Kamis, 25 September 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 22

KERIS KYAI SETAN KOBER 22

BAB 8 : BABAT ALAS 3

Karya : Apung GWAP

Mataharipun muncul dari balik punggung bukit, sinarnya menerobos dedaunan yang tumbuh di lereng gunung Lawu.
Di pagi hari yang dingin, tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad menuruni lereng gunung Lawu menuju ke utara, dipimpin oleh murid utama Panembahan Sekar Jagad, Sorengrana.
Sorengranapun teringat, tadi malam Panembahan Sekar jagad mengumpulkan semua murid-muridnya di pendapa, dan panembahan menyampaikan keinginannya agar tiga puluh murid perguruan Sekar Jagad bisa menjadi prajurit pilihan Kadipaten Jipang.
Beberapa orang memilih untuk tetap tinggal di padepokan, sedangkan tiga puluh orang lainnya memilih berangkat ke Jipang dengan bertekad merubah hidup menjadi lebih baik lagi, sebagai prajurit Kadipaten Jipang.

"Ternyata Panembahan Sekar Jagad memikirkan masa depan para murid perguruan Sekar Jagad, mereka diarahkan menjadi prajurit Kadipaten Jipang, siapa tahu kalau Kadipaten Jipang bissa menjadi besar, beberapa orang dari murid perguruan Sekar Jagad yang menjadi perintis berdirinya prajurit Jipang bisa menjadi seorang Panji atau Tumenggung" kata Sorengrana dalam hati.
Mereka berjalan terus, beriringan menuruni jalan di kaki gunung Lawu, beberapa orang diantaranya membawa bungkusan berisi bekal makanan, dan disetiap lambung mereka tergantung sebuah pedang pendek.

Hari itu adalah hari yang sibuk, tetapi matahari tetap bergerak dari timur menuju ke arah barat, dan panas sinarnyapun mulai menyebar diseluruh bumi Demak.
Di daerah Kalinyamat yang dekat dengan bandar Jepara, Pangeran Hadiri sibuk membantu pembangunan pesanggrahan yang akan digunakan sebagai tempat kediamannya, dalem Kalinyamat.
Sebagai pewaris tahta Kasultanan Demak urutan kedua, Pangeran Hadiri yang menjadi menantu Sultan Trenggana, sudah ber angan-angan untuk tinggal di Kalinyamat, dan iapun berkata kepada istrinya, putri Sultan Demak yang kedua :"Nanti disana diajeng akan menjadi seorang ratu, Ratu Kalinyamat"
Dengan penuh semangat, Pangeran Hadiri ikut membantu pekerjaan pembangunan pesanggrahannya.
Puluhan rakyat Kalinyamat yang ikut gugur gunung merasa senang, melihat Pangeran Hadiri yang tidak segan-segan bekerja membaur dengan mereka.
Petugas dari Demak bersama Pangeran Hadiri bersama puluhan rakyat Kalinyamat, menebang beberapa pohon jati di hutan yang terletak di dekat kaki gunung Muria di sebelah barat, lalu beramai ramai mereka mendorong dan menyeret kayu jati yang tidak terlalu besar, setelah dibawah kayu jati yang akan diseret itu diberi kayu bundar yang tidak terlalu panjang, sehingga kayu jati itupun dengan mudah di dorong dan digeser selangkah demi selangkah menuju Kalinyamat.

Demikian juga suasana dipinggir hutan Prawata, Pangeran Arya yang sering disebut juga Bagus Mukmin, anak sulung Sultan Trenggana, putra mahkota pewaris tahta Kasultanan Demak, masih disibukkan dengan pekerjaan membangun pesanggrahan dalem Prawata.
Sebagai pewaris tahta Kasultanan Demak, Pangeran Arya tetap bisa membantu orang-orang bekerja, meskipun sedikit terhambat karena ia mempunyai cacat mata, matanya hampir buta, tetapi masih bisa melihat meskipun samar-samar, sedangkan disampingnya selalu berdiri orang kepercayaannya, dan dipinggang Bagus Mukmin selalu terselip keris pusakanya yang tidak pernah terpisah dari tubuhnya, keris Kyai Bethok.
"Aku harus selalu dekat dengan pusakaku keris Kyai Bethok, karena aku tidak bisa melihat dengan jelas. Nanti aku akan tinggal di Prawata, dan aku akan senang, jika nanti rakyat disini memanggilku dengan sebutan Sunan Prawata" kata Pangeran Arya.
Meskipun Pangeran Arya yang lebih senang disebut sebagai Sunan Prawata tidak bisa bekerja karena matanya hampir buta, tetapi dengan membaurnya dia ke rakyat Prawata, maka rakyat yang sedang gugur gunungpun merasa senang, dan merasa diperhatikan oleh putra mahkota Kasultanan Demak.
Bersama beberapa petugas yang dikirim dari Demak, maka rakyat Prawata menebang beberapa pohon jati yang banyak terdapat di hutan Prawata.

Sementara itu di Pajang, Karebet mengendarai kudanya berkeliling, melihat dan membantu orang-orang yang bekerja menebang pohon di hutan sebelah barat Pajang, mencetak bata di wetan kali dan membuat ompak di dekat umbul Pengging.
Ketika matahari hampir tenggelam di cakrawala sebelah barat, orang-orang yang sedang beristirahat di gubug bulak amba melihat ada sebuah pedati yang ditarik oleh dua ekor sapi yang datang dari utara.
Karebet, Lurah Wiguna dan beberapa orang lainnya berdiri dan menyambut kedatangan sebuah pedati yang berjalan perlahan-lahan.
Ketika jarak pedati sudah dekat, Karebetpun tersenyum melihat kedua pembantu biyungnya Nyai Ageng Tingkir, Suta dan Naya duduk berdua di atas pedati.
Pedati berhenti ketika sudah berada di sebelah gubug, Suta dan Nayapun segera turun, kemudian mereka berduapun berjalan menuju ke gubug.
"Selamat datang Ki Suta dan Ki Naya" kata Lurah Wiguna.
"Ya Ki Lurah" kata Suta yang sudah mengenal Lurah Wiguna karena Ki Lurah pernah menginap di Tingkir.
"Bagaimana keadaan biyung paman" tanya Karebet.
"Yah biyungmu masih tetap seperti kemarin, masih sering lupa" kata Naya.
Beberapa orang merawat dua ekor sapi yang kelelahan dan memberinya minum, sedangkan beberapa orang yang lain sibuk menurunkan muatan pedati.
"Aku hanya membawa beras" kata Suta kepada Karebet.
"Tidak apa-apa paman, sekarang silahkan paman membersihkan diri dulu disungai di belakang gubug ini" kata Karebet.

Suta dan Nayapun lalu membersihkan dirinya disungai yang terletak di belakang gubug itu.
Karebet yang ikut menurunkan beras dari atas pedati, melihat Ki Lurah menuju ketempatnya, sehingga Karebetpun meletakkan berasnya.
"Ada apa Ki Lurah?" tanya Karebet.
"Prajurit Tumpak dari Wira Tamtama dan prajurit Banu dari Wira Mangala, besok bisa kembali ke kotaraja, karena di Pajang ternyata para bebahu tidak ada yang mengabaikan titah Kanjeng Sultan Trenggana" kata Lurah Wiguna.
"Silahkan Ki Lurah" kata Karebet.
"Nanti tanggung jawab bendera Gula Kelapa yang berada di sini adalah tanggung jawab saya, dan kalau ada persoalan dengan para bebahu, nanti biar saya yang menyelesaikannya. Bagaiman kalau mereka ikut pedati yang akan kembali ke Tingkir besok pagi ?" tanya Lurah Wiguna.
"Silahkan Ki Lurah" jawab Karebet.
Ki Lurah berhenti sebentar, lalu iapun berkata lagi :"Pedatinya besok berangkat dari sini pagi hari, sore atau malam hari  sudah bisa sampai di Tingkir"
"Ya, besok malam, Tumpak dan Banu biar tidur di rumah biyung di Tingkir saja" kata Karebet.
"Ya, terima kasih" kata Lurah Wiguna, lalu iapun masuk kedalam gubug lagi.
Setelah ditinggal Ki Lurah, maka Karebet melanjutkan pekerjaannya lagi, mengangkat beras ke dalam gubug, setelah itu, maka Karebetpun berjalan mencari Tumpak.
Ketika bertemu dengan Tumpak, maka Tumpakpun berkata :"Karebet, tugasku sudah selesai, besok pagi aku bersama Banu kembali ke kotaraja"

"Terima kasih Tumpak, Ki Lurah Wiguna sudah berbicara padaku. Kau besok akan naik pedati bersama paman Suta dan paman Naya" kata Karebet.
"Ya, sampai desa Tingkir" kata Tumpak :"Kau menginap di Tingkir saja, dirumah biyung"
"Ya, terima kasih, tidur di rumah Nyai Ageng Tingkir lebih baik dari pada tidur di hutan" kata Tumpak sambil tertawa.
Lalu Karebet berkata lirih kepada Tumpak :"Jangan lupa, kalau sampai di kotaraja, ceritakan pembangunan dalem Kadipaten Pajang kepada Nyai Madusari, aku disini baik-baik saja. Katakan juga kepada Nyai Madusari, di sini, semua pekerjaan lancar, banyak sahabat yang membantu mengirim bahan pangan maupun membantu tenaga" kata Karebet.
"Ya" kata Tumpak, lalu iapun bertanya :"Nanti kau akan membentuk prajurit Kadipaten Pajang?"
Karebetpun menjawab :"Ya, Kadipaten Pajang harus punya prajurit sendiri, wilayahnya juga luas, desa Butuh dan Pengging juga termasuk didalam Kadipaten Pajang"
"Ya" kata Tumpak, lalu merekapun berbincang-bincang sampai malam hari.

Malam itu masih seperti malam-malam kemarin, suasana gelap di daerah di Pajang, Kalinyamat, Prawata, dan di Jipang, hanya terlihat kerlip bintang di angkasa.
Tetapi menjelang tengah malam, di Jipang ada kesibukan kecil, tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad telah tiba di Jipang, setelah melakukan perjalanan jauh dari lereng gunung Lawu.
Didepan sendiri, berjalan Sorengrana, yang langsung disambut oleh Matahun dan Rangkud, lalu merekapun dipersilahkan membersihkan diri di sumur, setelah itu dipersilahkan beristirahat di pendapa.
Tukang adangpun mempersilahkan mereka untuk makan dan minum, ada beberapa orang yang mengambil makanan, namun ada pula yang langsung merebahkan badannya dan tak lama kemudian terdengarlah suara dengkurnya memenuhi pendapa.
Jipangpun telah mendapat tambahan tiga puluh tenaga segar, tenaga yang mempunyai kemampuan olah kanuragan, untuk membantu membangun dalem Kadipaten dan nantinya mereka direncanakan akan menjadi prajurit pillihan Kadipaten Jipang.

Demikianlah, tak terasa hampir satu candra pembangunan dalem kadipaten di Pajang dan Jipang, serta pembangunan pesanggrahan di Kalinyamat dan Prawata.
Dengan segala permasalahannya, hampir semua pekerjaan berjalan lancar tanpa ada hambatan yang berarti.
Para prajurit Wira Tamtama dan Wira Manggala yang ikut berperan sejak awal pembangunan, semuanya telah kembali ke kotaraja Demak.
Di Pajang dan Jipang, bangunan dalem kadipaten dan ruang paseban, terlihat tiang saka yang berdiri tegak, yang masing-masing bangunan ada empat buah kayu saka, yang berdiri dengan disokong beberapa kayu yang ukurannya lebih kecil serta ditarik dengan belasan tali besar yang terpilin kuat.
Empat buah tiang kayu sudah berdiri tegak diatas ompak. Bagian atas tiangpun sudah dikunci dengan diberi pasak kayu yang kuat, dikaitkan dengan kayu yang melintang antara saka yang satu dengan saka lainnya.
Malam itu Karebet duduk didepan gubug dekat perapian bersama Lurah Wiguna, memandang delapan buah tiang saka yang sudah berdiri.

"Empat buah tiang utama telah berdiri, tetapi pekerjaan kita masih banyak, kita harus mendirikan tiang-tiang  yang berukuran kebih kecil, bata kita yang sudah jadi puluhan ribu belum dibakar" kata Lurah Wiguna.
"Ya, tapi tidak seberat mendirikan empat buah tiang utama" kata Karebet.
Lurah Wiguna menganggukkan kepalanya, malampun semakin larut, semakin sepi, hanya terdengar suara burung kedasih dipohon disebelah barat bulak amba
"Ada suara burung kedasih" kata Ki Lurah Wiguna.
Karebet tidak menjawab, seakan dia tidak memperhatikan suara burung kedasih yang terdengar sampai di gubugnya.
"Ki Lurah, aku akan ke sungai sebentar" kata Karebet.
"Silahkan" kata Lurah Wiguna
Karebetpun segera berdiri dan iapun segera berjalan menuju ke arah sungai.
Setelah Karebet berada dikegelapan bayangan pohon, dengan tangkasnya ia melompat dan berlari menuju ke arah suara burung kedasih yang suaranya terdengar dari arah barat.
Setelah agak jauh dari gubug, dijalan yang menuju hutan jati, suara burung kedasih berbelok kearah selatan, maka Karebetpun kemudian berbelok ke kiri.

Tidak terlalu jauh Karebet berjalan, didepannya telah berdiri dibawah pohon, seseorang yang memakai caping, terlihat seperti sedang menunggunya.
Karebetpun waspada, tidak tertutup kemungkinan dia salah duga, ada kemungkinan orang itu bukan orang yang ditunggunya.
Tetapi Karebet menarik nafas lega ketika mendengar orang itu berkata :"Karebet"
Karebet hafal dengan suara orang itu, suara uwanya Kebo Kanigara.
Karebetpun maju kedepan, lalu diciumnya tangan uwanya, dan merekapun lalu duduk di sebuah batu besar.
"Bagaimana Karebet, kau selamat ?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, atas doa restu siwa saya sehat" jawab Karebet.
"Pekerjaanmu lancar ?" tanya uwanya.
"Ya wa, lancar, banyak sahabat yang sejak awal membantu pembangunan dalem Kadipaten" kata Karebet.
"Siapa saja mereka?"
"Dari Sela, yang datang ke Pajang adalah kakang Pemanahan, kakang Penjawi, kakang juru Martani ditambah Sutawijaya" kata Karebet.
"Bagus, siapa lagi?"

"Dari Banyubiru, ada Ki Majasta, Ki Wuragil, Mas Manca dan Jaka Wila" jawab Karebet.
Kebo Kanigarapun tersenyum puas, mendengar banyak sahabat yang membatu berdirinya Kadipaten Pajang.
"Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang juga datang kemari" kata Karebet melanjutkan ceritanya.
"Ya bagus, lalu bahan pangan dari mana ?" tanya uwanya.
"Mereka membawa beras dan lainnya, dari Tingkir juga dua kali mengirim bahan pangan yang dimuat di pedati, ini sudah hampir habis, nanti akan saya ambilkan dari Pengging" kata Karebet.
"Bagus, lumbung di Pengging masih penuh berisi padi, ambil saja, bawa kemari" kata Kebo Kanigara.
"Siwa dari kotaraja Demak ?" tanya Karebet
"Dari kotaraja, lalu aku beberapa hari berada di Jipang" kata uwanya.
"Siwa dari Jipang?"
"Ya, aku dari Jipang" jawab Kebo Kanigara.
"Bagaimana perbandingan perkembangan pembangunan dalem kadipaten di Jipang wa ?" tanya Karebet kepada Kebo Kanigara.

"Sama seperti di Pajang, tiang saka dalem kadipaten Jipang sudah berdiri, setelah itu mereka akan mengerjakan pekerjaan mendirikan tiang-tiang yang kecil di sekelilingnya" kata uwanya.
Karebetpun mendengarkan cerita Kebo Kanigara tentang apa yang dilihatnya di Jipang.
"Kau ketinggalan selangkah Karebet, ada puluhan murid-murid perguruan Sekar Jagad dari lereng gunung Lawu yang ikut membantu pembangunan di Jipang, dan aku mendengar dari salah seorang penduduk Jipang, mereka nantinya akan dijadikan prajurit Kadipaten Jipang" kata uwanya
"Tetapi di Pajang juga mendapat bantuan beberapa orang dari Sela dan dari Banyubiru, jadi pembangunan kadipaten Jipang dan Pajang sama-sama mendapat bantuan tenaga dari luar wa" kata Karebet.
"Ya, tetapi kau belum menghitung kalau Panembahan Sekar Jagad ikut bergabung ke Jipang, Panembahan Sekar Jagad kakak seperguruan dari Matahun itu benar-benar berbahaya. Ilmu kanuragan Matahun saja sudah mumpuni, apalagi kakak seperguruannya, ilmunya luar biasa" kata Kebo Kanigara.
"Dia berilmu tinggi, dalam tubuhnya penuh berisi bermacam-macam aji jaya kawijayan guna kasantikan, susah untuk mengalahkannya, tapi kemarin aku sudah mencarinya berkeliling, aku tidak melihat dia berada di Jipang" kata Kebo Kanigara.

Karebet mendengarkan semua ucapan dari Kebo Kanigara tentang Panembahan Sekar Jagad, seorang pemimpin perguruan di lereng gunung Lawu, yang membantu pembangunan kadipaten jipang, dengan mengirim puluhan murid-muridnya ke Jipang.
Diam diam Karebetpun membandingkan ilmu kanuragan Panembahan Sekar Jagad dengan ilmu perguruan Pengging yang dimiliki oleh uwanya Kebo Kanigara.
"Apakah siwa Kebo Kanigara kalau perang tanding seorang lawan seorang mampu mengalahkan Panembahan Sekar Jagad ?" tanya Karebet dalam hati :"Siwa Kebo Kanigara adalah satu-satunya orang yang mampu menuntaskan ilmu tertinggi dari perguruan Pengging"
Setelah keduanya berdiam diri, maka sesaat kemudian Kebo Kanigarapun berkata :"Kau tidak boleh ketinggalan terlalu jauh dengan Jipang, mulai besok kau harus mulai memillih para pemuda Pajang yang nanti bisa kau latih menjadi prajurit Pajang"
"Baik wa" jawab Karebet.

"Selain itu, sekarang aku membawa keris pusaka yang dulu pernah menjadi sipat kandel Kadipaten Pengging Kyai Naga Siluman, yang pernah aku ceritakan kepadamu" kata Kebo Kanigara kemudian mengambil sebuah bungkusan yang selalu dibawanya, lalu mengeluarkan sebuah keris pusaka yang masih terbungkus sebuah kain putih, itulah keris pusaka Kyai Naga Siluman, lalu oleh Ki Kebo Kanigara, keris itupun di berikan kepada Karebet.
"Aku wariskan keris pusaka kyai Naga Siluman, pusaka Kadipaten Pengging Witaradya ini kepadamu Karebet, dan jadikan keris pusaka ini salah satu sipat kandel Kadipaten Pajang" kata uwanya.
Dengan kedua tangannya, Karebet menerima keris itu, dalam hati Karebet terasa betapa senangnya karena telah mempunyai sebuah sipat kandel untuk kadipaten yang dibangunnya.
"Terima Kasih wa" kata Karebet..
Lalu keris itupun diselipkan di pinggangnya, dan disembunyikan dibalik bajunya.
"Simpanlah keris itu ditempat yang sangat tersembunyi jangan sampai ada seorangpun yang tahu, atau kalau tidak kau sembunyikan, pakailah keris itu dan jangan pernah terlepas dari tubuhmu" kata uwanya.
"Ya wa" kata Karebet.
"Aku akan selalu berada didekat Pajang dan akan sering menghubungimu" kata uwanya.
"Bagaimana kalau ada sesuatu yang penting dan saya harus menghubungi siwa?" tanya Kaebet.
"Pergilah kau ke Pengging, kau bisa bilang kepada pembantu kita ki Purwa, kalau kau ingin ketemu aku" kata uwanya.
"Baik wa"
"Kalau begitu kita berpisah Karebet, kau kembalilah ke gubugmu" kata uwanya.

Karebetpun lalu mencium tangan uwanya, dan merekapun berjalan terpisah, Karebetpun kembali ke bulak amba.
Kaki Karebet berjalan cepat, ketika samar-samar terlihat ada sebuah pohon beringin liar, maka Karebetpun segera menuju kesana.
Dibawah pohon beringin liar, Karebetpun menajamkan semua kemampuan indranya, dan kemampuan panggrahitanya, setelah ia merasa tidak seorangpun yang berada disana, maka dengan berpegangan beberapa sulur beringin yang kuat, Karebetpin naik ke pohon beringin liar itu,dan meletakkan keris Kyai Naga Siluman di tempat yang tersembunyi.
"Besok akan aku kembali ke pohon beringin liar ini, akan aku buatkan sebuah kotak dari kayu atau dari bumbung besar, untuk tempat keris pusaka" kata Karebet dalam hati.  
Karebetpun lalu turun kebawah dan melanjutkan perjalanan ke bulak amba,
Saat itu keadaan di gubug sudah sepi, perapian sudah padam, Karebetpun masuk ke gubug dan merebahkan badannya, beberapa saat kemudian Karebetpun telah berayun dalam mimpi.
Gelap menyelimuti semua bumi Demak, hanya suara cengkerik yang terdengar tanpa henti memecah keheningan malam, hingga tiba saatnya bias cahaya Sang Bagaskara perlahan-lahan mulai terlihat di langit bang wetan.

Pagi itu di bumi Pajang, semua orang terlihat sibuk bekerja, dibulak amba, Karebetpun melihat orang-orang Pajang tua maupun muda melakukan gugur gunung mendirikan beberapa tiang di beberapa sudut dengan menggunakan kayu yang ukurannya lebih kecil dibandingkan dengan tiang saka.
Beberapa orang sedang bekerja mengangkat beberapa ompak lalu meletakkannya ditempat yang akan didirikan tiang.
Pembuatan puluhan ompak sudah selesai beberapa hari yang lalu, dan semua ompak sudah dibawa dari Pengging menuju Pajang dengan mengunakan pedati.
Wuragil dan Jaka Wilapun berserta orang-orang dari Pajang, telah selesai membuat ompak di rumah Truna Ompak di Pengging dan kembali bekerja di Pajang membangun dan mendirikan dalem Kadipaten.
"Pajang tidak boleh terlalu jauh ketinggalan dari Jipang, baik pembangunan dalem kadipaten maupun kemampuan para prajurit" tekad Karebet dalam hati
"Jipang saat ini telah mempunyai puluhan calon prajurit yang berasal dari murid-murid perguruan Sekar Jagad, yang telah lama berlatih olah kanuragan" kata Karebet dalam hati.
Karebetpun kemudian mengedarkan pandangannya berkelilng, dilihatnya ada dua orang pemuda berbadan tegap sedang mengangkat sebuah ompak.

Karebet mendekati mereka, dan setelah kedua pemuda itu meletakkan ompak yang dibawanya, maka Kerebetpun menepuk bahu kedua pemuda itu.
"Siapa namamu ?" tanya Karebet.
"Saya, Wage" jawab salah seorang dari mereka.
"Yang satu lagi siapa namamu ?" tanya Karebet kepada pemuda yang disebelahnya.
"Saya, Waras" kata pemuda itu.
"Kalau kadipaten Pajang sudah berdiri, nanti akan dibentuk beberapa pasukan prajurit, diantaranya kesatuan Wira Tamtama dan Wira Manggala, apakah kalian semua bersedia menjadi prajurit Wira Tamtama ?" tanya Karebet.
"Menjadi prajurit Wira Tamtama ? Mau, aku mau menjadi prajurit Wira Tamtama Kadipaten Pajang" kata salah seorang dari mereka.
"Kalau kau, apakah kau mau menjadi seorang prajurit ?" tanya Karebet kepada pemuda yang disebelahnya.
"Mau" jawab Waras.
"Baik, nanti setelah Kadipaten Pajang berdiri, akan diadakan pendadaran untuk menjadi prajurit" kata Karebet.
"Diadu melawan seekor kerbau?" tanya Wage.
"Tidak, pendadarannya adalah, lari, melompat, merayap, naik ke sebuah pohon dan berenang menyeberangi sungai" jawab Karebet.

"Aku akan ikut pendadaran" kata Wage beremangat.
"Aku juga ikut pendadaran" kata Waras.
"Ya beritahukan ini ke teman-temanmu" setelah berkata demikian, Karebetpun meninggalkan mereka, dan iapun masih bertanya kepada beberapa pemuda yang lain, dipilihnya beberapa pemuda yang berbadan tegap, dan ditawarinya untuk menjadi prajurit
Ketika dilihatnya Lurah Wiguna bersama beberapa orang sedang mengangkat sebatang kayu, maka Karebetpun menghampirinya.
"Ki Lurah, aku tinggal sebentar, aku akan pergi ke Pengging, persediaan beras kita perlu dipasok lagi satu atau dua pedati" kata Karebet.
"Ya, silahkan" kata Lurah Wiguna.
Karebetpun lalu menyiapkan kudanya, dan tak lama kemudian seekor kuda telah berlari meninggalkan Pajang menuju Pengging.

Di perjalanan, Karebet memacu kudanya tidak terlalu kencang, jalan yang sedikit menanjak tidak mempengaruhi kecepatan kuda yang ditumpanginya.
Ketika kudanya memasuki desa Pengging, maka lari kuda agak diperlambat, lalu kudanyapun dibelokkan memasuki halaman rumahnya.
Karebetpun kemudian turun dan naik ke pendapa, dan dari dalam keluar seorang pembantu tua yang setia, Ki Purwa.
"Siwa sedang apa ?" tanya Karebet.
"Sedang membelah kayu bakar, kau mau minum kelapa muda ngger, nanti aku ambilkan" kata Ki Purwa.
"Siwa masih kuat naik pohon kelapa?" tanya Karebet.
"Sehari naik pohon kelapa tiga kalipun aku masih kuat" kata pembantunya.
"Tidak usah wa, aku tidak haus" kata Karebet.
"Kau akan ke rumah Truna Ompak ngger ?" tanya pembantunya.
"Tidak wa, pekerjaan membuat ompak telah selesai" jawab Karebet, iapun berhenti sebentar, lalu iapun bertanya :"Lumbung kita isinya masih banyak wa?"
"Hampir penuh"

"Tolong besok siwa bisa menyuruh orang untuk menumbuk padi, atau kalau padinya kurang, kita beli dari beberapa orang tetangga, setelah itu siwa bisa menyuruh orang untuk mengirim ke Pajang dengan menggunakan pedati, siwa bisa mengirim dua kali" kata Karebet.
"Baik ngger" pembantunyapun bersedia untuk mengirim beras ke Pajang.
"Wa, dulu kita punya kotak kayu kecil yang berisi beberapa barang peninggalan ayah Ki Kebo Kenanga, sekarang kotak itu berada dimana ?" tanya Karebet.
"Masih ada, kotak kayu itu masih saya simpan" kata Ki Purwa.
"Coba wa, bawa kesini kotaknya"

Pembantunyapun kemudian pergi kebelakang dan tak lama kemudian iapun datang dengan membawa kotak kayu yang ukurannya tidak terlalu besar, lalu kotak itupun diberikan kepada Karebet, dan Karebetpun menerima kotak kayu sambil berkata dalam hati :"Kotak ini cukup untuk tempat keris Kyai Naga Siluman"
Karebetpun membuka kotak kayu dan mengeluarkan isinya, yang berupa beberapa perhiasan yang dulu pernah dipakai Nyai Ageng Pengging.
"Wa, aku butuh kotak ini, kotak ini akan saya bawa ke Pajang, dan perhiasan ini supaya kau simpan lagi, masukkanlah ke dalam sebuah bumbung" kata Karebet.
"Baik ngger" kata uwa pembantunya, lalu iapun mengambil sebuah kantung kain dan kotak itupun dimasukkan kedalamnya.
Karebetpun menerima bungkusan itu dan iapun kemudian pamit akan ke kembali Pajang
Kembali Karebet naik ke pungung kudanya, dan kuda itupun kemudian berlari ke arah Pajang.
Di perjalanan, dilihatnya beberapa pemuda yang sedang mencangkul sawahnya.
"Daerah Pengging masih termasuk dalam kadipaten Pajang, nanti kalau aku sempat, aku akan berbicara dengan para Pemuda Pengging untuk memberi kesempatan mereka menjadi prajurit Pajang" kata Karebet didalam hatinya.
Kudanyapun masih berlari, dan ketika
Karebet sudah hampir sampai di bulak amba, kudanyapun dibelokkan mendekati sebuah pohon beringin liar.

Setelah memastikan disekelilingnya tidak ada seorangpun, maka sambil membawa bungkusan berisi kotak kayu, Karebetpun kemudian naik ke atas pohon beringin. Diambilnya keris Kyai Naga Siluman yang tadi malam diletakkan disana, lalu dimasukkan kedalam kotak yang dibawanya dari Pengging.
"Sekarang kerisnya aman dari air hujan ataupun embun pagi" kata Karebet sambil menutup kotak kayu itu.
Setelah meletakkan kotak berisi keris Kyai Naga Siluman, ditempat yang tersembunyi, maka Karebetpun turun kebawah, sambil mengelilingi pohon itu, didongakkan kepalanya :"Kotak itu tidak kelihatan, aman, mudah-mudahan tidak ada seorangpun yang tahu"
Sekali lagi Karebet berjalan memutar mengelilingi pohon beringin itu, pandangan matanya melihat kearah tempat penyimpan kotak berisi keris pusaka Kyai Naga Siluman, lalu dipandangnya dahan-dahan pohon itu dari berbagai sudut, dan setelah kotak itu tidak terlihat dari arah manapun, maka Karebetpun kemudian naik ke punggung kudanya dan dilarikannya menuju ke bulak amba.

Saat itu suasana di bulak amba, orang-orang masih disibukkan dengan melakukan kegiatan untuk menyelesaikan pekerjaan pembuatan dalem kadipaten Pajang dan ruang Paseban.
Seekor kuda tertambat disebuah dahan pohon, milik seorang tamu dari kotaraja Demak, tamu seorang prajurit Wira Tamtama utusan Kanjeng Sultan Trenggana yang sedang berbincang dengan Lurah Wiguna.
Ketika kuda yang ditunggangi oleh Karebet mendekati gubug di bulak amba, maka Lurah Wiguna dan tamu dari kotaraja Demak, seorang prajurit Wira Tamtama mendekat menyambut Karebet.
Karebetpun turun dari kudanya lalu berjalan menghampiri Lurah Wiguna dan tamunya.
"Kau Soma" sapa Karebet kepada prajurit Wira Tamtama yang ternyata adalah Soma.
"Ya" kata Soma sambil tersenyum :"Aku diutus Kanjeng Sultan untuk menemui Ki Lurah Wiguna dan menemuimu"
"Dari kotaraja kau pergi sendiri ?" tanya Karebet.
"Aku berangkat berempat, yang ke Pajang aku sendiri, sedangkan tiga orang Wira Tamtama yang lain pergi ke Kalinyamat, Prawata dan Jipang" jawab Soma.
"Berapa hari kau berada di Pajang?" tanya Karebet.
"Besok pagi aku pulang ke kotaraja"
"Cepat sekali, kau disini hanya semalam" kata Karebet.

"Ya, Kanjeng Sultan sudah menunggu laporanku tentang perkembangan pekerjaan pembangunan Kadipaten Pajang, Ki Lurah Wigunapun sudah melaporkannya padaku" kata Soma.
Karebetpun menganggukkan kepalanya, sambil tersenyum puas iapun berkata :"Di Pajang tidak ada persoalan yang berarti, semuanya lancar, pekerjaan berat mendirikan kayu saka sudah bisa dilaksanakan, tinggal pekerjaan selanjutnya yang tidak begitu berat".
"Ya, tadi Ki Lurah juga sudah bercerita tentang pelaksanaan pembangunan, Ki Lurah juga bercerita tidak ada masalah tentang dana yang dipakai untuk membangun Kadipaten" kata Soma.
Merekapun berbincang-bincang dan tak terasa mataharipun telah turun ke cakrawala, dan ketika gelap malam menyelimuti bumi Pajang, empat orang yang berasal dari Sela, Pemanahan Penjawi, Juru Martani beserta Sutawijaya mendekati Karebet lalu Pemanahanpun berkata:"Adi Karebet, besok pagi aku minta ijin, Danang Sutawijaya akan pulang ke Sela, dan akan diantar oleh Ki Juru Martani sedangkan aku dan adi Penjawi akan tetap tinggal disini".
"Silahkan kakang Pemanahan, pengalaman bekerja ikut membangun dalem kadipaten ini sangat berguna bagi Sutawijaya" kata karebet..
"Ya, bagaimanapun dulu aku sudah berjanji kepada kakeknya untuk mengajak Danang ke Pajang selama sebulan, hanya sebulan" kata Pemanahan.
"Danang, hati-hati di perjalanan besok"
kata Karebet kepada Sutawijaya.
"Ya paman Karebet" jawab Sutawijaya.
"Jangan lupa, kau bawa tombak pusakamu Kyai Penatas" kata Karebet.
"Ya paman"

Dan keesokan harinya, tombak pusaka Kyai Penataspun telah berada didalam genggaman tangan Sutawijaya, yang sudah duduk diatas punggung kuda jantan yang gagah.
Badannya yang masih belum sebesar orang dewasa, terlihat agak kecil dibandingkan dengan kuda jantan yang ditungganginya.
Tangannya dengan erat menggenggam tombak Kyai Penatas, itulah Sutawijaya yang berada diatas punggung kudanya, seorang anak yang belum dewasa, tetapi sudah trampil memainkan senjata tombaknya, yang tidak mudah dikalahkan oleh orang dewasa sekalipun.
"Saya pamit dulu adi, suatu saat aku akan kembali ke sini" kata Juru Martani kepada Karebet.
"Ya kakang Juru Martani, pintu kadipaten Pajang akan selalu terbuka untuk kakang Juru Martani, dan tolong sampaikan salam hormat saya kepada Ki Ageng Enis Sela" kata Karebet.
"Baik adi, nanti saya sampaikan kepada Ki Ageng, saya berangkat sekarang adi Karebet" kata Ki Juru Martani, lalu kudanyapun dijalankan, diikuti oleh kuda Sutawijaya, berlari meninggalkan Pajang.
Debu mengepul di belakang kaki dua ekor kuda yang berlari tidak terlalu kencang.
Setelah kedua ekor kuda itu lenyap dari pandangan, maka Somapun segera pamit kepada Karebet akan segera pulang ke Kotaraja.
"Kanjeng Sultan menunggu kabar dariku" kata Soma.
"Ya Soma, tolong titip salam saya kepada Nyai Madusari, dan bilang kalau aku disini baik-baik saja" kata Karebet.
"Baik nanti saya sampaikan" jawab Soma sambil tertawa.

Karebetpun tersenyum, dan setelah Soma berpamitan kepada semua orang, sesaat kemudian iapun telah berada dipunggung kudanya, lalu dijalankannya kuda itu menuju ke arah kotaraja.
Beberapa saat kemudian, orang-orang telah disibukkan dengan kerja, sebagian orang bekerja membangun dalem kadipaten, sedangkan sebagian orang lagi bekerja membangun ruang paseban, seperti bangunan Sasana Sewaka yang berada di kraton Demak.
Bersama beberapa orang lainnya, Karebetpun ikut mengangkat ompak yang sebentar lagi akan dipasang di ruang paseban.
Ketika semua orang sedang sibuk bekerja, dari jauh terlihat ada seorang pemuda yang mendekati pembangunan dalem Kadipaten, dan setelah bertanya kepada seseorang, maka pemuda itupun di bawa ke Karebet.
Karebet lalu meletakkan ompak yang dibawanya, dilihatnya pemuda itu menundukkan kepalanya dengan sikap ngapurancang.
"Apakah saya berhadapan dengan kakangmas Karebet ?" tanya pemuda itu.
"Ya, aku Karebet, kau siapa ?" tanya Karebet
"Nama saya Wenang, putra Ki Ageng Butuh" kata pemuda itu.
"O kau putra Ki Ageng Butuh, aku lama disana, tapi tidak pernah melihatmu" kata Karebet.
"Ya, karena saya baru kemarin pulang dari bang kulon, lalu ayah menyuruh saya untuk menemui kakangmas Karebet di Pajang"

"Kau baru saja datang dari bang kulon ? Dimana?" tanya Karebet.
"Saya pergi ke Cirebon, lalu berjalan ke gunung Ciremai, terus melanjutkan perjalanan keselatan sampai Segara Anakan" kata Wenang.
"Kau berlatih olah kanuragan di beberapa perguruan ?" tanya karebet.
"Ya"
"Bagus" kata Karebet :"lalu kau kesini diutus Ki Ageng Butuh?"
"Ya, saya disarankan untuk ke Pajang, dan kalau kakangmas Karebet mau menerima, saya bersedia mengabdi di Pajang" kata Wenang.
Karebet tersenyum, dengan bergabungnya Wenang putra Ki Ageng Butuh, maka Pajang akan bertambah kuat.

(bersambung)

Senin, 22 September 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 21

KERIS KYAI SETAN KOBER 21

BAB 8 : BABAT ALAS 2

Karya : Apung GWAP

Lintang panjer rina masih bersinar cemerlang, mengalahkan ribuan bintang lainnya, tak lama kemudian langit telah semburat berwarna merah, fajarpun menyingsing di langit sebelah timur.
Langit semakin lama menjadi semakin terang, ketika seekor kuda berlari keluar dari desa Jipang menuju ke arah selatan.
Penunggang kuda itu, Rangkud, seorang abdi setia Arya Penangsang, berkuda menuju lereng gunung Lawu, langit yang semakin terang dan udara yang masih dingin, membuatnya melarikan kudanya tidak begitu cepat,
"Dingin" kata Rangkud dalam hati.
"Mudah-mudahan nanti sore sudah bisa sampai di padepokan Sekar Jagad di lereng gunung Lawu. Panembahan Sekar Jagad memang orang yang pilih tanding, ilmunya tak terlawan. Kakak seperguruan paman Matahun itu mempunyai banyak murid yang setiap hari dilatih olah kanuragan" kata Rangkud dalam hati.

Rangkudpun masih berangan-angan :"Alangkah kuatnya Kadipaten Jipang, kalau Ki Matahun nanti bisa menarik Panembahan Sekar Jagad ke pihak Jipang. Bagaimanapun juga Raden Penangsang adalah putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen, andaikan Pangeran Sekar dahulu tidak dibunuh orang, tentu sekarang Raden Penangsang sudah menjadi Sultan Demak. Hm pangeran Sekar Seda Lepen, Pangeran Sekar yang meninggal ditepi sungai, ........." dan angan-angan Rangkudpun melambung tinggi

"Kanjeng Sultan Trenggana adalah orang yang berilmu tinggi. Di seluruh bumi Demak, susah untuk mencari orang yang mampu mengimbangi ilmu Kanjeng Sultan Trenggana. Andaikan setelah Sultan Trenggana meninggal, lalu yang menjadi Sultan adalah dari trah Sekar Seda Lepen, tentu Raden Penangsang yang akan menjadi Sultan Demak. Jalan masih panjang bagiku untuk menjadi seorang Tumenggung" kata Rangkud sambil tersenyum di dalam hati.
Rangkudpun masih menjalankan kudanya tidak begitu cepat, menembus dinginnya udara pagi menuju arah selatan, ke lereng gunung Lawu.

Sementara itu, di bulak amba Pajang, sejak fajar menyingsing, sudah ada kegiatan. Dua orang juru adang sudah menanak nasi, untuk bekal puluhan orang yang bekerja di beberapa tempat.
Didepan gubug, Lurah Wiguna sudah mulai mengatur untuk mengerjakan pekerjaan hari ini.
"Pengurugan tanah calon dalem Kadipaten dan ruang Paseban kemarin sudah selesai, hari ini kita akan membangun sebuah gubug lagi. Nanti tiga orang akan bekerja disini membuat gubug, sedangkan sepuluh orang akan tetap bekerja mencetak bata mentah dipimpin oleh Mas Manca, sedangkan Ki Wuragil dan Jaka Wila masih tetap membuat ompak di Pengging" kata Lurah Wiguna mengatur orang-orang yang akan bekerja.

Wuragilpun mendekat kepada Lurah Wiguna dan bertanya :"Ki Lurah, nanti kayu jati yang akan dibuat saka, kira-kira ukurannya sebesar apa?"
"Kayu saka nya kita tebang yang sebesar sepelukan orang, nanti kita haluskan, jadi bisa agak lebih kecil sedikit" jawab Lurah Wiguna menerangkan.
Mendengar penjelasan Ki Lurah, Wuragilpun menganggukkan kepalanya :"Sepelukan orang"
"Orang-orang yang kemarin ikut mengurug, nanti semuanya ke hutan jati, nanti ada yang membuat tali dan membuat kayu pengungkit, kalau kayunya sudah bisa keluar dari hutan, akan lebih mudah membawanya, karena bisa dengan cara diungkit" kata Ki Lurah.
"Kalau jalannya dari hutan ke arah bulak amba sudah rata, mengungkit kayu bisa menjadi lebih mudah dan cepat, apalagi kita mempunyai tenaga yang banyak" kata Lurah Wiguna..

Ketika langit sudah benar-benar terang, semakin banyak rakyat Pajang yang akan ikut gugur gunung.
Merekapun banyak yang datang dengan membawa alat-alat yang mereka miliki.
Juru Martani memotong sebuah bambu sepanjang satu depa, lalu ditancapkan di lantai gubug, setelah itu landeyan tombak Kyai Penatas dimasukkan didalam bumbung, sehingga tombak itupun bisa tersimpan dalam keadaan berdiri.
Ketika bekal makanan yang untuk puluhan orang yang bekerja di hutan sudah siap, maka makananpun diletakkan diatas dua buah tandu dari bambu yang masing-masing dipikul oleh empat orang.
Sesaat kemudian puluhan orang berangkat ke hutan disebelah barat Pajang, termasuk Pemanahan dan Penjawi yang ternyata sudah membawa kapak yang berukuran besar, sedangkan di belakangnya berjalan Sutawijaya bersama pamomongnya, Juru Martani.

Mas Manca bersama sepuluh orang lainnya, setelah menerima bekal makanan dari juru adang, segera berangkat ke wetan kali untuk melanjutkan pekerjaan mencetak bata. Kemudian Wuragilpun mempersiapkan lima ekor kuda, yang akan membawanya ke rumah Truna Ompak di Pengging.
Sesaat kemudian setelah menerima bekal, maka berderaplah beberapa ekor kuda meninggalkan bulak amba Pajang menuju Pengging.
Di depan gubug, tiga orang yang ditunjuk oleh Ki Lurah untuk membuat gubug baru juga mulai bekerja, mereka memotong beberapa bambu dan mencari daun-daun kelapa untuk dijadikan atap gubug.
Karebetpun mendekati Tumpak dan Banu, yang membantu memotong bambu untuk tiang gubug.
"Tumpak dan Banu, kalian masih lama berada disini ?" tanya Karebet ketika sudah berada disebelah Tumpak.
"Tergantung Ki Lurah Wiguna, kalau Ki Lurah memerintahkan kami pulang, maka kamipun segera pulang, tetapi selama ini para bebahu di Pajang tidak ada yang mbalela terhadap titah Kanjeng Sultan, sehingga kamipun disini tidak punya kerjaan" kata prajurit Wira Manggala, Banu, sambil tersenyum.

Karebetpun juga tersenyum mendengar canda Banu, sedangkan Tumpakpun tertawa perlahan.
"Kalau ada yang mbalela, yang bertempur paling terakhir adalah saya" kata Tumpak.
Mendengar kata Tumpak, Banupun terlihat tersenyum.
Karebetpun membantu pembuatan gubug, iapun berjalan ke rumpun bambu, dengan pedang pendeknya, Karebet memotong bambu beberapa buah, lalu bambu itupun dibawanya ke dekat gubug.
Matahari terus naik hampir mencapai puncak langit, beberapa orang masih bekerja membuat atap dari daun kelapa yang dijepit dengan potongan bambu tipis.
Ketika Karebet bersama beberapa orang sedang bekerja, terlihat dua orang menuntun dua ekor kuda yang di kanan kiri punggungnya terdapat beban yang besar mendekati gubug di bulak amba.
Karebetpun kemudian berjalan menyambut kedua orang berkuda yang baru saja datang.
"Kami dari Banyubiru, diutus oleh Ki Buyut Banyubiru" kata salah seorang dari mereka.
"Ya Ki Sanak, silahkan masuk, silahkan istirahat dulu di dalam gubug, atau kalau mau membersihkan diri, di sebelah gubug ada sungai kecil" kata Karebet, dan kepada Banu, iapun berkata :"Banu, bantu aku menurunkan beban ini dari punggung kuda"
Banupun bergegas, berdua dengan Karebet iapun menurunkan beban yang bergelantungan di punggung kuda.

Setelah menurunkan beban dari punggung kuda, maka Banupun kemudian membantu memberi minum kuda-kuda yang kelelahan.
Beberapa saat kemudian Karebetpun bersiap untuk melihat pekerjaan lainnya.
"Tumpak, aku akan pergi bekeliling dulu" kata Karebet, lalu iapun menuntun kudanya ke depan gubug.
"Ya, silahkan" jawab Tumpak :"Disini masih ada aku dan Banu, ada pula tukang adang yang berada di gubug sebelah"
"Tumpak, di dalam gubug ada sebuah tombak pusaka milik Ki Pemanahan, tolong dijaga, jangan sampai hilang" kata Karebet.
"Baik" kata Tumpak menyanggupi.
"Sekarang aku akan menengok orang-orang yang sedang bekerja mencetak bata" kata Karebet, lalu setelah itupun ia naik ke punggung kuda, dan melarikan kudanya ke wetan kali.

Karebet melarikan kudanya tidak begitu kencang, udara yang panas disiang hari pada musim kemarau, membuat udara menjadi kering.
Kaki-kaki kuda terus menapak di jalanan dan beberapa saat kemudian sampailah Karebet di wetan kali, dilihatnya Mas Manca dan beberapa orang lainnya sedang mencetak bata.
Di dekatnya, berjejer ratusan tanah liat yang sudah dicetak menjadi bata mentah, yang sedang dijemur di bawah terik matahari.
Mengetahui yang datang kepadanya adalah Karebet, maka Mas Mancapun kemudian menghentikan pekerjaannya dan berdiri menunggu Karebet.
"Tadi di gubug datang dua orang yang diutus oleh Ki Buyut Banyubiru" kata Karebet setelah ia berada didekat Mas Manca.
"Ya" kata Mas Manca:" Mereka membawa beras dan jagung, dua orang yang menuntun kuda yang membawa beban adalah tukang kayu dari Banyubiru"
"Hari ini mereka biar istirahat dulu, besok saja mereka bekerja memotong pohon"
"Ya" kata Mas Manca.
"Aku akan ikut bekerja mencetak bata" kata Karebet sambil tersenyum.
"Silahkan" kata Mas Manca
 Sesaat kemudian Karebetpun ikut bekerja menginjak-injak tanah liat, setelah itu iapun tanpa kenal lelah ikut mencetak tanah liat dan menjemur bata mentah, iapun terus bekerja sampai matahari sudah mulai condong ke barat.

Sementara itu, sinar matahari yang telah condong kebarat menerobos diantara daun-daun pepohonan di lereng gunung Lawu.
Seorang penunggang kuda dengan susah payah berjalan mendaki lereng gunung Lawu, menuju padepokan Sekar Jagad.
Penunggang kuda itu, Rangkud, mendongakkan kepalanya, pandangannya tertuju kepada sinar matahari yang semakin rendah .
"Sebentar lagi aku akan sampai di poadepokan Sekar Jagad, mudah-mudahan matahari belum tenggelam" kata Rangkud dala hati.
Rangkudpun masih menjalankan kudanya, mendaki dijalan yang terjal, sempit dan berbelok tajam.
"Untung saja saat ini musim kemarau, kalau saat ini musim penghujan, jalan terjal ini pasti licin sekali. Hm kelihatannya hampir sampai, tempat padepokan berada dibawah telaga, di lereng gunung Lawu" kata Rangkud sambil terus menjalankan kudanya.
Beberapa saat kemudian kudanyapun memasuki gerbang halaman padepokan Sekar Jagad, kemudian Rangkudpun turun dari kudanya, lalu kudanya dituntun masuk ke dalam padepokan.
Ketika baru berjalan beberapa langkah, dilihatnya seorang pemuda sedang membawa sebuah bumbung besar yang berisi air.

Ketika melihat Rangkud, pemuda itupun berhenti dan kemudian berjalan mendekati Rangkud.
"Ki Sanak, cantrik disini ?" tanya Rangkud setelah berhadapan dengan pemuda itu.
"Ya" jawab cantrik itu sambil memandang Rangkud.
"Ki Sanak, Panembahan Sekar Jagad ada di pedepokan?" tanya Rangkud
"Ada, Panembahan sedang di sanggar, Ki Sanak berasal dari mana ?" tanya cantrik itu.
"Tolong sampaikan kepada Panembahan Sekar Jagad, saya bernama Rangkud, berasal dari Jipang, ada pesan dari Ki Matahun untuk Panembahan sekar Jagad" kata Rangkud,
"Baik, akan saya sampaikan kepada Panembahan, Ki Rangkud menunggu didepan saja" kata cantrik itu sambil meletakkan bumbungnya, lalu iapun berjalan menuju sebuah rumah yang berada diatas tanah yang tinggi.

Matahari semakin turun ke cakrawala barat, langitpun semakin redup, ketika cantrik itu keluar dan menghampiri ke arah Rangkud
"Ki Rangkud, dipersilahkan membersihkan diri dulu, setelah itu silahkan menemui Panembahan Sekar Jagad di ruang dalam, kudanya nanti biar saya yang merawat" kata cantrik, lalu iapun meminta tali kendali kuda dan menuntunnya, lalu mengikatnya di sebuah pohon.
"Ki Sanak, padepokan ini seperti kelihatan sepi, berapa orang murid perguruan Sekar Jagad?"
"Murid perguruan Sekar Jagad lebih dari lima puluh orang, sekarang mereka semuanya sedang berlatih di hutan di sebelah telaga" kata cantrik itu.
Mereka berdua menuju ke sebuah bangunan, dan cantrik itupun menunjukkan kepada Rangkud, tempat untuk membersihkan diri.
"Sumurnya dibelakang" kata cantrik, tangannya lalu menunjuk ke arah sumur di belakang bangunan.
Agak lama Rangkud membersihkan dirinya, gelap menyelimuti lereng gunung Lawu, udara dingin terasa menusuk tulang, Rangkudpun berjalan menuju kesebuah ruangan yang diterangi oleh sebuah lampu minyak.
Ketika Rangkud berada di depan pintu, terdengar suara dari dalam ruangan :"Masuklah Rangkud"
Rangkudpun kemudian memasuki ruangan dan didalam ruangan ada seorang laki-laki yang duduk disebuah amben.

Seorang laki-laki yang sudah tua, sorot matanya tajam, berambut putih, panjang hingga menyentuh pundak, berjenggot panjang berwarna putih, memakai pakaian berwarna gelap, memakai ikat kepala berwarna hitam.
"Duduklah Rangkud" kata Panembahan Sekar Jagad, suaranya masih keras.
Rangkudpun duduk, lalu terdengar suara Panembahan :"Bagaimana kabarmu Rangkud, selamat?"
"Atas doa restu Panembahan, saya selamat" jawab Rangkud.
"Bagaimana kabar anakmas Penangsang dan adikku Matahun"
"Semua baik Panembahan" jawab Rangkud.
"Kabar apa yang kau bawa dari Jipang, Rangkud ?" tanya Panembahan Sekar Jagad.
"Panembahan, sebentar lagi Raden Penangsang akan diwisuda menjadi Adipati Jipang" kata Rangkud, lalu iapun bercerita tentang pembangunan dalem Kadipaten dan ruang Paseban yang saat ini sedang kekurangan tenaga.
"Lalu apa pesan Matahun kepadaku ?" tanya Panembahan Sekar Jagad.
"Paman Matahun dan raden Penangsang mohon bantuan Panembahan Sekar Jagad, untuk mengirim murid-murid perguruan Sekar Jagad sebanyak tiga puluh orang untuk ikut membantu pembangunan dalem Kadipaten Jipang" kata Rangkud.
"Tiga puluh orang?" tanya Panembahan Sekar Jagad.
"Ya panembahan, tiga puluh orang"
"Baik Rangkud, silahkan kau istirahat di ruangan yang telah disediakan cantrik, malam ini permintaan Raden Penangsang akan aku pertimbangkan, besok pagi kita lanjutkan pembicaraan ini" kata Panembahan Sekar Jagad.
"Terima kasih Panembahan" lalu Rangkudpun keluar menuju ruang yang telah disediakan untuknya.

Malam itu lereng gunung lawu diselimuti kabut, udara terasa dingin menusuk tulang, diluar padepokan, seluruh hutan terlihat gelap, tidak terlihat adanya sinar, hanya kerlip bintang yang kadang-kadang terlihat menerobos di sela daun-daun pepohonan.
Keesokan harinya, suasana Padepokan menjadi ramai, murid-murid perguruan Sekar Jagad, baru saja kembali dari berlatih ilmu kanuragan di dalam hutan dekat sebuah telaga di lereng gunung Lawu.
Setelah Rangkud membersihkan dirinya, seorang cantrik datang kepadanya, menyuruhnya menghadap Panembahan diruang dalam.
Rangkudpun kemudian berjalan menuju ruang dalam, tempat Panembahan Sekar Jagad menerimanya tadi malam, dan ketika Rangkud tiba didepan ruangan Panembahan, maka diapun disuruh masuk oleh Panembahan.
Ketika Rangkud masuk ke ruangan, suasana masih seperti kemarin, didalam ruangan, Panembahan Sekar Jagad sedang duduk disebuah amben, Panembahan tua berambut putih yang panjangnya sebahu dibiarkan terurai, berjenggot putih, berpakaian dan memakai ikat kepala warna gelap.
"Duduklah Rangkud" kata Panembahan.
Rangkudpun kemudian mengambil sebuah dingklik yang berada di sudut ruangan, dan iapun duduk disitu.
"Cantrik !" panggil Panembahan kepada seorang cantrik yang menunggu diluar.

Seorang cantrik masuk keruangan, lalu Panembahanpun berkata :"Panggil Soreng Rana, suruh dia datang kemari sekarang"
Cantrik itupun berjalan keluar ruangan, dan tak lama kemudian masuklah seorang murid utama Panembahan Sekar Jagad yang sudah dianggap sebagai pemimpin dari murid-murid perguruan di lereng gunung Lawu itu.
"Kau Soreng Rana, duduklah" kata Panembahan mempersilahkan Soreng Rana duduk di dingklik.
"Soreng Rana, tadi malam Rangkud baru datang dari Jipang, ada permintaan dari Raden Penangsang dan adik seperguruanku, Ki Mantahun, supaya kita mengirim tiga puluh orang untuk membantu pembangunan dalem kadipaten, dan setelah semalam saya pertimbangkan, permintaan Raden Penangsang akan aku penuhi, tetapi dengan sebuah syarat".
"Apa syaratnya Panembahan" tanya Soreng Rana.
"Kita akan mengirim tiga puluh orang, tetapi orang-orang dari perguruan Sekar Jagad semuanya harus diangkat menjadi prajurit Jipang tanpa melalui pendadaran" kata Panembahan Sekar Jagad. "Kalau semua murid-murid perguruan Sekar Jagad berangkat ke Jipang, lalu bagaimana dengan Padepokan ini Panembahan?" tanya Soreng Rana yang mengkhawatirkan padepokannya menjadi sepi.
"Kalau sebagian besar murid-murid perguruan Sekar Jagad nanti menjadi prajurit Jipang, maka nanti akan ada lagi yang pemuda-pemuda yang datang ke padepokan ini, yang ingin menjadi murid perguruan Sekar Jagad" kata Panembahan Sekar Jagad.

"Nah Rangkud, kau berangkatlah ke Jipang terlebih dulu, mumpung masih pagi, besok sebanyak tiga puluh orang murid-murid perguruan Sekar Jagad akan berangkat ke Jipang dipimpin oleh Soreng Rana, jangan lupa kau bilang kepada Raden Penangsang, tiga puluh orang itu supaya diangkat menjadi prajurit Kadipaten Jipang" kata Sang Panembahan.
"Baik Panembahan" jawab Rangkud.
"Masa depan Jipang kelihatannya cerah, siapa tahu nanti ada beberapa murid perguruan Sekar Jagad yang diangkat menjadi Tumenggung di Jipang" kata Panembahan.
Mendengar perkataan Panembahan Sekar Jagad, Rangkudpun mengangkat mukanya sambil berguman:" Di dalam sebuah kerajaan, pangkat Tumenggung bisa saja ada enam atau tujuh orang"
"Saya mohon pamit Panembahan"kata Rangkud :'Setelah ini saya akan terus pulang ke Jipang".
Rangkudpun kemudian pamit untuk keruangannya semula, bersiap-siap untuk melakukan perjalanan lagi, pulang ke Jipang.
"Cantrik !"panggil Panembahan Sekar Jagad.
Cantrikpun masuk kedalam ruangan, menanti perintah Panembahan.
"Kau urus semua keperluan Rangkud yang mau pulang ke Jipang" kata Panembahan.
"Baik Panembahan" jawab cantrik,dan iapun berjalan menuju ruangan tempat Rangkut tidur tadi malam.
Lalu kepada Soreng Rana, Panembahan Sekar Jagad memerintahkan :"Nanti sore kumpulkan semua murid perguruan Sekar Jagad, aku akan berbicara kepada mereka".
"Baik Panembahan" lalu Soreng Ranapun berjalan keluar dari ruangan Panembahan Sekar Jagad.

Matahari terus memanjat naik di langit sebelah timur, seekor kuda perlahan-lahan menuruni jalan berbatu yang berada di lereng gunung Lawu, menuju arah utara.
Penunggangnya, Rangkud, saat ini dalam perjalanan pulang ke Jipang, setelah permintaan yang disampaikannya disanggupi oleh Panembahan Sekar Jagad.
"Hm kenapa Panembahan mau mengirim murid-muridnya untuk membantu Jipang, tetapi mengajukan sebuah syarat ?" kata Rangkud dalam hati.
"Ah, biarlah, itu urusan Raden Penangsang dan Ki Matahun" kata Rangkud dalam hati.
Matahari terus memanjat naik, semakin lama semakin tinggi, ketika Rangkud sudah keluar dari daerah gunung Lawu.

Sementara itu di Pajang, pekerjaan babat alas masih terus dilakukan, mereka meneruskan pekerjaan yang dilakukan kemarin.
"Tumpak, hari ini aku akan menengok pembuatan ompak di Pengging" kata Karebet kepada Tumpak ketika mereka berbincang didepan gubug.
"Silahkan" kata Tumpak, beberapa saat kemudian seekor kuda berlari dari bulak amba menuju Pengging.
Matahari semakin tinggi, ketika seekor kuda yang berlari menuju Pengging telah meninggalkan Pajang jauh di belakang, penunggang kuda itu, Karebet, memang tidak tergesa-gesa, apalagi jarak dari Pajang ke Pengging tidak begitu jauh.
Ketika kuda itu memasuki desa Pengging, desa kelahirannya, maka Karebetpun memperlambat lari kudanya, dan ketika sampai dijalan bercabang, maka Karebetpun mengambil jalan yang menuju kerumahnya, bukan jalan yang menuju rumah Truna Ompak, didekat jalan yang menuju umbul Pengging.
Perlahan-lahan, kuda Karebet berjalan menuju rumahnya, rumah ayahnya, Kebo Kenanga yang disebut juga Ki Ageng Pengging, rumah yang saat ini hanya ditunggu oleh seorang laki-laki tua, pembantu ayahnya yang setia Ki Purwa.

Di desa Pengging, rumah Ki Ageng Pengging adalah termasuk rumah yang berukuran cukup besar, rumah itu jarang ditengok oleh Karebet maupun oleh siwanya, Kebo Kanigara yang tidak diketahui dimana tempat tinggalnya sekarang.
Kuda Karebet berjalan memasuki halaman rumahnya, halaman yang luas, sesuai dengan rumah peninggalan ayahnya yang besar.
Di depan pendapa, Karebet berhenti, belum juga Karebet turun dari kuda, maka dari samping rumah keluar orang tua yang menjaga rumah, menyambutnya dengan suara bergetar :"Aku dengar kau akan diangkat menjadi Adipati Pajang ngger Karebet"
Karebetpun segera turun dari kudanya, dan sambil tersenyum iapun menjawab :"Siwa mendengar dari mana?"
"Kabar ini sudah menyebar, setiap orang Pengging sudah tahu kalau angger akan menjadi Adipati Pajang, kemarin Truna Ompak wara-wara ke semua penduduk Pengging" kata Ki Purwa.
Karebet menganggukkan kepalanya:"Ya wa, memang aku akan diangkat sebagai Adipati Pajang"
"Berarti yang dikatakan Truna Ompak itu benar" kata Ki Purwa.
"Ya" kata Karebet, lalu iapun melanjutkan:"Kalau siwa Kebo Kanigara kapan terakhir datang kemari ?"
"Beberapa saat setelah angger pergi dari Pengging beberapa candra yang lalu, anakmas Kanigara memang pernah kemari, tetapi sampai sekarang tidak pernah kemari lagi" kata Ki Purwa bercerita.

Karebetpun naik ke pendapa diikuti oleh ki Purwa, pembantu ayahnya yang setia :"Aku ambilkan air ngger"
"Tidak usah wa, aku cuma sebentar, nanti aku akan ke rumah Truna Ompak" kata Karebet sambil duduk di pendapa diiikuti oleh pembantu ayahnya.
"Ya, Truna Ompak bilang kalau ia membuat banyak ompak untuk dalem Kadipaten di Pajang" kata pembantunya.
"Ia membuat ompak bersama dengan beberapa orang dari Pajang" kata Karebet, lalu selama beberapa saat mereka berdua berbincang di pendapa, sampai akhirnya Karebetpun pamit akan kerumah Truna Ompak.
Setelah berpamitan, Karebet segera berada di punggung kudanya dan menjalankannya menuju rumah Truna Ompak didekat umbul Pengging.
Karebet yang sudah tahu letak rumah Truna Ompak, menjalankan kudanya berbelok di suatu halaman yang banyak terdapat batu-batu tergeletak di sudut halaman, yang akan dibuat menjadi ompak.
Di halaman dsamping rumah, terdapat beberapa kuda yang di ikat di beberapa tonggak yang tertanam rapi.
Di bawah pohon, Truna Ompak bekerja menatah batu menjadi ompak, dibantu Wuragil, Jaka Wila dan beberapa orang Pajang yang sudah trampil membuat ompak.
Truna Ompak, Wuragil, dan Jaka Wila yang melihat Karebet mendatanginya, lalu merekapun berdiri menyambutnya.

Karebetpun segera turun dari kudanya, lalu kendali kudanya diminta oleh Jaka Wila untuk ditambatkan bersama kuda-kuda yang lain.
"Selamat datang calon Adipati Pajang" kata Truna Ompak sambil tertawa.
Karebetpun tertawa, lalu merekapun duduk bersama di bawah pohon di halaman depan.
"Sudah ada beberapa ompak yang sudah jadi" kata Karebet ketika melihat beberapa ompak yang sudah jadi.
"Ya" kata Truna Ompak :"Tiga empat pasar lagi semua ompak yang dibuat, sudah selesai dikerjakan"
"Kalau semuanya sudah selesai dikerjakan, ompaknya bisa di angkut ke Pajang dengan menggunakan pedati, nanti pedatinya bisa mengangkut ulang tiga empat kali" kata Karebet.
"Masih agak lama, tiga empat pasar lagi" kata Truna Ompak sambil neneruskan pekerjaannya.
Karebetpun kemudian ikut bekerja membuat ompak, dipinjamnya tatah batu milik Truna Ompak, lalu Karebetpun ikut menatah batu yang berasal dari muntahan gunung Merapi ketika meletus.

Matahari bergerak terus kebarat, dihalaman rumah Truna Ompak, beberapa orang masih sibuk membuat ompak.
Sementara itu, disebelah utara gunung Lawu, seekor kuda berderap ke arah utara, meninggalkan debu-debu di belakang kakinya, gunung Lawu sudah jauh ditinggalkan di belakangnya.
"Setelah hari menjadi gelap, aku baru sampai di Jipang" kata penunggangnya, Rangkud, abdi setia dari Arya Penangsang.
Senja telah menjelang, perlahan-lahan Rangkudpun semakin mendekati Jipang.
Gelap telah menyelimuti bumi Jipang, ketika seorang pembantu di rumah Penangsang meyalakan api ditempat gerabah kecil, yang diisi dengan minyak lemak binatang.
Nyala api yang lemah, menggapai, sinarnya menyentuh wajah tiga orang yang sedang duduk di ruang dalam.
"Paman Matahun dan kau Mataram" kata Penangsang kepada dua orang yang sedang duduk didepannya, Ki Matahun dan adiknya Arya Mataram.
Ki Matahun dan Arya Mataram menundukkan kepalanya, mereka siap mendengarkan perkataan calon Adipati Jipang, Arya Penangsang.
"Ternyata kita memang kekurangan tenaga, kalau kita hanya mengandalkan tenaga dari Ki Kerta dan kawan-kawannya meskipun dibantu oleh puluhan rakyat Jipang yang gugur gunung, kelihatannya enam candra kita baru selesai membuat dua buah bangunan itu" kata Arya Penangsang.
"Ya Raden" kata Ki Matahun.
"Aku sangat mengharapkan bantuan dari Panembahan Sekar Jagad, untuk mengirim orangnya kemari" kata Penangsang.
"Ya raden, kalau ada tiga puluh orang lagi, maka pembuatan dalem Kadipaten dan ruang Paseban bisa selesai tepat waktu" kata Ki Matahun.

Setelah berkata demikian, telinga Ki Matahun dan Arya Penangsang yang tajam, mendengar derap kuda yang berlari mendekat ke rumahnya.
"Mataram" kata Penangsang:"Coba kau lihat siapa yang berkuda menuju kemari".
Arya Matarampun kemudian bangkit, berjalan keluar ruangan, lalu iapun turun dari pendapa dan berdiri di halaman rumah, menunggu penunggang kuda yang sedang menuju ke rumahnya.
Seekor kuda dengan penunggang yang sudah dikenalnya memasuki halaman rumah, lalu penunggangnya itupun turun dan mengikat kudanya pada tonggak yang ada di samping rumah.
"Rangkud, kau sudah ditunggu kakangmas Arya Penangsang" kata Arya Mataram kepada penunggang kuda itu.
"Ya Raden" kata Rangkud dan setelah mencuci kakinya, mereka berduapun naik ke pendapa lalu berjalan menuju ruang dalam.
"Rangkud, duduklah" kata Penangsang ketika Rangkud sudah berada di ruangan.
Rangkudpun kemudian duduk didepan Penangsang.
"Bagaimana hasil dari perjalananmu ke gunung Lawu ?" tanya Arya Penangsang.
"Ya raden, saya telah bertemu dengan Panembahan Sekar Jagad, dan sang Panembahanpun telah menyetujui permintaan raden" kata Rangkud.
"Bagus" kata Penangsang.
"Panembahan mau membantu Jipang, tetapi ada syaratnya" kata Rangkud.
"Memakai syarat?" tanya Penangsang.

Kemudian Rangkudpun bercerita tentang pertemuannya dengan Panembahan Sekar Jagad di lereng Gunung Lawu.
"Jadi Panembahan Sekar Jagad mau membantu kalau aku mengabulkan permintaannya ?" tanya Penangsang dengan suara bergetar.
"Ya Raden" jawab Rangkud sambil menundukkan kepala.
"Jadi aku disuruh menuruti kemauan Panembahan Sekar Jagad untuk menerima tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad sebagai prajurit Jipang tanpa pendadaran ?" kata Penangsang dengan keras.
Matahun lalu mengangkat mukanya, iapun terkejut, ketika dilihatnya wajah Penangsang merah membara, tangannya bergetar.
"Rangkud !!!" teriak Penangsang keras, dengan suara bergetar.
Rangkud yang berada di depannya terkejut sehingga diapun hampir terloncat dari tempat duduknya.
"Rangkud !!,, Kalau aku menolak syarat dari Panembahan Sekar Jagad, dia mau apa ?" kata Penangsang dengan suara yang bergetar.
Rangkudpun tidak berani menjawab, dia hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Sabar raden" kata Matahun.
"Sabar kakangmas" kata Arya Mataram.
"Sabar raden, kita harus bisa berpikir jernih, permintaan Panembahan Sekar Jagad supaya murid-murid perguruan Sekar Jagad dijadikan sebagai prajurit adalah sangat menguntungkan bagi Jipang" kata Matahun menyabarkan Penangsang.

Arya Penangsang diam saja, mukanya masih bersemu merah, dan iapun membiarkan Matahun berbicara terus.
"Tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad akan menjadi prajurit pilihan Kadipaten Jipang, alangkah kuatnya. Murid-murid yang mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi, terutama Soreng Rana, Soreng Pati, Soreng Yuda dan beberapa Soreng-Soreng yang lain, bersedia berada dibawah perintah raden Penangsang" kata Matahun.
"Kalau sekarang dengan kekuatan tiga puluh orang prajurit Jipang, kita menyerang Kalinyamat atau menyerang Prawata, maka kedua daerah itu akan jatuh ketangan kita" kata Matahun menjelaskan.
Perlahan-lahan wajah merah Penangsang telah memudar, kemarahannya sedikit demi sedikit telah reda, setelah mendengar beberapa pertimbangan yang telah diberikan oleh abdi setianya, Matahun.
"Pangeran Hadiri ataupun Pangeran Arya, bahkan Karebet yang sekarang berada di Pajang tak akan mampu mengimbangi kekuatan prajurit pilihan Jipang" kata Matahun menjelaskan.
"Dengan tambahan tiga puluh orang prajurit pilihan, Jipanglah yang terunggul dalam perbandingan jumlah dan kemampuan prajurit"

"Tiga puluh orang itu nanti akan menjadi prajurit yang waktunya bersamaan dengan terbentuknya Kadipaten Jipang, maka kalau nanti kita mengadakan pendadaran prajurit Jipang, merekalah yang akan bertugas melatih para prajurit baru" kata Matahun.
Raut muka Penangsangpun telah kembali seperti semua, warna merah diwajahnya sudah hilang, kemarahannya bagai awan hitam yang tertiup angin, hilang tak berbekas.
"Tiga puluh prajurit pilihan Jipang yang mempunyai kemampuan kanuragan yang tinggi, nanti akan berada dibawah perintah raden Penangsang" kata Matahun.
Arya Penangsangpun menganggukkan kepalanya, diapun bisa menerima saran dari abdi setianya, Matahun.
"Ya paman Matahun, kau benar, aku terima tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad sebagai prajurit Jipang" kata Penangsang yang akhirnya menuruti saran dari Matahun.
"Ya raden, memang itulah keputusan yang terbaik" jawab Matahun yang tersenyum senang karena sarannya diterima junjungannya.
"Untuk melatih dan meningkatkan kemampuan para prajurit pilihan Jipang Panolan adalah tugasmu paman Matahun" perintah Arya Penangsang kepada abdi setianya yang mempunyai kemampuan olah kanuragan yang tinggi.
"Ya raden, meskipun mereka saat ini adalah murid perguruan Sekar Jagad, tetapi nanti kalau mereka telah menjadi seorang prajurit, mereka masih perlu mendapat bimbingan ketrampilan ke prajuritan" kata Matahun.

"Rangkud !" kata Penangsang.
"Ya Raden" kata Rangkud.
"Kapan tigapuluh orang murid perguruan Sekar Jagad akan berangkat dari gunung Lawu?" tanya Penangsang.
"Besok pagi, setelah fajar" kata Rangkud.
"Sekitar menjelang tengah malam mereka akan sampai di Jipang, Rangkud, kau persiapkan segala sesuatu untuk menyambut mereka, keperluan untuk tidur dan makan mereka" perintah Penangsang.
"Baik raden" jawab Rangkud.
Arya Penangsang menganggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Nah kau sekarang boleh istirahat dulu"
"Baik raden" kata Rangkud, dan diapun segera keluar dari ruangan dalam, meninggalkan Penangsang, Matahun dan Arya Mataram yang masih berbincang.

Sementara itu, ditempat lain, di sekeliling perapian yang menyala didepan gubug di bulak amba Pajang,
Karebet sedang berbincang dengan Majasta, Wuragil serta dua orang tua yang baru datang ke Pajang sore tadi.
Dua orang tua itu datang dengan menuntun dua ekor kuda yang membawa beban yang berisi beberapa bahan pangan.
"Anakmas Karebet, nanti malam kami akan langsung pulang ke Butuh dan Ngerang" kata salah seorang dari orang tua itu.
"Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, kenapa begitu cepat pulang" kata Karebet.
"Kami tidak bisa banyak membantu, tenaga kami sudah tua" kata Ki Ageng Ngerang sambil tertawa.
Karebetpun ikut tertawa, dan Majastapun menjawab :"Akupun sudah tua, disinipun aku cuma ikut makan saja"
Semuanya tersenyum mendengar canda dari Majasta.
Sesaat kemudian tukang adangpun datang dan mempersilakan mereka untuk makan malam.
Dengan menggunakan sebuah pincuk, maka merekapun makan nasi dengan ikan asin, ditambah sambel lombok ijo.
"Nikmat sekali makan didepan perapian" kata Wuragil.
Menjelang wayah sepi wong, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang pamit akan pulang ke rumahnya.
"Terima kasih ki ageng berdua, terima kasih atas bantuan bahan makanannya kepada Pajang" kata Karebet.
"Ya, dua ekor kuda itu biar disini saja, bisa untuk keperluan Kadipaten Pajang" kata Ki Ageng Butuh.
"Terima kasih" kata Karebet kepada kedua orang saudara seperguruan sekaligus sedulur sinarawedi ayahnya, Ki Ageng Pengging.

Setelah pamit kepada semua orang yang ada di gubug, maka Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerangpun kemudian melangkah meninggalkan bulak amba, kembali ke desa Butuh dan Ngerang.
Malam itu gelap menyelimuti bumi Pajang, kotaraja Demak, Kalinyamat, Prawata, dan Jipang, hanya suara binatang-binatang malam yang terdengar nyaring tanpa henti.
Hampir semua penghuninya telah dibuai mimpi, lelah setelah seharian bekerja keras. Bulanpun masih terlihat dilangit bersama ribuan bintang-bintang.

(bersambung)

Selasa, 16 September 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 20


  •  KERIS KYAI SETAN KOBER 20
BAB 8 : BABAT ALAS 1

Karya : Apung GWAP

Ketika Karebet melihat keempat orang yang turun dari punggung kuda, senyumnya mengembang, hatinya senang dengan kedatangan mereka.
"Selamat datang orang-orang pinunjul dari Banyubiru, selamat datang di Pajang" kata Karebet sambil maju kedepan, lalu keempat orang itupun dipersilahkan masuk kedalam gubug. Lalu Karebetpun memperkenalkan keempat orang yang baru datang itu kepada Lurah Wiguna.
Keempat orang itu, Wuragil, Majasta, Mas Manca dan Jaka Wila, datang ke Pajang, setelah di beri tahu oleh Suta dan Naya yang berkunjung ke Banyubiru, untuk segera membantu pembuatan dalem Kadipaten Pajang.
Setelah Karebet memperkenalkan nama ke empat orang dari Banyubiru, maka Lurah Wigunapun juga memperkenalkan dirinya.
"Selamat datang di Pajang, saya Lurah Wiguna dari kesatuan Wira Manggala" kata Lurah Wiguna, lalu iapun memperkenalkan semua rombongan dari yang berada digubug tersebut.
"Angger Karebet" kata Majasta :"Beberapa hari yang lalu, Suta dan Naya, telah berkunjung ke Banyubiru, memberitahu angger Karebet sudah berangkat ke Pajang membangun dalem Kadipaten, maka kami berempat menyusul ke sini"
"Saat ini Ki Buyut Banyubiru belum bisa ikut kesini, tetapi besok pagi dari Banyubiru akan menyusul berangkat dua orang tukang kayu dari Banyubiru yang membawa dua ekor kuda beban dan diperkirakan besok lusa akan sampai di Pajang. Empat ekor kuda ini biar disini untuk memperkuat pajurit Pajang, ditambah dua ekor kuda beban yang datang besok lusa, semuanya biar disini untuk kepentingan Pajang" kata Majasta.
"Terima kasih Ki Majasta" sahut Karebet yang tersenyum senang karena mendapat tambahan enam ekor kuda dan dua orang tenaga tukang dari Banyubiru.

Ketika matahari telah tenggelam di langit sebelah barat, lima orang yang mendapat tugas mencari pohon yang akan di tebang telah kembali ke gubug.
Mereka telah menemukan hutan jati tidak jauh dari daerah Pajang. Puluhan batang pohon telah ditandai, sehingga besok pagi tinggal memotong saja
Ketika mereka telah memasuki gubug, maka Wigunapun memperkenalkan mereka dengan orang-orang dari Banyubiru.
Ketika semua orang yang berada di gubug sudah membersihkan dirinya di sungai, maka juru adangpun mempersiapkan makan malam, nasi jagung beserta sayur kluwih.
"Silahkan dimakan, adanya cuma ini, nasi jagung" kata juru adang mempesilahkan.
Setelah makan, sambil menghangatkan badan didepan perapian, Lurah Wiguna berbicara dengan Karebet beserta empat orang dari Banyubiru.
"Adi Karebet, salah satu pekerjaan yang akan dilakukan besok pagi adalah pembuatan ompak" kata Lurah Wiguna.
"Berapa buah ompak yang akan dibutuhkan Ki Lurah?"
"Untuk dalem Kadipaten dan ruang paseban masing-masing butuh ompak sebanyak enam belas, jadi kita butuh tiga puluh dua buah ompak"
"Di daerah Pengging ada dua orang yang pekerjaannya membuat ompak" kata Karebet.
"Nah kita berbagi tugas, siapa yang akan membantu membuat ompak?" tanya Karebet kepada Ki Majasta dan Ki Wuragil.
" Biar aku yang membuat ompak beserta Jaka Wila" kata Wuragil menyanggupi untuk membantu membuat ompak.
"Nah kalau begitu, besok pagi Ki Wuragil bersama adi Jaka Wila berangkat ke Pengging menemui pembuat ompak yang bernama Ki Truna Ompak beserta anaknya yang juga pembuat ompak" kata Karebet.
"Baik, besok aku akan ke pergi Penging, akan aku mencari letak rumah Ki Truna Ompak" jawab Wuragil.

Karebet menganggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Ki Wuragil dan adi Jaka Wila kalau pergi ke Pengging, sebaiknya berkuda, supaya bisa cepat kalau akan pergi kesana kemari"
"Baik, besok aku akan pergi berkuda" kata Wuragil, lalu merekapun berbicara mengenai rencana untuk membangun dalem Kadipaten sampai wayah sepi bocah.
Ternyata kesibukan mengumpulkan para bebahu beserta rakyatnya tidak hanya dilakukan di Pajang, tetapi juga dilakukan di Kalinyamat, Prawata dan di Jipang,
Pangeran Hadiri dan Pangeran Arya memperkenalkan dirinya sebagai penghuni pesanggrahan yang akan dibangun di Kalinyamat maupun di Prawata, sedangkan Penangsang yang sudah dikenal di Jipang memperkenalkan dirinya sebagai seorang calon Adipati Jipang.
Malam itu kegelapan menyelimuti bumi Kalinyamat, Prawata, Jipang maupun Pajang, dan malampun terus berjalan sampai ke ujungnya, setelah itu mataharipun muncul di ufuk timur, semua orang yang berada di sebuah gubug di daerah bulak amba Pajang, telah terbangun dan mulai melakukan berbagai kegiatan
Juru adang sudah mulai menanak nasi, untuk bekal makan siang bagi para penebang kayu yang berjumlah lima orang, dan bekal untuk Wuragil dan Jaka Wila yang akan pergi ke Pengging.

Ketika matahari mulai memanjat naik di langit sebelah timur, maka orang-orang yang dikirim oleh para bebahu di seluruh Pajang sudah mulai berdatangan.
Semakin lama orang yang datang menjadi semakin banyak sehingga ketika hari sudah semakin terang, yang berkumpul sudah hampir memenuhi tempat didepan gubug.
Mereka datang dengan membawa bermacam-macam alat, ada beberapa orang yang membawa cangkul, parang, dan ada yang membawa keranjang.
"Lebih dari lima puluh orang" kata Lurah Wiguna, setelah menghitung semua orang yang datang di depan gubug.
Ki Lurah Wigunapun kemudian bertanya kepada orang-orang yang sudah berkumpul di depan gubug :"Siapakah diantara kalian yang bisa membuat ompak?"
Tiga orang mengangkat tangannya, lalu Lurah Wigunapun menyuruh mereka untuk maju kedepan.
"Kau bisa membuat ompak ?" tanya Lurah Wiguna.
"Bisa Ki Lurah" kata mereka bertiga bersamaan.
"Baik hari ini kalian akan bekerja membuat ompak bersama kami, kalian tunggu disini dulu" kata Ki Lurah.

Lurah Wigunapun memanggil Wuragil, lalu Wuragilpun menemui ketiga orang pembuat ompak dari Pajang.
Ki Wuragilpun berkata kepada ketiga orang dari Pajang yang mengaku bisa membuat ompak :"Namaku Wuragil, ini Jaka Wila, kita akan bersama-sama naik kuda ke Pengging, kalian bisa mengendarai kuda?"
"Bisa Ki" kata salah seorang dari mereka.
Sementara itu, Lurah Wiguna berkata lagi kepada rakyat Pajang yang berkumpul di bulak amba, yang akan bergotong royong mendirikan dalem Kadipaten :"Apakah diantara kalian ada yang bisa memotong pohon, maupun memotong kayu ?"
Ada sepuluh orang mengangkat tangannya, beberapa orang diantaranya ada yang membawa kapak untuk memotong pohon.
Sesaat kemudian, Lurah Wigunapun menyuruh mereka maju dan berkumpul menjadi satu dengan para tukang kayu yang akan berangkat memotong pohon di hutan jati.
Setelah itu Lurah Wigunapun berkata lagi :"Apakah diantara kalian ada yang bisa membuat batu bata?"

Ternyata tidak ada satupun rakyat Pajang yang mengangkat tangannya.
"Baik, kalau tidak ada yang bisa mencetak batu bata, silahkan maju sepuluh orang, nanti kalian akan dibimbing dan diajari cara membuat batu bata" kata Ki Lurah.
Lalu beberapa orang maju kedepan dan Lurah Wigunapun menunggu sampai ada sepuluh orang, lalu merekapun dikumpulkan tersendiri..
Disudut gubug, seorang tukang kayu dari Tingkir berbisik kepada Banu yang berpakaian prajurit Wira Manggala :" Buat apa mencetak batu bata banyak sekali ?"
"Nanti batu bata yang sudah dibakar akan diatur berjejer untuk lantai dalem Kadipaten maupun untuk lantai Sasana Sewaka ruang Paseban, seperti yang ada di ruangan Kraton Demak" jawab Banu.
"Lantai dari bata akan terlihat bersih, jadi kalau kita duduk bersila menghadap Kanjeng Sultan, pakaian kita tidak kotor terkena tanah" kata Banu menerangkan.
Mendengar penjelasan prajurit Wira Manggala, tukang kayu dari Tingkirpun menganggukkan kepalanya.
Didepan gubug, orang-orang yang masih menunggu perintah, ternyata lebih dari tiga puluh orang dan oleh Lurah Wiguna, mereka kemudian diajak bekerja bergotong royong meratakan tanah di bulak amba.

Di lokasi yang akan dibangun dalem Kadipaten maupun ruang paseban, akan diurug dengan tanah, supaya nanti letaknya bisa agak lebih tinggi dari tanah disekitarnya.
Lurah Wigunapun mendekati Ki Majasta dan iapun berkata :"Ki Majasta, nanti orang-orang ini diarahkan dulu untuk mengurug lokasi calon dalem Kadipaten, sementara saya akan mengajari beberapa orang untuk mencetak bata, dan untuk pengawasannya, nanti saya akan mengajak Mas Manca untuk bekerja bersama mereka."
"Baik Lurah" sahut Ki Majasta.
"Kita punya enam buah keranjang dan enam buah cangkul, ditambah beberapa cangkul dan keranjang yang telah dibawa orang-orang itu, kemungkinan pekerjaan pengurugan bisa lancar" kata Ki Lurah.
Maka mulailah Lurah Wiguna, Majasta bersama rakyat Pajang meratakan tanah di bulak amba, tanah yang tadinya bergelombang tak beraturan, dicangkul dan diratakan, sedangkan sisa tanahnyapun diangkut dengan keranjang dan diurugkan ke lokasi dalem Kadipaten.
Beberapa gundukan tanah yang tidak terlalu tinggi juga diratakan dengan cangkul yang dibawanya.
"Ini yang namanya membuat siti inggil" kata salah seorang pekerja kepada temannya.
Di gubug, dua orang juru adang telah memberikan bekal makanan dan air kepada belasan orang yang akan berangkat memotong pohon jati. Beberapa orang dari mereka membawa beberapa kapak, pethel maupun pedang pendek.

Setelah menerima bekal makanan yang cukup, kemudian belasan orang itu berjalan beriringan menuju ke hutan jati yang berada disebelah barat Pajang.
Setelah memberikan bekal makanan kepada pekerja yang akan memotong pohon, dua orang juru adang kembali memberikan bekal kepada Wuragil dan Jaka Wila yang akan pergi ke desa Pengging menemui Truna Ompak.
Wuragil, Jaka Wila dan tiga orang Pajang yang akan membuat ompak, menuju ke belakang gubug, memeriksa kesiapan beberapa kuda yang akan membawa mereka ke Pengging.
"Ki Wuragil nanti kita akan lewat didepan rumahku, nanti aku akan berhenti sebentar mengambil beberapa alat-alat untuk membuat ompak" kata salah seorang dari mereka.
"Baik, nanti kalau lewat depan rumahmu, kita berhenti sebentar" kata Wuragil sambil naik keatas punggung kuda, diikuti oleh Jaka Wila serta tiga orang lainnya.
Sejenak kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda meninggalkan Pajang menuju Pengging.
Lurah Wiguna menghampiri Ki Majasta yang sedang mengatur gugur gunung meratakan tanah, mengatakan bahwa ia akan pergi bersama sepuluh orang yang akan membuat bata.
"Ki Majasta, tolong diawasi perataan tanah bulak dan pengurugan tanah" kata Ki Lurah.
"Baik Ki Lurah" kata Ki Majasta.
Setelah berbicara dengan Majasta, maka Lurah Wiguna kembali memasuki gubug, menemui Karebet. "Adi Karebet, aku akan mengajari sepuluh orang untuk membuat bata" kata Lurah Wiguna sambil mengambil enam buah cetakan bata yang terbuat dari kayu yang dibawanya dari Demak.
"Silahkan Ki Lurah, nanti saya juga akan berkuda berkeliling ketempat para pekerja" kata Karebet, lalu keduanyapun keluar dari gubug.
Didepan, dilihatnya Mas Manca sedang membawa keranjang berisi tanah.
"Mas Manca, kita berangkat sekarang"
"Baik Ki Lurah" kata Mas Manca, kemudian iapun memberikan keranjangnya kepada salah seorang dari mereka, dan Mas Mancapun mengikuti Lurah Wiguna dari belakang.

Ki Lurah Wiguna lalu pergi ke samping gubug, menghampiri sepuluh orang yang akan membuat bata. "Ini adalah cetakan batu bata, cetakan ini aku bawa dari Demak, coba kalian bawa cetakan ini" kata Ki Lurah sambil menyerahkan enam buah cetakan batu bata.
"Kalian tahu, di daerah mana yang banyak terdapat tanah liat?" tanya Ki Lurah Wiguna.
"Ada Ki Lurah, di daerah wetan kali" kata salah seorang dari mereka.
Lalu merekapun berjalan menuju wetan kali, yang banyak terdapat tanah yang bercampur dengan tanah liat.
Mas Mancapun mengambil beberapa genggam tanah, lalu dengan menggunakan tangan, tanah liat itupun di campur, dan diaduk berkali-kali, melihat itu, Ki Lurah Wigunapun merasa puas.
"Tanah liat disini cukup baik untuk dibuat batu bata" kata Ki Lurah.
Lalu merekapun berjalan menuju wetan kali, yang banyak terdapat tanah yang bercampur dengan tanah liat.
Mas Mancapun mengambil beberapa genggam tanah liat dan tanah biasa, lalu dengan menggunakan kedua tangannya, tanah liat itupun di campur dengan tanah, dan diaduk berkali-kali, melihat itu, Lurah Wigunapun merasa puas.
"Tanah liat disini cukup baik untuk dibuat batu bata" kata Lurah Wiguna.
"Saya akan mengaduk tanah liat yang agak banyak" kata Lurah Wiguna sambil meminjam sebuah cangkul yang dibawa oleh salah seorang yang ikut gugur gunung.

Ki Lurah kemudian mencangkul tanah liat beberapa kali, setelah tanah liat terkumpul agak banyak, lalu dicampur dengan sedikit tanah, dan diberi air yang diambilkan dari sungai didekatnya dengan menggunakan bumbung yang dibawanya, setelah itu hasil campuran itupun diinjak injak untuk mendapatkan kekentalan yang cukup.
"Campuran tanah liat ini diberi sedikit air, jangan terlalu encer, jangan pula terlalu padat, sebaiknya dibuat lunak seperti ini, lalu diaduk dan diinjak-injak, setelah itu tanah liat yang sudah diaduk, dimasukkan kedalam cetakan bata" kata Ki Lurah.
Mas Mancapun kemudian ikut menginjak-injak tanah liat bersama Ki Lurah Wiguna, sampai tanah liatnya siap untuk dimasukkan kedalam alat pencetak bata.

Kemudian Ki Lurah Wigunapun mengajari mereka mencetak tanah liat dengan menggunakan beberapa cetakan bata yang dibawanya dari Demak
"Setelah dilepas dari cetakan, bata mentah kemudian dijemur dibawah sinar matahari sampai kering, setelah kering bata yang masih mentah itu kemudian dibakar" kata Ki Lurah Wiguna menjelaskan.
"Untung saja saat ini adalah musim kemarau, sehingga tanah liat yang dijemur cepat menjadi kering, kalau dimusim penghujan, kita pasti kesulitan menjemurnya"
Jaka Wilapun kemudian mencangkul tanah liat, dan bersama beberapa orang merekapun menginjak-injak tanah liat, lalu menyiramnya dengan sedikit air supaya tanah liat itu tidak terlalu padat.

Sementara itu, ditempat yang lain, kuda-kuda Wuragil dan Jaka Wila beserta tiga orang temannya telah memasuki desa Pengging, setelah singgah sejenak di rumah salah seorang dari mereka, mengambil beberapa alat untuk membuat ompak.
Ketika Ki Wuragil melihat seseorang sedang berjalan, maka Wuragilpun menghentikan kudanya dan bertanya :" Ki Sanak, dimanakah rumah Ki Truna Ompak, yang rumahnya di daerah Pengging?"
"Ki Sanak lurus saja, nanti sebelum umbul Pengging, ada rumah yang halamannya banyak terdapat batu, nah itulah rumah Truna Ompak" kata orang tersebut sambil tangannya menunjuk ke arah umbul Pengging.
"Terima Kasih Ki Sanak" lalu Wuragilpun melanjutkan perjalanannya ke arah umbul Pengging.
Kaki-kaki kudapun berderap kembali menuju rumah Truna Ompak yang sudah semakin dekat.
Ketika laju kuda hampir sampai di Umbul Pengging, terlihat sebuah rumah ditepi jalan yang di sudut halamannya terdapat beberapa batu yang berserakan, maka Wuragil dan rombongannya membelokkan kudanya memasuki halaman rumah itu.
Disudut halaman, dibawah sebatang pohon, ada seorang yang sedang duduk, bekerja memukul dan meratakan sebuah batu. Ketika dilihatnya serombongan orang berkuda masuk ke halaman rumahnya dan turun dari kudanya, maka iapun berdiri dan menyambutnya.

           "Selamat datang Ki Sanak, aku Truna Ompak, silahkan masuk dan silahkan duduk dulu             
            di pendapa" kata Truna Ompak mempersilahkan.

Kemudian Wuragilpun duduk dipendapa, berhadapan dengan Ki Truna Ompak, sedangkan keempat orang yang lain berada dibelakang Ki Wuragil.
"Nama saya Wuragil, saya kesini diutus untuk menemui Ki Truna Ompak dan ini semua ada hubungannya dengan Titah Kanjeng Sultan Trenggana" lalu Wuragilpun menerangkan tentang pembuatan dalem Kadipaten Pajang yang sekarang sedang dikerjakan.
"Jadi nanti Karebet yang akan menjadi Adipati Pajang ?" tanya Ki Truna Ompak sambil tersenyum, betapa bangganya dia, seorang anak muda kelahiran Pengging bisa menjadi seorang Adipati di Pajang.
"Ya, titah dalem Kanjeng Sultan Demak memang begitu, putra Ki Ageng Pengging yang akan diangkat menjadi seorang Adipati" kata Wuragil menjelaskan.
"Ya, aku sangat bangga nanti yang menjadi Adipati Pajang adalah Karebet, lalu apa yang bisa saya kerjakan ?" tanya Truna Ompak.
"Di Pajang, saat ini kami sedang membangun dalem Kadipaten dan ruang paseban, nah kami butuh tiga puluh dua ompak yang akan kami pasang di dalem Kadipaten Pajang dan ruang Paseban" kata Wuragil.
"Baik, berarti untuk menopang tiang saka, masing-masing butuh ompak empat buah, sehingga kita butuh ompak yang berukuran besar adalah delapan, sedangkan yang berukuran sedang, kita butuh dua puluh empat buah" jawab Truna Ompak.
"Ki Truna Ompak, disini sudah ada tersedia ompak berapa buah ?" tanya Wuragil.
"Ki Wuragil, yang sudah jadi ompak, kami hanya punya beberapa buah, tetapi kami mempunyai batu banyak sekali, yang bisa segera dibuat menjadi ompak, nanti kalau persediaan batunya habis, kita bisa mencari batu bekas muntahan gunung Merapi" kata Truna Ompak.
"Ya, nanti ki Truna Ompak akan dibantu oleh beberapa pemuda ini, mereka sudah membawa alat-alatnya sendiri" kata Wuragil sambil menunjuk kepada pemuda yang ikut bersamanya.
"Nanti akan aku buatkan dulu contoh ompak yang ukuran besar dan ukuran tanggung, nanti kalian tinggal menyontoh ukurannya. Nanti, pembuatan ompak disesuaikan dengan ukuran tiangnya, lalu tiang saka yang berjumlah empat buah itu seberapa ukurannya ?" tanya Truna Ompak.
"Ah" kata Ki Wuragil menyadari kesalahannya :"Nanti aku tanyakan kepada Ki Lurah seberapa ukuran kayu saka yang akan dipakai untuk dalem Kadipaten"
"Baik, biasanya kayu saka yang dipakai adalah sebesar sepelukan orang" kata Truna Ompak menjelaskan.
"Ya, mungkin ukurannya seelukan orang" kata Wuragil sambil menganggukkan kepalanya.
"Marilah kita mulai membuat ompak, saya punya beberapa alat untuk membuat ompak, nanti Ki Wuragil bisa menggunakan alat-alat yang ada disini" ajak Truna Ompak.
Merekapun kemudian keluar menuju halaman dan mulai bekerja membentuk batu menjadi sebuah ompak.

Sementara itu, Karebet yang berada di gubugpun kemudian ikut bekerja bersama orang-orang Pajang, menimbun tanah di lokasi dalem Kadipaten.
Ketika matahari sudah agak tinggi, maka Karebetpun kemudian kembali ke gubug, mengambil seekor kuda, lalu berkata kepada Tumpak :"Aku akan berkeliling ke tempat yang lain"
Lalu kepada Banupun ia berkata :"Selama Ki Lurah masih berada ditempat pembuatan bata, tolong awasi yang sedang bekerja mengurug tanah" kata Karebet sambil naik ke punggung kuda.
"Ya" sahut Tumpak dan Banu, merekapun melihat Karebet menjalankan kudanyan berlari meninggalkan gubug mereka.
Karebet yang telah mengetahui lekuk liku daerah Pajang, menjalankan kudanya tidak terlalu cepat menuju kearah barat, menuju hutan jati.

Beberapa saat kemudian kuda yang berlari meninggalkan bulak amba berhenti karena tali kekangnya ditarik.
Penunggang kuda itu, Karebet, sesaat kemudian berdiam diri, mendongakkan kepalanya, untuk mendengarkan suara pohon yang ditebang. Suara kapak yang menghantam batang pohon terdengar berkali-kali.
"Disana" katanya didalam hati, lalu iapun memajukan kudanya beberapa langkah, lalu Karebetpun turun dari punggung kudanya.
Ditambatkannya tali kendali kudanya pada sebatang pohon, lalu Karebetppun berjalan memasuki hutan.

Ketika Karebet masuk kehutan semakin dalam maka suara pohon yang terkena kapak menjadi semakin jelas, dan tak lama kemudian tampak beberapa orang sedang sibuk mengerjakan beberapa pekerjaan, ada beberapa orang yang menebang pohon, ada juga yang memotong beberapa dahan pohon yang sudah roboh.
Di atas tanah, tergeletak tiga batang kayu yang sudah dirobohkan berukuran hampir sebesar sepelukan orang.
Batang-batang kayu sedang dipotong, dibuat panjang yang sama.
"Ini untuk saka, dalem Kadipaten butuh empat buah tiang, sedangkan untuk ruang paseban butuh empat tiang juga" kata orang yang memotong kayu kepada Karebet.
Ketika Karebet melihat ada seseorang sedang duduk kelelahan setelah menebang sebuah pohon, dan sebuah kapak tergeletak disampingnya, maka Karebetpun menghampirinya dan meminjam kapaknya.
Dengan sebuah kapak ditangan, Karebetpun ikut memotong cabang-cabang pohon yang masih terdapat di batang pohon yang tergeletak di atas tanah.

Mataharipun merayap naik hampir mencapai puncak langit, tetapi Karebet masih berada di hutan jati, bekerja memotong pohon bersama belasan orang lainnya.
Kesibukan ternyata tidak hanya terjadi di Pajang saja, tetapi juga terjadi di daerah Kalinyamat, Prawata maupun Jipang.

Di Jipang, Lurah Kerta sibuk memimpin beberapa orang yang sedang memotong pohon jati yang tumbuh tidak jauh dari tepi Bengawan Sore.
Arya Penangsang, di pagi hari itu dengan naik kuda yang gagah berwarna hitam, Gagak Rimang, mengunjungi puluhan orang yang memotong pohon jati.
Matahun, orang yang setia kepada Penangsang, meskipun sudah berusia lanjut, ternyata tenaganya masih kuat dan tangannya masih trampil memotong pohon jati dengan menggunakan kapak.
Ketika Penangsang melihat rakyat Jipang gugur gunung membangun dalem Kadipaten, maka iapun turun dari punggung kudanya dan menyingsingkan lengan bajunya, ikut bekerja memotong pohon bersama puluhan rakyat Jipang.

Ketika dilihatnya Arya Penangsang ikut bekerja memotong kayu bersama rakyat Jipang, maka Matahunpun perlahan-lahan mendekati Penangsang.
"Raden" kata Ki Matahun perlahan-lahan.
Penangsangpun menoleh :"Ada apa paman Matahun"
"Raden, apakah tidak sebaiknya, ketika kita semua sibuk bekerja begini, Raden Penangsang bisa memanggil adik Raden untuk membantu" kata Matahun
"Adikku? Arya Mataram? Ah dia adalah seorang yang penakut" kata Penangsang sambil tetap bekerja memotong dahan.
"Itu dulu Raden, sekarang raden Arya Mataram sudah berbeda dengan yang dulu, dia adalah seorang pemuda pemberani" kata Matahun
"Kenapa aku disini sudah dua tiga hari dia tidak muncul kerumah ?" tanya Penangsang
"Sampai saat ini Raden Arya Mataram belum tahu kalau raden berada di Jipang" kata Ki Matahun.
"Dimana dia sekarang?"
"Dia berlatih aji jaya kawijayan di hutan sebelah timur, di seberang Bengawan Sore, kalau Raden Arya Mataram berada disini, paling tidak tenaganya dapat digunakan untuk membantu kita" kata Ki Matahun memberi pertimbangan.
"Rangkud !!" panggil Arya Penangsang dengan keras.

Rangkudpun yang sedang bekerja bersama belasan orang-orang Jipang yang berada tidak jauh darinya, berlari-lari kecil menuju ke tempat Arya Penangsang.
"Rangkud, setelah pekerjaanmu selesai kau pergilah ke tempat adikku berlatih, Arya Mataram, bilang kepadanya supaya membantu pekerjaanku di Jipang" kata Penangsang memerintah orang kepercayaannya.
"Baik raden" kata Rangkud menyanggupi.
Penangsangpun kemudian melanjutkan pekerjaannya, tanpa kenal lelah Penangsangpun ikut menebang pohon memakai kapak.
Tenaga Penangsang yang kuat membuatnya tidak memerlukan waktu yang lama untuk merobohkan sebatang pohon sebesar sepelukan orang.
Matahun yang melihat Arya Penangsang bekerja keras merasa bahwa tenaga yang membangun Jipang perlu ditambah beberapa orang lagi.
"Nanti akan aku carikan tambahan tenaga" kata Matahun dalam hati.

Tak terasa matahari telah condong kebarat, sementara itu di Pajang, Karebet telah selesai membantu penebangan pohon di hutan sebelah barat Pajang,
Alat-alat sudah dikumpulkan, dan orang-orangpun bersiap kembali ke gubug di bulak amba.
Karebetpun kemudian berkuda mendahului pulang ke gubug terlebih dulu.
Di bulak amba, pengurugan tanah sudah selesai, Majasta pun telah beristirahat bersama puluhan orang lainnya.
Ketika dilihatnya Karebet datang berkuda mendekati gubug, maka Majastapun berdiri menyambutnya.
"Bagaimana Ki Majasta, apakah pengurugannya mengalami kesulitan?" kata Karebet sambil turun dari punggung kudanya.
"Tidak angger Karebet, semuanya lancar, sekarang sudah selesai, lalu rencana gugur gunung besok pagi bagaimana ?" tanya Majasta
"Besok puluhan orang itu bisa menyeret kayu yang sudah selesai ditebang, tetapi nanti kita tunggu perintah dari Ki Lurah Wiguna" kata Karebet.

Ketika matahari sudah hampir tenggelam di cakrawala barat, gubugpun sepi, orang-orang yang bekerja sudah pulang semua, Ki Lurah Wiguna dan Mas Manca telah kembali dari mencetak bata, Ki Wuragil dan Jaka Wilapun telah pulang dari membuat ompak.
Ketika Karebet sedang berbincang dengan Ki Lurah Wiguna, telinganya yang tajam mendengar derap beberapa ekor kuda mendatangi gubug di bulak amba.
"Siapakah yang berkuda menuju kemari?" tanya Karebet lirih.
Karebet segera berdiri dan melangkah keluar dari gubug bersama Lurah Wiguna, dibelakangnya menyusul Majasta, Wuragil, Mas Manca dan Jaka Wila.
Ketika mereka tiba diluar gubug, terlihat enam orang sedang turun dari kudanya, lima orang laki laki dan seorang anak muda yang belum dewasa, memegang sebatang tombak yang mempunyai landeyan berukuran satu setengah depa.

Ketika Karebet melihat mereka, maka dengan gembira iapun menyambutnya:"Selamat datang kakang Pemanahan, kakang Penjawi, kakang Juru Martani dan kau Danang Sutawijaya, selamat datang di Pajang"
"Maaf, kami agak terlambat adi, ada beberapa pekerjaan di Sela yang harus aku selesaikan terlebih dulu" kata Pemanahan sambil melangkah maju
"Adi Karebet, aku bersama dua orang tukang kayu dari Sela yang akan membantu pembuatan dalem Kadipaten Pajang" kata Penjawi menambahkan.
"Selamat datang Ki Sanak berdua" kata Karebet, lalu kedua orang itupun mengangguk hormat.
Lalu oleh Karebet, mereka semuanya diperkenalkan dengan Lurah Wiguna, lalu kepada Majasta, Wuragil, Mas Manca dan Jaka Wila.
Beberapa orang kemudian memberi makan dan minum kuda-kuda yang baru saja datang dari Sela.
Beberapa saat kemudian, di keremangan senja, merekapun membersihkan dirinya di sungai kecil di sebelah gubug di bulak amba.

Malam itu, Karebet, Lurah Wiguna, Majasta, Wuragil dan beberapa orang lainnya mengelilingi perapian yang dinyalakan didepan gubug, mereka menghangatkan badan sambil membakar ubi dan jagung,
"Danang, kau sudah besar sekarang" kata Karebet kepada Danang Sutawijaya.
Sutawijayapun tersenyum mendengar perkataan Karebet :"Ya pamanda Karebet"
"Sebaiknya kau memang sering pergi ke berbagai daerah, supaya pengalaman dan pengetahuanmu bisa bertambah banyak" kata Karebet.
"Sutawijaya biar belajar membantu disini sekitar empat lima pasar, setelah itu dia akan pulang ke Sela diantar kakang Juru Martani" kata Ki Pemanahan sambil membalik jagung bakarnya.
Mendengar perkataan Pemanahan, Karebetpun tersenyum senang.
"Jebeng, kau membantu bekerja disini, turuti semua perintah pamanmu Karebet" kata Pemanahan, dan Sutawijayapun menganggukkan kepalanya.
"Kau membawa tombak dari Sela, Danang?" tanya Karebet kepada Danang Sutawijaya.
"Ya pamanda, saya membawa sebatang tombak pendek" jawab Sutawijaya.
"Kau taruh dimana tombak itu?"
"Di dalam gubug paman" jawab Sutawijaya sambil tangannya menunjuk gubug didepannya.
"Disini tidak ada ploncon, untuk meletakkan tombakmu, besok kau buat sebuah bumbung yang ditancapkan di tanah, nanti pangkal tombak yang kau bawa itu bisa kau masukkan di lubang bumbung yang ditanam itu, sehingga tombakmu bisa kau simpan dengan baik" kata Karebet.
Karebetpun kemudian bertanya kepada Pemanahan :"Kakang Pemanahan, apakah tombak yang dibawa Danang itu tombak Kyai Pleret ?"
"Bukan adi, tombak pusaka Kyai Plered masih berada di Sela, tombak yang dibawa Jebeng adalah tombak yang bernama Kyai Penatas, yang juga merupakan pusaka dari Sela. Kyai Penatas memang sengaja diberi landeyan pendek, yang terbuat dari kayu Walikukun sepanjang satu setengah depa" kata Pemanahan menjelaskan.

"Memang sengaja aku ijinkan Jebeng Sutawijaya membawa tombak Kyai Penatas untuk berjaga-jaga, kalau di perjalanan nanti bertemu dengan perampok, biar dia bisa melindungi dirinya sendiri" kata Pemanahan
"Meskipun tombak pusaka Kyai Penatas belum setingkat dengan tombak pusaka Kyai Pleret, namun tombak Kyai Penatas juga merupakan salah satu pusaka Sela warisan dari Kraton Majapahit" kata Pemanahan sambil mengambil jagung yang dibakarnya.
Melihat banyaknya sahabat-sahabat yang berdatangan membantu pembuatan dalem Kadipaten, Lurah Wigunapun se akan-akan berbicara kepada diri sendiri :"Tiga buah gubug yang sudah kita bangun, ternyata masih kurang, besok aku akan membuat tambahan satu gubug lagi".
Kemudian merekapun mengambil jagung atau ubi yang telah matang dari perapian, dan menikmati makanan hangat ditengah dinginnya udara di bulak amba.
Sementara itu di Jipang, seorang abdi yang setia, Matahun memberanikan dirinya menghadap Arya Penangsang di ruang dalam.
"Ada apa paman Matahun ?" tanya Penangsang ketika mengetahui Ki Matahun menghadapnya.
"Raden, kelihatannya kita kekurangan tenaga untuk membangun dalem Kadipaten, saya khawatir, kalau nanti pada waktu raden diwisuda menjadi Adipati, dalem yang kita bangun ternyata belum jadi".

"Biar saja paman, kalau nanti diperlukan untuk paseban, kita bisa menggunakan rumahku ini, dan untuk tidurpun akupun biasa tidur dirumah ini" jawab Penangsang.
"Ya raden, tetapi jangan sampai terlambat, kita malu apabila pembangunan dalem Kadipaten jipang dikalahkan oleh anak Pengging, Karebet yang membangun dalem Kadipaten Pajang" kata Matahun yang rambutnya telah memutih.
"Lalu apa maumu paman Matahun" tanya Penangsang.
"Bagaimana kalau kita minta bantuan dari kakak seperguruan saya yang berada di Gunung Lawu ?" kata Matahun.
"Kakak seperguruanmu? Panembahan Sekar Jagad dari Gunung Lawu ?" tanya Penangsang.
"Ya raden, Panembahan Sekar Jagad yang ilmunya tak terukur, kita bisa minta bantuan murid-murid padepokannya yang berjumlah puluhan orang untuk ikut mempercepat pembangunan dalem Kadipaten" saran Matahun.
Penangsangpun mengangguk, lalu iapun berkata :"Lalu siapa nanti yang akan pergi ke Gunung Lawu?"
"Biar nanti Rangkud yang akan kesana raden" kata Matahun.
"Dimana Rangkud sekarang ?" tanya Penangsang.

Belum sempat Matahun menjawab, terlihat dua orang sedang berjalan memasuki pendapa, dan salah seorang dari mereka bergegas menuju tempat Arya Penangsang.
"Kakangmas" kata pemuda itu memanggil Penangsang.
"Kau Mataram, dari mana saja kau ini ?" tanya Penangsang.
"Dari hutan sebelah timur Bengawan Sore, sudah lama Kakangmas pulang di Jipang?" tanya Arya Mataram, adik dari Arya Penangsang.
"Ya, kau disusul oleh Rangkud ?" tanya Penangsang tda menghiraukan pertanyaan dari Arya Mataram.
"Ya kakangmas, Rangkud yang menyusul saya, meminta saya pulang, dan tadi Rangkudpun sudah bercerita semuanya" jawab Arya Mataram.
"Baik, besok kau bantu aku membangun dalem Kadipaten" minta Penangsang kepada Arya Mataram.
"Baik kakangmas" kata Arya Mataram, dan iapun berjalan ke belakang rumah.
Setelah itu Penangsangpun memanggil abdi setianya :"Rangkud"

Rangkudpun kemudian menghadap kepada Arya Penangsang.
"Rangkud kau besok pergi ke gunung Lawu, naik kuda" perintah Penangsang
"Baik Raden" jawab Rangkud
"Kau pergi ke padepokan Sekar Jagad, menemui Panembahan Sekar Jagad, bilang aku memerlukan bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan ini" perintah Penangsang.
"Baik raden" jawab Rangkud.
Matahunpun menambahkan:"Rangkud, kau ceritakan semuanya kepada Panembahan Sekar Jagad kalau raden Penangsang akan diangkat menjadi Adipati, dan bilang kepada Panembahan, aku minta bantuan dua puluh lima atau tiga puluh orang muridnya"
"Baik paman Matahun"
"Kau berangkat pagi hari setelah matahari terbit" kata Penangsang menambahkan.
"Baik raden" jawab Rangkud, lalu iapun bergeser kebelakang.
Perlahan-lahan Rangkudpun keluar dari ruang dalam, dibelakangnya menyusul Matahun.
Malam semakin larut, kegelapanpun menyelimuti di seluruh bumi Demak, hanya sesekali terdengar suara binatang malam.

(bersambung)