Senin, 27 Oktober 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 29

KERIS KYAI SETAN KOBER 29

BAB 11 : NAYAKA PRAJA 1.

Karya : Apung

Mendengar perkataan Adipati Jipang Arya Penangsang, Lurah Radya menganggukkan kepalanya.
"Satu lagi Ki Lurah" kata Arya Penangsang :"Sekarang aku sudah diangkat oleh pamanda Sultan, menjadi seorang Adipati, aku inginkan
Jipang mengadakan pasewakan yang pertama sebelum aku berangkat ke Demak menghadiri pahargyan pengantin Dimas Hadiwijaya"
"Baik Kanjeng Adipati, sebaiknya sebelum dua pasar, Kanjeng Adipati sudah mengadakan pasewakan yang pertama, nanti kalau pasewakan kurang dua tiga hari, para prajurit Wira Manggala yang akan berkelilng jipang menyampaikan wara-wara ke seluruh bebahu Jipang" kata Ki Lurah.
"Baik Ki Lurah, malam ini apakah ada yang perlu dibicarakan lagi ?" tanya Arya Penangsang.
"Tidak ada Kanjeng Adipati" kata Lurah Radya.
"Baik" kata Arya Penangsang, lalu iapun memanggil pembantunya yang setia.
"Rangkud !!" teriak Kanjeng Adipati.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" kata Rangkud.

"Kau antar Ki Lurah Radya ke Sasana Sewaka, biar para prajurit bisa beristirahat disana"
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Rangkud, kemudian iapun berdiri mengantar Ki Lurah Radya menuju Sasana Sewaka.
Setelah Rangkud dan Ki Lurah Radya keluar dari pendapa Kadipaten, maka Arya Penangsangpun berbicara dengan Ki Matahun.
"Paman Matahun" kata Sang Adipati.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati"
"Nanti dalam pasewakan yang pertama yang akan diadakan sebelum kita berangkat ke Demak, aku akan mengangkat beberapa nayaka praja Kadipaten Jipang" kata Arya Penangsang.

Matahunpun mendengarkan semua kalimat yang diucapkan dari junjungannya.
"Aku inginkan kita membuat dua buah rumah lagi, dalem Kesatrian dan dalem Kepatihan"
"Hm Patih, siapakah yang akan diangkat menjadi patih Kadipaten Jipang?" tanya Matahun dalam hati.
"Dalem Kesatrian, sementara bisa digunakan untuk keperluan sentana Jipang, sedangkan dalem Kepatihan aku peruntukkan bagi patih Kadipaten Jipang" kata Arya Penangsang.
"Besok paman menemui tukang kayu dari Jipang, perintahkan untuk membangun dua buah rumah, untuk dalem Kepatihan, nanti paman bisa pilihkan tempat yang tidak jauh dari dalem Kadipaten ini" kata Adipati Jipang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati"
"Ya itu saja, tugas paman Matahun adalah mempersiapkan pasewakan sebelum dua pasar mendatang, lalu membangun dalem Kepatihan dan dalem Kesatrian"
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" jawab Matahun.
"Aku tinggal kedalam dulu" kata Arya Penangsang, lalu iapun masuk kedalam kamar.

Waktu berjalan terus, malampun semakin larut, yang terdengar hanya suara cengkerik yang membelah sepinya malam.
Ketika terdengar kentongan yang ditabuh dengan irama dara muluk, beberapa orang berguman perlahan :"Tengah malam"
Diujung malam, bias sinar merah telah membayang di ufuk timur, kokok ayam jantanpun bersahutan, dan kawula Jipangpun telah bangun dari tidurnya.

Di Sasana Sewaka Jipang, para prajurit Wira Manggala Demak dibawah pimpinan Lurah Radya, bergantian membersihkan diri di sebuah sungai yang tak jauh dari dalem Kadipaten Jipang, untuk memulai tugas mereka dibawah perintah Adipati Jipang, Arya Penangsang.
Sementara itu pada saat yang bersamaan, di Pajang, para prajurit Wira Manggala dibawah pimpinan Lurah Wasana sudah bersiap untuk melaksanakan perintah dari Adipati Pajang, Hadiwijaya, untuk menyebarkan wara-wara tentang pasewakan yang akan diadakan dua hari lagi, yang wajib diikuti oleh semua bebahu se Kadipaten Pajang.
"Ki Lurah Wasana" kata Adipati Hadiwijaya kepada Lurah Wasana yang berada di pendapa bersama beberapa sahabatnya.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" jawab Lurah Wasana.
"Ki Lurah, kalau Ki Lurah berkeliling menemui para bebahu diseluruh Pajang, nanti bisa diantar oleh salah seorang dari kami" kata Kanjeng Adipati.
"Terima kasih Kanjeng Adipati" kata Lurah Wasana
"Ki Wuragil, Mas Manca, dan Jaka Wila" kata Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" kata mereka bertiga
"Kalian antar Ki Lurah Wasana berkeliling diseluruh bebahu Pajang, berkuda" kata Adipati Pajang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati"

Lurah Wasana bersama Wuragil, Mas Manca dan Jaka Wila kemudian turun dari pendapa menemui para prajuritnya yang berada diluar.
"Para prajurit yang akan ke Pengging supaya naik kuda bersama Ki Manca, yang ke butuh bersama Ki Jaka, sedangkan Ki Wuragil bersama saya berkelling desa Pajang" kata Lurah Wasana.
Demikianlah tak lama kemudian tiga orang prajurit bersama Mas Manca bekuda menuju desa Butuh, sedangkan tiga orang lainnya menuju Pengging bersama Jaka Wila, sedangkan Ki Lurah beserta dua orang prajurit yang lain berkuda bersama Wuragil.
Tiga kelompok prajurit Wira Manggala bergerak berpencar di bumi Pajang, menyampaikan wara-wara kepada semua bebahu Pajang tentang akan diadakannya pasewakan di Kadipaten Pajang dua hari kagi.
Sementara itu, di desa Butuh, Ki Ageng Butuh memberikan nasehat kepada anaknya, Wenang yang sudah beberapa waktu yang lalu mengabdikan dirinya di Kadipaten Pajang dan sekarang akan berangkat lagi ke Pajang.
"Kau jaga dirimu, tindakanmu dan ucapanmu di Pajang, Wenang" kata Ki Ageng Butuh :"Sampaikan kepada Kanjeng Adipati, aku bersama Ki Ageng Ngerang bersedia ikut ke kotaraja Demak dalam acara lamaran dan pahargyan pengantin".
"Baik ayah, akan saya sampaikan, saya mohon diri, berangkat ke Pajang sekarang" kata Wenang.
"Ya, ayah hanya bisa nyangoni slamet" kata Ki Ageng Butuh sambil mengusap kepala anaknya.
Kemudian Wenangpun keluar dari pendapa rumahnya, berjalan menuju ke Pajang.

Tugas dari Adipati Pajang, Hadiwijaya telah dilaksanakan dengan baik, pemberitahuan ke ayahnya tentang pasewakan di Kadipaten Pajang dua hari lagi dan nanti akan disusul oleh pemberitahuan resmi oleh para prajurit Wira Manggala,
Satu lagi tugas dari Adipati Hadiwijaya, yaitu menemui beberapa pande besi untuk membuat lima puluh pedang pendek dan dua puluh bilah mata tombak, telah dilaksanakan kemarin.
Matahari terus merayap naik, dengan ringan Wenang melangkahkan kaki melewati hutan di luar desa Butuh.
Ketika matahari sudah tinggi, Wenang melihat, didepannya ada empat ekor kuda yang sedang menuju ke arahnya.
Empat ekor kuda itu berlari tidak begitu kencang, sebentar lagi mereka akan berpapasan dengan Wenang.
"Empat ekor kuda itu berlari kelihatannya sedang menuju ke desa Butuh, siapa mereka?" kata Wenang dalam hati.
Ketika semakin lama empat ekor kuda berpenunggang itu semakin dekat, maka penunggangnyapun semakin jelas.
"Itu Mas Manca bersama tiga orang prajurit Wira Manggala" kata Wenang dalam hati, dan Wenangpun berjalan terus, semakin lama semakin dekat dengan rombongan prajurit Wira Manggala.

Ketika mereka sudah berhadapan, Wenang melihat keempat orang itu turun dari kudanya, kemudian merekapun menghampirinya.
Mas Mancapun memperkenalkan Wenang kepada tiga orang prajurit Wira Manggala sebagai salah seorang penghuni Kadipaten Pajang, yang seperti dirinya, mengabdi kepada Adipati Hadiwijaya.
"Kami akan menuju ke desa Butuh" kata salah seorang prajurit Wira Manggala.
"Ya, Ki Ageng Butuh sudah menunggu kedatangan petugas dari Kadipaten Pajang" kata Wenang.
"Terima kasih, kami akan melanjutkan perjalanan ke desa Butuh" kata prajurit itu.
"Silahkan, saya juga akan melanjutkan perjalanan ke Pajang" kata Wenang, kemudian dilihatnya tiga orang prajurit bersama Mas Manca segera naik ke punggung kudanya, dan sesaat kemudian kuda-kuda itupun berlari dan hanya meninggalkan hamburan debu, berlari menuju desa Butuh. .
Sesaat kemudian Wenangpun kemudian melanjutkan perjalanannya, berjalan kaki menuju ke Pajang.
Matahari terus bergerak naik, dan ketika matahari hampir sampai di puncak langit, Wenang yang berjalan tanpa henti telah memasuki tanah lapang di depan dalem kadipaten.
Wenangpun kemudian berjalan ke pendapa menemui Adipati Hadiwijaya yang sedang membersihkan kotak kayu berukir tempat untuk menyimpan perhiasan yang akan digunakan sebagai perlengkapan acara lamaran.
"Bagaimana perjalananmu dari Butuh, Wenang ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Atas doa restu Kanjeng Adipati, perjalanan saya dari Butuh lancar, tadi diperjalanan juga bertemu dengan Mas Manca bersama tiga orang prajurit Wira Manggala"
"Ya, bagaimana keadaan kesehatan Ki Ageng Butuh ?" tanya Adipati Pajang.
"Ayah dalam keadaan sehat, dan nanti dalam acara pahargyan pengantin, ayah bersedia untuk ikut ke kotaraja Demak bersama Ki Ageng Ngerang" jawab Wenang.
"Terima kasih Wenang" kata Hadiwijaya yang merasa senang karena kedua orang tua itu bersedia mendampinginya ke kotaraja Demak.

Belum selesai mereka berbicara, dari arah barat mereka melihat sebuah pedati yang berjalan perlahan-lahan menuju dalem kadipaten, dan terlihat empat orang sedang berjalan disampingnya, dua orang berjalan di sebelah kanan dan dua orang berjakan di sebelah kiri pedati.
"Wenang, coba kau lihat pedati yang menuju kemari itu, tanya dari mana dia" perintah Kanjeng Adipati.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" jawab Wenang.
Dengan cepat Wenangpun berjalan menyongsong pedati yang menuju dalem kadipaten, menghentikan dan menanyakan beberapa hal, setelah itu iapun berjalan kembali ke pendapa bersama empat orang yang baru saja datang.
"Pedati itu datang dari Pengging Kanjeng Adipati, bersama Krama Sungging beserta tiga orang saudaranya, membawa bahan pangan dan sebuah kursi beserta ploncon untuk menyimpan beberapa buah keris" kata Wenang setelah sampai dihadapan Hadiwijaya.
"Ya, siwa Krama Sungging, beserta tiga saudaranya, selamat datang di Pajang, nanti siwa bisa langsung bekerja. Wenang, turunkan muatan yang ada di pedati, kursi dan plonconnya dibawa ke pendapa, lalu bahan pangannya dimasukkan ke dalam gubug" kata Adipati Pajang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" jawab Wenang, lalu bersama Krama Sungging dan beberapa orang saudaranya, mereka menurunkan beberapa bahan pangan dan menyimpannya ke dalam gubug.
Ketika semua bahan pangan sudah dimasukkan ke dalam gubug, kursi dan plonconpun segera dimasukkan di ruangan dalem Kadipaten, dan setelah itu, pedati bersama saisnyapun berjalan kembali, pulang ke Pengging.

Waktu berjalan terus, ketika matahari telah condong kebarat, dua orang telah tiba di dalem kadipaten dengan menggandeng tiga ekor kuda beban.
Ketika Wenang menghadap Adipati Hadiwijaya, memberitahukan kalau ada dua orang yang telah datang, dan salah satunya adalah Pemanahan yang datang bersama seorang yang berumur setengah baya, maka Hadiwijayapun bergegas keluar menemuinya.
Ketika Adipati Hadiwijaya melihat orang itu, iapun tersenyum gembira karena ternyata Pemanahan berangkat dari Sela bersama ayahnya, Ki Ageng Nis, putra dari Ki Ageng Sela.
"Selamat datang kakang Pemanahan, selamat datang Ki Ageng Nis Sela, selamat datang di Kadipaten Pajang" kata Adipati Hadiwijaya.
"Lama kita tak berjumpa, hormat saya untuk Kanjeng Adipati Hadiwijaya" kata Ki Ageng Nis Sela.
Hadiwijaya tersenyum, Ki Ageng Nis adalah teman berlatih olah kanuragan, ketika ia masih belajar di perguruan Sela.
Kecepatan gerak Ki Ageng Nis yang luar biasa membuatnya tidak mudah untuk dikalahkan, tetapi Ki Ageng Nis juga sulit untuk mengalahkannya karena Hadiwijaya adalah orang yang tangguh tanggon.
Hadiwijayapun kemudian berkata kepada Pemanahan :"Kau bawa senjata untuk para prajurit Pajang kakang Pemanahan ?"
"Ya Kanjeng Adipati, saya bawa seratus buah pedang dan dua puluh mata tombak, semuanya ada di punggung tiga ekor kuda beban itu" kata Pemanahan.
"Terima kasih kakang Pemanahan" kata Adipati Hadiwijaya, kemudian Kanjeng Adipatipun berkata :"Wenang, kau bantu menurunkan pedang dan mata tombak dari punggung kuda, letakkan dulu disudut Sasana Sewaka"
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Wenang, lalu iapun segera berjalan keluar dari pendapa dan menurunkan beberapa ikat pedang dan mata tombak yang berada di atas punggung kuda.
"Ki Ageng Nis dan kakang Pemanahan, silahkan beristirahat di Sasana Sewaka atau di gubug kita, atau silahkan kalau ingin membersihkan diri di sungai, nanti malam kita semuanya berkumpul, ada yang perlu kita bicarakan" kata Adipati Pajang.

"Baik Kanjeng Adipati" kata Pemanahan, kemudian Pemanahan bersama ayahnya, Ki Ageng Nis keluar dari pendapa menuju gubug yang berada tidak jauh dari dalem kadipaten.
Menjelang senja, semua rombongan prajurit Wira Manggala yang berkeliling di seluruh Pajang telah kembali ke dalem kadipaten dan ketika hari mulai gelap maka merekapun beristirahat di Sasana Sewaka.
Beberapa saat kemudian, setelah makan malam, di pendapa dalem Kadipaten telah berkumpul beberapa orang yang duduk bersila di lantai, beralaskan anyaman daun kelapa, menunggu keluarnya Adipati Hadiwijaya dari dalam kamar.
Nyala pelita kecil yang terpasang menempel di kayu saka, hanya menghasilkan seberkas cahaya yang redup, apinya begerak terus karena terusap angin malam yang berhembus masuk ke dalam pendapa.
Sesaat kemudian Adipati Hadiwijaya keluar dari ruang dalam, berjalan menuju sebuah dingklik besar yang berada tak jauh dari pelita yang menyala.
Setelah Adipati Hadiwijaya duduk, maka dilihatnya semua yang hadir, Pemanahan, Penjawi, Wuragil, Mas Manca, Jaka Wila, Wenang, ditambah Ageng Nis Sela dan Lurah Wasana dari kesatuan prajurit Wira Manggala, Demak..
"Sudah lengkap semua" kata Hadiwikaya.
"Kita akan berbicara tentang pasewakan yang akan kita adakan besok lusa, Ki Lurah Wasana, bagaimana wara-wara yang telah dilakukan oleh para prajurit Wira Manggala si seluruh tlatah Pajang ?" tanya Adipati Hadiwijaya sambil memandang ke arah Lurah Wasana.
"Semua sudah saya laksanakan Kanjeng Adipati, diseluruh bumi Pajang para bebahu sudah diberitahu tentang pasewakan yang akan diadakan besok lusa di Sasana Sewaka Kadipaten Pajang" kata Lurah Wasana
"Terima kasih Ki Lurah, lalu untuk acara pasewakan besok lusa, aku akan mengangkat beberapa orang menjadi nayaka praja Kadipaten Pajang, nanti akan aku angkat seorang patih, dua orang menjadi bupati njero, dua orang menjadi perwira prajurit Pajang, dan yang seorang saya angkat mejadi sentana dalem, menjadi seorang Pangeran" kata Adipati Hadiwijaya.

Semua yang hadir mendengarkan semua perkataan Adipati Hadiwijaya dan hanya bisa bertanya dalam hati, siapakah nanti yang akan diangkat menjadi nayaka praja Kadipaten Pajang.
"Besok pada waktu pasewakan, Ki Pemanahan, Ki Penjawi, Ki Wuragil, Mas Manca, Jaka Wila, dan Wenang supaya duduk dihadapanku dilajur yang paling depan, dan aku minta salah seorang prajurit Wira Manggala bisa menjadi seorang pranatacara di acara pasewakan tersebut, bagaimana ki Lurah Wasana ?" tanya Sang Adipati..
"Baik Kanjeng Adipati, pranatacara nanti bisa dari salah seorang prajurit Wira Manggala" kata Lurah Wasana.
"Pada waktu pasewakan, aku minta para prajurit Wira Manggala berjaga disekitar dalem kadipaten, disamping itu ada yang mencatat kehadiran para bebahu, catat siapa saja yang tidak hadir pada acara pasewakan, dan mulai besok supaya ada dua orang prajurit yang mencatat pemberian asok bulu bekti yang masuk di dalem kadipaten" kata Adipati Hadiwijaya.
"Baik Kanjeng Adipati" kata Lurah Wasana.
"Selanjutnya nanti bagi yang diangkat, akan aku serahkan sebuah layang kekancingan sebagai tanda telah resmi menjadi nayaka praja Kadipaten Pajang" kata Adipati Hadiwijaya selanjutnya.
"Nuwun sewu Kanjeng Adipati, apakah Kanjeng Adipati sudah mempersiapkan layang kekancingan yang akan diserahkan nanti ?" tanya Ki Ageng Nis Sela.
"Belum Ki Ageng, rencananya besok akan saya tulis diatas potongan kain, aku tidak sempat membuat dari kulit binatang yang untuk mengeringkannya membutuhkan waktu dua tiga pasar" kata Kanjeng Adipati.
"Kalau Kanjeng Adipati berkenan, dari Sela saya membawa lembaran kulit kambing yang bisa dibuat sebagai layang kekancingan" kata Ki Ageng Nis Sela.
"Terima kasih Ki Ageng Nis Sela, memang kulit kambing lebih baik daripada kain, seperti layang kekancingan yang aku terima dari Kanjeng Sultan Trenggana yang terbuat dari kulit kambing" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Baik, nanti akan saya serahkan Kanjeng Adipati"

"Terima kasih Ki Ageng, selain itu aku mohon kepada Ki Ageng untuk bisa ikut ke kotaraja Demak, di acara lamaran dan pahargyan pengantin bersama beberapa sesepuh yang lain" pinta Adpiati Hadiwijaya.
"Baik Kanjeng Adipati, saya bersedia ikut ke Demak" kata Ki Ageng Nis Sela.
"Terima kasih Ki Ageng, nantinya sesepuh yang ikut ke Demak adalah, Ki Buyut Banyubiru, Ki Majasta, Ki Wuragil, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan Ki Ageng Nis Sela, tentunya di Kadilangu Demak telah ada pula Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Hadiwijaya yang sengaja tidak menyebut nama uwanya, Kebo Kanigara.
"Sesepuh yang ikut ke Demak, nanti bisa ditambah seorang dua orang dari desa Tingkir, dan setelah pasewakan nanti, aku akan mengunjungi desa Tingkir, untuk mohon doa restu pada biyungku Nyai Ageng Tingkir" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ternyata cukup banyak sesepuh yang mendampingi Kanjeng Adipati ke Demak" kata Ki Ageng Nis Sela.
"Ya Ki Ageng meskipun tidak ada sesepuh perempuannya"
"Tidak apa apa Kanjeng Adipati, karena ibunda Kanjeng Adipati, Nyai Ageng Pengging sudah lama meninggal dunia" kata Ki Ageng Nis Sela
"Ya, saat ini biyung angkat Nyai Ageng Tingkir sudah sepuh sekali, sudah banyak yang lupa" kata Adipati Pajang.

Semuanya yang hadir terdiam mendengarkan Hadiwijaya berbicara, kemudian Adipati Pajangpun meneruskan :" Ki Ageng coba aku lihat kulit kambing yang nanti akan dibuat menjadi serat kekancingan"
Ki Ageng Nis Selapun segera berdiri dan berjalan menuju Sasana Sewaka mengambil kulit kambing yang berada di dalam bungkusan yang dibawanya, selembar kulit kambing yang telah kering dan telah dibersihkan bulunya.
Setelah mengambil kulit, maka Ki Ageng Nis kemudian kembali berjalan menuju pendapa kadipaten Pajang.
Ki Ageng Nis Sela kemudian menyerahkan kulit kambing yang dalam keadaan tergulung kepada Adipati Hadiwijaya.
"Kulit ini lebar, cukup kalau dipotong dan dibagi menjadi enam bagian, Ini adalah kulit kambing yang baik, jauh lebih baik dibandingkan dengan tulisan di daun lontar, yang banyak kita jumpai di dalam Kraton." kata Adipati Hadiwijaya.
"Kebetulan kulit itu sudah ada di Sela sejak satu dua candra yang lalu Kanjeng Adipati" kata Ki Ageng Nis.
Hadiwijaya masih melihat kulit yang dipegangnya, kemudian iapun berkata :"Kulit yang halus"
"Apakah masih ada yang perlu dibicarakan lagi ?" tanya Adipati Pajang, Hadiwijaya.
Tidak ada seorangpun yang menjawab, semua hanya saling berpandangan.
"Kalau tidak ada yang akan dibicarakan lagi, silakan dibubarkan, aku akan masuk kedalam" kata Hadiwijaya, lalu iapun masuk ke ruangan dalam.
Malam itu, seperti pada malam-malam lainnya, gelap dan sepi menyelimuti di seluruh bumi Pajang.

Keesokan harinya, ketika fajar menyingsing, kesibukan mulai membuat Pajang menggeliat, ternyata di daerah yang dulu dikenal dengan nama bulak amba sekarang telah menjadi semakin ramai.
Di beberapa tempat, terlihat belasan orang sedang bersiap membersihkan lahan untuk membangun rumah, mereka bukan orang Pajang, tetapi berasal dari jauh, banyak orang yang memutuskan untuk pindah ke Pajang setelah Pajang berubah menjadi sebuah Kadipaten,
Hanya beberapa candra setelah pembuatan dalem kadipaten, daerah Pajang telah menjadi semakin ramai, bahkan agak kesebelah timur ada suatu tempat yang dipergunakan oleh banyak orang Pajang untuk melakukan jual beli ataupun tukar menukar barang.
Didaerah itulah, besok kalau Pajang sudah menjadi semakin ramai, nantinya bisa menjadi cikal bakal sebuah pasar yang ada di kotaraja Pajang.
Matahari sudah semakin tinggi, di Sasana Sewaka terlihat ada beberapa kesibukan berkaitan dengan akan diadakannya pasewakan pada esok hari.
Puluhan pedang dan mata tombak yang dibawa dari Sela oleh Ki Pemanahan yang kemarin berada di Sasana Sewaka telah disingkirkan dan dimasukkan kedalam gubug yang ada di sekitar dalem kadipaten, demikian juga dengan beberapa peralatan milik pasukan Wira Manggala, semuanya juga dimasukkan kedalam gubug.

Ketika matahari semakin tinggi, beberapa orang telah tiba di dalem kadipaten, belasan orang bebahu dengan membawa beberapa hasil bumi, yang akan dihaturkan sebagai asok bulu bekti kapada Adipati Pajang.
Ada yang membawa padi, beras, jagung, kelapa, ubi atau ketela, bahkan ada yang berupa hewan peliharaan, beberapa ekor ayam dan kambing.
Para bebahu datang ke dalem kadipaten secara berurutan terus menerus, bergantian menyerahkan tanda setia kepada Kanjeng Adipati Pajang.
Ada beberapa bebahu yang datang sendiri, tetapi ada pula yang mengutus beberapa orang untuk datang ke dalem kadipaten.
Beberapa prajurit Wira Manggala sibuk mengatur penempatan dan penyimpanan hasil bumi yang datang, semuanya telah dimasukkan kedalam beberapa gubug.
Meskipun di sasana Sewaka dan di gubug-gubug disekitar dalem kadipaten terlihat kesibukan, tetapi pembuatan beberapa rumah dan pembuatan sebuah sumur masih tetap berlangsung.
Para tukang masih tetap bekerja menyelesaikan rangka bangunan rumah yang terlihat sudah hampir lengkap.
Pemanahan dan Penjawi tetap membantu beberapa pekerjaan, demikian juga dengan Jaka Wila dan Mas Manca, sedangkan Wenang membantu di dalem kesatrian.
"Dari tadi pagi Kanjeng Adipati tidak keluar dari kamarnya" kata Wenang didalam hatinya.

Di dalem Kadipaten, Adipati Hadiwijaya sedang sibuk membuat beberapa serat kekancingan yang besok akan diserahkan kepada nayaka praja Kadipaten Pajang.
Dengan pedang pendeknya, Hadiwijaya memotong kulit kambing menjadi lembaran kulit yang lebarnya sejengkal dan semuanya berjumlah enam buah.
Kemudian Adipati Hadiwijaya menulis serat kakancingan satu demi satu, dan saat ini yang ditulisnya adalah sebuah nama baru untuk seseorang yang akan diangkat sebagai nayaka praja, berpangkat bupati njero.
Kulit kambing itu digores dengan ujung sebuah pisau yang agak tumpul, sehingga membekas goresan dan membentuk sebuah tulisan yang bisa dibaca, Wa wulu, La nglegena, Ma layar. Ta nglegena.
"Ini nama baru sebagai bupati njero Kadipaten Pajang" kata Hadiwijaya dalam hati.
Adipati Hadiwijaya kemudian menulis beberapa serat kekancingan yang lainnya. Penunjukan tugas bagi para sahabatnya untuk menjadi nayaka praja telah dipikirkan masak-masak, dan telah disesuaikan dengan kemampuannya.
Matahari telah condong kebarat, di depan pendapa dalem kadipaten, prajurit Wira Manggala yang bertugas masih menerima beberapa orang bebahu yang datang dengan membawa hasil bumi, kemudian hasil bumi itupun dimasukkan ke dalam gubug.
"Besok disini perlu dibuatkan sebuah lumbung yang besar, yang bisa menampung seluruh asok bulu bekti yang berupa hasil bumi dari para bebahu Pajang". Kata Wenang yang ikut membantu membawa padi ke dalam gubug.

Demikianlah, sore itu kesibukan menerima asok bulu bekti berupa hasil bumi dari para bebahu telah selesai,
Malam harinya, ketika para prajurit telah berkumpul dan beristirahat di Sasana Sewaka, Ki Ageng Nis sedang duduk bersila bersama Pemanahan dan Penjawi, disebelahnya ada juga Wuragil, Mas Manca, Jaka Wila dan Wenang.
"Besok pagi pada waktu pasewakan, kalian harus bersiap untuk memangku jabatan apapun yang akan diberikan oleh Kanjeng Adipati Hadiwijaya, bahkan kalian juga harus bersikap legawa kalau kalian tidak diberi jabatan apapun" kata Ki Ageng Nis Sela.
Mendengar perkataan ayahnya, Pemanahan dan Penjawi menganggukkan kepalanya, demikian juga mereka yang ikut mendengarkan, semuanya setuju dengan kalimat yang diucapkan oleh Ki Ageng Nis Sela.
Mereka masih berbicara dan bercerita di pendapa sampai wayah sepi bocah, dan ketika sudah memasuki wayah sepi wong, maka mereka bersama para prajurit telah beristirahat, berbaring di Sasana Sewaka, diatas anyaman daun kelapa.
Sasana Sewakapun telah mulai sepi, demikian juga di dalem kadipaten, Adipati Hadiwijaya yang sedang berbaring menganyam angan-angan terkejut ketika mendengar suara burung kedasih yang terdengar dekat sekali dengan dinding rumahnya.

Dengan cepat Hadiwijaya bangkit dari pembaringan, lalu diambilnya keris Kyai Naga Siluman dari tempatnya, keris yang berbentuk naga yang separo badannya masuk ke bilah keris, bermahkota kinatah emas, yang dimulutnya menggigit sebutir berlian.
Adipati Hadiwijayapun kemudian menyelipkan keris Kyai Naga Siluman kedalam bajunya dan dengan perlahan-lahan ia menyelinap keluar melalui pintu belakang, dan ketika ia sudah sampai di dekat sumur di halaman belakang yang hampir selesai dikerjakan, maka dengan tangkasnya ia bergerak cepat tanpa mengeluarkan suara, mengejar suara burung kedasih yang bergerak menjauh.
Suara burung kedasih masih terdengar lamat-lamat diarah barat, dan Adipati Hadiwijayapun masih berlari mengejarnya
"Cepat sekali, aku tak mampu mengejarnya" kata Adipati Hadiwijaya dalam hati.
Setelah beberapa saat ia berlari, dan telah agak jauh dari dalem kadipaten, suara burung kedasih yang terus menerus berbunyi tiba-tiba telah berhenti, dan didepannya nampak seseorang yang bentuk tubuhnya telah dikenalnya, sedang menanti dirinya, duduk diatas sebatang kayu yang melintang.
Setelah dekat dengan orang itu maka Adipati Hadiwijayapun berkata :"Siwa Kebo Kanigara?"
"Ya, duduklah" kata siwanya.

Adipati Hadiwijaya melangkah kedepan, mencium tangan siwanya, lalu iapun duduk disebelahnya.
"Bagaimana persiapanmu tentang pasewakan besok pagi?" tanya uwanya.
"Semuanya sudah siap wa, mulai tadi pagi para bebahu telah datang menyerahkan hasil bumi ke dalem kadipaten" kata Adipati Pajang.
"Ya, aku sudah melihatnya di gubug, para bebahu yang menyerahkan hasil bumi banyak sekali, kelihatannya para bebahu di seluruh Pajang tidak ada yang mbalela terhadap Kadipaten Pajang"
"Mudah-mudahan besok pagi semua bebahu bisa datang di Sasana Sewaka"
"Serat kekancingan untuk nayaka praja sudah kau persiapkan ?" tanya Kebo Kanigara.
"Sudah wa, saya diberi selembar kulit kambing dari Ki Ageng Nis dari Sela" kata Kanjeng Adipati.
"Ya, aku lihat Ki Ageng Nis Sela, tadi ia berada di pendapa" kata uwanya.
"Ya wa, semua yang akan menjadi nayaka praja sudah aku tulis di kulit kambing, dan besok pagi akan saya berikan pada saat pasewakan"
"Lalu jabatan apa saja yang kau berikan kepada mereka ?" tanya uwanya.

Hadiwijayapun kemudian menjelaskan siapa saja yang akan diangkat sebagai kepala prajurit, sebagai bupati dalam, sebagai sentana dalem seorang pangeran, dan sebagai patih Kadipaten Pajang.
"Ya, pilihanmu sudah tepat Hadiwijaya, mudah-mudahan semua bisa legawa menerima jabatan yang diberikan kepadanya" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa" kata Adipati Hadiwijaya.
"Lalu kapan rencanamu akan pamit ke biyungmu di Tingkir?"
"Nanti wa, saya rencanakan setelah pasewakan, mungkin dua tiga hari lagi dan nanti saya akan menginap di Tingkir, menemani biyung semalam" kata Sang Adipati,
"Bagaimana dengan keadaan biyungmu nyai Ageng Tingkir ?" tanya uwanya.
"Biyung masih sehat, tetapi sudah agak pikun wa, sekarang dirawat oleh paman Ganjur" kata Hadiwijaya.
"Pamanmu Ganjur, kalau wadagnya masih mampu naik kuda, sebaiknya kau ajak juga ke kotaraja Demak, sebagai ganti biyungmu yang tidak bisa datang ke kotaraja Demak"
"Baik wa" kata Adipati Hadiwijaya.

(bersambung)



Kamis, 23 Oktober 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 28


KERIS KYAI SETAN KOBER 28

KARYA : APUNG SWARNA

BAB 10 : KANJENG ADIPATI 3

"Satu lagi Wenang, ini mendahului wara-wara yang nanti akan disampaikan oleh para prajurit Wira Manggala, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Butuh, bahwa tiga hari lagi akan ada pasewakan yang pertama di Sasana Sewaka Kadipaten Pajang, diharapkan semua bebahu di kadipaten Pajang bisa hadir di Sasana Sewaka" kata Adipati Hadiwijaya.
"Besok pagi prajurit Wira Manggala akan mengunjungi setiap bebahu di semua wilayah yang masuk dalam lingkup Kadipaten Pajang, termasuk desa Butuh dan desa Pengging" kata Adipati Hadiwijaya.
"Wenang, kau berangkat ke Butuh pagi ini, sedangkan untuk pengawasan pembangunan rumah termasuk pembangunan dalem ksatrian, nanti bisa diawasi dan dibantu oleh Mas Manca, Ki Wuragil dan kakang Penjawi" kata Adipati Pajang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Wenang.
"Aku hari ini akan ke Pengging, menyiapkan uba rampe acara lamaran, karena aku harus mencari beberapa barang yang akan dibawa ke kotaraja, sesuai saran yang diberikan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga " kata Hadiwijaya selanjutnya.
"Ya, Wenang, kapan kau berangkat ke Butuh?"
"Saya berangkat sekarang Kanjeng Adipati, mohon pamit, besok siang saya kembali lagi ke Pajang" kata Wenang.
"Ya, hati-hati dijalan" kata Hadiwijaya.

Kemudian, setelah itu pertemuanpun dibubarkan, Wenang segera bersiap untuk pergi ke Butuh, sedangkan Wuragil, Penjawi beserta Mas Manca segera bekerja bersama beberapa tukang, meneruskan pekerjaan membangun rumah.
Adipati Hadiwijayapun segera masuk ke kamarnya bersiap untuk pergi ke Pengging, untuk mengambil beberapa barang uba rampe lamarannya terhadap Sekar Kedaton Kasultanan Demak.
Dikamarnya, Adipati Hadiwijaya segera mengambil keris pusaka Kyai Naga Siluman, lalu dipakainya dengan cara nyote, diselipkan pada lambung depan sebelah kiri, lalu ditutup dengan baju yang dipakainya.
"Hm mulai sekarang setiap aku pergi, aku harus membawa keris pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang" desis Sang Adipati.
Setelah menyelipkan kerisnya, maka Hadiwijaya segera menghampiri kudanya, sesaat kemudian seekor kuda berlari meninggalkan Kadipaten Pajang menuju Pengging dengan Hadiwijaya berada di punggungnya.
Kuda yang ditunggangi Hadiwijaya berlari tidak terlalu cepat, hari masih pagi, sehingga penunggangnya tidak perlu merasa tergesa-gesa.
Udara yang sejuk, titik-titik embun yang mulai menguap di pucuk dedaunan, mengiringi derap langkah kaki kuda yang ditunggangi Adipati Pajang.
"Udara yang sejuk" kata Hadiwijaya dalam hati.
Ketika memasuki desa Pengging, sebelum sampai ke rumahnya, kudanya dibelokkan menuju salah satu rumah di sudut jalan simpang yang membelah desa Pengging.
Kuda Adipati Hadiwijaya memasuki halaman sebuah rumah yang cukup besar, lalu kuda itu berhenti di bawah pohon disudut halaman, penunggangnyapun turun setelah menambatkan tali kendali kuda ke tonggak yang ada di dekat pohon.
Dari dalam rumah keluar seorang tua, tetapi tubuhnya masih terlihat sehat, tangannyapun terlihat kuat.

Orang tua itupun terkejut ketika melihat tamu yang mengunjunginya, dan sambil membungkukkan badannya iapun berkata :"Selamat datang Kanjeng Adipati Hadiwijaya"
Meskipun heran dengan ucapan orang tua itu, Hadiwijaya menjawabnya :"Terima kasih siwa Krama Sungging"
"Silahkan naik ke pendapa Kanjeng Adipati" kata Krama Sungging.
Adipati Hadiwijayapun kemudian naik ke pendapa, dan duduk pada amben yang telah berada disana, dan Karma sunggingpun tidak mau duduk diamben, dia memilih duduk bersila dilantai.
"Kau selamat siwa Krama Sungging?" tanya Kanjeng Adipati.
"Atas pangestu Kanjeng Adipati, saya sekeluarga selamat tak kurang suatu apa" jawab Krama Sungging.
"Siwa Krama Sungging, darimana kau mengetahui aku telah menjadi seorang Adipati dan sekarang aku mendapat nama baru, Hadiwijaya?" tanya Hadiwijaya.
"Semua orang Pengging sudah tahu Kanjeng Adipati, tadi pagi, setelah bersama pulang dari langgar, saya telah diberi tahu oleh kakang Purwa, abdi setia sejak Ki Ageng Pengging, yang setia menunggu rumah Kanjeng Adipati di Pengging" kata Krama Sungging.
Adipati Hadiwijaya menganggukkan kepalanya, meskipun ia heran, darimana pembantu yang sekarang menunggu rumah peninggalan Ki Ageng Pengging bisa mengetahui kejadian yang terjadi di kotaraja.
"Siwa Krama Sungging, aku datang kemari menginginkan kau dan saudara-saudaramu bekerja menghias dalem kadipaten terutama kayu sakanya dengan beberapa ukir-ukiran yang disungging dengan warna yang indah" kata Kanjeng Adipati.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati"

"Berapa orang saudaramu yang bisa mengukir dan menyungging?"
"Ada empat orang Kanjeng Adipati, yang bungsu merangkap menjadi tukang kayu" jawab Krama Sungging.
"Ya, kalian berempat besok bisa mulai bekerja menyungging di dalem Kadipaten Pajang"
"Selain mengukir di dalem kadipaten Pajang, kau buatkan aku sebuah dampar kedaton, sebuah kursi yang berukir untuk keperluan pasewakan di Sasana Sewaka" kata Kanjeng Adipati.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati"
"Baik, siwa Krama Sungging, sekarang aku akan meneruskan perjalanan, aku akan pulang kerumah"
"Terima kasih Kanjeng Adipati"
Adipati Hadiwijaya kemudian turun dari pendapa, menghampiri kudanya, dan sesaat kemudian iapun telah berada di atas punggung kudanya yang berlari menuju kerumah peninggalan orang tuanya, Ki Ageng Pengging.
Di perjalanan iapun sempat bertanya didalam hati tentang pembantu ayahnya yang setia :"Setelah pisowanan agung aku langsung pulang, baru tadi malam aku tiba di Pajang, dari siapakah siwa Purwa tahu kalau namaku Hadiwijaya?"

Kudanya terus dilarikan menuju rumah peninggalan ayahnya, tak lama kemudian kuda itupun dikurangi kecepatan larinya, karena akan berbelok memasuki halaman rumahnya.
Disudut halaman, Ki Purwa, pembantu ayahnya yang setia sedang membersihkan daun-daun yang betebaran, kemudian ia mengangkat kepalanya ketika telinganya mendengar derap kaki kuda, lalu terlihat seekor kuda berlari memasuki halaman dan sesaat kemudian kuda itupun telah berhenti beberapa langkah disampingnya.
Ki Purwa yang mengetahui Hadiwijaya datang dengan menunggang kuda dan berhenti di dekatnya, segera menghampirinya dan berkata :"Selamat datang Kanjeng Adipati Hadiwijaya, Kanjeng Adipati sudah ditunggu nakmas Kebo Kanigara di ruang dalam"
Hadiwijaya kemudian turun dari punggung kudanya, lalu tali kendali kuda itu diberikan kepada orang tua itu.
"Siwa Kebo Kanigara sudah lama berada di Pengging ?" tanya Hadiwijaya.
"Tidak, nakmas Kanigara baru tadi sore tiba di Pengging, pagi ini nakmas Kanigara sudah siap di ruang dalam, menunggu Kanjeng Adipati yang akan datang dari Pajang" kata pembantu ayahnya.
"Baik wa, tolong urus kuda ini, aku akan menemui siwa Kebo Kanigara di ruang dalam" kata Hadiwijaya.
Pembantunya kemudian mengikatkan tali kendali kuda ke tonggak yang sudah ada di sudut halaman.
Hadiwijaya melangkah naik ke pendapa rumahnya, lalu masuk ke ruang dalam, disana sudah menunggu uwanya, Ki Kebo Kanigara yang duduk diatas amben, menghadapi secangkir wedang jahe, secuil gula aren beserta beberapa potong ubi rebus.

"Duduklah Hadiwijaya" kata Kebo Kanigara.
Hadiwijayapun kemudian mencium tangan uwanya, lalu iapun duduk bersila didepan uwanya.
"Kau selamat Hadiwijaya ?" tanya Kebo Kanigara.
"Atas pangestu siwa, saya selamat wa" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Ya, aku memang ingin bertemu denganmu, karena menurut perhitunganku, setelah tiba di Pajang, kau akan pergi ke Pengging, karena kau butuh beberapa barang yang akan kau bawa ke Demak, dan sejak pagi tadi, aku sudah menunggumu disini" kata uwanya sambil tersenyum.
"Ya wa, aku memang butuh beberapa barang untuk keperluan melamar diajeng Sekar Kedaton, siwa berada di Pengging sudah lama ?" Tanya Sang Adipati.
"Baru tadi sore aku tiba di Pengging"
"Siwa dari mana?"
"Dari kotaraja Demak, aku berada disekitar Kraton pada hari pisowanan agung" kata uwanya.
"Siwa melihat saya disana ?"
"Ya, aku melihatmu bersama Kanjeng Sunan Kalijaga dan enam orang lainnya, disamping itu aku juga melihat Adipati Jipang Arya Penangsang bersama Kanjeng Sunan Kudus, diringi oleh Ki Matahun, Arya Mataram bersama dua orang yang lain" kata Kebo Kanigara.
"Dimana siwa melihat Arya Penangsang?"

"Aku melihat empat orang, Kanjeng Sunan Kudus, Arya Penangsang, Arya Mataram dan Ki Matahun, ketika mereka akan memasuki pintu gerbang Kraton, dua orang temannya tidak ikut masuk ke kraton, mereka ditinggal di alun-alun untuk menjaga enam ekor kuda milik mereka, salah satunya adalah kuda hitam milik Arya Penangsang, Gagak Rimang" kata uwanya.
Adipati Hadiwijaya mengangguk-anggukkan kepalanya, ternyata uwanya berada di kotaraja pada saat pisowanan agung sehingga uwanya memang mengetahui kalau ia telah mendapatkan sebuah nama baru.
"Siwa masuk kedalam Kraton?"
"Ya, tetapi aku tidak masuk ke Sasana Sewaka, hanya diluar, diluarpun juga banyak sekali orang yang mengikuti jalannya acara Pisowanan Agung"
Sekali lagi Hadiwijaya menganggukkan kepalanya, dia percaya uwanya mampu menyelinap di keramaian pisowanan agung, melewati penjagaan dua orang penjaga pintu gerbang Kraton.
"Tetapi kenapa siwa sudah tiba di Pengging tadi sore, siwa dari kotaraja Demak naik kuda ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Tidak, aku tidak berkuda, apakah ada yang aneh, Hadiwijaya ?" kata Ki Kebo Kanigara sambil tersenyum.
"Ya wa, karena saya berangkat dari Kadilangu setelah dhuhur, baru tiba di Pajang tadi sore, tetapi siwa juga tiba di Pengging sore hari"

"Ya, aku tahu, kau tidak merasa bahwa kau dan aku berangkat bersama-sama dari Kadilangu?" tanya uwanya.
"Tidak wa, siwa berangkat pada saat yang sama dengan rombongan saya? Saya naik kuda wa"
"Ya, aku berlari dibelakangmu"
"Siwa mampu berlari secepat lari seekor kuda ?" tanya Kanjheng Adipati.
"Ah kau" jawab Ki Kebo Kanigara:" Tidak ada seorangpun yang mampu berlari menyamai kecepatan lari seekor kuda, aku bisa berlari membayangimu karena kau beberapa kali beristirahat memberi minum kudamu yang kehausan dan beberapa kali kau menyeberangi sungai, bahkan pada malam harinya aku tidur tidak jauh dari rombonganmu beristirahat"
"Siwa berlari sepanjang hari ?" tanya Adipati Hadiwijaya.

Kebo Kanigara tertawa kecil, Hadiwijayapun tersenyum, jarang sekali ia melihat uwanya tertawa,
"Hadiwijaya, ada beberapa orang yang mampu berlari tanpa henti, lalu berenang menyeberangi sungai, ditambah menjelajah hutan, dan mereka mampu menempuh separo jarak dari Demak ke Pengging"
"Perjalanan berlari mengikutimu, sebenarnya tidak begitu berat bagiku, karena aku beberapa kali bisa beristirahat" kata uwanya.
"Ya wa"
"Kau juga mampu melakukannya Hadiwijaya, berlari separo jarak dari Demak ke Pajang" kata Ki Kebo Kanigara.
Hadiwijaya melihat kepada dirinya sendiri, ia ingin bertanya kepada dirinya sendiri, apakah ia mampu berlari menempuh separo jarak dari Demak ke Pajang.
"Beberapa candra yang lalu, setelah membunuh kebo ndanu dihadapan Kanjeng Sultan Trenggana dihutan Prawata, aku berjalan, berlari dan berenang mulai dari hutan Prawata sampai ke kotaraja Demak" kata Hadiwijaya dalam hati.
"Jauhnya hampir sama, jarak dari hutan Prawata ke Demak, dengan separo jarak dari Demak ke Pajang" kata Hadiwijaya dalam hati.
"Aku mengetahui semua keputusan Sultan Trenggana atas dirimu, bahkan aku juga mendengar tiga minggu setelah pisowanan agung itu, kau akan melamar Sekar Kedaton" kata uwanya.
"Darimana siwa tahu rencana tentang lamaran itu?"
"Kau sendiri yang memberitahukan semua itu kepada pengikutmu, dan aku ikut mendengarkannya" kata Kebo Kanigara.
"Siwa bisa mendengarkan semua yang saya ucapkan?"
"Tidak, waktu itu aku tidak jauh darimu, hanya sebagian yang kau ucapkan saja, aku bisa mendengarnya, karena saat itu angin bertiup agak kencang dari arah dirimu ke padaku" kata Kebo Kanigara.
Hadiwijaya menundukkan kepalanya, sejak dahulu, ia memang mengagumi kemampuan uwanya Kebo Kanigara yang mempunyai ilmu kanuragan yang pinunjul, ilmunya sudah mengendap, dan ia adalah satu-satunya orang yang mampu mewarisi ilmu perguruan Pengging sampai tuntas.
"Hadiwijaya, kau dari Pajang berkuda langsung menuju kemari ?" tanya uwanya.
"Tidak wa, saya mampir dulu ke rumah Krama Sungging"
"Semua saka kayu yang berada di dalem Kadipaten Pajang akan kau sungging?"
"Ya wa, dalem Kadipaten Pajang saya minta supaya ditatah dan diukir halus, dengan ukiran dan sunggingan yang bagus, seperti ukiran di kraton Majapahit, dan saya pesan untuk dibuatkan sebuah dampar keprabon yang juga diukir dan disungging" kata Hadiwijaya.

"Dampar keprabon ?" tanya Ki Kebo Kanigara.
"Ya wa, dampar keprabon yang ukurannya sedikit lebih kecil dibandingkan dengan dampar keprabon Kasultanan Demak, tetapi lebih besar dibandingkan dengan dampar Kadipaten yang bentuknya hanya seperti sebuah dingklik yang berukuran agak tinggi, seperti yang pernah dipakai oleh eyang Handayaningrat" kata Hadiwijaya.
"Ya, dingklik itu sekarang masih kita simpan dirumah ini" kata uwanya.
"Sebelum dampar keprabon yang saya pesan itu selesai, nanti pada waktu pasewakan pertama di Sasana Sewaka, dingklik tinggi yang dipergunakan untuk pasewakan peninggalan eyang Handayaningrat itu akan saya pakai dulu.
"Kapan rencana kau akan mengadakan pasewakan yang pertama?"
"Tiga hari lagi wa, dan nanti sore akan datang lima belas orang prajurit Wira Manggala yang untuk sementara diperbantukan ke Pajang, besok pagi mereka akan memberitahu ke para bebahu tentang adanya pasewakan yang pertama di Kadipaten Pajang" kata Kanjeng Adipati.
"Ya, besok dingklik untuk pasewakan biar diantar ke Pajang dengan menggunakan sebuah pedati"
"Ya wa" kata Adipati Hadiwijaya.
"Kau bawa sebuah keris di lambungmu?" tanya Kebo Kanigara selanjutnya.
"Ya wa, saya membawa keris Kyai Naga Siluman" jawab Hadiwijaya sambil menggeser kerisnya agak kebelakang.
"Bagus, mulai sekarang setiap kau pergi, jangan lupa membawa keris pusaka sipat kandel Kadipaten Pajang" kata uwanya.
"Ya wa" kata Hadiwijaya.

Pembicaraan terhenti ketika pembantunya yang setia membawakan wedang jahe dan beberapa potong ubi rebus.
"Diminum dulu ngger Adipati, ini siwa buatkan wedang jahe, ubi rebus dan gula aren" kata Ki Purwa.
"Ya wa, terima kasih"
Setelah pembantunya pergi kebelakang, Hadiwijaya mendengar uwanya berkata :"Lalu rencana lamaran besok, siapa saja yang akan mendampingimu ke Demak?"
"Ada beberapa orang tua wa, Ki Buyut Banyubiru, Ki Majasta, Ki Wuragil, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang dan tentu saja saya sangat mengharapkan siwa Kanigara untuk mendampingi saya ke Demak" kata Adipati Pajang.
"Baik, setelah saya pertimbangkan beberapa hari, baiklah, besok aku akan mendampingimu ke Demak"
"Terima kasih wa", kata Hadiwijaya yang hatinya senang sekali, akhirnya siwanya bersedia menampinginya ke Demak, bertemu dengan Sultan Trenggana.
"Nanti semuanya berkumpul di Kadilangu wa, kita berangkat dari sana"
"Hadiwijaya, aku tidak berjanji untuk menginap di Kadilangu, yang penting, aku akan bergabung dengan rombonganmu sebelum sampai di Kraton Demak" kata Kebo Kanigara.
"Terima kasih wa" kata Hadiwijaya.
"Wedangnya diminum dulu" kata uwanya sambil mengambil sepotong ubi rebus.
"Ya wa" Hadiwijayapun kemudian minum wedang jahe yang telah disajikan oleh siwanya.
Mereka berdua lalu minum wedang jahe sambil makan ubi rebus yang diberi sedikit gula aren.
"Segar wa, wedangnya" kata Hadiwijaya sambil menyeka keringat yang ada di wajahnya.

Beberapa saat kemudian, Ki Kebo Kanigara memulai lagi pembicaraannya dengan kemenakannya, putra Ki kebo Kenanga, Adipati Pajang, Hadiwijaya.
"Hadiwijaya, apakah kau sudah mempersiapkan beberapa orang untuk menjadi nayaka praja Kadipaten Pajang?" tanya uwanya.
"Sudah wa, nanti akan saya umumkan pada waktu pasewakan di Kadipaten Pajang" kata Hadiwijaya.
"Siapa saja yang akan kau angkat menjadi nayaka praja kadipaten Pajang?"
"Ada beberapa orang wa, Ki Wuragil, Mas Manca, Jaka Wila, kakang Pemanahan, kakang Penjawi, serta Wenang" kata Hadiwijaya:" Mereka telah menunjukkan kesetiaan kepadaku, mereka ikut mbabat alas membuat Kadipaten Pajang mulai dari awal"
"Ya" kata Kebo Kanigara ;"Mereka semua adalah orang-orang yang berilmu tinggi, bisa diandalkan dan pantas menjadi nayaka praja Kadipaten Pajang"
"Ya wa, mereka nantinya yang menjadi benteng kekuatan Pajang untuk menghadapi serangan dari luar" kata Hadiwijaya.
"Lalu rencanamu tentang acara lamaran nanti bagaimana Hadiwijaya?"
"Kanjeng Sunan Kalijaga menyarankan kalau saya masih punya perhiasan bisa diberikan kepada diajeng Sekar Kedaton sebagai mas kawinnya, disamping itu kalau mempunyai kain yang bagus bisa juga dibawa ke Demak"
"Ya betul kata Kanjeng Sunan Kalijaga, memang sebaiknya begitu, sebentar, aku ambilkan perhiasannya dulu" kata Kebo Kanigara,kemudian iapun bangkit berdiri dan berjalan menuju ke sebuah ruangan.
Beberapa saat kemudian Ki Kebo Kanigara telah kembali sambil membawa dua buah kotak kayu berukir dan sebuah bumbung yang panjangnya dua jengkal.
Setelah meletakkan kotak kayu dan bambu itu didepan Hadiwijaya, maka Kebo Kanigara kembali duduk ditempatnya semula.
"Ini perhiasannya, semuanya peninggalan eyang putrimu Dewi Asmayawati yang berasal dari kraton Majapahit, semula ada tiga buah kotak kayu, kotak yang satunya telah kau ambil, dan telah diganti dengan bumbung ini"
"Ya wa, kotak itu sekarang ada di dalem Kadipaten Pajang, kotak itu dipakai untuk tempat keris Kyai Naga Siluman" kata Hadiwijaya.
"Sebaiknya keris Kyai Naga Siluman, nanti kau letakkan pada ploncon tempat keris, sedangkan kotak kayunya dikembalikan lagi menjadi tempat perhiasan" kata uwanya.
"Baik wa, kotak kayu itu dulu saya ambil dari siwa Purwa untuk tempat keris yang saya sembunyikan di atas pohon beringin"
"Ya, aku masih mempunyai sebuah ploncon tempat keris, ploncon itu besok akan aku jadikan satu dengan dampar yang akan dibawa ke Pajang dengan menggunakan pedati" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa" kata Adipati Hadiwijaya

Kebo Kanigara kemudian membuka dua buah kotak kayu berukir dan membuka tutup bambu penyimpan perhiasan, lalu isinya dikeluarkan semua.
Di atas amben dihadapan Hadiwijaya dan pamannya, terlihat ada belasan perhiasan, ada beberapa gelang binggel, gelang kana, kalung rantai ada yang berukuran panjang dan ada pula yang pendek, kalung susun tiga, kalung berondong, anting-anting, cincin, giwang, tusuk konde, kelat bahu, sumping, timang, semuanya dari emas bahkan ada beberapa perhiasan yang bertreteskan berlian.
"Mana yang akan dipakai untuk mas kawin wa" tanya Hadiwijaya.
"Kita mempunyai beberapa pasang, giwang, anting-anting, tusuk konde, gelang, kalung dan beberapa cincin, kita ambil masing-masing sepasang untuk acara lamaran nanti" kata uwanya.
Uwanya kemudian memilihkan beberapa perhiasan, lalu semua perhiasan itu dibungkus dengan secarik kain.
"Ini semua perhiasan yang akan kau bawa ke Demak, kau masukkan semua ini kedalam peti yang ada padamu, apakah ini masih kurang Hadiwijaya?"
tanya uwanya.
"Cukup wa, semua ini sudah lengkap" kata Hadiwijaya.
Kebo Kanigara kemudian memasukkan sisa perhiasan kedalam dua buah peti kayu, lalu iapun berkata :"Kainnya aku ambil dulu"
Uwanyapun kemudian berdiri mengambil kotak kayu yang berisi perhiasan lalu mengembalikan kotak kayu itu kedalam kamar, sesaat kemudian iapun keluar lagi sambil membawa sebuah kotak kayu yang berukuran agak besar yang berisi setumpuk kain.
"Ini kainnya Hadiwijaya, masih bagus semua, karena disekelilingnya aku beri beberapa ramuan sehingga tidak ada binatang kecil yang mendekat" kata uwanya.
"Ya wa" jawab Hadiwijaya.
"Berapa lembar kain yang akan kau bawa ?" tanya uwanya.
"Terserah siwa saja"
"Bukalah, lima lembar sudah cukup, kita pilihkan kain yang paling bagus" kata uwanya.
Hadiwijayapun kemudian membuka kotak kayu, mengeluarkan isinya, lalu memilih beberapa kain, sedangkan sisanya di letakkan disebelahnya.
Kain yang dipilihnya itu kemudian dimasukkan kedalam kotak kayu tempatnya semula.
"Kau bawa kain beserta kotak kayunya, nanti akan aku buatkan sebuah kotak kayu yang baru untuk tempat sisa kainnya" kata uwanya Kebo Kanigara sambil membereskan sisa kain dan membawanya kembali masuk kedalam kamar.

Adipati Hadiwijayapun kemudian memasukkan perhiasan yg telah dibungkusnya kedalam kotak kayu, menjadi satu dengan kain yang telah berada didalamnya.
Ketika uwanya keluar dari kamar sambil membawa selembar kain pembungkus, lalu kotak yang berisi kain dan perhiasan itupun dibungkusnya.
"Bungkusan ini yang nanti kau bawa ke Demak" kata uwannya :"Mengenai perlengkapan uba rampe lainnya bagaimana Hadiwijaya ?"
"Semuanya akan dibuat oleh para santri Kadilangu wa"
"Bagus, berarti barang-barang yang akan kau bawa sudah lengkap"
"Ya wa, meskipun yang melamar orangnya tidak lengkap, semuanya adalah laki-laki, tidak ada seorangpun yang perempuan" kata Kanjeng Adipati.
"Tidak apa-apa Hadiwjaya, ibumu telah meninggal, istrikupun juga telah meninggal dunia"
Demikianlah, maka Hadiwijaya masih berada di Pengging berbicara dengan Kebo Kanigara sampai matahari mencapai puncaknya.
Setelah itu, Hadiwijayapun mohon diri, pamit kepada uwanya dan pembantunya yang setia, kembali ke Pajang.
"Hati-hati Hadiwijaya, kalau ada kesulitan kau hubungi aku" kata uwanya.
"Baik wa"
"Hati-hati ngger", kata pembantunya.
Hadiwijaya yang membawa sebuah bungkusan segera naik ke punggung kudanya, lalu dijalankannya kudanya keluar dari halaman rumah peninggalan orang tuanya, Ki Ageng Pengging.
Kudanyapun berlari menyusuri jalan-jalan di desa Pengging menuju Pajang.
Adipati Hadiwijaya melarikan kudanya melaju menuju Pajang, kudanya lari tidak terlalu kencang dan jarak tempuh yang tidak terlalu jauh, maka perjalanan terasa cepat sekali dan tak lama kemudian bumi Pajangpun telah berada didepan mata.

Derap kaki kuda terdengar di sekitar dalem Kadipaten, saat itu Penjawi yang sedang membantu pembangunan rumah, bergegas menuju dalem kadipaten, dan ketika dilihatnya Adipati Hadiwijaya turun dari punggung kudanya, maka iapun lalu memegang tali kendali kudanya dan mengikatnya pada tonggak di halaman dalem kadipaten.
"Kakang Penjawi, dimana orang-orang yang lain ?" tanya Hadiwijaya.
"Ki Wuragil dan Mas Manca sedang membantu para tukang mendirikan beberapa tiang Kanjeng Adipati" kata Penjawi.
Adipati Hadiwiijaya lalu berjalan berkeliling, melihat beberapa rumah yang sedang dibangun, dilihatnya tiang-tiang saka telah berdiri, demikian juga beberapa tiang yang lain, paling lama dua pasar lagi, rangka rumah mereka sudah terpasang, tinggal memberi atap daun kelapa, diharapkan tidak sampai satu candra kedepan, pembangunan beberapa rumah sudah selesai, sehingga mereka tidak perlu tidur berhimpitan di Sasana Sewaka.
Pembuatan sumur juga sedang berlangsung, ada beberapa brunjung dari bambu yang dimasukkan kedalam lobang sumur, setelah itu diperkuat dengan bambu yang ditancapkan melingkar mengikuti lingkaran brunjung bambu.
Ketika matahari telah condong kebarat, dari arah utara terlihat Jaka Wila sedang berjalan kaki memasuki tanah lapang di depan dalem kadipaten dan di belakangnya, dua orang sedang berjalan sambil menuntun dua ekor kuda yang diberi beban dipunggungnya.
Setelah mengikat kudanya pada tonggak yang ada dibawah pohon, Jaka Wila berjalan menuju pendapa, sedangkan dua orang yang datang bersamanya menunggu di bawah pohon diluar pendapa.
Sesaat kemudian, Adipati Hadiwijaya yang saat itu sedang duduk di pendapa menerima kedatangan Jaka Wila yang duduk bersila dihadapannya.
"Kau selamat Jaka Wila ?" kata Adipati Hadiwijaya,
"Atas pangestu Kanjeng Adipati, perjalanan saya dari Banyubiru berjalan lancar" kata Jaka Wila.
"Bagaimana keadaan Ki Buyut Banyubiru ? Dan bagaimana kesediaan Ki Buyut tentang rencana acara lamaran ke kraton ?" tanya Kanjeng Adipati.
"Ki Buyut Banyubiru dalam keadaan sehat Kanjeng Adipati, Ki Buyut bersama Ki Majasta besok bersedia ikut dalam acara lamaran dan pahargyan pengantin ke kotaraja Demak" kata Jaka Wila.
"Syukurlah, kau bawa dua ekor kuda beban?"
"Ya Kanjeng Adipati, saya membawa beras dan jagung, disamping itu saya membawa dua orang tukang dari Pingit yang bisa membantu pembuatan dalem Ksatrian maupun rumah yang lain, atau bisa juga membantu mempercepat pembuatan sumur"
"Bagus, nanti tukang-tukang yang ada bisa saling mengisi dan membantu untuk menyelesaikan pembangunan beberapa rumah" kata Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Jaka Wila
"Baik silahkan beristirahat, masukkan bahan pangannya di lumbung sementara, didalam gubug"
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Jaka Wila, lalu iapun keluar dan bersama dengan dua orang tukang dari Pingit, mereka mengambil beras dari punggung kuda dan menyimpannya didalam gubug.

Matahari berjalan terus ke barat, sebentar lagi senjapun membayang, ketika itulah Penjawi melaporkan, di Sasana Sewaka, telah datang lima belas orang prajurit Wira Manggala yang berangkat dari kotaraja dan dipimpin oleh seorang lurah prajurit.
"Para prajurit Wira Manggala dipimpin oleh Ki Lurah Wasana" kata Ki Penjawi.
Bersama Ki Penjawi, Adipati Hadiwijaya kemudian menerima Ki Lurah Wasana di pendapa Kadipaten Pajang.
"Silahkan duduk Ki. Lurah Wasana"
"Terima kasih Kanjeng Adipati" kata Ki Lurah Wasana.
Ki Lurah Wasanapun kemudian duduk di bawah, bersama dengan Ki Penjawi.
"Kau selamat Ki Lurah ? Bagaimana dengan perjalananmu ke Pajang ?" tanya Adipati Pajang.
"Atas pangestu Kanjeng Adipati, perjalanan saya dari Demak ke Pajang semuanya lancar"
"Bagaimana titah Kanjeng Sultan kepada para prajurit Wira Manggala Ki Lurah ?"
"Kanjeng Adipati, titah Kanjeng Sultan Trenggana kepada prajurit Wira Manggala adalah membantu Pajang sebelum Pajang mempunyai prajurit sendiri" jawab Lurah Wasana.
"Terima Kasih Ki Lurah" jawab Adipati Hadiwijaya
"Berapa lama prajurit Wira Manggala diperbantukan di Pajang"
"Sekitar dua candra Kanjeng Adipati, karena itu, sebelum dua candra, Pajang harus mempunyai prajurit sendiri"
"Ya Ki Lurah, nanti sebelum dua candra mudah-mudahan Pajang sudah bisa mempunyai prajurit sendiri" kata Hadiwijaya.
"Prajurit Wira Manggala selama berada di Pajang berada dibawah perintah Kanjeng Adipati Hadiwijaya"
"Terima kasih, besok pagi saja kita bicarakan tentang tugas para prajurit, sekarang silahkan ki Lurah dan para prajurit membersihkan badan di sungai kecil, nanti Ki Penjawi yang akan mengantar Ki Lurah" kata Hadiwijaya.
"Terima kasih Kanjeng Adipati"
"Untuk tidur, silahkan istirahat dan tidur di Sasana Sewaka bersama yang lain"
"Terima kasih Kanjeng Adipati"
Kemudian Lurah Wasana bersama Penjawi keluar dari pendapa menuju Sasana Sewaka.
Para prajurit Wira Manggala yang berada di Sasana Sewaka kemudian pergi membersihkan diri ke sungai diantar oleh Ki Penjawi,

Sementara itu, di Kalinyamat dan Prawata, Pangeran Hadiri dan Sunan Prawata juga mendapat bantuan masing-masing lima belas orang prajurit Wira Manggala Demak.
Ketika di Pajang, Lurah Wasana sedang beristirahat di Sasana Sewaka, pada saat yang sama, di Jipang Panolan, Arya Penangsang bersama Matahun dan Rangkud, sedang menerima seorang lurah yang memimpin lima belas orang prajurit Wira Manggala dari kotaraja yang diperbantukan di Jipang
"Bagaimana Ki Lurah Radya" kata Adipati Arya Penangsang.
"Lima belas orang prajurit Wira Manggala yang diperbantukan di Jipang berada dibawah perintah Kanjeng Adipati Arya Penangsang" kata Lurah Radya dari kesatuan Wira Manggala.
"Terima kasih Ki Lurah" kata Arya Penangsang.
"Prajurit Wira Manggala yang diperbantukan di Jipang hanya selama dua candra Kanjeng Adipati, setelah itu akan ditarik ke kotaraja Demak, diharapkan sebelum pasukan Wira Manggala ditarik, Jipang sudah mempunyai prajurit sendiri" kata lurah Radya.
"Mudah-mudahan Ki Lurah" kata Arya Penangsang :"Mudah-mudahan dalam waktu dekat Jipang sudah bisa mempunyai prajurit meskipun jumlahnya tidak sebanyak prajurit segelar sepapan"

(bersambung)

Senin, 13 Oktober 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 27


KERIS KYAI SETAN KOBER 27
KARYA : APUNG SWARNA

BAB 10 : KANJENG ADIPATI 2


Orang yang berdiri dihadapan Adipati Hadiwijaya memakai pakaian seorang Tumenggung dari kesatuan Wira Braja, orang itu adalah Tumenggung Gagak Anabrang.
Tumenggung Gagak Anabrang tersenyum, kakinya maju selangkah, lalu kedua tangannya diulurkan kedepan menyalami Adipati Hadiwijaya.
"Selamat Kanjeng Adipati, saya ikut senang" kata Tumenggung Gagak Anabrang.
Adipati Hadiwijaya menyambut uluran tangan Tumenggung Gagak Anabrang dengan hangat :"Terima kasih Ki Tumenggung Gagak Anabrang"
Dibelakang Tumenggung Gagak Anabrang, ternyata ada Tumenggung Surapati, Tumenggung Siung Laut dan beberapa Tumenggung yang lain.

Dibelakang para Tumenggung, ada Rangga Pideksa dan beberapa orang yang berpangkat Panji, mereka semuanya memberi ucapan selamat kepada Adipati Hadiwijaya.
Setelah para Tumenggung, Panji dan Rangga telah selesai memberikan ucapan selamat, maka Adipati Hadiwijaya keluar dari Sasana Sewaka, dibelakangnya berjalan Pemanahan dan Penjawi.
Didepan Sasana Sewaka, ketika Adipati Hadiwijaya sedang berjalan, terdengar suara memanggil namanya perlahan :"Kanjeng Adipati Hadiwijaya"
Adipati Hadiwijaya menoleh, dilihatnya empat orang berpakaian Wira Tamtama sedang berdiri didekatnya, dengan tangan ngapurancang, lalu keempat orang itupun membungkuk hormat.
"Ternyata Ki Lurah Wirya, Ki Lurah Mada, Tumpak dan kau Soma" kata Hadiwijaya.
"Ya Kanjeng Adipati, selamat, saya ikut senang Kanjeng Adipati" kata Lurah Wirya.
"Terima kasih Ki Lurah Wirya" kata Adipati Hadiwijaya.
"Selamat Kanjeng Adipati" kata Tumpak.
"Ya Tumpak, kau tidak termasuk lima belas orang prajurit yang akan diperbantukan ke Pajang ?" tanya Sang Adipati.
"Tidak Kanjeng Adipati, yang diperbantukan adalah prajurit dari kesatuan Wira Manggala, bukan dari kesatuan Wira Tamtama" jawab Tumpak.
"Ya, kapan prajurit Wira Manggala berangkat ke Pajang" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Besok pagi Kanjeng Adipati, lima belas orang prajurit Wira Manggala besok pagi akan berangkat ke empat lokasi, Jipang, Pajang, Kalinyamat dan Prawata" kata Lurah Wirya
"Kalinyamat dan Prawata juga mendapat bantuan prajurit Wira Manggala?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Ya Kanjeng Adipati, setiap daerah mendapat bantuan lima belas orang prajurit Wira Manggala" kata Lurah Mada.
Belum selesai mereka berbicara, terdengar suara seorang yang berkata :"Kanjeng Adipati Hadiwijaya"

Adipati Hadiwijaya menoleh, dilihatnya Nyai Madusari sedang membungkukkan badannya.
"Ya Nyai" kata Adipati Hadiwijaya
"Kanjeng Adipati hari ini akan langsung kembali ke Pajang ? Kuda Kanjeng Adipati ditinggal dimana?" tanya Nyai Madusari
"Ya nyai, aku akan kembali ke Pajang hari ini, tetapi aku akan singgah dulu di Kadilangu, kudaku ada disana" kata Adipati Hadiwijaya.
Nyai Madusari seperti teringat sesuatu, lalu iapun menelangkupkan kedua tangannya, dan berkata :"Mohon maaf Kanjeng Adipati, saya lupa tata krama, saya lupa dengan siapa saya berbicara"
"Tidak apa apa nyai" kata Adipati Hadiwijaya.

Sementara itu, pada saat yang sama dari ruang dalam keluar Kanjeng Sunan Kalijaga bersama dengan Kanjeng Sunan Kudus, dibelakangnya juga berjalan Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata.
Adipati Hadiwijaya ketika melihat Kanjeng Sunan Kalijaga bersama beberapa orang keluar dari ruang dalam, maka iapun berkata :"Nyai Madusari, tolong bilang pada Gusti Putri, aku meninggalkan kraton bersama Kanjeng Sunan Kalijaga ke Kadilangu, setelah dari Kadilangu aku akan segera pulang ke Pajang"
"Baik Kanjeng Adipati" kata nyai Madusari.
"Ki Lurah Wirya, Ki Lurah Mada, Tumpak, Soma dan kau Nyai Madusari, aku tinggal dulu, aku akan menemui Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Kanjeng Adipati.
"Silakan Kanjeng Adipati" kata mereka hampir bersamaan.
Adipati Hadiwijaya kemudian berjalan menuju ke pintu ruang dalam, dibelakangnya menyusul Pemanahan dan Penjawi.

Kanjeng Sunan Kalijaga melihat Adipati Hadiwijaya berjalan menuju ke arahnya, maka Kanjeng Sunanpun mendekati Adipati Hadiwijaya dan mengulurkan kedua tangannya, mengucapkan selamat kepadanya.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya mengulurkan kedua tangannya menyambut tangan Sunan Kalijaga.
Setelah itu berturut-turut Kanjeng Sunan Kudus mengucapkan selamat, disusul Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata.
"Nakmas Hadiwijaya, kau lihat dimana anakku Penangsang?" tanya Kanjeng Sunan Kudus.
"Saya tidak tahu Kanjeng Sunan,ketika kami berada didalam, Adipati Arya Penangsang sudah keluar dari Sasana Sewaka bersama Raden Arya Mataram dan Ki Matahun" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Baik, aku akan mencari mereka" kata Kanjeng Sunan Kudus, setelah itu Sunan Kuduspun pamit kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kanjeng Sunan Kuduspun mengucap salam lalu Kanjeng Sunan Kalijaga bersama yang lain menjawab salamnya.

Kanjeng Sunan Kuduspun kemudian pergi berjalan mencari muridnya, Adipati Arya Penangsang.
Setelah Kanjeng Sunan Kudus tidak terlihat lagi, maka Sunan Kalijaga mengajak Hadiwijaya, Pemanahan dan Penjawi pulang Ke Kadilangu.
Kemudian merekapun berpamitan kepada Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata, lalu keempat orang itupun kemudian berjalan menuju pintu gerbang kraton.
"Nakmas Hadiwijaya" sambil berjalan Kanjeng Sunan Kalijaga berbicara kepada Adipati Hadiwijaya.
"Ya Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ada beberapa pesan dari Kanjeng Sultan Trenggana mengenai anakmas yang telah disampaikan kepadaku, nanti saja akan kita bicarakan setelah sampai di Kadilangu" kata Sunan Kaijaga.
"Baik Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya.
"Nakmas jangan langsung pulang ke Pajang, tunggu nanti setelah sholat dhuhur di Kadilangu" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Baik Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya.
Dua orang penjaga pintu gerbang membungkuk hormat ketika Hadiwijaya bersama Kanjeng Sunan Kalijaga melewati pintu gerbang.

Merekapun terus berjalan, ketika mereka keluar dari pintu gerbang kraton, disana sudah menunggu Mas Manca dan Jaka Wila serta dua orang santri dari Kadilangu.
Keempat orang tersebut lalu mendekati Adipati Hadiwijaya dan dengan membungkukkan badan serta tangan bersikap ngapurancang mereka mengucapkan selamat kepada Adipati Hadiwijaya.
"Terima kasih" kata Adipati Hadiwijaya.
Matahari sudah tinggi meskipun belum mencapai puncak langit, ketika delapan orang itu berjalan ke arah selatan, kembali menuju Kadilangu.

Mereka berjalan terus, tak lama kemudian merekapun berbelok ke arah timur, beberapa langkah mereka berjalan, sampailah rombongan Kanjeng Sunan Kalijaga di tepi sungai Tuntang.
Rakit yang tadi pagi dipakai untuk menyeberang ke barat masih tertambat di tepi sungai,
Mereka kemudian naik keatas rakit, kedua santri lalu memasukkan galah ke dalam air sungai dan mendorongnya ke arah barat maka perlahan-lahan rakitpun bergerak ke timur, air sungai Tuntang yang tenang, membuat laju rakit menjadi lancar.
Beberapa saat kemudian ujung rakit telah menyentuh tepi sungai sebelah timur lalu semua penumpangnya naik ke tepi sungai serta melanjutkan perjalanan yang hanya tinggal beberapa langkah lagi.

Ketika memasuki gerbang pesantren Kadilangu, merekapun mengucap salam, dan dari dalam terdengar suara seorang santri yang membalas salamnya.
"Nakmas Hadiwijaya, silahkan kalau mau ke pakiwan atau mau ganti pakaian dulu, setelah itu kita berbicara didalam" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Baik Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya, lalu, ia bersama Pemanahan, Penjawi, Mas Manca dan Jaka Wila, berjalan ke sumur dibelakang rumah, membersihkan diri dan berganti pakaian.
Matahari semakin meninggi, udarapun semakin panas, namun di ruang dalam pesantren Kadilangu, Kanjeng Sunan Kalijaga duduk bersila, berhadapan dengan Adipati Pajang Hadiwijaya, dan dibelakangnya duduk Pemanahan, Penjawi, Mas Manca dan Jaka Wila.
"Nakmas Hadiwijaya, ada hal yang penting dibicarakan oleh Kanjeng Sultan Trenggana mengenai nakmas Hadiwijaya" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Mengenai saya Kanjeng Sunan ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Ya, mengenai pernikahan nakmas dengan Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

Hadiwijaya menggeser duduknya maju sejengkal, berusaha mendengarkan kata-kata Kanjeng Sunan Kalijaga dengan lebih jelas.
"Sebetulnya Kanjeng Sultan ingin berbicara langsung kepada kedua orang tua pihak laki-laki, tetapi karena kedua orang tuamu Ki Ageng Pengging dan Nyai Ageng Pengging telah meninggal dunia, dan Ki Kebo Kanigara sebagai uwamu tidak diketahui tempat tinggalnya, maka aku sebagai gurumu memberanikan diri mewakili kedua orang tuamu, nakmas tidak keberatan ?" tanya Kanjeng Sunan Kaijaga.
"Tidak Kanjeng Sunan, sama sekali tidak berkeberatan" kata Hadiwijaya.
"Nah tadi ketika aku berada diruang dalam kraton, secara singkat Kanjeng Sultan ingin agar lamaran dari pihak laki-laki dilaksanakan secepatnya, tiga pasar setelah pelantikan nakmas Hadiwijaya sebagai Adipati Pajang" kata Kanjeng Sunan.
"Begitu cepatnya" kata Hadiwijaya lirih.
"Ya, memang begitu rencana dari Kanjeng Sultan Trenggana, setelah acara lamaran, besoknya dilanjutkan dengan upacara pahargyan pengantin secara sederhana, tidak perlu mengundang raja-raja manca negara, hanya petinggi nayaka praja Kasultanan Demak saja, lalu sepasar kemudian Sekar Kedaton bisa nakmas boyong ke Pajang" kata Kanjeng Sunan Kalijaga menjelaskan rencana Kanjeng Sultan Trenggana.

Hadiwijaya mendengarkan dengan cermat semua kalimat dari Kanjeng Sultan lewat gurunya Kanjeng Sunan Kalijaga.
Semakin jelas bagi Hadiwijaya, ternyata sikap Kanjeng Sultan hampir seperti perkiraan uwanya Kebo Kanigara, bahwa Demak dalam persiapan perang.
"Kanjeng Sultan sedemikian tergesa-gesa menikahkan Sekar Kedaton, secara sederhana, tidak mengundang raja-raja manca negara karena segera akan mempersiapkan sebuah pasukan penggempur yang kuat dan akan menyerang ke salah satu daerah di bang wetan atau bang kulon" kata Kanjeng Adipati didalam hatinya.
Adipati Hadiwijaya terlihat sedang menundukkan kepala, tetapi pikirannya sedang memperkirakan apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.
"Besok akan berangkat lima belas orang prajurit Wira Manggala dari Demak ke Pajang, dan kalau betul Kanjeng Sultan akan mempersiapkan pasukan penggempur, tidak lama lagi lima belas orang prajurit itupun pasti akan ditarik ke kotaraja Demak, dan keadaan Kadipaten Pajang saat itu tidak mempunyai prajurit seorangpun" kata Hadiwijaya dalam hati.

"Sebelum prajurit Wira Manggala ditarik ke Demak, prajurit Pajang harus sudah terbentuk, paling tidak prajurit Pajang bisa melindungi dirinya sendiri menghadapi serangan dari luar Pajang. Aku harus bergerak cepat, sepasar lagi aku akan mengadakan pasewakan para bebahu Kadipaten Pajang, lalu dalam waktu sepasar selanjutnya prajurit Pajang harus sudah diresmikan" desis Kanjeng Adipati.
Adipati Hadiwijayapun mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi iapun terkejut ketika Kanjeng Sunan Kalijaga berkata :"Nakmas Hadiwijaya, apakah saat ini Ki Kebo Kanigara sudah tahu rencana pernikahan nakmas dengan Sekar Kedaton ?"
Angan-angan Adipati Hadiwijaya tentang keinginannya membentuk sebuah kesatuan prajurit Pajang yang harus terlaksana dalam waktu dua pasar menjadi buyar, ketika Kanjeng Sunan Kalijaga bertanya kepadanya tentang masalah pernikahannya yang belum tuntas mereka bicarakan.
"Kalau rencana pernikahan saya, siwa Kebo Kanigara sudah mengetahui Kanjeng Sunan, hanya kapan acara pernikahannya dilaksanakan, siwa Kebo Kanigara belum mengetahuinya" kata Adipati Hadiwijaya.

"Aku masih mengharapkan Ki Kebo Kanigara mau mendampingimu pada saat lamaran dan pada saat pahargyan pengantin nanti" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan, saya sudah minta kepada siwa Kebo Kanigara untuk ikut ke kotaraja Demak, tetapi siwa masih mempertimbangkannya" kata Sang Adipati,
"Aku bisa mengerti jalan pikiran Ki Kebo Kanigara, tapi masalah Pengging adalah persoalan masa lalu, yang sudah berjalan lebih dari dua puluh warsa, yang sebetulnya masalahnya sudah selesai" kata. Kanjeng Sunan.
"Ya Kanjeng Sunan, menurut Kanjeng Sultan Trenggana, sebetulnya masalah Pengging memang sudah selesai" kata Adipati Hadiwijaya.
"Lebih dari dua puluh warsa Ki Kebo Kanigara menarik diri dari pergaulan dan pertemanan, meninggalkan rumah yang bertahun-tahun ditempatinya, menyendiri tanpa ada yang tahu dimana tempat tinggalnya" kata Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan"

"Mudah-mudahan Ki Kebo Kanigara bisa mendampingi nakmas di acara lamaran dan upacara pahargyan pengantin, sebab bagaimanapun nakmas adalah satu-satunya orang yang bisa mengangkat nama keturunan Pengging"
"Ya Kanjeng Sunan" jawab Sang Adipati.
"Besok pada waktu nakmas Hadiwijaya melamar Sekar Kedaton, kita berangkat dari Kadilangu, seperti tadi pagi" kata Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan"
"Nakmas datang ke Kadilangu sehari dua hari sebelumnya, sehingga kita cukup waktu menyiapkan segala uba rampe lamarannya"
"Apa saja yang diperlukan untuk uba rampe acara lamarannya Kanjeng Sunan ?" tanya Adipati Pajang.
"Kanjeng Sultan merencanakan, acara lamaran dan pahargyan pengantin memang dibuat sederhana, beberapa hasil bumi nanti bisa kita pakai sebagai uba rampe acara lamarannya, selain itu ada beberapa perhiasan untuk diberikan kepada Sekar Kedaton sebagai mas kawin, nakmas Hadiwijaya masih punya beberapa perhiasan untuk wanita ?" tanya Sunan Kalijaga.

"Ya Kanjeng Sunan, dirumah ada beberapa perhiasan peninggalan eyang Asmayawati, istri dari eyang Adipati Pengging Witaradya, eyang Handayaningrat, nanti saya akan minta ijin siwa Kebo Kanigara, beberapa perhiasan apakah bisa diberikan sebagai mas kawin untuk diajeng Sekar Kedaton" kata Hadiwijaya.
"Nah, nanti nakmas bawa saja perhiasan untuk Sekar Kedaton, sedangkan urusan jodang berisi hasil bumi maupun makanan, biar diurus para santri dari Kadilangu" kata Kanjeng Sunan.
"Terima kasih Kanjeng Sunan"
"Selain perhiasan, apakah masih ada beberapa kain milik eyangmu yang masih nakmas simpan?"
"Ya Kanjeng Sunan, di Pengging masih tersimpan beberapa kain peninggalan eyang Asmayawati, kainnya saat ini masih dalam keadaan baik" jawab Sang Adipati.
"Ya, kainnya pasti masih baik, itu adalah kain peninggalan dari kraton Majapahit, bawalah sekalian untuk diberikan kepada Sekar kedaton"
"Baik Kanjeng Sunan"
"Nanti anakmas bisa mengajak beberapa orang tua untuk ikut dalam acara lamaran nanti"
"Ya Kanjeng Sunan, ada beberapa orang tua yang bisa ikut ke kotaraja, nanti saya yang akan minta untuk menemani saya waktu lamaran dan pahargyan pengantin" kata Adipati Pajang.
"Siapa saja orang tua yang nanti ikut ke kotaraja?"

"Saya akan minta kepada beberapa orang tua untuk ikut ke kotaraja, Ki Buyut Banyubiru, Ki Majasta, Ki Wuragil, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan siwa Kebo Kanigara" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Bagus, cukup banyak, nanti mereka bisa menginap di Kadilangu, sehingga kita bisa berangkat bersama-sama ke kraton"
Mereka masih berbicara beberapa hal, dan mataharipun terus bergerak sampai di puncak langit, sesaat kemudian terdengarlah suara kentongan, menandakan telah tiba waktu untuk sholat dhuhur.
"Mari kita bersama-sama menunaikan sholat dhuhur dulu" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.

Merekapun segera keluar dari ruang dalam, lalu mengambil air wudhu, lalu melaksanakan sholat dhuhur berjamaah bersama Kanjeng Sunan Kalijaga beserta segenap santri Kadilangu.
Beberapa saat setelah selesai sholat dhuhur, merekapun mohon pamit pulang ke Pajang.
"Nakmas tidak makan siang dulu?" tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Tadi sudah makan Kanjeng Sunan, diruang belakang, bersama para santri" kata Hadiwijaya.
"Baiklah nakmas, hati-hati dijalan, aku hanya bisa nyangoni slamet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya, sementara Pemanahan, Penjawi, Mas Manca dan Jaka Wila juga mohon diri.
"Hat-hati dijalan" kata Kanjeng Sunan.

Setelah mengucap salam dan Kanjeng Sunanpun menjawab salamnya, maka Hadiwijaya kemudian naik kuda keluar dari pintu gerbang Kadilangu, diikuti oleh keempat sahabatnya.
Lima ekor kuda yang di pelananya tergantung masing-masing satu bungkusan berisi pakaian dan bekal makanan, berlari meninggalkan pesantren Kadilangu menuju arah selatan.
Adipati Hadiwijaya berkuda paling depan, keris pusaka Pengging yang sekarang menjadi sipat kandel Kadipaten Pajang, Kyai Naga Siluman, dipakai dengan cara nyote, terselip di depan, dilambung sebelah kiri, bukan diselipkan dibelakang, karena saat ini Adipati Hadiwijaya sedang menunggang seekor kuda.
Debu berhamburan di belakang kaki kuda yang mereka tumpangi, dan mataharipun tanpa henti terus bergerak kearah barat

Sekali dua kali mereka berhenti untuk memberi minum kuda-kuda mereka, lalu merekapun melanjutan perjalanannya, duduk diatas punggung kuda yang sedang berlari.
Matahari telah condong kebarat, ketika mereka sampai disuatu jalan pertigaan, terlihat Adipati Hadiwijaya menghentikan kudanya dan berkata :"Kita berhenti dulu disini, ada hal penting yang akan kita bicarakan"
Mereka berlima kemudian berhenti lalu duduk dibawah pohon, membiarkan kudanya makan rumput yang tumbuh disekitar tempat itu.
Adipati Hadiwijaya duduk beralaskan rumput, sedangkan empat orang sahabatnya duduk bersila dihadapannya.
"Kakang Pemanahan, kakang Penjawi, Mas Manca dan kau Jaka Wila" kata Adipati Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" kata mereka berempat hampir bersamaan.
"Didepan kita, setelah jalan yang kita lewati dari Kadilangu ini, ada sebuah pertigaan, jalan simpang bercabang dua, jalan yang lurus dan jalan yang berbelok ke kiri.
"Jalan didepan yang lurus, yang biasa kita lewati adalah jalan yang menuju ke Sima atau ke Banyubiru, sedangkan yang belok ke timur ini kelihatannya menuju ke Sela, betul begitu kakang Pemanahan ?" tanya Kanjeng Adipati Hadiwijaya.

"Betul Kanjeng Adipati, jalan ini menuju Sela, kalau dari Kadilangu pulang ke Sela, saya juga melalui jalan ini" kata Pemanahan.
"Besok pagi lima belas orang prajurit Wira Manggala akan berangkat dari kotaraja ke Pajang, mereka akan menjaga keamanan Kadipaten Pajang sebelum Pajang bisa menjaga dirinya sendiri" kata Adipati Hadiwijaya.
"Aku rencanakan, sepasar setelah ini, Kadipaten Pajang mengadakan pasewakan para bebahu yang pertama, setelah itu aku inginkan, sepasar selanjutnya, Pajang sudah resmi mempunyai prajurit sendiri, jadi apabila setiap saat semua prajurit Wira Manggala yang berada di Pajang ditarik ke kotaraja, Pajang sudah bisa menjaga dirinya sendiri" kata Sang Adipati.
'Banyak yang harus kita kerjakan, kakang Pemanahan, di Sela, berapa ratus orang laskar Sela yang ada sekarang?" tanya Hadiwijaya.
"Laskar Sela saat ini sekitar empat ratus orang Kanjeng Adipati" jawab Pemanahan.
"Ada berapa orang pande besi di Sela kakang Pemanahan ?" tanya Kanjeng Adipati.
"Ada dua orang, Kanjeng Adipati" jawab Pemanahan.
"Apakah kedua orang pande besi itu bisa membuat seratus pedang pendek dalam waktu dua pasar?" tanya Kanjeng Adipati.
"Tidak bisa Kanjeng Adipati, waktunya paling tidak dua tiga candra"
"Bagaimana caranya supaya pada waktu peresmian prajurit Pajang sudah bisa mempunyai pedang pendek paling sedikit seratus buah ?"
Pemanahan berpikir sejenak, seteah itu Pemanahanpun berkata :"Kanjeng Adipati, ijinkan saya saat ini kembali ke Sela, nanti akan saya bawa seratus buah pedang pendek dan dua puluh bilah tombak ke Pajang, persenjataan laskar Sela berkurang seperempatnya, tidak akan banyak pengaruhnya, nanti pande besi Sela dengan cepat bisa membuatkan gantinya" kata Pemanahan.
"Bagus kakang Pemanahan, nanti kekurangan senjata untuk prajurit Pajang bisa dibuat oleh pande besi di Butuh" kata Kanjeng Adipati.
"Mohon maaf Kanjeng Adipati, di Banyubiru juga ada dua orang pande besi" kata Jaka Wila.
"Ya, nanti Jaka Wila langsung menuju ke Banyubiru, tidak usah bersama rombongan yang ke Pajang, nanti disamping pesan lima puluh buah pedang pendek dan tigapuluh bilah tombak, atas namaku, kau juga mohon kepada Ki Buyut Banyubiru dan Ki Majasta untuk ikut dalam acara lamaran dan pahargyan pengantin tiga pasar lagi, nanti Ki Buyut Banyubiru dan Ki Majasta menginap di Kadilangu" kata Adipati Pajang.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Jaka Wila.
"Baik, mari kita sekarang meneruskan perjalanan sampai matahari terbenam nanti, kakang Pemanahan belok ke arah timur menuju Sela, kita akan berkuda lurus mengikuti sungai Tuntang ini"

Kemudian merekapun bangkit berdiri, menghampiri kuda mereka, dan ketika mereka sudah berada dipunggung kuda, Pemanahanpun berkata :"Kanjeng Adipati, saya belok ke timur"
"Baik kakang Pemanahan, hati-hati dijalan" kata Adipati Hadiwijaya.
Kemudian kuda yang ditunggangi Pemanahanpun berlari ke timur menuju Sela.
Sesaat kemudian keempat orang itupun juga menjalankan kudanya menyusuri sungai Tuntang.
Mataharipun terus berjalan menuju cakrawala, empat ekor kuda itupun masih tetap berlari hingga lembayung senja membayang di langit sebelah barat.
Adipati Hadiwijaya menghentikan kudanya, diikuti oleh ketiga orang lainnya, dan ketika semua kuda telah berhenti kelelahan, penunggangnyapun turun, mencari tempat untuk membersihkan diri.
Jaka Wila membawa kuda-kuda itu ketepi sungai, lalu ditambatkannya pada sebatang pohon yang tumbuh tidak jauh dari sungai Tuntang.
Hadiwijaya kemudian masuk ke dalam air sungai, membersihkan dirinya, sedangkan ditempat terpisah agak jauh dari tempat itu, Penjawi, Mas Manca dan Jaka Wila juga membersihkan dirinya.

Malam itu, setelah makan bekal pemberian para santri Kadilangu, seorang adipati dan tiga orang pengikutnya beristirahat di tepi sungai Tuntang, tidur beratap langit serta bersandarkan pada sebatang pohon.
Malam yang dihiasi ribuan bintang terasa sangat indah, namun ke empat orang itupun tidak sempat menikmati keindahannya, karena mereka semua telah berkerudung kain panjang, terbuai dialam mimpi,
Malampun telah sampai ke ujungnya, semburat merah diufuk timur, bersaing dengan lintang panjer rina yang bersinar cemerlang, bintang timur, seakan-akan memancarkan kedip cahaya sekuat tenaganya, sebelum akhirnya redup terkalahkan oleh terangnya sinar matahari pagi.
Adipati Hadiwijaya beserta tiga orang pengikutnya segera membersihkan dirinya di sungai Tuntang dan bersiap meneruskan perjalanannya, dan beberapa saat kemudian, empat ekor kuda berlari menyusuri sungai Tuntang ke arah hulu, ke arah Rawa Pening.

Matahari telah merayap semakin tinggi, ketika mereka sampai dipertigaan yang menuju Sima.
Kuda Adipati Hadiwijaya berhenti diikuti oleh pengikutnya, lalu terlihat Jaka Wila mendekatkan kudanya ke Hadiwijaya.
"Bagaimana Kanjeng Adipati ?" tanya Jaka Wila.
"Ini Jalan simpang, yang ke kiri menuju Sima, sedangkan yang lurus menuju Rawa Pening, kau lewat yang lurus menuju Banyubiru, sedangkan aku bersama kakang Penjawi dan Mas Manca belok kekiri lewat Sima menuju Pajang" kata Adipati Pajang.
"Baik Kanjeng Adipati, saya sekarang akan berjalan lurus, menuju Banyubiru" kata Jaka Wila.
"Hati-hati Jaka Wila"
Jaka Wilapun menjalankan kudanya, lurus menuju Banyubiru, sedangkan Adipati Hadiwijaya bersama Penjawi dan Mas Manca membelokkan kudanya ke arah Sima.
Ketika memasuki hutan didekat Sima, kuda mereka tidak bisa lari cepat, terpaksa mereka menjalankan kudanya perlahan-lahan, bahkan kadang-kadang merekapun menuntunnya apabila melewati batang pohon yang roboh ditengah jalan.

Matahari telah condong ke barat, sebentar lagi akan menghilang di cakrawala, setelah beberapa kali beristirahat, sampailah Adipati Hadiwijaya di bumi Pajang.
Kuda-kuda masih berlari menuju ke arah bulak amba yang sekarang telah menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Pajang.
Wuragil dan Wenang berdiri menyambut kedatangan Adipati Hadiwijaya, mereka berdua berdiri didepan dalem kadipaten,
Kuda yang ditumpangi Hadiwijaya kemudian berhenti di depan dalem kadipaten, disusul oleh dua ekor kuda yang lain, kemudian Wuragil dan Wenang menghampiri Adipati Hadiwijaya yang telah turun dari kudanya.
Setelah berhadapan dengan Hadiwijaya, keduanya lalu mengucapkan selamat atas pegangkatannya sebagai Adipati Pajang,
"Terima kasih" kata Hadiwijaya.
Wenangpun maju memegang tali kendali kuda Hadiwijaya, lalu di bawanya kebelakang, setelah itu kuda-kuda yang lainpun juga dibawa kebelakang.

Malam itu, setelah membersihkan dirinya, Adipati Hadiwijaya beristirahat, baru keesokan harinya, Hadiwijaya mengumpulkan para sahabatnya di pendapa kadipaten,
"Ki Wuragil, kakang Penjawi, Mas Manca, dan kau Wenang" kata Hadiwijaya.
"Dawuh dalem Kanjeng Adipati" kata Wuragil.
"Diperjalanan kemarin, aku sudah berbicara dengan kakang Penjawi dan Mas Manca tentang rencana kedepan, tetapi aku belum membicarakan dengan Ki Wuragil dan Wenang" kata Adipati Hadiwijaya.
Semua yang hadir bersiap mendengarkan, terutama Wuragil dan Wenang yang tidak ikut ke kotaraja Demak.
"Ki Wuragil dan Wenang, setelah aku di wisuda menjadi Adipati Pajang dan mendapat layang kekancingan dari Kanjeng Sultan Trenggana, namaku sekarang adalah Hadiwijaya, dan aku merencanakan, empat hari lagi di Sasana Sewaka kadipaten Pajang ini, supaya diadakan pasewakan yang pertama bagi para bebahu diseluruh bumi Pajang" kata Adipati Pajang.
"Kemarin pagi, telah berangkat ke Pajang, lima belas orang prajurit dari kesatuan Wira Manggala, mereka akan membantu disini selama kita belum mempunyai prajurit sendiri, dan mereka akan tiba ditempat kita, kira-kira nanti sore" kata Adipati Hadiwijaya.

Setelah terdiam sejenak, maka Adipati Hadiwijaya melanjutkan :"Aku inginkan, sepasar setelah pasewakan para bebahu, Pajang sudah bisa mempunyai prajurit sendiri, dan untuk kepentingan para prajurit, maka kakang Pemanahan pulang sebentar ke Sela untuk mengambil seratus buah pedang pendek dan dua puluh bilah tombak yang akan digunakan untuk perlengkapan prajurit Pajang"
"Kekurangannya masih banyak, tetapi sebagian sudah dipesankan oleh Jaka Wila ke Banyubiru, dan aku harapkan Jaka Wila nanti sore sudah bisa kembali ke Pajang. Tetapi senjata yang dipesankan oleh Jaka Wila kepada pande besi Banyubiru ternyata juga masih kurang, dan untuk kekurangannya, ini adalah tugas dari Wenang" kata Hadiwijya selanjutnya.
Wenang mengangkat wajahnya, bersiap menjalankan perintah Adipati Hadiwijaya.
"Wenang, hari ini kau pergilah ke Butuh, pesankan ke pande besi di Butuh, untuk membuat lima puluh bilah pedang pendek beserta dua puluh bilah tombak, katakan kepada pande besi, pesanan ini supaya diselesaikan secepatnya" kata Kanjeng Adipati.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" jawab Wenang.
"Selain itu, dalam rangka lamaran dan pahargyan pengantin diajeng Sekar Kedaton, tolong sampaikan kepada Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, agar supaya mereka bisa ikut mendampingiku ke kotaraja Demak, tiga pasar setelah pisowanan agung kemarin"
"Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang aku harapkan bisa hadir sehari sebelum acara lamaran, dan nanti menginap di pesantren Kadilangu, Ki Ageng berdua sudah ditunggu oleh Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Adipati Hadiwijaya.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Wenang menyanggupi perintah Sang Adipati.

(bersambung)