Demak, setelah lewat tiga warsa, dan anakmas Pengging tetap tidak mau datang ke Demak, maka semua tindakan selanjutnya terserah Kanjeng Sultan Bintara” kata Ki Ageng Wanalapa.
“Terima kasih Ki Ageng “ jawab Ki Ageng Pengging.

Ki Ageng Wanalapa beserta pengawalnya kemudian mohon pamit dan diantar sampai diluar pendapa.
Kembali Ki Ageng Wanalapa beserta empat pengawalnya melakukan perjalanan ke arah utara, menuju kotaraja Demak.
Sampai di kotaraja Demak, Ki Ageng Wanalapa tidak pulang kerumah dulu didaerah Wanasalam, tetapi langsung menuju keraton Demak, menghadap Kanjeng Sultan Patah.
Setelah diterima Sultan Bintara, maka Ki Ageng Wanalapa menceritakan semua pertemuannya dengan Ki Ageng Pengging, runtut teratur, mulai dari awal sampai akhir.
“Hamba memberi batas tiga warsa, kalau sudah sampai tiga warsa Ki Ageng Pengging tetap tidak mau menghadap ke Kraton, maka hukuman yang harus diterima oleh Ki Ageng Pengging terserah kepada Kanjeng Sultan” kata Ki Ageng Wanalapa.
“Baiklah kakang, sebelum tiga warsa, mudah-mudahan Adimas Kebo Kenanga mau datang ke kotaraja Demak” kata Sultan Bintara.
Waktu terus berlalu, siang berganti malam, dan malampun telah berganti menjadi pagi, tak terasa waktu sudah berjalan tiga warsa, dan selama ini Sultan terus menunggu kedatangan Ki Ageng Pengging.
“Hmm penantian yang sia-sia” guman Sultan Bintara :“ Biar nanti Kanjeng Sunan Kudus yang menyelesaikan persoalan ini, sebagai duta pamungkas“
Kanjeng Sultan lalu memanggil salah seorang prajurit Wira Tamtama, dan berkatalah Sultan Bintara :“Pergilah dua orang prajurit ke Kudus, panggil Kanjeng Sunan Kudus sekarang juga”
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata prajurit itu.
Bergegaslah prajurit itu, mengambil kudanya dan bersama seorang prajurit yg lainnya, mereka memacu kudanya menuju Kudus.
“Persoalan Ki Ageng Pengging sudah merupakan tugas Kanjeng Sunan Kudus sebagai seorang Senapati perang Kasultanan Demak“ guman Kanjeng Sultan.

Hari itu adalah hari Jum’at Pon, di suatu pagi hari yang cerah di daerah Pengging yang terletak di kaki gunung Merapi, daerah yang subur, beberapa embun masih menempel di daun, didalam halaman rumah Ki Ageng Pengging.
Dengan memanggul cangkul, Ki Ageng Pengging bersiap berangkat kesawah.
"Hm, kenapa hari ini hatiku merasa tak tenang" berkata Ki Ageng Pengging di dalam hatinya.
Ketika kakinya mulai melangkah, hati Ki Ageng tercekat, hampir terloncat, ketika mendengar pekikan lirih seekor burung gagak.
“Kenapa suara burung gagak yang lemah, telah mampu mengejutkan aku” guman Ki Ageng Pengging.
Belum juga kakinya keluar halaman, dilihatnya seekor kuda berlari menuju kearahnya.
Ki Ageng bergeser ke tepi, tapi kuda itu berhenti tepat didepan Ki Ageng Pengging, dan ternyata Ki Ageng Pengging pernah melihat orang yang duduk dipunggung kuda itu.
“Oh kau ki sanak, kau berasal dari desa Tingkir ?” tanya Ki Ageng Pengging.
“Betul Ki Ageng, saya akan menyampaikan sebuah kabar penting” jawab orang berkuda itu.
“Masuklah,” kata Ki Ageng Pengging
“Terima kasih Ki Ageng” jawab orang berkuda itu.

Keduanya lalu menuju pendapa dan utusan dari Tingkir itupun duduk berhadapan dengan Ki Ageng Pengging.
“Saya hanya sebentar Ki Ageng, hanya menyampaikan berita, bahwa Ki Ageng Tingkir tadi malam telah meninggal dunia “ kata utusan dari desa Tingkir.
Betapa terkejutnya Ki Ageng Pengging, mendengar berita itu, sesaat mulutnya seperti terkunci, tapi setelah kesadarannya pulih, terdengar beberapa kalimat lirih, terucap dari mulutnya.
Utusan dari Tingkirpun berdiam diri, menunggu perintah dari Ki Ageng Pengging.
“Pulanglah dulu ke Tingkir, aku segera kesana”, kata Ki Ageng Pengging.
“Baik Ki Ageng, saya mohon pamit”, kata utusan dari Tingkir yang segera berdiri, dan berjalan menuju kudanya lalu dipacunya kembali kudanya menuju ke desa Tingkir.
Dari pendapa, Ki Ageng Pengging segera mencari istrinya, dan berkata :”Nyai, Ki Ageng Tingkir telah meninggal dunia, aku akan pergi ke Tingkir sekarang”.
“Baik Ki Ageng” kata Nyai Ageng Pengging.
Ki Ageng Pengging segera menyiapkan kudanya, dan dipacunya dengan cepat menuju desa Tingkir.
Mendung menyelimuti desa Tingkir, kedatangan Ki Ageng Pengging ke Tingkir, disambut dengan linangan air mata Nyai Ageng Tingkir.
“Adi, kakakmu telah mendahului pergi“ kata Nyai Ageng Tingkir.

Ki Ageng Pengging tidak mampu berkata apapun, dirinya merasa kehilangan atas kematian Ki Ageng Tingkir, terlintas dalam ingatannya, selama ini mereka bersama-sama menuntut ilmu mengalami susah dan senang berdua, dan sekarang Ki Ageng Tingkir telah mendahuluinya.
Dilihatnya Nyai Ageng yang masih berurai air mata, Ki Ageng Pengging berkata dalam hati :“Betapa sepi hidup Nyai Ageng Tingkir“
Upacara pemakamanpun segera dilangsungkan, dan setelah selesai upacara pemakaman, maka Ki Ageng Pengging minta diri pulang ke Pengging.
“Baik Adi, tapi bawalah barang-barang milik Ki Ageng Tingkir yang masih ada” kata Nyai Ageng Tingkir.
“Saya tidak akan mengambil Nyai, tetapi saya akan ‘ninggali’, saya nanti yang akan memberi, Nyai“ jawab Ki Ageng Pengging.
Nyai Ageng Tingkir melihat Ki Ageng Pengging memacu kudanya meninggalkan desa Tingkir, dengan sejumlah tanda tanya dihati :"Aku akan diberi, apa yang akan diberikan Ki Ageng Pengging kepadaku ?"
Sementara itu, Ki Ageng Pengging memacu kudanya menuju Pengging, hatinya masih merasa kehilangan seorang saudara dan sahabat yang sehati.
Ketika memasuki daerah Pengging, lari kudanya diperlambat, karena setiap bertemu dengan rakyat Pengging, dilihatnya, rakyat Pengging mengangguk hormat kepadanya.
Rakyat Pengging yang sederhana, mereka petani yang rajin memang sangat menyintai pemimpinnya, Ki Ageng Pengging.

Pada saat yang sama, di kaki Gunung Muria sebelah selatan, di daerah Kudus, salah seorang Wali Sanga yang juga merupakan Senapati Perang Kasultanan Demak, Sayyid Jaffar Shodiq, yang lebih dikenal dengan nama Sunan Kudus, sedang memberi pelajaran mengaji kepada para santri di Panti Kudus.
Tapi Sunan Kudus melihat ada santri yang bertugas diluar ruangan, berdiri didepan pintu, ingin mengatakan sesuatu kepada Sunan Kudus.
Sejenak, Sunan Kudus keluar ruangan, dan bergerak menemui santrinya.
”Ada apa ?” tanya Sunan Kudus.
“Ada tamu Kanjeng Sunan, dua orang prajurit Wira Tamtama dari kotaraja Demak, ingin bertemu dengan Kanjeng Sunan” jawab santri tersebut.
“Baik, persilahkan dia duduk, aku segera kesana” jawab Sunan Kudus.
Setelah mengangguk hormat, santri tersebut bergegas menemui tamunya kembali.
Sunan Kudus kembali memasuki ruangan, memberi pengarahan kepada para santri, lalu berjalan ke pendapa menemui dua orang prajurit Demak.
Di Pendapa, telah menunggu dua orang tamunya, dan Sunan Kudus pun menemuinya, berbicara mengenai kabar keselamatannya.
Setelah berbicara panjang lebar, Sunan Kudus lalu berkata : “Ada titah Kanjeng Sultan kepada saya ?”
“Ya Kanjeng Sunan, dawuh dalem Kanjeng Sultan Bintara, Kanjeng Sunan Kudus diharapkan datang menghadap Kanjeng Sultan Bintara, sekarang” jawab salah seorang prajurit Demak.
“Baik prajurit, kalian berangkatlah dulu, saya segera menyusul,” kata Sunan Kudus, kemudian kedua Prajurit itupun mohon pamit, minta diri kembali ke kotaraja Demak.
Setelah itu, Sunan Kudus memerintahkan kepada dua orang santrinya, untuk mempersiapkan tiga ekor kuda dan mengikutinya pergi menghadap Sultan Demak.

Berangkatlah Sunan Kudus disertai dua orang santrinya, menuju arah matahari terbenam, ke arah barat, menuju kotaraja Demak.
Menjelang matahari terbenam, tiga ekor kuda memasuki kotaraja Demak dan langsung menuju bangunan besar, Kraton Demak.
Sultan Bintara, yang memang telah menunggunya, langsung mempersilahkan Sunan Kudus untuk masuk kedalam, sedangkan kedua santrinya menunggu di pendapa.
“Kanjeng Sunan, persoalan Ki Kebo Kenanga di Pengging, memerlukan penyelesaian segera, waktu yang telah diberikan oleh kakang Wanalapa telah genap tiga warsa, dan ternyata Ki Ageng Pengging tetap tidak mau datang menghadap ke Demak, bagaimana menurut pendapat Kanjeng Sunan Kudus ?“ tanya Sultan Bintara.
“Sendika dawuh Kanjeng Sultan, memang tidak bisa dibiarkan berlarut-larut, Ki Ageng Pengging jelas mbalela, tidak mengindahkan titah Rajanya untuk datang menghadap ke kraton Demak” jawab Sunan Kudus.
“Baiklah, kalau begitu, Kanjeng Sunan Kudus sebagai seorang Senapati perang Kasultanan Demak, supaya berangkat ke Pengging sebagai duta pamungkas, untuk menyelesaikan persoalan Pengging" perintah Sultan Demak.
“Sendika dawuh Kanjeng Sultan” kata Sunan Kudus.
“Baiklah Kanjeng Sunan, apakah Kanjeng Sunan perlu membawa prajurit ?” tanya Sultan Bintara.
“Tidak perlu Kanjeng Sultan, cukup dengan beberapa orang santri Kudus “ jawab Sunan Kudus.
Setelah itu, Sunan Kudus segera mohon pamit, dan berangkat menuju ke timur, kembali ke Kudus.
Setelah sampai di Kudus, Sunan Kudus memerintahkan kepada tujuh orang santrinya untuk ikut berangkat ke Pengging.
“Kita berangkat besok pagi “ kata Sunan Kudus.

Esoknya, delapan orang terlihat keluar dari Panti Kudus, berjalan menuju arah selatan.
Mereka berjalan lurus, menyusuri sungai, dan menuju ke arah rawa.
Sunan Kudus menyuruh salah seorang santri untuk membawa sebuah bungkusan, yang didalamnya terdapat sebuah bende pusaka Sunan Kudus yang suaranya ngedab-edabi, Kyai Sima.
“Kita berjalan kearah selatan, menyusuri kali Serang, menuju kearah kaki gunung Merbabu, setelah itu kita menuju arah gunung Merapi” kata Sunan Kudus.
Sunan Kudus, yang mengemban tugas dari Sultan Demak, mengajak tujuh orang santrinya, berjalan cepat , menerobos hutan yang tidak begitu lebat, menuju daerah Pengging, dikaki gunung Merapi .
Selain seorang santri membawa bende pusaka Kyai Sima, beberapa orang santri yang lain telah membawa beberapa ontong jagung muda dan ketela pohon, sebagai bekal makanan, meskipun mereka juga sudah terbiasa makan beberapa buah yang mereka jumpai di hutan.
Jauh sebelum mencapai kaki bukit Telomoyo, Sunan Kudus berbelok ke arah selatan, dan sampailah rombongan itu di tepi sungai Cemara, kemudian merekapun bermalam di hutan itu.

Tepat pada waktu tengah malam, Sunan Kudus mengambil pusaka bende Kyai Sima yang dibawanya, lalu iapun memukul bende itu dengan pelan, tapi akibatnya sangat mengejutkan.
Suara bende menggetarkan hati, seperti suara harimau mengaum menggelegar, menggetarkan udara dingin di kaki gunung Merbabu.
Beberapa penduduk yang berada disekitar sungai Cemara, banyak yang tergetar hatinya mendengar sebuah auman seekor harimau yang garang.
“Besok pagi, perjalanan kita lanjutkan, kita jalan terus menuju Pengging“ kata Sunan Kudus.
Di daerah Pengging, dalam tidurnya , Ki Ageng Pengging bermimpi, seakan-akan berjumpa dengan seekor harimau gembong yang sangat besar, mengaum dahsyat, hingga Ki Ageng Pengging terkejut dan terbangun.
“Hm suara bende pusaka Kyai Sima milik Kanjeng Sunan Kudus, sudah tiba saatnya, hari ini waktunya sudah genap tiga warsa, waktu yang diberikan kepadaku untuk menghadap Kanjeng Sultan di Demak“ guman Ki Ageng Pengging.
Matahari telah memancarkan sinarnya, pagi yang cerah, Sunan Kudus berjalan terus keselatan, setelah melewati kali Pepe, lalu berbelok sedikit menuju desa Pengging.
Ketika memasuki desa Pengging, Sunan Kudus berjumpa dengan seorang petani yang sedang menuntun seekor kerbau.
“Maaf ki sanak, apakah langgar yang kelihatan itu langgar Ki Ageng Pengging?“ tanya Sunan Kudus.
“Betul ki sanak, tapi saat ini Ki Ageng sedang berduka, karena kakak iparnya yang di desa Tingkir telah meninggal dunia” jawab petani itu.
“Baiklah, terima kasih ki sanak” kata Sunan Kudus.

Rombongan Sunan Kudus, terus berjalan menuju pendapa Pengging, ketika dilihatnya seorang wanita didalam halaman rumah, Sunan Kudus berkata :”Nyai, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Pengging, Sunan Kudus ingin menemuinya”
Perempuan itu lalu masuk kerumah, dan tak lama kemudian, Ki Ageng Pengging keluar menemui tamunya.
“Silahkan duduk Kanjeng Sunan” kata Ki Ageng Pengging dengan penuh hormat.
“Terima kasih Ki Ageng” jawab Sunan Kudus, dan merekapun duduk di amben, di pendapa.
Setelah menanyakan kabar keselamatan masing-masing, berkatalah Sunan Kudus :“Ki Ageng, dawuh dalem Kanjeng Sultan Demak Bintara, sekarang juga Ki Ageng harus memilih, di luar atau didalam, memilih di atas atau dibawah”
Agak lama Ki Ageng berdiam diri, mencerna pertanyaan Sunan kudus, dan akhirnya dengan tenang pertanyaan Sunan Kudus dijawabnya :”Kanjeng Sunan Kudus, luar dan dalam adalah milikku, atas dan bawah adalah juga milikku, karena itu, saya memilih keduanya”
“Ki Ageng, dawuh dalem Kanjeng Sultan kepada saya untuk menjadi seorang duta pamungkas, diberi purba wasesa penuh untuk menyelesaikan masalah Pengging” kata Sunan Kudus.
“Baiklah Kanjeng Sunan, saya tetap dalam pendirian saya, saya memilih keduanya” jawab Ki Ageng Pengging.
"Jawaban Ki Ageng berarti Ki Ageng Pengging tetap tidak mau menghadap kepada Kanjeng Sultan di Demak Bintara" kata Sunan Kudus.
"Belum Kanjeng Sunan" kata Kebo Kenanga.
“Ki Ageng, apa boleh buat, saya hanya sebagai orang yang melaksanakan perintah raja” kata Sunan Kudus.
“Lalu apa yang Kanjeng Sunan kehendaki ?“ tanya Ki Ageng Pengging.
“Kematian Ki Ageng Pengging” jawab Sunan Kudus tegas.

“Kalau itu yang dikehendaki Kanjeng Sultan Bintara lewat Kanjeng Sunan Kudus, baiklah, tetapi Kanjeng Sunan harus membuat penyebab adanya sebuah kematian, karena tak ada mahluk yang mati sendiri, hanya satu permintaan saya, biarlah hanya saya saja yang bertanggung jawab, jangan disangkut pautkan persoalan saya dengan semua rakyat di Pengging” kata Ki Ageng Pengging.
“Baiklah Ki Ageng, saya tidak akan menyangkutkan persoalan ini dengan siapapun, termasuk semua rakyat Pengging” kata Kanjeng Sunan Kudus.
“Saya sudah ikhlas untuk mati Kanjeng Sunan, silahkan Kanjeng Sunan menusuk siku saya” kata Ki Ageng Pengging.
Sunan Kudus mencabut kerisnya, dan iapun menusuk siku Ki Ageng Pengging, lalu terlihat tubuh Ki Ageng Pengging bergetar, dan jatuhlah tubuh Ki Ageng Pengging.
Dengan cepat Sunan Kudus melompat kedepan, menangkap tubuh Ki Ageng Pengging yang akan jatuh kebawah.
“Kanjeng Sunan, rakyat Pengging tidak bersalah, bebaskan mereka” ucap Ki Ageng Pengging lirih.
“Baik Ki Ageng” jawab Sunan Kudus sambil memeluk tubuhnya, dan sesaat kemudian Ki Ageng Penggingpun telah meninggal dunia.

Perlahan-lahan Sunan Kudus meletakkan tubuh Ki Ageng Pengging di amben, dan perlahan-lahan pula, Sunan Kudus bersama para santrinya, meninggalkan halaman rumah penguasa Pengging.
Setelah keluar dari halaman, Sunan Kudus bersama tujuh orang santrinya berjalan cepat menerobos hutan, menuju kearah utara.
Di pendapa rumah, Nyai Ageng Pengging yang keluar membawa kendi berisi air minum untuk tamunya, hanya melihat tubuh Ki Ageng Pengging yang terbujur di atas amben.
Jerit Nyai Ageng, mengakibatkan beberapa tetangga mendatangi rumahnya, sesaat kemudian terdengarlah suara kentongan dipukul keras dengan irama cepat, titir.
Di siang hari yang sepi, Pengging diributkan oleh suara titir yang ber sahut-sahutan, dan tak lama kemudian, belasan orang berkumpul di rumah Nyai Ageng Pengging, dan mereka semuanya berlarian mengejar pembunuh Ki Ageng Pengging.
Ketika mereka memasuki hutan, belasan orang yang mengejar Sunan Kudus, terpaksa menghentikan pengejarannya, karena dari dalam hutan terdengar suara harimau mengaum dahsyat yang mampu menggetarkan udara Pengging.
Puluhan penduduk Pengging memilih kembali pulang ke rumah Nyai Ageng, untuk merawat dan memakamkan jenazah Ki Ageng Pengging.

Sementara itu, setelah melintasi daerah di kaki gunung Merbabu, dengan cepat Sunan Kudus bersama tujuh orang santrinya berjalan kearah sungai Tuntang di sebelah timur rawa Pening.
“Kita bermalam di tepi sungai Tuntang” kata Sunan Kudus.
“Baik Kanjeng Sunan” kata beberapa santrinya.
“Kita berjalan ke arah Kudus atau langsung menuju ke kotaraja Demak, Kanjeng Sunan? “ tanya salah seorang santrinya.
“Kita langsung ke kotaraja Demak, dari sini kita terus menuju ke timur, menyusur sungai Tuntang, tidak usah lewat jalan ke utara” jawab Sunan Kudus.
“Kita tidak lewat Bandar Bergota ?“ tanya santrinya.
“Tidak usah, lewat Bergota terlalu jauh, jalannya memutar, meskipun sudah agak ramai, saat ini ada beberapa nelayan yang tinggal di daerah Bergota” jawab Sunan Kudus,
"Kalau kita lewat daerah Asem Arang, kita harus menginap semalam lagi, tapi kalau kita menyusuri sungai Tuntang dan kalau perjalanan kita lancar, besok sore kita sudah sampai di kotaraja Demak” kata Sunan Kudus.
“Baik Kanjeng Sunan” kata santrinya.
“Kita bermalam di hutan ditepi sungai, setelah melewati pohon nyamplung itu “kata Sunan Kudus.
Mereka berjalan terus, matahari hampir terbenam, lembayung senja telah menghiasi langit di arah barat
“Kita menuju sungai, sebaiknya kita mandi dulu, setelah itu kita melaksanakan kewajiban kita, sholat Maghrib.” Kata Sunan Kudus.

Malam itu rombongan Sunan Kudus bermalam di hutan, dengan batu titikan dan serabut aren kering, salah seorang santri membuat api, sedangkan santri yang lain mengeluarkan jagung dan ketela pohon.
Dengan berkerudung kain panjang, mereka menikmati ketela bakar dan jagung bakar
”Alangkah nikmatnya jagung bakar ini’ kata salah seorang santri.
“Ya, ketela pohon ini kebetulan mempur, empuk sekali” kata santri lainnya.
Malam itu rombongan Sunan Kudus tertidur nyenyak, dan sebelum fajar, mereka terbangun.
Setelah menunaikan kewajiban sholat Subuh berjama’ah, maka Sunan Kudus mengajak mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sungai Tuntang menuju arah matahari terbit.
Setelah beberapa lama mereka berjalan, mereka hampir sampai disuatu kedung yang tenang.
“Didepan ada Kedung Srengenge, kedung itu dalam, kita sedikit memutar, jangan lewat kedung itu, berbahaya, banyak buaya”, kata Sunan Kudus.
Setelah melewati kedung Srengenge, Sunan Kudus menuju arah utara, dan ketika matahari tepat diatas kepala, rombongan telah tiba di sebuah ara-ara yang keluar apinya, Mrapen.
“Kita beristirahat disekitar tanah yang mengeluarkan api’ kata Sunan Kudus
“Setelah dari daerah Mrapen, kita lanjutkan perjalanan kita, kotaraja Demak sudah dekat” kata Sunan Kudus.
Di kotaraja Demak, matahari hampir terbenam, ketika terlihat Sunan Kudus yang sedang berjalan diikuti tujuh orang santrinya, menuju Kraton Kasultanan Demak.
Dua orang prajurit di pintu gerbang, yang mengenal Sunan Kudus sebagai senapati Perang Kerajaan Demak, mengangguk hormat.
Sunan Kudus memerintahkan para santrinya untuk menunggu diluar pintu gerbang, hanya Sunan Kudus sendiri yang masuk kedalam kraton.
Di ruang dalam, dua orang prajurit Wira Tamtama, prajurit pengawal raja, mengangguk hormat ketika melihat Sunan Kudus.
“Sampaikan kepada Kanjeng Sultan, aku akan menghadap” kata Sunan Kudus.
“Baik Kanjeng Sunan” kata salah seorang prajurit Wira Tamtama, dan langsung berjalan menuju ruang dalam.

Tak lama kemudian Prajurit Wira Tamtama keluar dari ruang dalam dan berkata ”Kanjeng Sunan dipersilakan masuk, ditunggu Kanjeng Sultan di ruang dalam”
“Terima kasih” kata Sunan Kudus, lalu Sunan Kudus berjalan menuju ruang dalam.
Didalam ruangan, sudah menunggu Kanjeng Sultan Patah, dan ketika melihat Sunan Kudus masuk ruangan, Sultan Bintarapun berdiri dan menyambut :”Silakan duduk Kanjeng Sunan”
Setelah mengabarkan keselamatan masing-masing, mulailah Sunan Kudus bercerita mulai dari awal, sampai terbunuhnya Ki Ageng Pengging.
“Hanya satu permintaan Ki Ageng Pengging, rakyat Pengging jangan di sangkut pautkan dengan peristiwa ini” kata Sunan Kudus.
“Baik Kanjeng Sunan, kita anggap persoalan Ki Ageng Pengging sudah selesai, rakyat Pengging tidak akan disangkut pautkan dengan persoalan Adi Kebo Kenanga” kata Sultan Bintara.
"Terima kasih Kanjeng Sultan" kata Sunan Kudus.
“Malam ini Kanjeng Sunan menginap di Demak saja, besok pagi baru ke Kudus” kata Sultan Demak Bintara.
“Terima kasih Kanjeng, hamba mohon diri, besok setelah terbit fajar, hamba langsung pulang ke Kudus”” kata Sunan Kudus,
Setelah berpamitan, maka Sunan Kudus berjalan keluar ruangan, menemui Wira Tamtama. “ Saya beserta tujuh orang santri, diperintahkan Kanjeng Sultan untuk bermalam di Demak”
“Baik Kanjeng Sunan, kamar segera kami siapkan” kata seorang Wira Tamtama.
Malam itu, Sunan Kudus beristirahat dan tidur di Demak, dan ketika keesokan harinya langit diatas Demak sudah terlihat terang, berjalanlah Sunan Kudus diiringi tujuh orang santrinya, meninggalkan kotaraja Demak menuju Kudus.

Hari berganti hari, tujuh hari setelah kematian Ki Ageng Pengging, kembali mendung tebal menyelimuti desa Pengging yang terletak di kaki gunung Merapi.
Pagi itu, udara sejuk di kaki gunung Merapi digetarkan oleh bunyi kentongan satu dua, satu dua, terus menerus tanpa henti.
Seorang petani yang sedang mencangkul di sawah, menengadahkan kepalanya :“Suara kentongan satu dua, ada orang yang meninggal dunia, siapa dia ? “
“Di sebelah selatan, arah rumah Nyai Ageng Pengging” katanya dalam hati.
Diletakkan cangkulnya, lalu dibersihkannya, kemudian dengan cepat ia berjalan menuju rumah Nyai Ageng Pengging.
Ternyata saat itu sudah banyak orang yang berkumpul dirumah Nyai Ageng Pengging,
“Siapakah yang telah meninggal dunia ?” orang itupun bertanya kepada tetangganya.
“Nyai Ageng Pengging telah meninggal dunia” kata tetangganya itu.
Gemparlah seluruh desa Pengging, Nyai Ageng Pengging meninggal dunia tujuh hari setelah meninggalnya Ki Ageng Pengging.

Di desa Tingkir, Nyai Ageng Tingkir berlinang air mata ketika mendengar kabar meninggalnya Nyai Ageng Pengging :“Kasihan Karebet, dia yatim piatu, ayah ibunya telah meninggal dunia”.
Beberapa hari kemudian, di pagi hari yang cerah, di depan makam Ki Ageng Tingkir, duduk seorang perempuan tua, Nyai Ageng Tingkir, kepalanya menunduk hidupnya terasa sepi, angan-angannya melayang, kapan ia bisa menyusul suaminya.
Terbayang adik iparnya, Ki Ageng Pengging yang akan memberinya sesuatu, dan angan-angan Nyai Ageng Tingkir semakin melambung tinggi.
“Ki Ageng Pengging akan ‘ninggali’ sesuatu, memberi sesuatu kepadaku, apa yang akan diberikan Ki Ageng Pengging kepadaku ?” tanya Nyai Ageng Tingkir kepada dirinya sendiri.
Tiba-tiba Nyai Ageng Tingkir tersentak kaget “ Karebet, pasti Karebet !”
“Mas Karebet , pasti Mas Karebetlah yang akan diberikan Ki Ageng Pengging kepadaku” guman Nyai Ageng Tingkir.
Tak lama kemudian, dipelupuk mata Nyai Ageng Tingkir mengalir air mata, lalu iapun berkata :“Ngger Karebet , tunggu sebentar, biyung akan segera menjemputmu ke Pengging”
Nyai Ageng Tingkir segera berdiri, kaki tuanya melangkah pelan, semampunya ia berjalan menuju desa Pengging.

Menjelang sore hari, perlahan-lahan masuklah Nyai Ageng Tingkir ke halaman rumah Nyai Ageng Penging, ditemuinya pengasuh Karebet
“Dimana anakku Karebet ?” tanya Nyai Ageng Tingkir.
“Sejak pagi hari Mas Karebet tidak kelihatan, mungkin bermain dihutan Nyai Ageng” kata pengasuh Karebet.
“Apakah Karebet sering pergi sendiri, padahal usianya baru tiga warsa ?" tanya Nyai Ageng Tingkir.
“Ya Nyai Ageng, Mas Karebet sering bermain di hutan” jawab pengasuhnya.
Malam itu Nyai Ageng Tingkir menginap di rumah Nyai Ageng Pengging, dan malam itu Karebet yang masih kecil tidak pulang kerumah.
"Karebet, kau tidur dimana malam ini ngger” guman Nyai Ageng Tingkir.
Keesokan harinya, ketika langit di arah timur sudah memerah, Nyai Ageng Tingkir masih menunggu kedatangan Karebet, setelah hari menjadi terang, terlihat seorang anak kecil berjalan memasuki halaman rumah Nyai Ageng Pengging,
Melihat kedatangan Karebet, Nyai Ageng Tingkir tidak bisa menahan tangisnya, dan berlari nyongsongnya, Karebet di peluk dan digendongnya masuk ke dalam rumah.
“Anakku Karebet, kau dari mana saja ngger” kata Nyai Ageng Tingkir.
Pagi itu, Nyai Ageng Tingkir mengumpulkan penduduk Pengging, dan berkatalah Nyai Ageng Tingkir dihadapan rakyat Pengging.

”Saudaraku semua rakyat Pengging, saya minta kerelaan hati saudaraku semua, hari ini Mas Karebet akan saya bawa ke Tingkir, sekarang saya yang akan menjadi biyungnya, biarlah disana Karebet menjadi anak saya, nanti apabila Ki Kebo Kanigara pulang ke Pengging dan bertanya tentang Mas Karebet, jawablah, Mas Karebet berada di desa Tingkir, dan sekarang ia telah menjadi anakku” kata Nyai Ageng Tingkir
Setelah berkata demikian, Nyai Ageng Tingkir terdiam sesaat, menunggu jawaban rakyat Pengging, dan ternyata tidak seorangpun rakyat Pengging yang berkeberatan.
Pagi hari itu juga, Nyai Ageng Tingkir membawa Karebet ke desa Tingkir, dan mulai saat itu, Nyai Ageng Tingkir telah mempunyai seorang anak angkat, Karebet.
Di desa Tingkir, Karebet mendapat limpahan kasih sayang yang tulus dari seorang perempuan tua, Nyai Ageng Tingkir.
Matahari masih terlihat terbit di arah timur, tenggelam di arah barat, begitulah alam terus bergerak secara teratur, hari berganti hari, sekian belas warsa telah berlalu, tak terasa Karebet telah menjadi seorang Jejaka tumaruna, seorang Jejaka yang tampan dari Tingkir, Jaka Tingkir.
Saat itu, Kasultanan Demak masih tetap berdiri tegak, dibawah perintah seorang raja, Sultan Trenggana, anak Sultan Patah.
Pedhut ampak ampak terlihat terlihat jelas di puncak gunung Merbabu, ketika seorang pemuda tampan, Jaka Tingkir, menuruni lembah, kembali pulang menuju desa Tingkir.
Sudah dua purnama, Karebet yang sering dipanggil Jaka Tingkir pergi meninggalkan ibunya, untuk belajar ilmu jaya kawijayan guna kasantikan kepada beberapa orang pinunjul.
Di kejauhan, dilihatnya gunung Merapi yang membara dipuncaknya, beberapa purnama yang telah lalu, Jaka Tingkir telah sampai disana, lalu berjalan menjelajah ke beberapa tempat, ke lereng Gunung Lawu, lalu berjalan lurus ke arah selatan, Segara Kidul .

Terbayang wajah Nyai Ageng Tingkir yang cemas sedang menanti kedatangannya.
“Tidak lama, aku pergi hanya dua candra saja“ kata Karebet didalam hati, masih lebih lama ketika ketika dia berada di Sela , setelah dari Sela, berjalan ke arah timur, melewati pinggir bleduk lumpur lalu berbelok ke arah utara, berjalan melingkari gunung Muria, mengunjungi bandar Jepara lalu berjalan menyusuri pantai hingga sampai daerah Asem Arang.
"Hanya dua candra” kata Karebet, dua candra, waktu yang sama seperti ketika dia pergi ke gunung Sumbing , lalu berjalan mendaki gunung Sindoro, diteruskan dengan mendaki ke gunung Prahu yang dipuncaknya terdapat reruntuhan candi.
Kedua kakinya terus melangkah dengan irama yang teratur, menuju desa Tingkir.
Memasuki desa Tingkir, Karebet berjalan cepat menuju rumahnya, dilihatnya seorang perempuan tua sedang menyapu halaman.
Nyai Ageng Tingkir yang sedang menyapu halaman, terkejut dan segera melemparkan sapunya ketika dilihatnya Karebet berjalan ke arahnya.
Dipeluknya badan karebet yang tegap, pelukannya masih seperti ketika dia memeluknya semasa masih anak-anak.
“Ngger anakku Karebet, kau pergi terlalu lama, sudah enam candra kau tidak pulang, kau tinggal biyungmu sendiri dirumah” kata Nyai Ageng Tingkir.
“Tidak biyung, aku hanya pergi dua candra” jawab Jaka Tingkir.
“Enam candra ngger, kau telah pergi terlalu lama, enam candra” kata biyungnya.
“Ya biyung” sahut Karebet yang heran mendengar perkataan Nyai Ageng Tingkir.
Nyai Ageng Tingkir melepaskan pelukannya, masih dengan berurai air mata, dibimbingnya tangan karebet dengan penuh kasih “Makanlah dulu ngger, kau pasti lapar”
“Ya biyung” jawab Karebet.

"Ngger Karebet, bersihkan dulu tanganmu di belakang" kata Nyai Ageng Tingkir menyuruh Karebet kebelakang rumah untuk mencuci tangan dan kakinya, sedangkan dia sendiri sibuk menyiapkan nasi dan sayur serta mengambil kendi yang berisi air minum.
"Kasihan anakku Karebet, ia pasti lapar" kata Nyai Ageng Tingkir dalam hati.
"Makanlah ngger Karebet" kata Nyai Ageng Tingkir.
"Ya biyung' jawab Karebet, dan iapun makan nasi sambil duduk di atas lincak.
"Ngger Karebet anakku, sepasar yang lalu, uwamu, kakang Kebo Kanigara datang kesini mencarimu" kata Nyai Ageng Tingkir.
"Siwa Kebo Kanigara kesini seorang diri biyung?" tanya Karebet.
"Ya, uwamu ke sini sendiri" kata Nyai Ageng Tingkir.
Sambil mengunyah makanan, pikiran Karebet terus melayang, uwanya, Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya, Kebo Kenanga, sudah beberapa kali menemui dirinya di Tingkir, mengamati perkembangan ilmunya, bahkan sering juga mereka berlatih olah kanuragan bersama.
Kebo Kanigara yang mumpuni dalam ilmu kanuragan, sangat memperhatikan perkembangan ilmu Karebet, dan dari Kebo Kanigara lah dia menerima ilmu perguruan Pengging yang pada saat itu didalam dirinya telah luluh dengan ilmu dari beberapa perguruan lainnya.
Sambil terus mengunyah makanan, angan-angannya terus melayang, mengembara tinggi di awan.
Terbayang kembali, ketika setahun yang lalu dirinya berjalan sendiri dari daerah Asem Arang menuju ke arah matahari terbenam.

Dari bandar Bergota, Karebet membawa sebuah bungkusan kecil berisi selembar dua lembar pakaian dan beberapa makanan, berjalan ke arah barat menerobos semak dan perdu, berenang menyeberangi dua sungai besar, dan sampailah dia di hutan yang lebat, Alas Roban.
Matahari yang berada diatas kepalanya, tidak mampu menerobos lebatnya hutan, dan Karebetpun berjalan semakin ke tengah hutan yang rapat dengan pepohonan yang tinggi.
Alas Roban yang penuh dengan pohon-pohon besar, seperti bayang-bayang hantu yang tangannya siap menerkam, tetapi yang akan diterkamnya adalah Karebet, ayam jantan dari Pengging, seorang pemberani, keturunan raja Majapahit, cucu buyut raja Majapahit Prabu Brawijaya Pamungkas.
Karebet berjalan terus, dan ketika dilihatnya didekat sebuah pohon munggur ada sebatang pohon yang roboh melintang di tengah jalan, maka Karebet berniat beristirahat duduk disitu.
Perutnya yg memang sudah terasa lapar, minta segera diisi, kemudian diambilnya dari dalam bungkusan yang dibawanya, sebuah ketela rebus.
"Ketela ini terasa manis" kata Karebet lirih.
Ketika Karebet sedang makan, didengarnya ada suara berisik yang lemah, dan dengan panggrahitanya yang tajam, dia bisa merasakan, ada beberapa pasang mata yg sedang mengawasinya.
Karebet segera berdiri, bersiaga penuh, siap menghadapi segala kemungkinan.
"Silahkan ki sanak keluar, jangan bersembunyi dibalik pohon" kata Karebet.
Tak lama kemudian muncullah empat orang berwajah garang, dengan membawa senjata tajam, mereka mengepung Karebet.
"Begal Alas Roban" kata Karebet.
"Bandha apa nyawa !!" gertak perampok yang berjambang lebat.
"Ki sanak, saya bukan orang kaya, tidak punya harta apapun, saya hanya lewat saja, dan saya harap ki sanak tidak akan mengganggu saya" kata Karebet.
"Serahkan bungkusan yang kau bawa" kata perampok yang bertubuh tinggi kurus.
"Bungkusan ini hanya berisi selembar kain dan sedikit makanan, tidak ada barang berharga apapun didalam bungkusan ini" jawab Karebet.

"Serahkan bungkusan itu atau kau memilih mati disini" sambungnya lagi.
Berhadapan dengan gerombolan begal Alas Roban, Karebet merasa tidak ada jalan lain, selain bertempur.
"Ambilah kalau ki sanak mampu" kata Karebet bersiaga.
Terdengar suitan nyaring dari pemimpinnya, dan ke empat begal Alas Roban segera menyerang Karebet.
Dengan tangkasnya Karebet menghindari ayunan golok perampok yang bertubuh tegap gagah, tetapi belum juga kakinya berdiri mapan, pedang pendek perampok bertubuh tinggi mendesir disamping telinganya, setelah itu disusul tusukan pedang yang hampir bersamaan dari dua perampok lainnya.
Tubuh Karebet bergerak cepat, serangan lawannya dapat dihindari, bahkan ujung jarinya bergerak cepat akan menyentuh leher pemimpin perampok, tapi terpaksa ditarik kembali karena datang serangan tebasan pedang pendek perampok lainnya,
Karebet melompat kebelakang, tapi begal Alas Roban tidak melepaskannya, ke empat perampok itu bergantian menyerang.
Sebuah pedang terjulur ke arah lambung, memaksa Karebet menghindar dengan menggeliat kesamping, disusul datang serangan tendangan kaki dari pemimpin begal, Alas Roban, tidak ada jalan lain selain menangkis dengan sikunya.
Sesaat kemudian terjadi benturan keras, siku Karebet menangkis tendangan kaki pemimpin perampok, dan akibatnya membuat pemimpin perampok terkejut.

Siku Karebet bergetar, tapi kaki pemimpin perampok itu terpental, terlempar kebelakang, terlihat dia berguling sekali, lalu dengan susah payah dia berusaha berdiri, siap untuk menyerang Karebet sekali lagi.
Beberapa saat telah berlalu, perkelahian masih berlangsung cepat, pemimpin gerombolan begal Alas Roban menjadi heran, sudah sekian lama mereka mengeroyok seorang pemuda, tapi belum bisa mengalahkannya.
Jangankan mengalahkan lawannya yang masih muda, menyentuh tubuhnyapun, mereka tidak mampu.
Dengan sepenuh tenaga, pemimpin perampok mengayunkan goloknya, tapi alangkah terkejutnya, ketika telapak tangannya menjadi sakit ketika goloknya seakan-akan membentur sebuah perisai yang tidak terlihat, yang hanya berjarak sekilan dari tubuh pemuda perkasa itu.
Setelah dilihatnya berulang kali, ternyata semua senjata perampok satupun tak ada yang mampu menyentuh tubuh pemuda itu, semuanya membentur tameng tidak terlihat, yang berjarak sekilan dari tubuhnya.
"Anak ini memiliki sebuah ilmu kebal yang luar biasa, ilmu apa ini ?" tanya perampok itu didalam hatinya.
Ternyata bukan hanya gerombolan begal Alas Roban saja yang terkejut melihat benturan senjata dengan perisai yang tidak kasat mata ditubuh Karebet yang berjarak sekilan, seseorang yang sedang berdiri bersembunyi dibalik pohon munggur, juga melihat perkelahian itu dengan heran.
"Ngedab-ebabi, ternyata anak seumur itu sudah mampu menguasai Aji Lembu Sekilan" kata orang tersebut didalam hati, dan iapun semakin memperhatikan gerak Karebet lebih tajam lagi.
Karebet merasa perkelahian itu sudah cukup lama, maka iapun berniat untuk mengakhirinya.

Dengan sebuah tendangan mendatar, tumitnya mengenai pinggang salah seorang perampok, lalu tangannya bergerak cepat memukul tangan yang memegang pedang.
Perampok itu hanya merasa tangannya bergetar keras dan sekejap kemudian, ternyata pedangnya sudah berpindah ketangan lawannya.
Melihat lawannya kini memegang sebuah pedang, begal Alas Roban merasa tidak akan mampu mengalahkan pemuda perkasa itu, maka pemimpin perampok dengan cepat membuat suatu keputusan untuk menyelamatkan diri.
Sekejap kemudian terdengar sebuah suitan nyaring, dan keempat gerombolan begal Alas Roban yang ganas dengan cepat melarikan diri masuk kedalam gerumbul pepohonan di tengah hutan.
Karebet hanya memandang kearah hilangnya para perampok, dan sekarang ditangannya tergenggam sebuah pedang milik salah seorang begal Alas Roban.

Namun sesaat kemudian Karebet terkejut bukan buatan, ketika ia mendengar suara orang batuk, disertai dengan suara gemerisik dibalik pohon munggur.
Ternyata seseorang bersembunyi dibalik pohon munggur tanpa dketahuinya, dan suara nafasnya tidak dapat ditangkap oleh lantipnya panggrahita, pasti dia orang pinunjul, seorang yang mumpuni dalam olah kanuragan.
Karebet tidak sempat berpikir siapa orang yang telah bersembunyi dibalik pohon, yang dapat dilakukan saat itu adalah mengetrapkan Aji Lembu Sekilan sejauh kemampuannya.
Karebet bergerak memutar tubuhnya menghadap ke arah pohon munggur, bersiaga sepenuhnya menghadapi orang yang bersembunyi dibalik pohon itu.
Sekejap kemudian Karebet terlihat berdiri kokoh diatas kedua kakinya yang renggang, jari tangannya dengan kuat menggenggam pedang rampasan, mengetrapkan Aji Lembu Sekilan yang telah manjing dalam dirinya, dalam tingkat kemampuannya yang paling tinggi, dan ia pun telah bersiap sepenuhnya menghadapi serangan orang yang bersembunyi dibalik pohon munggur.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar