Minggu, 16 November 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 31



KERIS KYAI SETAN KOBER 31

KARYA : APUNG SWARNA

BAB 11 : NAYAKA PRAJA 3

"Kadipaten Pajang adalah sebuah Kadipaten yang baru saja lahir, Kadipaten yang baru akan tumbuh, kita semua belum tahu songsong berwarna apa yang nanti akan diberikan oleh Kasultanan Demak untuk Kadipaten Pajang, mungkin nanti setelah pawiwahan pengantin, kita semua bisa mengetahui songsong Kadipaten Pajang" kata Pemanahan.
Wenangpun menganggukkan kepalanya, ia bisa mengerti keterangan yang diberikan oleh Pemanahan, mungkin saat ini songsong Kadipaten Pajang sedang dibuat di kotaraja Demak, dan nanti pada saatnya, songsong itu akan diberikan untuk Kadipaten Pajang. Pembicaraan mereka berdua terhenti ketika Lurah Wasana bersama seorang prajurit Wira Manggala yang berusia setengah baya, mendekati Wenang dan Pemanahan.

"Ki Pemanahan, nanti yang menjadi pranata adi cara adalah Ki Prana, sedangkan saya bersama Ki Ageng Nis Sela dan dua orang prajurit Wira Manggala lainnya akan menjemput Kanjeng Adipati di dalem Kadipaten" kata Lurah Wasana.
"Baik Ki Lurah Wasana" kata Pemanahan.
Tidak lama kemudian, beberapa orang bebahu beberapa dusun di Kadipaten Pajang yang akan mengikuti pasewakan, telah ada yang datang ke Sasana Sewaka.
Didepan Sasana Sewaka, beberapa orang berpakaian prajurit dari kesatuan Wira Manggala tampak berjaga-jaga dengan menyandang sebuah pedang pendek yang disangkutkan di ikat pinggangnya
Seperti air mengalir, satu per satu para bebahu datang ke Sasana Sewaka, ada juga dari tempat yang jauh, Pengging atau Butuh yang masih termasuk dalam wilayah Kadipaten Pajang. Beberapa orang prajurit Wira Manggala ada yang bertugas mencatat mereka yang datang, ada pula yang mengantar mereka masuk ke dalam Sasana Sewaka.

Wenang yang berdiri bersama Lurah Wasana, Pemanahan dan beberapa orang yang lain, yang saat itu yang berada didepan Sasana Sewaka, melangkah maju, ketika melihat seorang tua yang baru saja datang dan akan mengikuti acara pasewakan. Setelah bertemu, lalu diajaknya dan dikenalkannya kepada yang ada didepan Sasana Sewaka.
"Ini ayahku, Ki Ageng Butuh" kata Wenang
"Senang bertemu Ki Ageng" kata Pemanahan.
Ki Ageng Butuh, saudara seperguruan Ki Ageng Pengging, tersenyum ramah kepada semua calon nayaka praja Kadipaten Pajang. Setelah itu Wenangpun mengantar Ki Ageng Butuh masuk ke dalam ruangan Sasana Sewaka.

Ketika matahari semakin tinggi, Sasana Sewaka sudah hampir penuh, kelihatannya pasewakan akan segera dimulai.
Diluar Sasana Sewaka, dipenuhi puluhan orang-orang yang tidak ikut masuk kedalam, mereka bukan para bebahu Pajang, tetapi rakyat Pajang yang ingin menyaksikan jalannya pasewakan yang pertama di Kadipaten Pajang.
Diantara puluhan orang-orang yang berjalan kesana kemari didepan Sasana Sewaka, terdapat seorang tua berpandangan tajam, memakai ikat kepala dan membawa tongkat, kumis dan janggutnya sudah berwarna putih. Orang tua itu berjalan tertatih-tatih, berbaur bersama puluhan orang yang lain.

Ketika dilihatnya didalam Sasana Sewaka hampir penuh, iapun mengangguk-anggukkan kepalanya dan berkata dalam hati :"Kelihatannya para bebahu Pajang semuanya datang, tidak ada yang mbalela"
Orang tua itupun berkali-kali mengelus kumis dan janggutnya yang putih :"Mudah-mudahan kumis dan janggutku ini cukup kuat, tidak jatuh dijalan" kata orang tua itu dalam hati.
Betapa ia bangga terhadap kemenakannya, anak dari adiknya Kebo Kenanga, Karebet yang sekarang bernama Hadiwijaya, satu-satunya keturunan Pengging yang mampu menyamai kedudukan eyangnya, menjadi seorang adipati.

Ketika didepan Sasana Sewaka ada seorang anak muda yang telah dilihatnya semalam, maka iapun berkata dalam hati :"Itu Wenang, ilmunya cukup untuk menjadi salah satu benteng Kadipaten Pajang, dia pantas untuk menjadi seorang nayaka praja Pajang"
"Ternyata Wenang adalah anak dari Ki Ageng Butuh" katanya dalam hati sambil berjalan perlahan-lahan menuju kesebuah pohon diseberang Sasana Sewaka dan duduk disitu bersama beberapa orang yang lain.
Orang tua yang membawa tongkat itu adalah Kebo Kanigara yang sedang menyamar, yang selalu membayangi dan melindungi kemenakannya.
Pandangan matanya yang tajam melihat beberapa orang calon nayaka praja masih berdiri didepan Sasana Sewaka, dilihatnya Ki Ageng Nis sedang berbicara dengan seorang Lurah prajurit Wira Manggala.
"Itu Ki Ageng Nis Sela, mudah-mudahan Hadiwijaya bisa menarik dia supaya berpihak ke Pajang" kata Kebo Kanigara dalam hati.

Dilihatnya Lurah Wira Manggala sedang berbicara dengan seorang prajurit, lalu semua orang calon nayaka praja masuk ke dalam Sasana Sewaka.
Setelah itu Ki Ageng Nis Sela dan Lurah Wira Manggala serta dua orang prajurit, berjalan menuju dalem kadipaten untuk menjemput Adipati Hadiwijaya.
Didalam Sasana Sewaka, di depan sendiri, duduk bersila Wenang, Pemanahan, Penjawi, Wuragil, Jaka Wila dan Mas Manca.
Seorang prajurit Wira Manggala, Ki Prana, yang menjadi pranata adi cara pasewakan, memberitahukan sebentar lagi Kanjeng Adipati Hadiwijaya akan memasuki ruangan.
Ki Prana berbicara dengan keras, sehingga bisa didengar oleh semua yang hadir di Sasana Sewaka, iapun mohon kepada semua yang hadir untuk berdiri, bersikap dengan tangan ngapurancang, serta kepala menunduk sebagai rasa hormat kepada Adipati Pajang, Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
Para bebahu yang hadir semuanya telah berdiri, menunggu kedatangan Adipati Hadiwijaya di ruangan Sasana Sewaka.

Tak lama kemudian, terlihat Adipati Hadiwijaya mengenakan busana ksatrian, memakai keris yang menjadi sipat kandel Kadipaten Pajang, berjalan perlahan-lahan memasuki Sasana Sewaka, di sebelah kanannya berjalan Lurah Wasana dari kesatuan prajurit Wira Manggala Kasultanan Demak, disebelah kirinya berjalan Ki Ageng Nis Sela, sedangkan dibelakangnya berjalan dua orang prajurit Wira Manggala Demak.
Semua yang hadir bersikap ngapurancang dan membungkukkan badannya serta menyembah ketika Sang Adipati lewat didepannya.
Perlahan-lahan Adipati Hadiwijaya berjalan kedepan, kemudian duduk di kursi, menghadap ke semua yang hadir di Sasana Sewaka. Setelah Adipati Hadiwijaya duduk di kursi, para bebahu yang hadir kemudian kembali duduk bersila dilantai, dengan kepala tetap menunduk.

Setelah mengantar Adipati Hadiwijaya duduk di kursi, Lurah Wasana dan Ki Ageng Nis Sela kemudian berdiri di belakang Sang Adipati, sedangkan dua orang prajurit Wira Manggala segera duduk bersila dilantai di belakang Lurah Wasana dan Ki Ageng Nis Sela. Didalam Sasana Sewaka, Ki Prana mengatakan pasewakan akan segera dimulai, dan semua yang hadir akan mendengarkan titah dari Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
Adipati Hadiwijaya mengedarkan pandangannya kepada semua bebahu yang duduk bersila dihadapannya, lalu dilanjutkan dengan sambutannya yang pertama, yang diucapkan dengan tenang dan tegas.
Tidak banyak kalimat yang diucapkan, Adipati Hadiwijaya hanya menjelaskan, saat ini kedudukannya sebagai Adipati Pajang adalah sah karena diangkat oleh Kanjeng Sultan Trenggana, sebagai penguasa tunggal Kasultanan Demak

Kadipaten Pajang berada dibawah kekuasaan Kasultanan Demak yang kekuasaannya meliputi semua Kadipaten, Tanah Perdikan, Kademangan, Kabuyutan, Pedusunan, Pakuwon yang tersebar hampir diseluruh tanah Jawa.
Tak lupa Adipati Hadiwijayapun mengucapkan terima kasih atas kehadiran dan pemberian asok bulu bekti yang telah diberikan oleh para bebahu diseluruh tlatah Pajang dan telah diterimanya kemarin.
Kemudian dilanjutkannya dengan acara pengangkatan beberapa orang yang akan dijadikan sebagai nayaka praja pemerintahan Kadipaten Pajang. Hampir semua orang yang hadir berdebar-debar menanti titah Kanjeng Adipati Hadiwijaya selanjutnya, menunggu apa yang akan diucapkan tentang pengangkatan nayaka praja Kadipaten Pajang.
"Untuk pembentukan nayaka praja, aku telah mempertimbangkan masak-masak, semua yang aku angkat telah aku ketahui kesetiaannya kepada Kadipaten Pajang" kata Adipati Hadiwijaya.

"Yang pertama, Dimas Wenang, aku angkat menjadi sentana dalem, dengan nama baru Wenang Wulan" kata Adipati Hadiwijaya.
Ki Ageng Butuh yang mendengar anaknya, Wenang diangkat menjadi sentana dalem menjadi gembira.
"Nama barunya Wenang Wulan, dan aku telah menyaksikan sendiri ketika berada ditepi sungai mengejar seberkas sinar yang ternyata sinar itu adalah sebuah wahyu keraton, dan sekarang wahyu itu sudah masuk, manjing didalam diri Adipati Hadiwijaya, dan sebentar lagi akan meningkat menjadi seorang Raja atau seorang Sultan, Sultan Hadiwijaya, maka Wenang Wuianpun sebutannya berubah menjadi seorang Pangeran, Pangeran Wenang Wulan" kata Ki Ageng Butuh dalam hati.
Ki Ageng Butuhpun menjadi gembira karena Wenang Wulan sekarang sudah menjadi seorang sentana dalem Kadipaten Pajang.
"Aku hanya menjadi seorang bebahu di Butuh, tetapi anakku Wenang Wulan diangkat menjadi seorang sentana dalem Kadipaten Pajang" desis Ki Ageng Butuh tersenyum gembira

Suasana Sasana Sewaka menjadi hening, kemudian terdengar suara Adipati Hadiwijaya.
"Untuk pengangkatan nayaka praja Kadipaten Pajang selanjutnya" kata Adipati Pajang :"Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, keduanya aku angkat sebagai perwira Penatus Kadipaten Pajang sekaligus merangkap tugas sebagai penasehat Adipati" kata Adipati Hadiwijaya.
Mendengar keputusan tentang pengangkatan terhadap anaknya Pemanahan dan anak angkatnya Penjawi, Ki Ageng Nis Sela yang berdiri berada di belakang Sang Adipati menjadi senang.
"Bagus, Pemanahan dan Penjawi telah diangkat menjadi seorang perwira Penatus Kadipaten Pajang, yang berhak memimpin prajurit paling sedikit seratus orang" kata Ki Ageng Nis dalam hati.
"Kalau beberapa warsa lagi Kadipaten Pajang bisa menjadi besar, maka Pemanahan dan Penjawi bukan lagi seorang perwira Penatus, tetapi bisa naik menjadi seorang perwira Panewu, bahkan nantinya mereka dapat menjadi seorang senapati yang bisa memimpin prajurit segelar sepapan" pikir Ki Ageng Nis menganyam harapan.
"Disamping menjadi seorang perwira Penatus, Pemanahan dan Penjawi juga mendapat kehormatan sebagai penasehat Adipati Pajang" kata Ki Ageng Nis Sela sambil tersenyum.

"Pembentukan nayaka praja selanjutnya" kata Adipati Pajang :"Ki Wuragil dan Dimas Jaka Wila, keduanya aku angkat sebagai Bupati njero dengan nama baru Ngabehi Wuragil dan Ngabehi Wilamarta" kata Adipati Hadiwijaya.
"Selanjutnya, Mas Manca akan menjalankan tugas sebagai Patih Kadipaten Pajang dengan nama baru, Patih Mancanagara" kata Adipati Pajang.
Semua yang hadir menyaksikan, pembentukan nayaka praja Kadipaten Pajang sudah selesai dibacakan oleh Adipati Hadiwijaya, dan acara pasewakan kemudian dilanjutkan dengan pemberian Serat Kekancingan.
Para nayaka praja yang baru diangkat, sentana dalem Wenang Wulan, Pemanahan, Penjawi, Ngabehi Wuragil, Ngabehi Wilamarta dan Patih Mancanagara, semuanya berdiri dan siap menerima Serat Kekancingan yang telah dipersiapkan. Mereka menerima Serat Kekancingan yang ditulis sendiri oleh Adipati Hadiwijaya dalam keadaan tergulung, setelah itu merekapun kembali ketempatnya, duduk bersila dihadapan Adipati Hadiwijaya.

Setelah acara pembentukan nayaka praja selesai, maka Adipati Hadiwijaya mengatakan kepada semua yang hadir, dua pasar lagi ia akan melangsungkan pernikahannya dengan Sekar Kedaton Kasultanan Demak, Putri Mas Cempaka.
Adipati Hadiwijaya mengatakan, dua pasar lagi rombongan Adipati Pajang akan berangkat ke kotaraja untuk melaksanakan adi cara lamaran kepada putri Sultan Trenggana yang menjadi Sekar Kedaton Kasultanan Demak, putri Mas Cempaka.
Selanjutnya Sang Adipati menjelaskan, setelah pahargyan pernikahannya, maka sepasar kemudian pengantin wanita akan diboyong ke Pajang, untuk itu ia mohon doa restu kepada seluruh rakyat Pajang, agar supaya semua acara yang di jalani dapat terlaksana dengan lancar.
Setelah itu Ki Prana mengatakan, adi cara pasewakan dilanjutkan dengan pembacaan doa yang akan dibacakan oleh Pemanahan.

Pemanahanpun berdiri dan sebagai salah seorang murid dari Kanjeng Sunan Kalijaga, maka Pemanahanpun dengan tenang dan lancar segera membaca doa. Tak lama kemudian, setelah pembacaan doa selesai, maka acara Pasewakan telah dinyatakan selesai, Ki Prana mempersilahkan Kanjeng Adipati Hadiwijaya, untuk berdiri dan kembali ke ruang dalem kadipaten.
Setelah mendengar Kanjeng Adipati kembali ke ruang dalem Kadipaten, maka semua yang hadir di Sasana Sewaka segera berdiri ngapurancang, membungkukkan badan dan menundukkan kepala, lalu merekapun menyembah, menghormat kepada Kanjeng Adipati yang lewat di depannya.
Lurah Wasana dan Ki Ageng Nis Sela juga segera berdiri mengapit Kanjeng Adipati yang bersiap untuk berjalan ke dalem kadipaten, demikian juga dengan dua orang prajurit Wira Manggala yang duduk dibelakangnya, mereka berdua telah berdiri, siap mengawal Adipati Hadiwijaya.
Beberapa saat kemudian, berjalanlah Adipati Hadiwijaya diapit oleh Lurah Wasana dan Ki Ageng Nis Sela dan dibelakangnya berjalan dua orang prajurit Wira Manggala.

Demikianlah, pasewakan pertama telah dilaksanakan di Kadipaten Pajang, semua acara telah berlangsung lancar, dan setelah Adipati Hadiwjaya kembali ke dalem Kadipaten, pasewakanpun selesai dan telah dibubarkan.
Terlihat beberapa orang bergerombol pulang meninggalkan Sasana Sewaka, termasuk juga seorang tua yang memakai tongkat dan berjalan tertatih-tatih menuju ke arah hutan disebelah barat bersama beberapa orang yang lain, dan setelah sampai dibawah kerimbunan pohon-pohon ditepi hutan, tiba-tiba orang tua itupun telah menghilang dari pandangan.
 Di depan Sasana Sewaka, setelah berpamitan kepada nayaka praja Kadipaten Pajang, Ki Ageng Butuhpun berjalan pulang ke Butuh diantar oleh Wenang Wulan sampai di tepi hutan,

Sementara itu di Kadipaten Jipang, di depan Sasana Sewaka, beberapa orang kepercayaan Adipati Arya Penangsang sedang berdiri dan berbicara tentang kesiapan menata Jipang yang baru tumbuh.
Rangkud bersama Lurah Radya dari kesatuan Wira Manggala sedang membicarakan persiapan pasewakan yang pertama bagi Kadipaten Jipang.
"Kapan Adipati Arya Penangsang akan mengadakan pasewakan di Kadipaten Jipang, Rangkud?" kata Lurah Radya,
"Empat hari lagi Ki Lurah" jawab Rangkut.
"Kita masih punya waktu tiga hari, besok para prajurit Wira Manggala akan berkeliling memberitahukan ke para bebahu diseluruh tlatah Jipang" kata Lurah Radya.
"Ya Ki Lurah, nanti biar diantar oleh beberapa orang Jipang" kata Rangkud.

Didekatnya, Matahun sedang bersiap untuk melihat pembangunan dalem kepatihan.
Setelah mendapatkan tempat yang tidak jauh dari dalem kadipaten, Matahun sejak kemarin tiga orang tukang dan seorang pembantu, mulai melaksanakan perintah Kanjeng Adipati Jipang, Arya Penangsang untuk membangun dalem Kepatihan.
"Siapapun nanti yang akan diangkat menjadi patih Jipang, bagiku tidak masalah, terserah Kanjeng Adipati Arya Penangsang" kata Matahun dalam hati.
Sejak kemarin, tiga orang tukang dibantu oleh seorang pemuda telah mulai bekerja, membersihkan dan menebang beberapa pohon yang tidak terlalu besar, yang berada di tempat itu, mereka berempat bekerja keras dari pagi sampai sore hari. Ketika matahari semakin tinggi, Matahunpun kemudian berjalan menuju tempat yang akan dibangun dalem kepatihan.

Secara diam-diam, Matahun memperhatikan pemuda yang membantu menebang pohon, seorang pemuda yang rajin, berkerja terus menerus dari pagi sampai petang, berbadan tegap, kuat, berkumis tipis, mempunyai pandangan mata yang tajam seperti seekor macan.
"Hm seorang anak muda yang tegap dan gagah, dari pada hanya membantu tukang kayu, anak itu lebih pantas menjadi seorang prajurit Jipang" kata Ki Matahun dalam hati.
Ketika waktu istirahat, Matahunpun memanggil anak muda yang menarik perhatiannya itu.
"Siapa namamu anak muda?" tanya Matahun.
"Nama saya Anderpati" jawab anakmuda itu.
"Kau berasal dari mana Nderpati?" tanya Matahun.
"Dari sini Ki, Jipang" jawab Anderpati
"Kau sejak kecil tinggal di Jipang?"
"Ya Ki Matahun, sejak lahir saya berada di Jipang"
"Daripada menjadi pembantu tukang kayu, sebetulnya kau lebih pantas menjadi seorang prajurit Jipang, Nderpati" kata Ki Matahun.
"Belum mendapat kesempatan Ki" kata Anderpati.
"Nderpati, nanti setelah Kanjeng Adipati Arya Penangsang pulang dari kotaraja Demak tiga pasar lagi, akan segera dibentuk prajurit Jipang, aku harapkan kau bisa ikut pendadaran prajurit Nderpati" kata Matahun.
"Ya, Ki Matahun" jawab Anderpati.
"Nderpati, kalau kau menjadi prajurit, apa yang akan kau perbuat untuk Kadipaten Jipang?" tanya Matahun.

Anderpati yang bermata tajam setajam mata seekor macan, menjawab pertanyaan Ki Matahun dengan suara tegas dan tenang :"Ki Matahun, saya seutuhnya adalah orang Jipang, saya lahir di Jipang, hidup di Jipang, makan dan minum dari bumi Jipang, seluruh hidupku akan saya abdikan untuk Kadipaten Jipang"
Matahun yang semakin tertarik dengan anak muda yang rajin dan bertubuh kuat itu, lalu menepuk bahu anak muda itu dan berkata pelan :"Bagus Nderpati, sikapmu sebagus namamu Anderpati"
"Nanti malam wayah sepi bocah, datanglah di tanah lapang ditepi Bengawan Sore, kau tunggu aku disana" kata Matahun selanjutnya.
"Baik Ki Matahun" jawab Anderpati.

Setelah melihat-lihat hasil pembersihan lahan yang akan dibuat dalem kepatihan, Matahunpun kemudian berniat pulang ke dalem Kadipaten.
"Aku tinggal dulu Nderpati, aku akan kembali ke dalem Kadipaten, jangan lupa nanti malam, disaat waktu sudah menunjukkan sepi bocah, kita bertemu di tanah lapang, ditepi Bengawan Sore" kata Matahun.
"Baik Ki Matahun" kata Anderpati.
Anderpati melihat ke arah Ki Matahun, orang yang berilmu tinggi dan dihormati di Kadipaten Jipang Panolan, berjalan meninggalkannya, kembali menuju dalem Kadipaten.
Hingga matahari condong kebarat, Anderpati bekerja tanpa kenal lelah, tubuhnya yang kuat, dengan mudah dipergunakan untuk menyingkirkan kayu-kayu yang sudah ditebang.

Demikianlah, suasana yang terang berangsur-angsur berubah menjadi gelap, siang berganti malam, dan ketika gelap telah menyelimuti bumi Jipang, Anderpatipun terlihat sedang berjalan menuju sebuah tanah lapang kecil dipinggir Bengawan Sore.
"Apa maksud Ki Matahun menyuruhku datang ke tanah lapang di tepi Bengawan Sore?" katanya dalam hati.
Anderpati berjalan terus, bulan yang hanya sepotong, tidak cukup kuat untuk menerangi daerah disekitar Bengawan Sore, sehingga bayangan pohon kelihatan seperti sebuah bayangan hantu yang siap menerkam.
Tetapi Anderpati adalah bukan seorang penakut, ia terus berjalan menuju sebuah tanah lapang tanpa menghiraukan bayangan hantu yang akan menerkamnya. Beberapa saat kemudian sampailah ia ke sebuah lapangan kecil yang banyak beterbaran rumput-rumput dipinggir Bengawan Sore.
Kemudian Anderpatipun duduk dibawah sebatang pohon, tidak menghiraukan keindahan pantulan cahaya bulan yang memantul di permukaan air Bengawan Sore, Pandangan matanya yang tajam, setajam mata harimau, menyapu daerah sekelilingnya, mencari sosok bayangan Ki Matahun yang menyuruhnya menunggu di tepi Bengawan Sore.

Anderpati tidak usah menunggu lama, dari kejauhan tampak dua sosok bayangan hitam berjalan menuju ke tanah lapang, berjalan mendekatinya.
"Itu Ki Matahun dan Ki Rangkud" desis Anderpati, lalu iapun berdiri menanti bayangan yang semakin lama semakin dekat.
"Nderpati" kata Matahun setelah jarak keduanya sudah dekat.
"Ya Ki Matahun" kata Anderpati.
"Bagus, kau mau datang ketempat ini, kau tahu maksudku kalau kita ingin bertemu di tempat yang sepi ini?" tanya Matahun.
"Belum Ki" kata Ki Matahun.
"Dengar Nderpati, kau aku panggil kesini, karena aku ingin membunuhmu" kata Matahun.
"Ki Matahun ingin membunuhku? Aneh, kita tidak mempunyai persoalan apapun" kata Anderpati heran.
"Ada atau tidak ada persoalan malam ini aku ingin membunuhmu ditepi Bengawan Sore ini, tempat ini sepi, tentu tidak ada seorangpun yang tahu kalau aku membunuh seorang anak muda yang bernama Anderpati, bersiaplah Nderpati" kata Matahun.
"Rangkud, bunuh dia" teriak Matahun keras sambil telunjuknya menuding ke arah Anderpati.

Setelah memberi perintah kepada Rangkud, maka Matahun kemudian menepi dan berdiri sambil bersedekap menyilangkan kedua tangan di depan dadanya, menunggu Rangkud yang yang berjalan mendekati Anderpati.
Anderpati yang masih heran melihat sikap Matahun, orang yang berilmu tinggi dan dihormati oleh penduduk Jipang, terkejut ketika melihat Rangkud telah bersiap menyerangnya, dan Anderpatipun tahu, Rangkud adalah salah seorang tokoh yang berilmu tinggi di Kadipaten Jipang, orang kepercayaan Adipati Arya Penangsang.
Tetapi Anderpati bukan seorang pengecut, dia pernah diajari olah kanuragan oleh pamannya yang menjadi tukang, yang saat ini sedang membangun dalem kepatihan, sesaat kemudian Anderpatipun juga bersiap, dia tidak mau mati di tepi Bengawan Sore tanpa perlawanan.
"Bersiaplah Nderpati, aku akan membunuhmu sekarang, melawan atau tidak melawan" kata Rangkud.
Kemudian Rangkudpun melompat kedepan, tangannya terayun keras memukul badan Anderpati, yang terpaksa melompat mundur. Rangkudpun melompat sekali lagi mengejar Anderpati, dengan pukulan sisi telapak tangannya, dari arah samping kanan, dan Rangkudpun berusaha memukul pundak Anderpati.

Dengan cepat Anderpati memutar dan menggeser badannya kesamping, dan jari tangannya mengepal dan memukul lurus tangan Rangkud yang sedang menyerangnya.
Rangkud yang sudah menduga serangan itu, sisi telapak tangannya seketika berubah mengembang lima jari, dan dengan kecepatan yang tidak diduga oleh lawannya, kepalan tangan Anderpati masuk kedalam cengkeraman lima jari Rangkud.
Anderpati merasa terkejut ketika kepalan tangannya tertangkap oleh lima jari Rangkud yang kuat. Anderpati merasa kepalan tangannya seperti dijepit besi, tetapi tiba-tiba terasa jepitan itu melonggar dan tangannyapun terlepas, dan ketika ia merasa kepalan tangannya sudah bebas, maka dengan cepat ia melompat maju, dan tendangan kaki Anderpati bergerak akan menghantam perut Rangkud.
Rangkudpun tidak mau perutnya diadu dengan kaki lawannya, segera kedua tangannya digerakkan kebawah menangkis kaki Anderpati.

Untuk kedua kalinya terjadi benturan, kaki Anderpati beradu dengan tangan Rangkud.
Anderpati merasa kakinya seperti membentur dinding batu padas, sehingga ia melompat mundur selangkah, tetapi akibat yang tidak diduganya adalah, benturan itu mengakibatkan Rangkud terlempar ke belakang dua langkah, jatuh berguling lalu dengan tangkasnya Rangkudpun bisa berdiri tegak, bersiap menerima serangan dari Anderpati.
Melihat Rangkud terlempar kebelakang tiga langkah, Anderpati berbesar hati, iapun lalu melompat kedepan menyerang dengan sisi telapak tangannya kearah kepala.
Ditepi lapangan, Matahun dengan sepenuh hati memperhatikan pertarungan antara Rangkud melawan Anderpati, matanya yang tajam mengamati setiap gerakan yang dilakukan oleh Anderpati.
Pandangan mata Matahun yang tajam melihat gerakan olah kanuragan yang dilakukan oleh Anderpati.
Semua gerakan yang dilakukan oleh Anderpati diperhatikan oleh Matahun, menendang, menyikut, memukul, menangkis, menghindar kesamping, berguling, melompat kedepan maupun kebelakang, semuanya tidak luput dari pandangan Matahun yang tajam.
"Hmm semua gerakannya masih mentah" kata Matahun dalam hati.
"Anderpati hanya berbekal keberanian saja, untung saja bentuk tubuh dan kekuatannya bagus, jadi lebih mudah membentuknya" kata Matahun dalam hati

Beberapa saat telah berlalu, Rangkudpun masih melayani semua serangan yang dilakukan oleh Anderpati, keduanya bergerak cepat saling serang, saling pukul, seringnya terjadi benturan mengakibatkan tangan dan kaki Anderpati terasa sakit.
Mereka berdua masih mampu bergerak cepat, baju Anderpati telah basah kuyup terkena keringat yang keluar dari badannya.
Ketika Rangkud sudah merasa pertarungan sudah cukup lama, maka iapun berniat untuk menghentikan pertarungan ini, iapun memandang ke arah Matahun, dan Rangkudpun melihat Ki Matahun menganggukkan kepalanya.

Ketika Anderpati memukul wajah Rangkud dengan kepalan tangannya, dengan cepat Rangkud bergeser dan berputar ke kiri, dan tiba-tiba Anderpati merasa tangannya dipegang Rangkud erat sekali, dan dengan kecepatan yang mengagumkan, Rangkud bergerak ke bekakang tubuhnya, dan secara cepat tangannya telah terpilin ke belakang, sehingga Anderpati tidak mampu sama sekali untuk bergerak.
"Cukup Rangkud, berhenti Nderpati" teriak Matahun.
"Berhenti !" teriak Matahun selanjutnya.
Anderpati yang tangannya terpilin kebelakang, tidak bisa bergerak sama sekali, kecepatan Rangkud sewaktu memilin tangannya ke punggungnya adalah diluar dugaannya, cepat sekali.
Rangkudpun kemudian melepaskan tangan Anderpati yang telah dipilinnya sehingga lekat kepunggungnya sendiri.
"Berhenti, cukup sekian latihan untuk hari ini" kata Matahun selanjutnya.
Anderpati terkejut, dengan nafas terengah-engah maka iapun menghentikan pertarungan.
"Latihan, maksud Ki Matahun semua ini hanya latihan?" tanya Anderpati.
"Ya, semua ini memang latihan, kenapa ?" tanya Matahun sambil tersenyum.
"Ki Matahun tidak jadi membunuh aku?" tanya Anderpati.
"Nderpati, Nderpati, mana mungkin aku akan membunuh orang yang setia kepada Jipang, aku bilang akan membunuhmu, supaya kau mengeluarkan semua kemampuanmu, tetapi ternyata kenyataannya, kemampuanmu masih mentah, kau tidak punya bekal kemampuan olah kanuragan sama sekali" kata Matahun.

" Ya Ki" jawab Anderpati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu dilihatnya Rangkud dengan tubuh yang masih segar tersenyum kepadanya.
"Berarti Ki Rangkud tadi hanya pura-pura terlempar ketika terkena tendangan kakiku" kata Anderpati.
"Ya, supaya kau bertambah semangat untuk berusaha bisa mengalahkan aku" kata Rangkud.
"Bukan begitu Ki Rangkud, tetapi saya tidak mau mati terbunuh disini" kata Anderpati.
"Dengar Nderpati" kata Ki Matahun :"Aku inginkan kau besok menjadi salah satu pemimpin prajurit Jipang yang berkemampuan tinggi seperti Rangkud, tetapi saat ini ilmu kanuraganmu masih mentah, sehingga kau masih perlu banyak belajar dan berlatih" kata Matahun.
"Ya Ki Matahun, saya sudah berusaha tetapi dari dulu ilmu kanuragan saya tidak pernah meningkat" kata Anderpati.
"Baiklah Anderpati, mulai besok malam kau akan kulatih, sebelum kita punya tempat yang lebih baik, kau akan kulatih ditepi Bengawan Sore ini, kecuali kalau aku ada kepentingan lainnya tidak berada di Jipang, kau bisa berlatih sendiri, kau bisa mengulang semua jurus yang sudah aku ajarkan" kata Matahun
"Terima kasih Ki Matahun, terima kasih, Ki Matahun sudah mau menerima saya sebagai murid" kata Anderpati.
"Ya, yang penting bagiku adalah sikapmu Nderpati, hidup matimu kau pergunakan untuk membela Jipang"
"Ya Ki, berarti saya bersama-sama Ki Rangkud adalah saudara seperguruan" kata Anderpati.
"Berbahagialah kau Anderpati, aku memang pernah diajari sejurus dua jurus, tetapi aku bukan murid Ki Matahun, kau adalah satu-satunya orang yang diangkat menjadi murid oleh Ki Matahun" kata Rangkud menjelaskan.
"Terima kasih Ki Matahun, terima kasih Ki Rangkud" kata Nderapati
"Ya mari kita pulang, besok kita berlatih lagi" kata Matahun.

Matahun dan Rangkudpun kemudian meninggalkan tanah lapang ditepi Bengawan Sore, demikian juga dengan Anderpati yang mempunyai sorot mata seperti seekor macan, dia mengambil jalan lain, pulang ke rumahnya sendiri.
Malampun semakin larut, dan ketika malam telah sampai diujungnya, maka matahari segera muncul disebelah timur, dan bangunlah seisi bumi Jipang,
Ketika tlatah Jipang sudah semakin terang, maka Lurah Radya memerintahkan beberapa orang prajurit Wira Manggala untuk berkeliling diseluruh pelosok Jipang, memberitahu kepada semua bebahu Kadipaten Jipang untuk memenuhi kewajiban sowan pada pasewakan yang pertama yang akan diadakan di Sasana Sewaka, dua hari lagi.
Tiga kelompok prajurit Jipang bersama seorang penunjuk jalan dari Jipang, mulai berangkat meninggalkan Sasana Sewaka,
Tanpa kesuiitan apapun, mereka menemui semua bebahu, dan sambutan dari para bebahu semuanya sangat baik, karena keluarga Arya Penangsang sudah sangat dikenal dan dihormati di seluruh Kadipaten Jipang. Sejak jaman Majapahit, Jipang sudah merupakan sebuah desa yang besar, yang mempunyai seorang Senapati Demak, Sunan Ngudung yang merupakan eyang dari Adipati Arya Penangsang.
Saat ini, tidak ada seorangpun bebahu dari Kadipaten Jipang yang menyangsikan kemampuan Arya Penangsang dalam memimpin Kadipaten Jipang.

(bersambung)

Rabu, 05 November 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 30


KERIS KYAI SETAN KOBER 30

KARYA : APUNG SWARNA

BAB 11 : NAYAKA PRAJA 2

Sementara itu, di Sasana Sewaka, beberapa saat yang lalu, Wenang yang sebetulnya belum tidur, mendengar suara burung kedasih yang tiba-tiba terdengar menjauh.
Pengalamannya meninggalkan desa Butuh bertahun-tahun untuk berguru ilmu kanuragan di beberapa perguruan di tanah Jawa, membuatnya mampu bersikap waspada.
Dengan tidak menarik perhatian orang-orang yang berada di Sasana Sewaka, Wenang mengambil pedang pendeknya, kemudian Wenangpun melangkahkan kakinya turun dari Sasana Sewaka, menuju halaman belakang, dan pedangnyapun kemudian disangkutkan pada ikat pinggangnya,
Matanya yang tajam memandang ke arah suara burung kedasih, dan sempat dilihatnya sekelebat orang yang sedang berlari, setelah itu bayangan itupun hilang di kegelapan malam.
"Siapa orang itu" katanya dalam hati, pada saai ini, semua sahabat-sahabatnya sedang berada di Sasana Sewaka.
Dengan cepat dan tangkas, Wenang berlari mengejar bayangan yang telah menghilang di kegelapan malam, Wenang sama sekali tidak dapat melihatnya karena cahaya bulan yang lemah tidak mampu untuk menerangi seluruh jalan disekitar dalem kadipaten.
Di kejauhan, di arah barat, masih terdengar suara burung kedasih, Wenangpun dengan penuh kewaspadaan berjalan hati-hati menuju ke arah suara itu.
"Orang itu menuju ke arah barat" kata Wenang dalam hati.

Sementara itu, agak jauh dari tempat Wenang berjalan mencari suara burung kedasih, Kebo Kanigara sedang duduk diatas kayu yang mellintang, sedang berbicara dengan kemenakannya, Adipati Hadiwijaya.
"Ternyata setelah Pajang menjadi sebuah Kadipaten, banyak orang yang babat alas, mendirikan rumah di sekitar kadipaten" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, nanti kedepan, didaerah ini bisa menjadi sebuah kotaraja yang ramai. Kotaraja Pajang" kata Adipati Hadiwijaya.
Kebo Kanigara terdiam, hanya memandang tajam kepada kemenakannya.
"Mereka yang mendirikan rumah di sini banyak yang berasal dari jauh, ada yang berasal dari balik gunung Merapi, ada pula yang berasal dari seberang alas Mentaok, ada juga yang berasal dari sebelah kulon kali Progo, dekat dengan ujung perbukitan Menoreh" kata Kebo Kanigara.
"Mudah-mudahan mereka kerasan tinggal di Pajang" kata Adipati Hadiwijaya.
Kebo Kanigara terdiam, suasana menjadi sepi, bulan yang hanya separo mampu sedikit memberi pendar cahaya di sekeliling tempat itu.

Tiba-tiba Kebo Kanigara berkata lirih:" Ada orang yang datang, dia berjalan menuju kemari"
Adipati Hadiwijaya terkejut, ditajamkannya pendengarannya dan didengarnya suara langkah kaki seseorang yang sedang berjalan menuju ke arahnya.
Keduanya dengan cepat berdiri dan berlindung dibalik pohon, dan dengan matanya yang tajam, meskipun cahaya bulan tidak sepenuhnya bisa membantu, tetapi dari bentuk tubuhnya, Hadiwijaya bisa segera mengetahuinya.
"Itu Wenang, dia pasti mengejar saya" kata Adipati Hadiwijaya lirih.
"Wenang, orang yang besok akan kau angkat menjadi nayaka praja ?" tanya uwanya.
"Ya wa, hanya dia yang belum aku ketahui tingkat ilmu kanuragannya, yang lainnya saya sudah tahu wa" kata Hadiwijaya.
"Kau akan mencoba kemampuan ilmu kanuragannya ?" tanya Kebo Kanigara.
Hadiwijaya mengangguk, mereka yang ikut bergabung di Pajang, Pemanahan, Penjawi, Wuragil, Mas Manca maupun Jaka Wila telah diketahui kemampuan ilmu kanuragannya, hanya Wenang yang belum pernah dilihat kemampuannya.

Wenang, yang pernah berkeliling di daerah bang kulon, belajar di beberapa perguruan, berlatih olah kanuragan sampai Cirebon, ke Gunung Ciremai bahkan sampai ke Segara Anakan, tentu mempunyai bekal yang cukup untuk dijadikan benteng Kadipaten Pajang.
Kebo Kanigara lalu mengeluarkan sebuah kain segi empat berwarna hitam yang panjangnya tiga jengkal, lalu kain itupun diberikan kepada Hadiwijaya.
"Kau pakai kain ini sebagai tutup muka dan kau pancing ia ke lapangan rumput yang agak luas disebelah barat pohon randu alas" kata uwanya.
Adipati Hadiwijaya kemudian menggunakan kain itu sebagai tutup muka, lalu dibagian belakang kepala diikat dengan erat, dan iapun siap untuk mencoba kemampuan Wenang dalam olah kanuragan.
Sementara itu Wenang yang berjalan berhati-hati, dengan penuh kewaspadaan mencari suara burung kedasih dan bayangan orang yang berkelebat berlari ke arah barat.
Tetapi Wenang terkejut ketika dengan tidak diketahui dari mana datangnya, ia melihat ada seseorang yang berjalan berlawanan arah, agak jauh di depannya, seakan-akan sedang menghampirinya.
"Orang itu sangat mencurigakan" kata Wenang dalam hati.

Dirabanya ikat pinggangnya, ketika tangannya menyentuh hulu pedang pendeknya, maka iapun berniat untuk menangkap orang yang mencurigakan, berjalan dimalam hari tanpa membawa penerangan apapun.
"Orang yang berjalan dimalam hari biasanya membawa sebuah obor" kata Wenang dalam hati.
Dibawah sinar bulan yang tidak begitu terang, Wenang tidak mengetahui siapakah orang yang sedang berjalan menuju ke arahnya.
Orang itu belum melihatnya, ia berjalan melenggang seenaknya dan ketika jaraknya sudah semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi, maka orang itupun terlihat terkejut ketika melihat Wenang, lalu iapun berbalik arah dan berlari menjauh.
Dengan sigap Wenangpun mengejarnya dan berteriak :"Berhenti Ki Sanak"
Tetapi orang itupun tetap belari cepat ke arah barat dan Wenangpun dengan sekuat tenaga mengejarnya.
Wenang mengerahkan semua kemampuannya untuk mengejar orang yang berlari didepannya, tetapi orang itupun juga tidak mau ditangkap, maka iapun lari dengan sekuat tenaga, berusaha melepaskan diri dari orang yang mengejarnya.
Beberapa saat mereka berkejaran, setelah melewati sebuah pohon randu alas, tibalah mereka disebuah tanah lapang yang tidak terlalu luas, lalu orang yang dikejar telah berhenti dan berbalik arah, menghadap ke pengejarnya.

Setelah berhadapan, barulah Wenang melihat dengan jelas, orang yang dikejarnya memakai secarik kain berwarna hitam untuk menutupi wajahnya.
Wenang adalah seorang pemuda yang cukup cerdik, ia sadar bahwa orang itu telah berpura-pura lari ketakutan.
"Aku telah dipancingnya berlari ke tanah lapang ini" kata Wenang dalam hati.
Diedarkannya pandangannya, ada kemungkinan orang yang dikejarnya membawa beberapa kawan untuk mengeroyoknya.
Tetapi suasana didekat pohon randu alas saat itu terlihat sepi, tidak ada gerakan apapun di sekitarnya.
"Ki sanak, kenapa kau lari ?" tanya Wenang :"Kenapa kau memancingku supaya aku mengejarmu ke tempat ini ? Kenapa wajahmu kau tutup dengan kain, siapa kau sebenarnya ?
Orang itu tidak menjawab apapun, hanya matanya yang tajam memandang ke arah Wenang.
"Kalau kau tidak mau menjawab, kau akan kutangkap, dan kau akan kubawa menghadap Kanjeng Adipati Hadiwijaya" kata Wenang.
Orang itupun masih tetap diam, tetapi terlihat ia menjadi gelisah.
"Menyerahlah" kata Wenang, tetapi ia terkejut ketika orang itu menyerangnya, dengan melompat kedepan dan kakinya terjulur menendang lambungnya.

Dengan cepat Wenang menghindar, memiringkan tubuhnya kearah kanan, sehingga tendangan orang yang wajahnya ditutup kain hitam itu tidak mengenainya.
Iapun tidak tinggal diam, tangannya bergerak kedepan dengan kekuatan penuh Wenang menghantam pundak lawannya.
Lawannya melangkah mundur, tetapi Wenang tidak melepaskannya, ia melompat dan dengan sisi telapak tangannya ia menghantam kepala lawannya
Kecepatan gerak Wenang memang mengagumkan, lawannya terkejut ketika sisi telapak tangan Wenang tiba-tiba bergerak akan menghantam kepalanya, diapun tidak sempat menghindar, yang dapat dilakukannya adalah menyilangkan kedua tangannya diatas kepalanya, mencoba membenturkan kekuatan kedua tangannya dengan sisi telapak tangan Wenang.
Terjadilah benturan yang keras, dan ternyata keduanya terkejut, Wenang dengan segenap kekuatan yang disalurkan disisi telapak tangannya seakan-akan merasa membentur tembok baja yang kuat sehingga kekuatan tangannya terpental membalik kebelakang, dan dengan susah payah Wenangpun mencoba menguasai dirinya, lalu iapun segera melompat mundur dua langkah, mencoba menjaga jarak dari serangan lawannya.

Lawannya tak kalah terkejutnya, hantaman sisi telapak tangan Wenang telah dapat ditahan dengan dua tangan bersilang diatas kepalanya, namun ternyata benturan itu mampu mendorongnya selangkah mundur, karena kedua tangannya terasa seperti tertimpa sebongkah batu hitam.
Benturan pertama mengakibatkan keduanya bisa mengukur dan mengetahui kekuatan lawannya.
"Ternyata tenaganya besar juga,ia mampu mendorongku mundur" desis orang yang wajahnya tertutup kain hitam.
"Bukan main, tenagaku tidak mampu membongkar pertahanan kedua tangannya yang bersilang" kata Wenang didalam hati :"Kedua tangannya kuat sekali"
Sadar bahwa lawannya berilmu tinggi, Wenang yang berniat akan secepatnya menangkap orang itu, segera mempersiapkan sebuah ilmu yang didapat dari seorang pertapa yang menyendiri di Segara Anakan.
Wenangpun akan berusaha melumpuhkan lawannya pada pancaran ilmunya yang pertama.
Direntangkannya kedua tangannya kesamping, hanya sekejap, setelah itu Wenangpun berteriak nyaring, melompat menyerang lawannya.
Kedua sisi telapak tangannya silih berganti tanpa henti menyerang tubuh orang yang wajahnya tertutup kain, dengan kecepatan yang mengagumkan.
Itulah ilmu gerak Segara Muncar, ilmu yang menyerang seperti ombak Segara Kidul, yang menghantam batu karang di tepi pantai, terus menerus tanpa berhenti.
Dengan cepat Wenang dapat mendesak lawannya yang terpaksa bergerak mundur, telah dua kali tangannya menyentuh pundak lawannya, tetapi kekuatan tubuh lawannya sangat luar biasa, dia seperti tidak merasakan rasa sakit ketika pundaknya tersentuh tangannya.

Cahaya bulan yang lemah menyinari tanah lapang disebelah pohon randu alas, seperti menyaksikan dua ekor ayam jantan yang sedang bertarung.
Terlihat samar-samar orang yang menggunakan penutup wajah mengalami kesulitan, dia beberapa kali melangkah mundur, terdesak oleh lawannya yang dapat bergerak cepat.
Secara bergantian kedua telapak tangan Wenang mengepal kuat, menghantam kearah dada, lalu berubah menjadi tusukan dua jari kearah mata, kemudian berubah lagi menjadi serangan sisi telapak tangan menyerang pundak, hanya kurang dari sejengkal, serangan sisi telapak tangan itu telah berubah menjadi cengkeraman lima jari mengancam leher.
Lawannya melompat mundur, ia tidak mau lehernya berlubang di lima tempat, dan iapun tidak mau dicecar ilmu lawannya, telah dua kali pundaknya terasa sakit tersentuh tangan lawannya.
Untuk melawannya, maka iapun segera mempersiapkan sebuah ilmunya, setelah melompat mundur, maka dengan cepat ia menghimpun tenaganya, melawan ilmu lawannya dengan sebuah ilmu kebanggaannya, Trisula Manik.
Sesaat kemudian Wenang melihat lawannya melompat kedepan sambil berteriak menyerang dirinya, Wenang tak mau dirinya tersentuh tangan lawannya, maka iapun melompat kesamping, lalu tangannya pun membalas menyerang.
Terjadilah benturan dua macam ilmu gerak, dan beberapa saat kemudian Wenangpun merasakan tekanan yang berat dari lawannya, dua buah tangan lawannya seakan-akan berubah seperti menjadi tiga buah.
Benturan-benturan yang terjadi, ternyata mampu mendorong Wenang bergerak mundur, badannya telah dua kali terkena tangan lawannya.
"Ilmu apa ini, mampu mendesak ilmu Segara Muncar, luar biasa ilmu kanuragan orang ini, mampu mendorongku mundur, siapakah dia sebenarnya" kata Wenang dalam hati, sambil tangannya menangkis serangan lawannya.

Dibawah cahaya bulan yang remang-remang, orang yang wajahnya tertutup kain berwarna hitam mendesak Wenang terus mundur kebelakang.
Ketika dua tangan lawannya menyerang bergantian, maka Wenangpun menghindar kesamping, tetapi ketika sekali lagi pundaknya terkena pukulan tangan yang ketiga, maka Wenangpun melompat mundur dua langkah, tangannya dengan cepat meraba hulu pedangnya dan dalam sekejap tangannya telah menggenggam erat pedang pendeknya.
Ketika sinar bulan yang lemah menyentuh ujung pedang yang digenggam Wenang, maka lawannyapun melihat betapa berbahayanya Wenang dengan ilmu yang mengandalkan gerak kecepatan tangan dipadukan dengan tajamnya sebuah pedang pendek.
"Menyerahlah sebelum terlambat, kau akan kubawa menghadap Kanjeng Adipati Hadiwijaya" kata Wenang sambil bersiap menyerang dengan menggunakan pedang pendeknya.
"Berbahaya" kata lawannya dalam hati.

Lawannya menarik nafas panjang, ketika Wenang sedang berbicara, maka iapun mempergunakan waktu yang sekejap itu untuk mateg aji yang dapat melindungi dirinya dari sentuhan pedang pendek lawannya, dengan cepat dibangunnya sebuah kekuatan yang luar biasa, aji Lembu Sekilan.
"Menyerahlah" teriak Wenang sekali lagi.
Orang yang wajahnya tertutup kain itu tidak menjawab, ketika ia merasa pemusatan kekuatan aji Lembu Sekilan itu telah selesai, dan ilmu itu sepenuhnya telah manjing didalam dirinya, maka dengan berani orang yang memakai penutup wajah mulai bergerak menyerang lawannya yang bersenjatakan sebuah pedang pendek.
Wenangpun maju menyongsong lawannya, pedangnya berkelebat mengitari lawannya yang memakai kain penutup wajah.
Wenang dengan kecepatan yang mengangumkan segera menggerakkan pedang pendeknya ke kanan dan ke kiri, ia memang sejak semula tidak berniat membunuh lawannya, hanya berusaha melumpuhkan dengan melukai tangan atau kakinya saja.
Dengan lambaran ilmu Segara Muncar, pedang Wenang bergerak cepat sekali, seperti lebah yang mengitari tubuh lawannya.

Beberapa saat telah berlalu, sinar bulan yang lemah, hanya memperlihatkan pantulan pendar cahaya di pedang pendek yang digerakkan oleh Wenang.
Wenang melihat lawannya dengan gigih masih melawannya tanpa senjata apapun, tetapi ternyata Wenang tidak mampu untuk mendesaknya mundur.
"Apa boleh buat kalau ia mati atau terluka parah terkena pedangku" kata Wenang yang mulai tidak sabar, dengan cepat ia bersiap menyerang di tempat yang berbahaya.
"Ini peringatan terakhir, menyerahlah, supaya tidak ada yang terbunuh disini, kau akan kubawa ke hadapan Kanjeng Adipati Hadiwijaya" teriak Wenang.
Orang yang wajahnya ditutup kain hitam itu tidak menjawab, maka Wenangpun menggerakkan pedangnya kedepan, mulai menyerang lawannya dengan puncak ilmu Segara Muncar.
Wenang memutar pedangnya seperti baling-baling, lalu tiba-tiba berubah lurus kedepan menusuk pundak, sehingga membuat lawannya terkejut, dengan cepat iapun mundur selangkah kebelakang, tetapi Wenangpun melompat maju sambil berteriak, dalam sekejap telah merubah sebuah tusukan kepundak menjadi sabetan ke arah dada.

Lawannya tidak sempat melompat mundur, sabetan pedang Wenang yang dilambari puncak ilmu Segara Muncar yang mengarah ke dada, datangnya terlalu cepat.
Wenang yang sudah memperhitungkan ujung pedangnya akan menggores dada lawannya, menjadi kecewa, ketika pedangnya tertahan oleh sebuah perisai yang tidak terlihat, yang berjarak hanya sekilan dari tubuh lawannya.
Kembali Wenang mengeluarkan semua kemampuannya, ujung pedang pendeknya dipadukan dengan puncak ilmu Segara Muncar, ilmu yang didapat dari Segara Anakan, segera beterbaran mengarah ke semua bagian tubuh lawannya.
Pedang pendek yang ujungnya selalu bergetar dan mempunyai kecepatan yang luar biasa itu mampu bergerak beberapa kali akan menusuk tubuh lawannya.
Lawannya segera melompat mundur, tetapi ia kalah cepat dengan datangnya serangan ujung pedang pendek yang mengarah leher dan pundaknya.
Tetapi sekali lagi Wenang terkejut, ketika ujung pedangnya yang bergetar cepat sekali, yang digerakkannya secara tiba-tiba menusuk lurus kedepan, tetapi tidak bisa menyentuh pundak lawannya, tertahan oleh sebuah perisai yang tidak kasat mata.
"Ilmu apa ini, pedangku tak mampu menyentuh tubuhnya" kata Wenang dalam hati, sambil terus menggerakkan pedang, menyerang lawannya tanpa henti.
Lawannya yang merasa sudah cukup mengadu ilmu dengan Wenang, berniat akan mengakhiri perkelahian ini, iapun kemudian bertempur semakin gigih, kedua tangannya menyerang bergantian, mendesak Wenang ke arah pohon randu alas, ditepi tanah lapang.
Wenang terkejut ketika melihat lawannya menyusup maju di sela-sela ujung pedangnya, dan mampu mendesaknya mundur.

Dengan penuh percaya diri, lawannya berani menangkis ayunan pedang pendeknya dengan tangkisan tangannya, tanpa takut tangannya terluka,
Wenang yang memegang sebuah pedang pendek, terpaksa terus menerus terdesak mundur oleh serangan lawannya yang tidak memegang senjata apapun.
Wenang melompat mundur, kini ia telah berada dibawah pohon randu alas, ketika sisi telapak tangan lawannya hampir mengenai kepalanya, dengan cepat Wenang memiringkan kepalanya, tetapi alangkah terkejutnya, ketika kekuatan tangan lawannya diubah menjadi pukulan terhadap tangannya yang memegang pedang, dan tanpa bisa dicegah, pedangnyapun terlempar ketanah, disusul sebuah tendangan kaki yang mengarah ke perutnya.
Wenangpun tidak mau perutnya terkena kaki lawannya, iapun terpaksa bergerak mundur, sehingga kaki lawannya mengenai tempat kosong, tetapi belum sempat berdiri tegak, iapun terkejut ketika tanpa ia duga, tangan lawannya secara tiba-tiba telah berhasil mendorong pundaknya.
Sebuah tenaga yang sangat kuat telah mendorong pundaknya, sehingga ia jatuh berguling ke samping beberapa kali, tetapi dengan tangkasnya Wenangpun melompat berdiri diatas kedua kakinya yang kokoh, tangannya menyilang didepan dada, bersiap menahan serangan dari lawannya yang ternyata mempunyai kemampuan yang tinggi.

Tetapi Wenang terkejut sekali, ketika ia memandang kedepan, yang terlihat hanyalah kegelapan malam, seberkas sinar bulan yang lemah telah menyentuh daun pohon randu alas ditepi tanah lapang itu.
"Hilang, kemana dia?" kata Wenang dalam hati.
Beberapa saat Wenang masih berdiri dalam keadaan siaga penuh, menunggu lawannya muncul.
"Ternyata orang yang wajahnya ditutup kain hitam telah melarikan diri masuk di kegelapan malam" kata Wenang dalam hati.
"Kenapa dia lari ? Orang itu berilmu tinggi, ilmunya jauh diatasku, siapakah dia sebenarnya ?" katanya dalam hati.,
Setelah ditunggu beberapa saat tidak ada gerakan apapun, maka Wenangpun kemudian berjalan, dan memungut pedangnya yang jatuh terlempar ke tanah, lalu iapun duduk dibawah pohon randu alas, pedangnyapun diletakkan disebelahnya.
Pundaknya masih terasa sakit terkena tiga kali sentuhan tangan lawannya.
"Ilmunya luar biasa, pedangku tak mampu melukainya" kata Wenang, dan iapun mengingat-ingat beberapa ilmu yang luar biasa.
"Ilmu apakah itu ? Puncak ilmu Segara Muncar yang ditambah dengan tajamnya sebuah pedang pendek, tak mampu menyentuh tubuhnya, luar biasa" desisnya perlahan.
Dari beberapa gurunya, dia pernah diberi pengetahuan tentang bermacam-macam aji jaya kawijayan guna kasantikan, ilmu yang kasat mata maupun ilmu yang tidak terlihat.

"Lembu Sekilan, ya itu adalah aji Lembu Sekilan yang ngedab-edabi, siapakah orang yang telah mempunyai aji Lembu Sekilan itu" desis Wenang.
"Luar biasa, ternyata ilmu yang dulu pernah dimiliki oleh mahapatih Gajah Mada sekarang telah dimiliki oleh orang itu" kata Wenang dalam hati.
"Pantas kalau pedangku tak mampu menyentuhnya, tertahan di jarak sekilan dari tubuhnya" desis Wenang.
"Tubuhnya menjadi kebal, selama Aji Lembu Sekilan masih manjing kedalam dirinya, tak ada senjata yang mampu menggores tubuhnya" kata Wenang dalam hati.
"Tetapi bagaimana dengan beberapa pusaka yang ampuh, apakah bisa menembus Aji Lembu Sekilan ?" tanya Wenang kepada dirinya sendiri.
"Di Majapahit ada keris Kyai Condong Campur, di ruang pusaka Demak ada keris Kyai Nagasasra, Kyai Sabuk Inten, dan Kyai Sangkelat, di Panti Kudus, Kanjeng Sunan Kudus mempunyai sebuah Trisula, keris Kyai Setan Kober dan keris Kyai Cinthaka, di Kadilangu Kanjeng Sunan Kalijaga mempunyai keris Kyai Carubuk, di Sela, Sutawijaya mempunyai tombak kyai Plered, apakah pusaka-pusaka itu mampu menembus perisai Aji Lembu Sekilan?" tanya Wenang dalam hati.

Lalu pertanyaan itupun telah dijawabnya sendiri :"Tentu setiap pusaka mempunyai kekuatan yang berbeda, dan tentu tergantung pula dengan kekuatan pertahanan orang yang mempunyai aji Lembu Sekilan"
"Kanjeng Sunan Kalijaga mempunyai kotang Antakusuma yang dapat membuat pemakainya kebal senjata, tetapi ternyata kekebalan itu dapat ditembus oleh keris Kyai Nagasasra" desis Wenang.
"Kalau diperbandingkan, mana yang lebih kuat, kotang Antakusuma dengan aji Lembu Sekilan?" pertanyaan yang tidak terjawab itu muncul dari dalam dirinya.
"Darimana dia bisa mendapatkan aji Lembu Sekilan itu?"Kata Wenang pelan.
Wenangpun masih duduk dibawah pohon randu alas, diapun cukup cerdik untuk mengurai pertarungannya tadi.
"Kenapa wajahnya sengaja ditutup kain hitam, apakah aku sudah pernah melihat wajahnya ?"
"Kenapa dia tidak berbicara sepatah katapun? Apakah dia seorang yang tidak dapat berbicara, seorang yang bisu? Hm mungkin suaranya sudah pernah aku kenal" pikir Wenang.
"Siapakah orang itu? Kawan atau lawan? Kalau orang itu seorang lawan yang berniat jahat, pasti yang diincar adalah kematian Kanjeng Adipati Hadiwijaya, dan sebagai seorang pengikutnya, aku pasti sudah dibunuhnya" desis Wenang.

 "Aku terjatuh sampai terguling beberapa kali, karena dia mendorong pundakku, tenaganya kuat sekali. Kenapa hanya mendorong, kalau dia memukul, tulang bahuku bisa patah" kata Wenang masih menghitung kekuatan orang yang menjadi lawannya.
"Ia tidak berniat jahat, apakah orang itu salah seorang dari penghuni kadipaten Pajang? Tidak mungkin, saat ini semua orang sedang berada di pendapa Sasana Sewaka termasuk Ki Ageng Nis Sela" pikir Wenang.
"Apakah orang itu Ki Lurah Wasana? Kelihatannya bukan, apalagi Ki Lurah Wasana tadi masih berada di Sasana Sewaka bersama para prajurit Wira Manggala lainnya"
"Apakah salah seorang tukang yang tidur di gubug? Tidak mungkin, orang itu bukan tukang yang tidur digubug" kata Wenang dalam hati.
Sambil duduk dibawah pohon randu alas, Wenang yang cerdik masih terus berpikir tentang orang yang bertarung dengannya.
"Siapa? Kelihatannya tidak ada lagi, semua sudah aku sebut namanya" kata Wenangpun sambil mencoba mengingat kembali bentuk tubuh orang yang bertarung dengannya.
"Siapakah yang mempunyai bentuk tubuh seperti itu ?"

Tiba-tiba seperti tersengat kalajengking, Wenang terloncat, bentuk tubuh seperti itu ada di Kadipaten Pajang :"Ada, orang itu ada"
Seketika itu Wenangpun bangkit berdiri, mengambil pedang pendeknya lalu berlari meninggalkan pohon randu alas, secepatnya kembali ke dalem kadipaten.
"Apakah aku akan terlambat? Mudah-mudahan tidak terlambat" kata Wenang.
Tangkas dan cepat, Wenang berlari menuju bulak amba, dan tak lama kemudian iapun menuju dalem Kadipaten, bukan menuju ke Sasana Sewaka.
"Kelihatannya terlambat, seharusnya aku mulai berlari pada saat pedangku terlempar, lari secepatnya menuju dalem Kadipaten" kata Wenang.
Saat itu suasana sepi, hanya terdengar suara cengkerik yang diselingi suara burung malam.
Dengan baju yang basah kuyup terkena keringat karena telah bertarung dan berlari, perlahan-lahan Wenang naik ke pendapa, memasuki ruang dalam, ia berjalan perlahan-lahan, dan ketika sampai didepan kamar tidur Adipati Hadiwijaya, Wenangpun kemudian duduk bersila.

Dari dalam kamar terdengar suara dengkur, suara orang yang sedang tertidur, Wenangpun ragu-ragu, dia hanya duduk bersila, tetapi akhirnya iapun memantapkan tekadnya, membangunkan Adipati Hadiwijaya, hatinya belum merasa puas, kalau belum bertemu dengan Adipati Hadiwijaya.
"Mohon maaf Kanjeng Adipati, saya Wenang, ada persoalan penting yang akan saya sampaikan" kata Wenang sambil menundukkan kepala.
Suara dengkur masih terdengar, sehingga Wenangpun mengulangi dengan suara yang agak keras :"Mohon maaf Kanjeng Adipati, saya Wenang, ada persoalan penting yang akan saya sampaikan"
Dari dalam kamar, suara dengkur telah berhenti, lalu terdengar suara dari dalam kamar :"Siapa?"
"Saya Wenang, Kanjeng Adipati, ada persoalan penting yang akan saya sampaikan" kata Wenang
Terdengar langkah kaki menuju pintu, dan sesaat kemudian pintupun terbuka, lalu terdengar suara Adipati Hadiwijaya perlahan :"Ada apa Wenang"
Wenang melihat baju yang dipakai Hadiwijaya adalah baju yang bersih, berbeda dengan baju yang dipakainya, basah kuyup terkena keringat.
"Baju yang dipakai Kanjeng Adipati adalah baju yang kering dan bersih, tidak ada bekas terkena setitik keringatpun" kata Wenang dalam hati.

Wenang juga melihat mata Hadiwijaya redup, kelihatan kalau masih mengantuk sekali, dan ketika Wenang memandangnya, terlihat Adipati Hadiwijaya sedang menguap.
"Seharusnya aku mengadu kecepatan lari sejak tadi" kaya Wenang dalam hati sambil memandang mata Adipati Hadiwijaya yang terlihat mengantuk.
Adipati Hadiwijaya bertanya lagi sambil menguap sekali lagi :"Aku masih mengantuk, ada apa Wenang ?"
"Saya baru saja bertarung dengan seseorang yang mencurigakan, dia berilmu tinggi Kanjeng Adipati" kata Wenang.
"Kau baru saja bertarung dengan seseorang ? Pantas bajumu basah kuyup terkena keringat" kata Adipati Hadiwijaya sambil memandang ke arah baju Wenang.
"Ya Kanjeng Adipati, kami bertarung di tanah lapang agak jauh ke arah barat, didekat pohon randu alas" kata Wenang.
"O disitu, syukurlah kau bisa menang" kata Adipati Hadiwijaya memuji.
"Tidak Kanjeng Adipati, saya kalah, dan saya terjatuh, ketika saya bisa bangkit kembali, orang itu telah menghilang" kata Wenang menjelaskan pertarungannya.
"Mungkin orang itu akan mencuri, padi, ayam atau kambing, coba nanti kau periksa, apakah ada barang kita yang hilang" kata Adipati Hadiwijaya dengan mata terpejam.
"Tidak ada barang yang hilang, Kanjeng Adipati" jawab Wenang.
"Ya, kalau tidak ada barang kita yang hilang, biar saja tidak apa apa, tetapi kalau ada milik kita yang hilang, pencuri itu harus dihukum, nah kau beristirahatkah, besok kita akan mengadakan pasewakan" kata Adipati 

Hadiwijaya, dan iapun masuk kedalam kamar lagi dan menutup pintunya.
"Sendika dawuh Kanjeng Adipati" kata Wenang, kemudian iapun berdiri lalu berjalan meninggalkan dalem Kadipaten menuju Sasana Sewaka untuk beristirahat.
"Ternyata Kanjeng Adipati sedang tidur, suara dengkurnya terdengar sampai diluar kamar" kata Wenang dalam hati, tetapi ternyata muncul pertanyaan lagi :"Apakah betul Kanjeng Adipati sedang tidur?"
Tetapi untuk bertanya langsung kepada Adipati Hadiwijaya, iapun merasa tidak mempunyai keberanian.
Wenangpun menggeleng-gelengkan kepalanya :"Pertanyaan yang tidak terjawab"
Ketika ia berjalan naik ke Sasana Sewaka, seorang prajurit Wira Manggala yang belum tidur bertanya kepadanya :"Darimana kau Wenang"
"Nganglang" jawab Wenang.
Prajurit itupun terdiam, tetapi iapun heran melihat baju yang dipakai Wenang terlihat basah terkena air.
"Mungkin Wenang terjebur di sungai, tetapi ia malu untuk berterus terang" kata prajurit itu dalam hati.
Wenangpun kemudian mengganti baju nya yang basah kuyup oleh keringat dengan baju yang bersih, lalu iapun merebahkan dirinya, berusaha untuk tidur,
"Aku terlambat, ketika aku terjatuh, seharusnya aku berlari secepatnya pulang ke dalem Kadipaten, tidak usah duduk dibawah pohon randu alas'" katanya dalam hati, masih menyesali keterlambatannya.
"Siapakah orang yang luar biasa itu ?" Kata Wenang dalam hati.
"Orang itu mempunyai ilmu yang luar biasa, yang bisa membuat sebuah bayangan tangan, yang mampu mendesak mundur ilmu dari Segara Anakan"
"Tanpa senjata apapun, kedua tangannya mampu melawan putaran pedang pendekku pada saat aku memainkan puncak ilmu Segara Muncar" kata Wenang yang masih terus memuji lawan yang tidak diketahui jati dirinya.

Ketika dari jauh lamat-lamat terdengar bunyi kentongan yang ditabuh dengan irama dara muluk, maka iapun berkata :" Sudah tengah malam"
Wenangpun kemudian bangkit berdiri menuju kentongan yang tergantung di sudut pendapa, lalu ditabuhnya kentongan itu dengan irama yang sama, dara muluk.
Setelah memukul kentongan, Wenangpun berjalan kembali ke tempatnya, membaringkan dirinya, berusaha untuk bisa tidur.
Sambil membaringkan tubuhnya, Wenang masih terus menyesali keterlambatannya dalam mengambil keputusan untuk berlari pulang ke Kadipaten.
"Kalau saja aku tidak terlambat berlari, aku bisa mengetahui orang itu, tetapi kalau ternyata salah, apakah mungkin ada orang yang lain, selain orang yang berada di Kadipaten Pajang?" kata Wenang dalam hati sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Apa yang diperbuat oleh orang yang mengejar suara burung kedasih ? Siapakah orang yang menirukan suara burung kedasih? Apakah orang yang mengejar suara burung kedasih sama dengan orang yang menyerangku?" tanya Wenang kepada diri sendiri.
"Pasti ada orang lain, karena semua orang saat itu sedang berada di Sasana Sewaka"
"Orang yang bertempur melawanku saja belum ketemu, apalagi mencari orang yang menirukan suara burung kedasih" kata Wenang.

Semakin dipikirkannya kemungkinan apa yang dialaminya malam ini, semakin tidak bisa terjawab semua pertanyaan dan persoalan yang telah dilihatnya.
"Banyak pertanyaan yang tidak terjawab, aku hanya bisa menebak saja, semuanya masih gelap" desis Wenang sambil memejamkan matanya.
Badan yang lelah setelah bertarung dengan orang tak dikenal, serta diusap oleh semilir angin yang sejuk di Sasana Sewaka, maka Wenangpun bisa tertidur sejenak.
Bulanpun masih beredar, hanya memancarkan sinar yang lemah di tlatah Pajang.
Malampun telah berakhir, pagipun terasa segar, dan Sasana Sewakapun segera berbenah diri, untuk menjadi tempat pasewakan pertama Kadipaten Pajang.
Tempat pasewakan sudah terlihat bersih, hanya ada satu buah kursi untuk Adipati Hadiwijaya, kursi yang dahulu pernah dipakai oleh eyangnya Adipati Dayaningrat, dari Kadipaten Pengging Witaradya pada jaman Majapahit.
Ketika Wenang melihat Sasana Sewaka yang telah siap menerima para bebahu yang akan sowan Adipati Pajang, iapun merasa ada yang sedikit kekurangan pada ruangan pasewakan.
Wenang segera menghampiri Ki Pemanahan untuk membicarakan kekurangan di pasewakan.
"Ki Pemanahan, apakah dulu waktu pisowanan agung, di dalam ruangan Sasana Sewaka Demak ada sebuah songsong agungnya ?" tanya Wenang.
"Ya ada, sebuah payung kebesaran Kasultanan Demak yang berwarna kuning, menandakan kehadiran Kanjeng Sultan Demak" jawab Pemanahan.
"Kenapa pada pasewakan Kadipaten Pajang kali ini tidak ada songsong yang menandakan kehadiran Adipati Hadiwijaya?" tanya Wenang.
(bersambung)