Minggu, 31 Agustus 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 16

  • KERIS KYAI SETAN KOBER 16

    BAB 6 : PENGAMPUNAN 3

    Karya : Apung GWAP

    Beberapa saat kemudian, prajurit itupun telah datang bersama Patih Wanasalam.
    "Silakan masuk Ki Patih" kata Kanjeng Sultan.
    Setelah dipersilahkan masuk maka Patih Wanasalampun menyembah, lalu duduk bersila dihadapan Kanjeng Sultan Trenggana.
    Kanjeng Sultan Trenggana menilai Patih Wanasalam yang duduk bersila dihadapan Sultan Trenggana adalah seorang patih yang mempunyai wawasan yang luas, sehingga dapat diminta pertimbangan dan dapat mencarikan jalan keluar berbagai persoalan, dia adalah Wanasalam kedua, anak dari Patih Wanasalam pertama, Patih Kasultanan Demak sewaktu Raden Patah menjadi Sultan Demak.
    "Ki Patih Wanasalam" kata Kanjeng Sultan.
    "Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Patih Wanasalam.
    "Kau kupanggil kesini, karena aku ingin berbicara tentang beberapa persoalan yang penting, aku minta pertimbanganmu, saranmu dan yang akan kita bicarakan nanti supaya kau rahasiakan" kata Sultan Trenggana.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Ki Patih.
    "Ki Patih, beberapa candra kedepan, aku punya rencana untuk menaklukkan daerah Bang Wetan" kata Kanjeng Sultan.

    Patih Wanasalam mendengarkan kalimat dari Kanjeng Sultan dengan penuh perhatian.
    "Nanti aku sendiri yang akan menjadi Senapati Perang, semua anak dan menantu tidak usah ikut berperang, nanti yang akan menjadi Senapati Pengapit kiri dan kanan adalah dua orang Tumenggung, dan daerah Bang Wetan yang ingin aku taklukkan adalah daeran Panarukan, yang selama ini belum mau takluk dan tidak mau mengakui kekuasaan Kasultanan Demak" kata Kanjeng Sultan.
    "Daerah Panarukan kalau tidak ditaklukkan, akan mengakibatkan daerah-daerah lainnya menjadi mbalela terhadap kasultanan Demak. Sebelum aku memberangkatkan pasukan Demak segelar sepapan menggempur Panarukan, aku mempunyai sebuah rencana besar yang harus diselesaikan lebih dulu" kata Sultan Trenggana.
    "Aku inginkan Kasultanan Demak ini dibangun beberapa titik pertahanan awal di sekeliling kotaraja. Di beberapa tempat akan aku bangun beberapa bangunan yang bisa di kembangkan menjadi sebuah Kadipaten. Untuk di sebelah utara kotaraja Demak, akan aku bangun sebuah pesanggrahan, tidak jauh dari Bandar Jepara, bagaimana pertimbanganmu Ki Patih kalau aku bangun pesanggrahan di sekitar daerah Bandar Jepara atau sekitar daerah Keling?" tanya Kanjeng Sultan.
    "Kalau menurut hamba Kanjeng Sultan, pesanggrahan sebaiknya tidak dibangun di Bandar Jepara, tetapi di bangun di daerah garis lurus antara Bandar Jepara dengan kotaraja Demak, misalnya di
    Kalinyamat atau di daerah Wedung, sehingga kalau ada serangan dari luar melalui Bandar Jepara, bisa ditahan dulu di daerah Kalinyamat atau di daerah Wedung" kata Patih Wanasalam.

    "Baik Ki Patih Wanasalam, akan aku bangun sebuah pesanggrahan di daerah Kalinyamat, nanti menantuku Pangeran Hadiri yang akan tinggal disana"
    "Kemudian untuk pesanggrahan di arah timur, dimana sebaiknya aku bangun, di daerah Bandar Tuban, Bandar Juwana atau di daerah Pati" kata Kanjeng Sultan.
    "Kalau daerah Tuban terlalu jauh Kanjeng Sultan, yang kelihatan tepat untuk pesanggrahan adalah daerah Pati." Kata Patih Wanasalam.
    "Kalau di daerah Pati, yang bagus adalah disebelah tenggara Gunung Muria, di daerah Prawata. Pesanggrahan bisa dibangun dipinggir hutan Prawata, nanti anakku Pangeran Arya yang akan tinggal di pesanggrahan Prawata" kata Kanjeng Sultan
    "Untuk arah tenggara, dari dulu sebetulnya aku sudah punya rencana, Arya Penangsang akan aku jadikan Adipati di Jipang Panolan, yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakeknya, Sunan Ngudung" kata Sultan Demak.
    "Meskipun Penangsang sudah mempunyai rumah peninggalan ibunya di Jipang, tetapi nanti tetap aku buatkan sebuah bangunan untuk Penangsang di Jipang. Menurutmu Ki Patih, apakah ada daerah selain Jipang, yang cocok untuk diberikan kepada Arya Penangsang?" tanya Kanjeng Sultan.
    "Kelihatannya tidak ada Kanjeng Sultan, yang paling tepat untuk Raden Penangsang hanya daerah Jipang Panolan" jawab Patih Wanasalam.

    "Kalau di sebelah barat Jipang, adalah daerah Sela, disana sudah ada Ki Ageng Sela, kalau di sebelah timur atau daerah selatan Jipang, kelihatannya terlalu jauh Kanjeng Sultan" kata Ki Patih.
    "Bagus, berarti Ki Patih setuju kalau Arya Penangsang aku jadikan Adipati didaerah Jipang Panolan" kata Sultan Trengana.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Adipati" kata Ki Patih Wanasalam.
    "Untuk daerah selatan bagaimana Ki Patih, di daerah selatan akan aku jadikan sebuah kadipaten. Di daerah selatan terdapat banyak pilihan, Pengging, Pajang, Wedi sampai kali Opak" lanjut Sultan Demak.
    "Jangan melewati kali Opak, sebab disebelah barat kali Opak adalah hutan gung liwang liwung, daerah Alas Mentaok yang masih berupa hutan lebat" kata Kanjeng Sultan.
    "Pengging, Pajang, Wedi sama baiknya Kanjeng Sultan, lalu siapakah nanti yang akan menjadi Adipati di daerah selatan?" tanya Ki Patih Wanasalam.
    "Nanti yang akan menjadi Adipati di daerah selatan adalah Karebet" kata Kanjeng Sultan.
    "Mohon maaf Kanjeng Sultan, apakah Karebet yang saat ini menjadi Lurah Wira Tamtama?" tanya Ki Patih.
    "Ya, Karebet putra Ki Ageng Pengging, yang besok akan aku jodohkan dengan anakku Mas Cempaka" kata Sulta Demak.

    "Mohon maaf Kanjeng Sultan, kalau nanti yang menjadi adipati adalah Karebet, maka sebaiknya Kadipatennya bukan di Pengging, supaya Karebet tidak selalu teringat akan masa lalu, meskipun persoalan Pengging sudah lama selesai. Jadi Karebet biar mulai dengan membuat semuanya dari awal. Ini usul hamba Kanjeng Sultan" kata Patih Wanasalam.
    "Baik Ki Patih, nanti daerah yang aku berikan kepada Karebet yang nantinya akan menjadi sebuah Kadipaten adalah daerah Pajang" kata Kanjeng Sultan.
    "Kemudian untuk daerah barat, bisa di Asem Arang, daerah Karawelang, atau di daerah setelah alas Roban, itu nanti akan aku pikirkan setelah aku pulang dari menggempur Panarukan, karena nanti yang aku persiapkan untuk menempati pesanggrahan disebelah barat adalah anakku yang bungsu yang belum dewasa, Pangeran Timur. Sekali lagi persoalan ini rahasiakan dulu, nanti biar aku yang memberi tahu kepada mereka" kata Kanjeng Sultan Trenggana.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Patih Wanasalam.
    "Nah Ki Patih Wanasalam, untuk kali ini sudah cukup, terima kasih atas semua saranmu" kata Sultan Trenggana.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, hamba mohn diri kembali ke Kepatihan" kata Ki Patih.
    "Ya Ki Patih" kata Kanjeng Sultan.

    Ki Patih Wanasalam menyembah Kanjeng Sultan, lalu bergeser kepintu keluar dan berjalan kembali menuju ke pintu ruang dalam yang dijaga oleh dua orang prajurit, dan dilihatnya salah satu prajurit yang bertugas adalah Karebet.
    Ketika Patih Wanasalam lewat didepan dua orang prajurit, maka kedua orang prajurit membungkuk hormat kepadanya.
    "Hm bintang Karebet sedang cemerlang, dia sinengkakake ing ngaluhur menjadi seorang Adipati" kata Patih Wanasalam yang meneruskan langkah menuju Kepatihan.
    Malam hari ketika kegelapan menyelimuti bumi Demak, Sultan Trenggana ingin berbicara dengan Kanjeng Prameswari mengenai persoalan Sekar Kedaton maupun anak-anaknya yang lain.
    "Ratu, aku tadi pagi sudah berbicara dengan Ki Patih Ki Wanasalam tentang beberapa daerah yang akan diberikan kepada anak-anak kita" kata Kanjeng Sultan.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Kanjeng Prameswari.
    "Aku sudah minta saran kepada Ki Patih Wanasalam, dan aku sudah menentukan, daerah yang akan menjadi bagian untuk anak-anak kita. Menantu kita, Pangeran Hadiri sudah aku rencanakan untuk menempati bangunan yang berada di Kalinyamat, Pangeran Arya nanti akan mendapat tempat di Prawata, Penangsang akan menjadi Adipati di Jipang, Karebet akan menjadi Adipati di Pajang, sedangkan Pangeran Timur akan kita pikirkan kemudian, rencanaku Pangeran Timur akan aku buatkan sebuah pesanggrahan di daerah Asem Arang atau daerah disebelah baratnya, daerah sebelum alas Roban" kata Kanjeng Sultan.
    "Terima kasih Kanjeng Sultan" kata Kanjeng Prameswari.
    "Besok aku akan panggil Karebet dan Penangsang, dan sekaligus akan aku tanya Karebet, tentang perasaannya terhadap Sekar Kedaton" kata Kanjeng Sultan.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Kanjeng Prameswari.

    "Pembuatan dua buah bangunan untuk pesanggrahan maupun dua buah bangunan Kadipaten akan segera dimulai setelah dipastikan tempatnya" kata Kanjeng Sultan.
    "Kapan pernikahan Sekar Kedaton, Kanjeng Sultan". Kata Kanjeng Prameswari.
    "Kira-kira tiga empat candra lagi" kata Kanjeng Sultan.
    "Kanjeng Sultan, nanti setelah menikah, Sekar Kedaton akan segera di boyong pindah ke Pajang?" tanya Kanjeng Prameswari.
    "Ya, di Pajang dia akan menjadi Ratu, Ratu Mas Cempaka" kata Kanjeng Sultan.
    Dan merekapun masih berbincang tentang berbagai kemungkinan tentang masa depan anak-anaknya.

    Pada saat yang bersamaan, malam itu di dalem lor, Karebet sedang duduk menatap bintang, membentangkan harapan.
    "Besok pagi aku tidak bertugas, aku akan pergi ke Kadilangu" kata Karebet dalam hati.
    "Besok pagi aku akan mengaji ke Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Karebet dalam hati.
    Sepasar yang lalu, Karebet juga pergi ke Kadilangu, ia berangkat setelah matahari terbenam dan pulang kembali ke dalem lor setelah lewat tengah malam.
    Malam itu seperti malam kemarin, bulanpun berganti dengan matahari, dan mataharipun telah terbit merayap naik di langit sebelah timur.
    Di pagi hari yang cerah, di ruang dalam Kraton, Kanjeng Sultan memanggil seorang Prajurit untuk memanggil Karebet.
    "Panggil Lurah Karebet sekarang juga" kata Kanjeng Sultan.
    Prajurit itu, ternyata adalah Tumpak dengan cepat berjalan ke arah dalem lor. Tumpak mengetahui bahwa Ki Lurah Karebet hari ini tidak bertugas.
    "Mudah-mudahan Ki Lurah Karebet berada di dalem lor" kata Tumpak dalam hati.
    Ketika sampai di depan pintu regol dalem lor, Tumpak melihat Karebet sedang berjalan keluar dari regol rumah dalem lor.
    Ketika melihat Tumpak berjalan menuju ke arahnya, maka Karebetpun menunggu di dekat regol dalem lor.
    "Ki Lurah Karebet", kata Tumpak
    "Ada apa Tumpak, seperti ada yang penting" kata Karebet.
    "Ki Lurah Karebet dipanggil menghadap Kanjeng Sultan sekarang" kata Tumpak.

    Karebet yang sebetulnya akan berangkat ke Kadilangu terkejut ketika mengetahui Kanjeng Sultan memanggilnya.
    "Kanjeng Sultan memanggilku sepagi ini ?" tanya Karebet.
    "Ya, Ki Lurah dipanggil sekarang" kata Tumpak.
    "Baiklah, mari kita ke Kraton sekarang" kata Karebet, lalu mereka berdua berjalan menuju Kraton.
    Diperjalanan, Karebetpun bertanya dalam hati, ada keperluan apakah Kanjeng Sultan memanggilnya.
    Sebelum Karebet mendapat hukuman karena membunuh Dadung Awuk, ia memang sering dipanggil Kanjeng Sultan untuk memijat, tetapi sejak mendapat pengampunan dan menjadi Wira Tamtama lagi, belum pernah sekalipun ia dipanggil menghadap Kanjeng Sultan.
    "Hm perhatian dan kasih Kanjeng Sultan kepadaku besar sekali" kata Karebet didalam hatinya.
    Tak terasa langkah keduanya telah sampai di pintu gerbang Kraton, lalu Karebet meneruskan langkahnya menuju ruang dalam.
    Karebet berdiri didepan pintu dengan tangan ngapurancang sambil menundukkan kepalanya, sampai terdengar suara :"Masuklah Karebet"

    Karebetpun masuk ke dalam ruangan, Ia pun menyembah lalu duduk bersila dihadapan Kanjeng Sultan.
    "Karebet" kata Kanjeng Sultan.
    "Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Karebet.
    "Kau tidak bertugas hari ini ?" tanya Sultan Trenggana.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, hamba hari ini tidak bertugas" jawab Karebet.
    "Apakah kau akan pergi Karebet ?" tanya Kanjeng Sultan.
    "Sebetulnya tadi hamba akan pergi ke Kadilangu" jawab Karebet.
    "Ke tempat Kanjeng Sunan Kalijaga ? Kau akan mengaji di Kadilangu ?" tanya kanjeng Sultan.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Karebet.
    "Bagus, tapi aku ingin bicara beberapa persoalan penting denganmu" kata Kanjeng Sultan.
    "Sendika dawuh, hamba menunggu perintah Kanjeng Sultan" kata Karebet.
    Karebetpun bersiap mendengarkan perkataan Kanjeng Sultan Trenggana.
    "Aku ingin membicarakan denganmu tentang persoalan Sekar Kedaton" kata Sultan Trenggana.
    Karebet terkejut, tanpa sadar iapun mengangkat wajahnya, tetapi sesaat kemudian wajahnyapun ditundukkan dalam-dalam.
    "Karebet, kau tahu tentang anakku Sekar Kedaton? Dia satu-satunya anakku perempuan yang belum menikah, kakak perempuannya sudah menikah dan menjadi istri Pangeran Hadir. Sekarang anakku Sekar Kedaton sudah beranjak dewasa, sudah saatnya Sekar Kedaton untuk menikah" kata Sultan Trenggana. Mendengar perkataan Kanjeng Sultan, jantung Karebet berdetak semakin cepat, dengan harap-harap cemas, dia menunggu perkataan Kanjeng Sultan selanjutnya.
    "Nah Karebet, kau jawab pertanyaanku, apakah kau cinta terhadap Sekar Kedaton?" tanya Kanjeng Sultan Trenggana.

    Karebet terkejut ketika Sultan Trenggana langsung bertanya kepadanya, pertanyaan yang tanpa tedeng aling-aling, pertanyaan yang telah membuatnya berdebar-debar.
    Tetapi Karebet adalah pemuda yang cerdik, dia mengikuti permainan yang dibuat oleh Kanjeng Sutan.
    "Mohon ampun Kanjeng Sultan, jawaban hamba adalah, ya, hamba menyintai diajeng Sekar Kedaton" jawab Karebet.
    Mendengar jawaban Karebet yang terus terang, Kanjeng Sultan mengangguk-anggukkan kepalanya,
    "Apakah Sekar Kedaton juga mencintaimu?" tanya Kanjeng Sultan.
    "Mohon ampun Kanjeng Sultan, hamba tidak berani menduga-duga, " jawab Karebet.
    "Ya Karebet, sebentar lagi Sekar Kedaton memang akan aku nikahkan" kata Kanjeng Sultan.
    Karebet hanya bisa menunggu kalimat yang akan dikatakan oleh Kanjeng Sultan.
    "Hm siapakah yang menjadi calon suami Sekar Kedaton?' kata Karebet dalam hati.

    Karebet teringat tentang tantangan Sekar Kedaton untuk membawanya lari, keluar dari Kraton bersama dirinya.
    "Kalau ternyata calon suaminya bukan aku, lebih baik Sekar Kedaton aku bawa lari, tapi kemana ? Sebaiknya aku pergi jauh, keluar dari Kasultanan Demak, ke bang kulon atau bang wetan" kata Karebet dalam hatinya.
    "Dengar Karebet, Sekar Kedaton adalah anak perempuan dari seorang Sultan Demak yang besar, wilayahnya mulai dari bang Wetan hingga sebagian bang Kulon" kata Kanjeng Sultan Trenggana.
    "Sekar Kedaton tidak perlu menunggu dua tiga bulan, besokpun Putri Mas Cempaka bisa kubawa lari" kata Karebet di dalam hatinya.
    "Meskipun kasih Kanjeng Sultan. Kepadaku besar sekali, tetapi kalau Sekar Kedaton minta aku melarikan dirinya, akan kulaksanakan" begitu kata batin Karebet.
    "Karebet, aku inginkan calon suami dari Sekar Kedaton adalah seorang Adipati. Ya seorang Adipati. Kau dengar he Karebet, calon suaminya harus seorang Adipati" kata Kanjeng Sultan.
    Karebet terkejut mendengar perkataan Kanjeng Sultan, meskipun wajahnya masih menunduk, tetapi badannya menjadi bergetar menahan gejolak perasaannya.
    "Aku inginkan menantu Sultan Demak yang besar adakah seorang Adipati" kata Kanjeng Sultan selanjutnya.

    Kanjeng Sultan memandang wajah Karebet yang menjadi pucat, sesaat kemudian, terlihat wajahnya memerah menahan berbagai perasaan dalam dirinya, lalu terlihat wajahnya pucat kembali.
    Melihat wajah Karebet yang pucat dan bibirnya bergetar, Kanjeng Sultanpun tersenyum dalam hati.
    "Apakah ada yang salah Karebet, kalau Sultan Demak yang besar ingin mempunyai menantu seorang Adipati" tanya Kanjeng Sultan.
    Karebet berusaha keras mengendapkan perasaannya yang bergolak, pernapasannya diatur, diapun berusaha setenang mungkin menjawab pertanyaan dari Kanjeng Sultan.
    "Mohon ampun Kanjeng Sultan, adalah pantas sekali kalau seorang Sultan mempunyai menantu seorang Adipati" jawab Karebet dengan suara yang masih bergetar.
    "Karebet, apa yang akan kau lakukan kalau Sekar Kedaton besok akan bersanding dengan seorang Adipati ?" tanya Kanjeng Sultan.
    "Hamba tidak tahu Kanjeng Sultan" kata Karebet, tapi hati Karebet berkata :"Kubunuh Adipati itu kalau dia berani menyentuh Sekar Kedaton"
    "Karebet, dengarkan baik-baik semua perkataanku ini" kata Kanjeng Sultan.
    Karebetpun bersiap mendengarkan semua perkataan Kanjeng Sultan.
    "Tiga empat candra kagi, anakku Sekar Kedaton, akan aku nikahkan dengan seorang Adipati" kata Kanjeng Sultan

    Kepala Karebetpun semakin menunduk mendengarkan perkataan dari Kanjeng Sultan.
    "Karebet, sudah menjadi keputusanku, kau akan kuangkat sebagai seorang Adipati di daerah Pajang" kata Sultan Trenggana.
    Karebet terkejut mendengar perkataan Kanjeng Sultan, dia tidak mengira Kanjeng Sultan akan berkata demikian.
    Beberapa saat Karebet tertegun tanpa dapat berkata-kata, pikirannya seakan-akan menjadi kosong, kemudian ketika kesadarannya perlahan-lahan pulih kembali, maka Karebetpun kemudian menjatuhkan dirinya dihadapan Kanjeng Sultan, hingga kepalanya hampir menyentuh kaki Kanjeng Sultan, terasa benar bahwa kasih Kanjeng Sultan kepada dirinya sedemikian besarnya.

    Kanjeng Sultan kemudian membiarkan Karebet yang seakan-akan bersujud dihadapannya, membiarkan Karebet meluapkan gejolak perasaannya.
    Tidak lama kemudian Kanjeng Sultanpun berkata :"Duduklah Karebet"
    Karebetpun kemudian bangun dan duduk bersila kembali di hadapan Kanjeng Sultan, wajahnya menunduk berusaha meredam dadanya yang masih bergetar.
    "Karebet, aku memang mempunyai rencana, kau akan kujodohkan dengan anakku Sekar Kedaton, tetapi sebelum itu kau akan aku angkat terlebih dahulu sebagai Adipati di Pajang" kata Kanjeng Sultan.
    Karebet sejenak berdiam diri, diaturnya perasaan yang bergejolak mendengar dirinya akan di angkat menjadi seorang Adipati di daerah Pajang.
    "Bagaimana Karebet, apakah kau setuju kalau kau kuangkat menjadi Adipati di daerah Pajang dan setelah itu kau akan aku nikahkan dengan Sekar Kedaton ?" tanya Kanjeng Sultan.
    Tak lama kemudian ketika gejolak perasaannya telah mereda, napasnya sudah teratur, maka

    Karebetpun menjawab :"Mohon ampun Kanjeng Sultan, begitu besar kasih Kanjeng Sultan kepada hamba, hingga hamba menerima sebuah anugrah dari Kanjeng Sultan, menjadi Adipati di Pajang dan dinikahkan dengan Sekar Kedaton"
    "Kanjeng Sultan, hamba tidak bisa berkata apapun, hanya ucapan terima kasih yang hamba ucapkan atas karunia yang Kanjeng Sultan berikan kepada hamba" kata Karebet.
    "Karebet, nanti setelah kau menjadi Adipati di Pajang, kau bisa melamar Sekar Kedaton kepadaku" kata Sultan Demak
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Karebet.
    "Besok pagi, aku baru akan mengadakan pertemuan dengan Patih Wanasalam dan beberapa Tumenggung, untuk melaksanakan pembangunan sebuah bangunan yang akan dipergunakan sebagai Kadipaten di Pajang" kata Kanjeng Sultan.
    "Setelah itu, kau bisa berangkat ke Pajang bersama orang yang akan membangun sebuah bangunan Kadipaten, sedangkan tenaga untuk membangun kau dapat mempergunakan orang-orang Pajang, lalu keperluan bahan bangunan dapat kau ambilkan dari pohon jati di sekitar Pajang. Untuk beaya pembangunan bangunan Kadipaten Pajang, nanti bisa menggunakan dana dari Kraton Demak. Akan dibuat dulu satu bangunan rumah untuk Kadipaten, selanjutnya bisa kau kembangkan sendiri, sesuai kebutuhanmu" kata sultan Demak.

    "Kasinggihan dawuh kanjeng Sultan" jawab Karebet.
    "Mulai besok lusa kau sudah bukan seorang Lurah Wira Tamtama lagi, tetapi kau sudah menjadi seorang calon Adipati di Pajang. Soal itu besok akan aku bicarakan dengan Tumenggung Gajah Birawa. Nantinya, untuk membentuk beberapa kesatuan prajurit Pajang, kau jangan mengambil dari para prajurit Demak yang sudah ada, tetapi kau bisa membentuk kesatuan sendiri, serta melatih pemuda dan laki-laki dewasa untuk menjadi prajurit Pajang" kata Kanjeng Sultan.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Karebet.
    "Ketahuilah Karebet, selain kau kuangkat menjadi Adipati Pajang, aku juga mengangkat Penangsang sebagai Adipati di daerah Jipang Panolan, menempatkan Pangeran Hadiri di daerah Kalinyamat, dan menempatkan Pangeran Arya di daerah Prawata" kata Kanjeng Sultan.
    "Nanti setelah bangunan untuk kadipaten sudah selesai, maka kau bersama Penangsang akan aku wisuda sebagai Adipati, nah Karebet, itu saja yang aku katakan kepadamu, apakah ada yang perlu kau tanyakan ?" tanya Sultan Demak.
    "Tidak Kanjeng Sultan, semuanya sudah jelas bagi hamba" kata Karebet.
    "Kalau sudah jelas, silakan kalau kau akan pergi ke Kanjeng Sunan Kalijaga di pesantren Kadilangu" kata Kanjeng Sutan Trenggana.
    "Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Karebet.

    Setelah mengucapkan terima kasih, maka Karebetpun kemudian menyembah Sultan Trenggana, lalu bergeser ke pintu, dan berjalan keluar dari ruangan.
    Setelah Karebet keluar dari ruang dalam, maka Kanjeng Sultan memanggil prajurit yang bertugas :"Panggil Pangeran Hadiri, Pangeran Arya, dan Penangsang, supaya menghadap aku sekarang juga"
    Prajurit yang diberi tugas, Tumpak, segera bergegas berjalan keluar dari ruang dalam, jalannya cepat, karena ingin menyusul langkah Karebet. Sejenak kemudian Tumpakpun sudah berjalan disebelah Karebet.
     Mereka berdua hanya berbicara sebentar, setelah sampai didepan Sasana Sewaka, maka merekapun berpisah, Tumpak berbelok menuju Kesatrian, sedangkan Karebet berjalan keluar dari pintu keraton, lalu berjalan ke arah selatan, menuju Kadilangu.

    Matahari memanjat langit semakin tinggi, Karebet berjalan terus ke arah selatan, tak lama kemudian sampailah Karebet di rumpun bambu, tempat pertemuannya dengan uwa nya, Ki Kebo Kanigara beberapa hari yang lalu. Karebet kemudian mengambil kayu yang berukuran agak besar, yang berada agak jauh dari rumpun bambu, lalu kayu itupun diletakkan diibawah rumpun bambu
    "Mudah-mudahanan siwa Kebo Kanigara nanti malam bisa datang ke kotaraja" kata Karebet dalam hati, kemudian iapun meneruskan perjalanannya ke arah selatan.
    Pada saat yang bersamaan, di Kraton, dihadapan Kanjeng Sultan Trenggana duduk bersila tiga orang laki-laki, mereka adalah anak, menantu dan keponakan Kanjeng Sultan, Pangeran Arya, Pangeran Hadiri dan Arya Penangsang.
    "Kalian bertiga aku panggil kemari untuk membicarakan beberapa hal yang sudah aku susun bersama Ki Patih Wanasalam" kata Kanjeng Sultan kepada tiga orang yang menghadapnya.
    "Aku telah merencanakan untuk membangun beberapa buah bangunan di beberapa tempat, dan nantinya akan dapat kalian tempati, dan untuk selanjutnya bangunan itu dapat kalian pergunakan sebagai tempat tinggal" kata Sultan Trenggana.
    "Pangeran Arya, kau akan aku buatkan sebuah pesanggrahan di daerah Prawata, Pangeran Hadiri akan aku buatkan sebuah pesanggrahan di daerah Kalinyamat, sedangkan Penangsang akan aku buatkan sebuah bangunan untuk bisa menjadi sebuah Kadipaten di Jipang Panolan. Nanti kalau bangunannya sudah jadi, maka Penangsang akan aku wisuda menjadi seorang Adipati di Jipang" kata Sultan Demak.
    Mereka bertiga mendengarkan semua ucapan Kanjeng Sultan Trenggana, kemudian merekapun membayangkan berbagai kemungkinan yang akan terjadi.
    Pangeran Arya hanya menundukkan kepalanya, baginya hampir tidak ada bedanya tinggal di kotaraja Demak ataupun di daerah Prawata, begitu pula dengan Pangeran Hadiri, tinggal di Kalinyamatpun juga hampir sama dengan tinggal di Kotaraja Demak, apalagi kedua daerah itu tidak terlalu jauh dari kotaraja Demak.

    Tanggapan Penangsang ternyata berbeda, ketika Kanjeng Sultan berkata, kalau ia akan diangkat sebagai Adipati di Jipang Panolan, hatinya sangat senang, harapan besar diletakkannya pada tanah pusaka, tempat tinggal kakeknya dan ibunya, Jipang Panolan.
    Meskipun wajahnya masih menunduk, namun di bibir Penangsang tersungging sebuah senyuman, matanya berkilat-kilat memancarkan cahaya pengharapan.
    Jipang adalah tanah harapan, tempat tinggal ibunya sebelum menjadi istri Pangeran Sekar Seda Lepen.
    Dulu kakeknya, Sunan Ngudung, bertempat tinggal di Jipang, kakeknya seorang Senapati Perang Kasultanan Demak semasa awal berdirinya Kasultanan Demak Bintara.
    Penangsangpun berkata dalam hati :"Adipati, aku akan menjadi Adipati Jipang, dan tidak tertutup kemungkinan akan meningkat lebih tinggi lagi, bukan hanya sekedar seorang Adipati, Kadipaten Jipang nantinya hanya akan merupakan sebuah pancadan saja"
    Mereka bertiga berdiam diri, menunggu titah dari Kanjeng Sultan Trenggana selanjutnya.
    "Selain persoalan kalian bertiga yang telah aku sampaikan tadi, aku juga mengangkat Karebet menjadi Adipati di daerah Pajang" kata Kanjeng Sultan.

    Mendengar Karebet juga akan diangkat sebagai Adipati di Pajang, Penangsang mengangkat wajahnya melihat ke arah Kanjeng Sultan, tetapi sesaat kemudian wajah Penangsang tertunduk kembali.
    "Hm Karebet diangkat sebagai Adipati Pajang, tetapi akupun tidak takut kepadanya" kata Penangsang dalam hati, sambil melirik kearah tangannya, tangan yang menyimpan aji Panglebur Jagad yang mampu memecahkan batu padas sebesar gudel.
    "Kalau pembuatan bangunan Kadipaten sudah selesai, maka Penangsang dan Karebet segera aku wisuda menjadi Adipati" kata Kanjeng Sultan menambahkan.
    "Mungkin kalian bertanya-tanya, kenapa Karebet aku angkat menjadi seorang Adipati di Pajang ?" tanya Kanjeng Sultan.
    Mereka bertiga tidak menjawab pertanyaan Kanjeng Sultan, wajahnya masih menunduk, hanya Penangsang yang semula akan menjawab, mengurungkan maksudnya, kalimat yang hampir keluar dari mulutnya, telah ditelannya kembali.
    "Setelah Karebet menjadi Adipati, dia akan aku nikahkan dengan Sekar Kedaton" kata Sultan Trenggana.

    Mendengar Karebet akan dinikahkan dengan Sekar Kedaton, Penangsang sekejap mengangkat wajahnya melihat ke arah Kanjeng Sultan, tetapi sesaat kemudian wajah Penangsang tertunduk kembali.
    "Sudah kuduga" kata Penangsang dalam hati.
    "Besok pagi, aku akan mengadakan pertemuan dengan Patih Wanasalam dan beberapa Tumenggung, untuk membicarakan pelaksanaan pembuatan pesanggrahan yang akan kalian bangun di Kalinyamat, Prawata serta pembangunan bangunan untuk Kadipaten Jipang dan Pajang" kata Kanjeng Sultan.
    "Nah kalian bertiga, kalian tunggu saja, nanti akan ada orang yang berangkat bersama kalian menuju daerah yang akan dibangun" kata Kanjeng Sultan.
    Setelah itu masih ada beberapa penjelasan yang disampaikan Kanjeng Sultan kepada ketiga orang yang duduk bersila dihadapannya.

    Pada saat yang bersamaan, Karebet sedang berjalan menuju ke arah selatan, ke pesantren Kadilangu.
    Beberapa saat kemudian Karebetpun berbelok kearah timur, lalu iapun turun ke air yang agak dangkal untuk menyeberangi sungai Tuntang.
    Setelah sampai sisi sebelah timur, Karebetpun segera naik ke tepian dan berjalan ke tempat tinggal Kanjeng Sunan Kalijaga.
    Pagi itu, di tempat tinggal Kanjeng Sunan Kalijaga ternyata tidak begitu ramai. Beberapa muridnya berada di ladang atau di hutan disekitar Kadilangu. Mereka mencari kayu, atau memanen beberapa jagung yang sudah agak besar. Ada beberapa orang santri yang sedang bekerja membuka ladang.
    Ketika Karebet sampai didepan pintu, iapun mengucap salam, dan terdengar jawaban seorang santri menjawab salamnya.
    Kemudian terlihat seorang santri keluar menyongsongnya, dan Karebetpun menyalaminya.
    "Kanjeng Sunan Kalijaga berada di ruang dalam ?" tanya Karebet.
    "Ya, sedang mengajar Ki Pemanahan dan Ki Penjawi" kata santri itu.
    "Kakang Pemanahan dan kakang Penjawi datang kemari ?" tanya Karebet.
    "Ya, baru kemarin mereka datang dari Sela" jawab santri itu.
    Karebetpun terlihat gembira mendengar kedua sahabatnya berada di Kadilangu, lalu iapun ingin segera menemuinya.
    "Aku akan menghadap Kanjeng Sunan" kata Karebet.
    "Silahkan, apakah perlu aku antar ?" kata santri itu sambil tertawa.
    "Tidak usah, aku akan kesana sendiri" kata Karebet sambil tersenyum.

    Karebetpun berjalan menuju ruang dalam, lalu berhenti dan mengucap salam didepan ruangan yang pintunya yang masih tertutup.
    Dari dalam ruangan terdengar suara orang menjawab salamnya, lalu terdengar suara :"Masuklah"
    Karebetpun masuk kedalam, didalam ruangan terlihat Kanjeng Sunan Kalijaga duduk bersila, dihadap oleh dua orang yang telah dikenalnya, Pemanahan dan Penjawi.
    Karebet segera menyalami Kanjeng Sunan Kalijaga, kemudian menyalami Pemanahan dan Penjawi setelah itu, Karebetpun lalu duduk disebelah Pemanahan dan Penjawi.
    "Kau selamat Karebet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
    "Atas pangestu Kanjeng Sunan, saya dalam keadaan selamat" kata Karebet.
    "Sudah lama kita tidak bertemu adi Karebet, kau baik-baik saja" kata Pemanahan.
    "Ya kakang, aku baik-baik saja, sejak kapan kakang Pemanahan dan kakang Penjawi berada di Kadilangu?" tanya Karebet.
    "Baru kemarin adi" jawab Penjawi.
    "Kebetulan saat ini Pemanahan dan Penjawi menginap di Kadilangu, dan mereka berdua mulai mengaji setelah subuh, jadi sekarang telah selesai" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
    "Kau dari mana Karebet, ceritalah, tidak apa-apa disini ada Pemanahan dan Penjawi, mereka juga saudara seperguruanmu sewaktu di Sela dan kalian bertiga semuanya adalah muridku" kata Kanjeng Sunan.

    "Ya Kanjeng Sunan" kata Karebet.
    "Hari ini saya sedang tidak bertugas Kanjeng Sunan, memang dari kemarin saya sudah berniat, hari ini saya akan ke Kadilangu" kata Karebet.
    "Pagi tadi, ketika akan berangkat ke Kadilangu, saya dipanggil ke Kraton menghadap Kanjeng Sultan Trenggana" kata Karebet.
    "Apakah ada yang penting Karebet, sehingga Kanjeng Sultan memanggilmu ?" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
    "Ya Kanjeng Sunan, tiga empat candra lagi saya akan dinikahkan dengan Sekar Kedaton, tetapi sebelum itu saya akan diangkat sebagai Adipati di daerah Pajang" kata Karebet.
    "Adipati di Pajang" Pemanahan dan Penjawi mengulang kata-kata Karebet.
    "Ya" kata Karebet.
    "Syukurlah, kalau kau akan diangkat sebagai Adipati Pajang, dan kaupun akan menikah dengan Putri Sekar Kedaton" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
    "Ya Kanjeng Sunan" kata Karebet.
    "Lalu apa lagi titah Kanjeng Sultan Trenggana" tanya Kanjeng Sunan.
    "Pangeran Arya akan pindah ke pesanggrahan Prawata, Pangeran Hadiri akan pindah ke pesanggrahan Kalinyamat, Penangsang akan menjadi Adipati di Jipang" kata Karebet.
    "Tepat, Penangsang memang tepat kalau menjadi Adipati di Jipang" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
    Beberapa saat merekapun masih berbincang mengenai beberapa persoalan, kemudian Pemanahan dan Penjawi pamit keluar ruangan, akan membantu pekerjaan para santri, dan tinggalah Karebet didalam ruangan, diajar mengaji oleh Kanjeng Sunan Kallijaga.

    Demikianlah Karebet hari itu berada di Kadilangu, ikut bekerja membantu para santri, mengisi padasan dan memotong kayu bakar bersama Pemanahan dan Penjawi.
    Beberapa saat setelah selesai memotong kayu, mereka bertiga beristirahat dibawah sebatang pohon sambil meminum air yang diambil dari belik di dekat sungai.
    "Bagaimana kabarnya si tole Danang Sutawijaya, kakang Pemanahan?" tanya Karebet.
    "Baik adi, Danang semakin pandai bermain sodoran, tidak ada yang bisa mengalahkannya sekarang, dia sudah menginginkan dapat menggunakan tombak pusaka Sela, Kyai Plered, tapi aku belum mengijinkannya, belum saatnya dia memegang sebuah tombak pusaka, dia belum dewasa" kata Pemanahan.
    "Tombak Kyai Plered, tombak pusaka perguruan Sela, apakah tombak itu pusaka turun temurun ? Apakah nantinya pusaka itu akan diberikan kepada Danang Sutawijaya ?" tanya Karebet.
    "Ya, tombak Kyai Plered adalah pusaka turun temurun, dari pemiliknya yang pertama, Dewi Rasawulan dari Majapahit, lalu diwariskan kepada anaknya Kidang Telangkas, lalu ke Getas Pendawa, kemudian diwariskan ke kakekku Ki Ageng Sela, lalu ke ayahku Ki Ageng Nis, lalu diwariskan ke aku, nantinya tombak Kyai Plered akan aku berikan kepada anakku Sutawijaya" kata Pemanahan.

    Karebet menganggukkan kepalanya :"Tidak mudah mengalahkan Sutawijaya yang berada diatas punggung kuda, apalagi dengan membawa tombak pusaka Kyai Plered"
    Kepada Pemanahan dan Penjawi, Karebet meminta keduanya untuk membantu bersama-sama mendirikan Kadipaten Pajang.
    "Kakang Pemanahan dan Penjawi, aku harap kakang berdua membantu aku mendirikan Kadipaten Pajang. kita bisa bersama-sama mukti di Pajang"
    "Baik adi Karebet, nanti setelah pulang dari Kadilangu, aku akan ke Pajang, nanti pemomong Danang Sutawijaya, kakang Juru Martani juga akan aku ajak ke Pajang" kata Pemanahan.
    "Bagus kakang, ajak Kakang Juru Martani ke Pajang, semakin banyak yang bergabung di Pajang akan semakin baik" kata Karebet.
    Ketika matahari sudah jauh condong kebarat, hampir tenggelam, Karebetpun mohon diri kepada Kanjeng Sunan Kalijaga dan kepada kedua sahabatnya, Pemanahan dan Penjawi.
    "Jangan lupa kakang Pemanahan dan kakang Penjawi, aku tunggu kakang berdua di Pajang" kata Karebet.
    Karebetpun keluar dari dalem Kadilangu, berjalan ke arah barat, pulang ke kotaraja. Setelah menyeberangi sungai Tuntang, Karebetpun berjalan cepat kearah utara.

    Langkahnyapun dipercepat ketika menuju alun-alun, dan didepannya, dilihatnya didepan pintu gerbang kraton, seorang perempuan setengah baya sedang berjalan, seseorang yang dikenalnya, Nyai Madusari.
    "Nah sekarang kau tidak bisa membuat aku kaget Ki Lurah" kata Nyai Madusari sambil tersenyum.
    "Ya nyai, sekarang aku tidak bisa membuatmu kaget lagi" kata Karebet
    Nyai Madusari tertawa memperlihatkan giginya yang rapi seperti deretan biji ketimun, rapi karena di pangur rata
    Melihat Nyai Madusari tertawa, Karebetpun berkata sambil mukanya dibuat seperti sedang bersedih :"Nyai, dua tiga hari lagi aku sudah tidak menjadi prajurit Wira Tamtama lagi"
    "Kau....kau..." kata Nyai Madusari, ter-putus-putus.
    "Kata nyai tidak akan kaget lagi" kata Karebet.
    "Ya, ya, tapi...kau....kau.. " kata Nyai Madusari.
    "Masih kaget nyai ?" tanya Karebet.
     
    "Kaget sedikit Ki Lurah" kata Nyai Madusari :"Kau dihukum lagi Ki Lurah?"
    "Nyai dengarkan baik2, aku akan bicara pelan-pelan" kata Karebet.
    "Ya, cepat bicaralah Ki Lurah" kata Nyai Madusari tidak xabar.
    "Nyai, tadi pagi ada titah dari Kanjeng Sultan, sebentar lagi aku akan diangkat menjadi seorang Adipati di Pajang" kata Karebet.
    "Kau...kau.." nyai Madusari kaget untuk yang kedua kalinya mendengar Karebet akan diangkat menjadi seorang Adipati.
    "Aku sudah bicara pelan-pelan, tetapi nyai masih kaget juga" kata Karebet.
    "Kau akan diangkat menjadi seorang Adipati di Pajang?" tanya Nyai Madusari.
    "Ya, setelah menjadi Adipati Pajang, aku akan dinikahkan dengan Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka" kata Karebet.
    "Kau...kau.." kata Nyai Madusari kaget yang ketiga kalinya.
    "Ya" kata Karebet singkat.
    "Aku akan ke kembali ke Kaputren" kata Nyai Madusari.
    "Aku akan memberitahu Gusti Putri" kata Nyai Madusari kemudian iapun berjalan berbalik arah menuju kraton.

    Nyai Madusari melangkah cepat, kembali berjalan memasuki pintu gerbang Kraton.
    Di pintu gerbang Kraton, prajurit penjaga menegurnya :"Nyai Menggung, ini yang ketiga kalinya......."
    "Kau, awas kalau sekali lagi kau berani bilang aku pikun" ancam nyai Madusari kepada prajurit
    Prajurit itupun terdiam, kalimat yang akan keluar dari mulutnya menjadi tertahan, iapun hanya melihat Nyai Madusari berjalan menuju Kaputren.
    Matahari telah lama tenggelam, gelap malam telah menyelimuti bumi Demak, ketika Karebet duduk di halaman dalem lor.
    Pada saat itu, wayah sepi bocah sudah lewat, sekarang baru saja masuk wayah sepi wong, lamat-lamat terdengar suara burung kedasih, membelah keheningan malam di kotaraja.
    Pendengaran Karebet yang tajam, mencoba mencari arah suara burung kedasih, ternyata suara burung berasal dari arah utara.

    Ketika Karebet berpaling ke arah utara, matanya yang tajam memandang di kegelapan, tetapi tak tampak apapun juga, sesaat kemudian ternyata suara burung kedasih telah berpindah ke arah timur.
    "Cepat sekali suara burung kedasih bergerak, sekarang sudah berpindah ke arah timur, aku tidak bisa mencarinya, memang luar biasa siwa Kebo Kanigara" kata Karebet dalam hati.
    "Sekarang suara burung kedasih terdengar dari arah selatan" kata Karebet.
    Karebet kemudian berdiri dan berjalan menuju arah selatan :"Mudah-mudahan suara itu adakah suara siwa Kebo Kanigara yg menirukan suara burung kedasih"
    Meskipun gelap telah menyelimuti kotaraja Demak, namun ada sedikit cahaya yang lemah dari bulan sabit. Karebet berjalan cepat ke arah selatan, didepannya tampak sesosok bayangan yang berjalan searah dengannya, bayangan itu juga menuju arah selatan.
    (bersambung)

Minggu, 24 Agustus 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 15

KERIS KYAI SETAN KOBER 15

BAB 6 : PENGAMPUNAN 2

Karya : Apung GWAP

Dengan cepat Ganjur masuk kedalam rumah, dan dilihatnya seorang anak muda sedang makan nasi dengan lauk belut bakar beserta sambalnya.
"Karebet, kau Karebet, kapan kau pulang?" tanya Ganjur.
Yang ditanya tidak menjawab, mulutnya masih mengunyah nasi dan tangannya masih memegang belut bakarnya, dia hanya menengok sebentar ke arah pamannya Ganjur.
Tiba-tiba Ganjur tersadar, dengan cepat ia menuju kedepan kemudian menutup pintunya, lalu iapun berjalan kembali menuju ketempat Karebet.
"Karebet, bagaimana kau bisa masuk ke dalem Suranatan ini ? Kau tidak terlihat oleh para prajurit Wira Tamtama ?" tanya Ganjur khawatir.
Yang ditanya tidak menjawab, hanya menunjukkan cething yang sudah kosong.
"Habis paman, nasinya sudah saya habiskan" kata Karebet.
"Karebet, kalau kau terlihat prajurit Wira Tamtama, kau bisa ditangkap" kata Ganjur.
Karebet tidak menjawab, ia minum air beberapa teguk, lalu iapun membereskan cething dan peralatan makan lainnya, dan dibawanya kebelakang.

Pamannya mengikuti dari belakang sambil berkata :"Kau bisa ditangkap Karebet, dan kalau Kanjeng Sultan tahu kau disini, kau bisa dihukum dengan hukuman yang lebih berat lagi"
"Paman, sebetulnya aku sudah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Dari dulu kau memang senang bercanda Karebet" kata pamannya.
"Tidak paman, aku tidak bercanda, Kanjeng Sultan Trenggana memang memberi pengampunan kepadaku, besok lusa aku sudah bisa bertugas lagi sebagai Lurah Wira Tamtama " kata Karebet.
"Cepat sekali" kata Ki Ganjur.
"Ya paman, memang cepat" kata Karebet.
"Syukurlah kalau begitu, besok lagi supaya kau harus lebih berhati-hati, jangan mudah membunuh orang" kata Ki Ganjur.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Besok sore katanya Kanjeng Sultan baru pulang dari hutan Prawata" kata pamannya.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Kau akan tidur disini ?" tanya Ganjur.
"Ya paman, tadi sewaktu di depan regol, aku sudah bertemu dengan Ki Tumenggung Suranata, dan sudah minta ijin untuk tidur disini, nanti aku tidur disini dua malam paman, lalu untuk seterusnya aku tidur di dalem lor"
"Ya, lalu besok sehari kau akan dirumah saja?" tanya Ki Ganjur.
"Tidak paman, aku besok akan pergi ke Kadilangu, ke tempat Kanjeng Sunan Kalijaga" jawab Karebet.
"Ya, kau pasti lelah, istirahatlah" kata pamannya.
"Nanti sajalah paman, aku akan mandi dulu" jawab Karebet.

Pamannyapun kemudian meninggalkan Karebet dan kembali duduk didepan rumah.
Malam itu bulan kelihatan terang, Karebet dan pamannya  Ganjur duduk berdua di teras rumah.
"Selama kau menjalani hukuman, kau kemana saja Karebet ?" tanya Ganjur.
Karebet memandang ke pamannya, lalu iapun menjawab :"Aku pulang ke Pengging paman"
Ganjurpun masih bertanya lagi :"Kau pulang ke Tingkir juga?"
"Tidak paman, aku khawatir biyung menjadi sedih" jawab Karebet.
Mendengar kata-kata kemenakannya, Ganjurpun menganggukkan kepalanya :"Ya, biyungmu tidak usah mengetahui kalau kau pernah dihukum"
"Sekarang, setelah aku mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan, aku berani pulang ke Tingkir paman, dan tak akan membuat biyung bersedih" kata Karebet.
"Karebet, aku sudah pikun, aku tidak berani berjalan sendiri, kalau kau pulang ke Tingkir, aku ikut bersamamu" kata Ganjur.

Karebet melihat pamannya Ganjur yang memang terlihat semakin tua, tubuhnya semakin renta.
"Ya paman, aku berjanji, nanti kalau aku akan pulang ke Tingkir, paman akan aku ajak menemui biyung, nanti kalau paman ingin kembali ke kotaraja lagi bisa diantar paman Suta dan paman Naya, tetapi kalau paman sudah tidak ingin bekerja lagi, ingin beristirahat menikmati hari tua di Tingkir, paman bisa tinggal disana berdua dengan biyung" kata Karebet.
"Ya Karebet" kata Ki Ganjur.
Beberapa saat kemudian, Ganjurpun berkata :"Sudah malam, aku akan tidur dulu"
"Ya paman" jawab Karebet.
Ki Ganjurpun masuk kedalam rumah untuk beristirahat sedangkan Karebet masih berada diluar.
Ketika malam semakin larut, Karebetpun masuk kedalam rumah untuk beristirahat, setelah sehari penuh ia berlari dan berjalan cepat dari hutan Prawata ke kotaraja Demak.
Di langit bulan bersinar terang, Karebetpun tidur nyenyak di dalem Suranatan.
Fajar menyingsing di ufuk timur, suara kokok ayam jantan terdengar di sela-sela udara pagi yang dingin di kotaraja Demak.

Pagi itu, setelah matahari semakin tinggi, terlihat seorang pemuda sedang berjalan, keluar dari pintu gerbang dalem Suranatan.
Pemuda itu berjalan dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, dan ia akan pergi menuju desa Kadilangu.
Ketika sedang berjalan sambil menganyam angan-angan, terdengar suara seorang perempuan memanggilnya :"Karebet !"
Karebet menengok kebelakang, dilihatnya seorang perempuan cantik setengah baya sedang berjalan dibelakangnya.
Karebetpun memperlambat langkahnya, lalu iapun berhenti menunggu perempuan cantik itu.
"Karebet" kata perempuan itu.

"Ya Nyai Madusari" Jawab Karebet kepada perempuan itu.
Setelah berada disebelah Karebet, Nyai Madusari pun berhenti.
"Kemarin nyai sudah cerita ke Gusti Putri tentang kepulanganku di kotaraja ? Bagaimana tanggapan Gusti Putri, nyai ?" tanya Karebet.
"Yaaah Gusti Putri senang sekali Karebet, nanti kalau kau tugas berjaga di Kaputren atau di ruang dalam, Gusti Putri akan menghadap Kanjeng Prameswari, supaya bisa bertemu denganmu" kata Nyai Madusari.
"Ya, besok akupun akan ke Kraton, menghadap Ki Tumenggung Gajah Birawa" kata Karebet.
"Besok kau sudah menjadi Lurah prajurit lagi ?" tanya Nyai Madusari.
"Ya nyai" jawab Karebet.
"Sekarang kau akan kemana Karebet ?" tanya Nyai Menggung.
"Aku akan ke Kadilangu" jawab Karebet.
"Ke tempat Kanjeng Sunan Kalijaga?" tanya Nyai Madusari.
"Ya nyai" sahut Karebet.
"Ya sudah, Karebet, aku akan ke kaputren dulu" kata Nyai Madusari.
"Ya nyai" jawab Karebet, dan merekapun berpisah, Nyai Madusari berjalan ke Kraton, sedangkan Karebet meneruskan pejalanannya ke Kadilangu.

Karebet berjalan kearah selatan, berjalan dengan langkah yang teratur, tidak tergesa-gesa.
"Daerah sekitar kotaraja Demak adalah daerah yang kering, musim kemarau ini daerah kotaraja sudah agak sulit mencari air"
"Kalau di daerah Tingkir atau Pengging air banyak sekali, apalagi didaerah Pengging, disana ada sebuah umbul yang besar" kata Karebet dalam hati.
Beberapa saat kemudian Karebet berbelok ke timur menuju tepi barat sungai Tuntang.
Saat itu musim kemarau, air sungai menjadi tidak terlalu tinggi, Karebetpun sudah mengetahui bagian sungai yang agak dangkal, sehingga Karebetpun menyeberang sungai tidak perlu dengan berenang, tetapi cukup hanya dengan berjalan kaki.
Tak lama kemudian setelah menyebeangi sungai, Karebetpun telah tiba diseberang, di tepi sebelah timur sungai Tuntang.
"Inilah desa Kadilangu, memang dekat, tidak terlalu jauh dari kotaraja" kata Karebet dalam hati.
Karebet berjalan beberapa langkah ke arah timur, kemudian ketika dilihatnya sebuah rumah, maka Karebetpun berbelok menuju rumah tersebut.

Dari pintu depan, Karebet berjalan menuju ke halaman, dilihatnya beberapa santri membawa air untuk mengisi padasan maupun mengisi kolam tempat wudhu, sedangkan di depan pintu, dilihatnya seorang santri yang sudah agak tua, menyambutnya dengan ramah.
Karebetpun mengucapkan salam, dan orang itupun menjawab salamnya.
"Silahkan masuk anakmas Karebet, anakmas sudah ditunggu Kanjeng Sunan Kalijaga diruang dalam" kata orang itu.
"Ternyata Kanjeng Sunan Kalijaga sudah tahu kalau aku mau datang kemari" kata Karebet dalam hati.
"Silahkan anakmas, silahkan masuk" kata santri itu.
"Terima kasih, maaf, apakah Kanjeng Sunan Kalijaga saat ini sedang menerima tamu ?" tanya Karebet.
"Tidak, sekarang Kanjeng Sunan memang sedang menunggu nakmas Karebet, kalau kemarin memang ada dua orang tamu yang belajar disini beberapa hari, mungkin nakmas Karebet sudah pernah bertemu dengan orang itu" kata orang itu.
"Siapa namanya ?" tanya Karebet.
"Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, mereka sekarang menjadi murid Kanjeng Sunan Kalijaga, disini sudah beberapa hari, baru kemarin mereka berdua pulang ke Sela" kata santri itu menjelaskan.
Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya, dan iapun berkata :"Baik, aku mau menghadap Kanjeng Sunan, di ruang manakah saya bisa menemui Kanjeng Sunan ?"
"Silahkan, mari saya antar ke ruang dalam" kata santri itu.

Santri itupun kemudian mengantarnya ke sebuah ruangan di dalam, lalu iapun mempersilahkan Karebet untuk masuk ke ruangan.
Karebet berdiri di depan pintu mengucapkan salam, dan dari dalam ruangan terdengar ada suara yang menjawab salamnya.
"Silahkan masuk Karebet" kata orang yang berada didalam.
Karebetpun kemudian masuk kedalam ruangan, dilihatnya seorang tua memakai pakaian serba wulung memegang sebuah tasbih, berwajah teduh, bermata tajam, bibir tersenyum, duduk bersila diatas sebuah amben kayu yang pendek tetapi agak lebar.
"Duduklah Karebet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Karebet
Wajah Kanjeng Sunan Kalijaga tidak banyak berubah sejak ia melihatnya di desa Tingkir, ketika ia sedang menunggu padi gaga didalam sebuah gubug di sawah.
"Kau selamat Karebet" kata Sunan Kalijaga.
"Atas pangestu Kanjeng Sunan, saya baik-baik saja" jawab Karebet.
"Dari tubuhmu terlihat sebuah teja yang memancar sebesar sada lanang, kau sudah semakin dekat dengan kamukten Karebet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Terma kasih Kanjeng Sunan" jawab Karebet.
"Kau sudah kembali lagi ke kotaraja ?" tanya Kanjeng Sunan.
"Sudah Kanjeng Sunan, kesalahan saya sudah diampuni oleh Kanjeng Sultan Trenggana" jawab Karebet.
"Ya, syukurlah, lalu apa maksudmu menemui aku Karebet" tanya Kanjeng Sunan.
"Saya ingin belajar, saya ingin menjadi murid Kanjeng Sunan Kalijaga" jawab Karebet.

"Bagus Karebet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga sambil meng-angguk2-kan kepalanya :"Bagus kalau kau mau belajar di Kadilangu. Beberapa hari yang lalu cucu Ki Ageng Sela juga datang kemari. Kau pasti sudah tahu orangnya, anak dari Nis yang bernama Pemanahan dan anak angkatnya yang bernama Penjawi" kata Sunan Kalijaga.
"Kakang Pemanahan dan kakang Penjawi adalah saudara seperguruan, sewaktu kami bersama-sama belajar olah kanuragan di perguruan Sela, Kanjeng Sunan" kata Karebet.
"Ya, nantinya kau akan sering bertemu, mereka juga belajar disini" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan" jawab Karebet.
"Karebet, setiap ada waktu luang, kau bisa pergi ke Kadilangu, kau bisa belajar disini, meskipun kau tidak menginap disini"
"Ya, Kanjeng Sunan" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
Mulai saat itu Karebet mulai belajar kepada Kanjeng Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Sanga yang mumpuni ilmu lahir batin.
Matahari bergerak terus ke arah barat, dan setelah matahari sampai di puncak langit, seorang santri membunyikan sebuah kentongan, sebagai tanda telah tiba waktunya untuk menunaikan sholat dhuhur.
"Hari ini cukup sekian dulu Karebet, saat ini telah tiba waktunya untuk sholat dhuhur" kata Kanjeng Sunan Kalijjaga.

Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengajak semua santrinya untuk menjalankan sholat dhuhur berjamaah.
Setelah sholat dhuhur, Karebetpun diajak makan bersama para santri disebuah ruangan, makan nasi jagung dan sayur kacang panjang.
"Kami menanam jagung dan padi di sawah tadah hujan" kata salah seorang santri.
"Sekarang musim kemarau" kata Karebet.
" Ya, tetapi kami masih punya persediaan padi" kata santri itu.
"Setelah ini apa yang di kerjakan para santri?"
"Ada yang mencari air, ada juga yang membelah kayu bakar, ada yang membuka ladang baru" kata Santri itu.
"Baiklah, nanti aku yang akan bantu membelah kayu bakar, dimana kayu yang akan dibelah ?" kata Karebet
"Ada disamping rumah, parang dan kapaknya diletakkan di dinding dalam" kata Santri itu.
Setelah beristirahat, tak lama kemudian Karebetpun membantu para santri membelah kayu bakar untuk keperluan memasak para santri di Kadilangu.
Dengan tenaganya yang kuat, Karebetpun bekerja tanpa henti sampai terdengar kentongan yang ditabuh seorang santri sebagai tanda telah tiba waktu untuk sholat ashar.
Waktupun bergerak terus, matahari terlihat merayap turun di langit sebelah barat, setelah selesai melaksanakan sholat ashar berjamaah, terlihat Karebet berjalan keluar dari Kadilangu, dan akan pulang ke dalem Suranatan.

Karebet berjalan ke arah barat, tak berapa lama iapun sudah sampai di tepi timur sungai tuntang.
Setelah menyeberangi sungai Tuntang, maka Karebetpun tiba ditepi barat, lalu iapun berbelok ke utara.
Karebet berjalan dijalan yang biasa dilewatinya, jalan yang sudah ramai, jauh didepan sudah terlihat beberapa rumah di kotaraja.
Ketika Karebet sedang berjalan, tidak jauh dari jalan yang akan dilaluinya, terlihat ada seseorang yang memakai caping, sedang duduk dibawah sebuah pohon.
Tidak biasanya ada orang yang duduk dI tepi jalan dengan memakai caping.
"Siapa orang itu ?" kata Karebet di dalam hatinya, dan iapun berjalan mendekat ke arah orang yang memakai caping.
Orang itupun mengetahui kalau Karebet berjalan ke arahnya, maka orang itupun berdiri dan berjalan mejauh ke arah barat.
Ketika Karebet mengetahui orang itu berjalan menjauh maka iapun segera berjalan mengikuti dari belakang.
"Siapa orang itu ?" kata Karebet dalam hati.
"Hei Ki Sanak, berhenti dulu, kita berbicara sebentar" kata Karebet.

Orang itu terus berjalan ke arah barat, ketika ia menengok kebelakang dan mengetahui ada orang yang mengikutinya, maka orang itupun kemudian berlari berbelok ke arah selatan, menjauhi kotaraja.
Melihat orang bercaping berlari ke selatan, Karebet yang tak pernah mengenal rasa takut, berlari mengejarnya.
Disore hari matahari sudah condong kebarat, terlihat dua orang berlari cepat, Karebet mengejar orang bercaping yang lari ke arah selatan. Karebet mengeluarkan semua kekuatannya untuk mengejar orang yang mencurigakan.
"Hei berhenti dulu Ki Sanak" teriak Karebet.
Meskipun Karebet mengejar sekuat tenaga, jarak ke orang bercaping tidak bertambah dekat, tetapi jarak itu tetap seperti semula.
Ketika melewati beberapa rumpun pohon bambu, Karebet terkejut karena orang bercaping yang dikejarnya telah lenyap.
Karebetpun melihat keadaan sekelilingnya, tetapi orang bercaping itu tetap tidak kelihatan.
"Orang bercaping itu telah menghilang disini, ternyata aku telah dipancing untuk mengikutinya sampai disini, siapakah dia ?" kata Karebet dalam hati :"Orang itu berilmu tinggi, aku tak mampu mengejarnya"
"Siapa orang itu yang telah memancingku supaya datang kemari ? Saat ini Kanjeng Sultan masih dalam perjalanan pulang dari hutan Prawata beserta kedua Tumenggungnya, lalu siapa ? Tumenggung Suranata ? Tumenggung Surapati ? Atau Ki Patih Wanasalam ? Tidak mungkin kalau orang itu seorang Tumenggung, rata-rata ilmu seorang Tumenggung belum setinggi orang bercaping itu, atau mungkinkah dia Arya Penangsang ?" kata Karebet dalam hati.

Karebet berpikir, kalau orang itu Penangsang tidak mungkin dia mampu menghilang di hadapannya, kalaupun ada persoalan, Penangsang pasti akan datang beradu dada, tidak harus ber-putar-putar seperti ini.
"Orang itu bukan Penangsang, tetapi siapa orang yang memakai caping itu ? Atau orang dari luar Kraton ?" kata Karebet dalam hati.
Mengetahui yang dikejarnya adalah orang yang berilmu tinggi, maka Karebet kemudian mengumpulkan semua kekuatan yang tersimpan didalam dirinya, ia segera mateg aji miliknya yang ngedab-edabi, aji Lembu Sekilan.
Karebet maju beberapa langkah kedepan, pandangannya melihat berkeliling mencari orang bercaping yang lenyap ketika sedang dikejarnya.
Karebetpun terkejut, ketika ia menengok ke belakang, terlihat di dekat rumpun bambu, seorang yang memakai caping sedang duduk di atas sebatang pohon yang roboh.
Karebet memutar badannya, dengan penuh kewaspadaan dia maju mendekati orang itu, aji Lembu Sekilanpun masih manjing di dalam dirinya.
"Orang ini berilmu tinggi, siapa dia, wajahnya tertutup caping yang dipakainya"" kata Karebet dalam hati.

"Ilmunya beberapa lapis diatasku, beberapa gerakannya tidak dapat aku ketahui, langkah-langkahnya luput dari pengamatanku" kata Karebet tak bersuara, tidak ada jalan lain, Karebetpun mempersiapkan aji Hasta Dahana pada serangan pertama.
Ketika jarak antara dirinya dengan orang bercaping hanya tinggal empat lima langkah, Karebetpun bertanya :"Ki Sanak, apa maksudmu memancing aku kemari, siapakah kau ini sebenarnya?"
Karebet terkejut ketika orang bercaping itu menjawab :"Duduklah Karebet"
Meskipun Karebet tidak bisa melihat orang bercaping karena wajah orang itu tertutup caping yang dipakainya, tetapi Karebet sudah hafal dengan nada suaranya,
"Duduklah Karebet" kata orang itu sekali lagi.
Karebet maju kedepan, dilihatnya orang itu, seorang yang berumur menjelang setengah abad, bertubuh sedang, berpakaian sederhana, memakai caping, dan berwajah tenang.
Ketika Karebet sudah dekat sekali, maka orang itupun membuka capingnya dan tersenyum kepada Karebet.
"Ternyata siwa yang memancingku datang kemari" kata Karebet sambil melangkah maju, diciumnya tangan orang itu.
Orang itu tersenyum :"Karebet, kau dari Kadilangu ?"
"Ya wa, sekarang saya telah menjadi murid Kanjeng Sunan Kalijaga, siwa Kebo Kanigara mau kemana ?" tanya Karebet.

Karebetpun duduk disamping orang telah melepas capingnya, yang ternyata adalah uwa nya, Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya, Kebo Kenanga.
"Aku memang mencarimu, beberapa waktu yang lalu aku mampir di Pengging, ternyata kau baru saja datang ke sana, lalu pergi lagi" kata uwanya.
"Ya wa" sahut Karebet.
"Aku dengar kau diusir dari kotaraja" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, saya bersalah membunuh Dadung Awuk, lalu Kanjeng Sultan menghukum saya, dan sayapun di usir dari kotaraja dan diberhentikan sebagai prajurit Wira Tamtama" kata Karebet.
"Sekarang kau sudah diperbolehkan kembali di kotaraja lagi ?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, kemarin saya sudah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan, dan besok saya sudah bertugas sebagai Lurah Wira Tamtama lagi" kata Karebet.
"Setelah kau bertemu aku di alas Roban beberapa waktu yang lalu, lalu kau pergi ke kotaraja menjadi prajurit Wira Tamtama ? Bagaimana ceritanya ?" tanya Ki Kebo Kanigara.
"Begini wa," kata Karebet, dan mulailah ia bercerita mulai saat berpisah dengan uwanya Ki Kebo Kanigara di alas Roban, selanjutnya diceritakan juga ketika ia bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga sewaktu berada di sebuah gubug di sawah, lalu iapun pergi ke Demak dan diangkat menjadi prajurit Wira Tamtama.
Kemudian ia bercerita telah melakukan kesalahan membunuh Dadung Awuk sehingga dihukum oleh Kanjeng Sultan, dicopot dari Wira Tamtama dan diusir dari kotaraja, lalu diceritakan pula pertemuan dengan saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang.

Karebet juga bercerita ketika ia bertemu dengan Ki Buyut Banyubiru sampai membunuh Kebo ndanu di perkemahan hutan Prawata, tidak lupa diceritakan pula hubungannya dengan Sekar Kedaton, Putri Mas Cempaka.
Kebo Kanigara mendengarkan cerita Karebet sambil berpikir, bagaimana mencarikan jalan terbaik untuk Karebet, karena ia berangan-angan, sudah saatnya keponakannya, yang mempunyai darah Pengging dan masih merupakan keturunan Raja Majapahit, bisa menjadi Raja di Tanah Jawa.
"Jadi Kanjeng Sunan Kalijaga mengatakan kau sebagai seorang calon Raja, dan menyuruhmu untuk pergi ke Demak ?" tanya uwanya.
"Ya wa, Kanjeng Sunan mengatakan itu ketika melihat saya di desa Tingkir" jawab Karebet.
"Lalu Ki Ageng Butuh telah melihat Pulung Kaprabon sudah manjing kedalam tubuhmu ?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, Ki Ageng Butuh memang berkata begitu" kata Karebet.
"Kemudian tentang hubunganmu dengan Putri Mas Cempaka, apakah Sekar Kedaton mencintaimu ?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, ketika saya diusir dari kotaraja, Nimas Cempaka  sampai jatuh sakit" jawab Karebet.
"Karebet, aku beri gambaran sekilas suasana Kraton Demak saat ini, andaikan nanti kau diambil menantu oleh Sultan Trenggana, jalan yang kau akan tempuh masih panjang, jangan bertindak tergesa-gesa, jangan nggege mangsa, biarlah semua berjalan apa adanya, biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa" kata Karebet.

"Kalau dilihat dari trah Trenggana, misalnya Sultan Trenggana lengser kaprabon, masih ada dua orang yang lebih berhak menjadi raja, urutan pertama adalah anak Sultan Trenggana, yang bernama Bagus Mukmin yang biasa dipanggil Pangeran Arya, sedangkan urutan kedua adalah Pangeran Hadiri atau Pangeran Hadirin, menantu Sultan Trenggana" kata Kebo Kanigara.
"Karebet, kalau kau menjadi menantu Sultan Trenggana, kau akan berada di urutan yang ketiga, kau dan Pangeran Hadiri adalah sama-sama menantu Sultan Trenggana, tetapi Pangeran Hadiri berada di urutan yang lebih tua, sehingga dia lebih berhak atas tahta Demak" kata uwanya.
"Sedangkan anak bungsu Sultan Trenggana, adik Sekar Kedaton yang benama Pangeran Timur, masih terlalu kecil, sehingga kelihatannya masih terlalu jauh untuk dimasukkan kedalam persaingan perebutan tahta Kasultanan Demak" kata Kebo Kanigara.
Karebet mendengarkan semua perkataan uwanya dengan penuh perhatian.
"Satu lagi yang harus kau perhitungkan adalah Penangsang, putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen" kata uwanya.

"Karebet, ada dua trah yang bersaing di dalam Kraton Demak, trah Trenggana bersaing dengan trah Sekar Seda Lepen" cerita uwanya.
"Raden Patah, Sultan Demak pertama mempunyai empat anak, anak yang pertama Pangeran Pati Unus yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabang Lor, dia menjadi Sultan Demak yang kedua menggantikan Raden Patah" lanjut cerita uwanya.
"Anak Raden Patah yang kedua Pangeran Suryawiyata, telah dibunuh oleh Pangeran Arya, kemudian namanya lebih dikenal sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen, Pangeran Sekar yang meninggal di tepi sungai, dia adalah ayahanda Penangsang" cerita uwanya.
"Anak Raden Patah yang ketiga Pangeran Trenggana yang menjadi Sultan Demak yang ketiga menggantikan Pati Unus, sedangkan anak Raden Patah yang keempat perempuan, Ratu Mas dan saat ini berada di Cirebon" kata Kebo Kanigara menjelaskan panjang lebar.
"Penangsang juga berhak atas tahta, kalau saja ayahnya, Pangeran Sekar Seda Lepen tidak dibunuh oleh Pangeran Arya, sepeninggal Pati Unus sebagai Sultan Demak kedua, kemungkinan Pangeran Sekar Seda Lepenlah yang akan menjadi Sultan Demak ketiga, bukan Trenggana" cerita uwanya.
"Ayahanda Penangsang, Pangeran Sekar Seda Lepen meninggal karena ditusuk keris Kyai Brongot Setan Kober" kata Kebo Kanigara.
"Keris Kyai Setan Kober?" tanya Karebet.
"Ya, Pangeran Suryawiyata, ayah dari Penangsang mati ditusuk keris Kyai Setan Kober  oleh Pangeran Arya" kata Kebo Kanigara.

"Pangeran Suryawiyata atau sering disebut dengan Pangeran Sekar pada saat meninggal, berada di tepi sungai, sehingga ia disebut juga Pangeran Sekar Seda Lepen" Kebo Kanigara berhenti sebentar, dan iapun menarik napas dalam-dalam.
"Keris Kyai Setan Kober adalah keris pusaka milik Kanjeng Sunan Kudus, keris itu dipinjam Pangeran Arya lewat istri Sunan Kudus, tanpa sepengetahuan Kanjeng Sunan Kudus, lalu keris itu dipakai untuk membunuh Sekar Seda Lepen, dan saat ini keris Kyai Setan Kober berada di Panti Kudus" kata Kebo Kanigara.
"Karena Pangeran Sekar Seda Lepen telah meninggal, dan saat itu anaknya yang bernama Penangsang masih kecil, dan ketika Pati Unus yang menjadi Sultan Demak kedua telah meninggal, maka Pangeran Trenggana lah yang menjadi Sultan Demak ketiga" kata uwanya.
"Aku tidak tahu apakah saat ini Arya Penangsang sudah mengetahui siapa pembunuh ayahnya, tetapi selama Sultan Trenggana masih hidup, Arya Penangsang tidak akan mampu membalas dendam atas kematian ayahnya karena Penangsang tidak akan mampu mengimbangi ilmu Sultan Trenggana dan Penangsang tidak mau menentang raja, karena bisa dianggap sebagai pemberontak, yang harus melawan seluruh kekuatan prajurit Kasultanan Demak" kata uwanya.
"Nah itulah alur cerita dari trah Sekar Seda Lepen, dan kalau diurut dari Raden Patah, garis keturunan langsung anak laki-laki saat ini hanya ada tiga, Penangsang, Pangeran Arya dan Pangeran Timur yang saat ini masih anak-anak" cerita uwanya.

"Tidak ada yang tahu isi hati orang lain, mungkin pada suatu saat nanti Penangsang juga mempunyai keinginan menjadi raja, karena ia adalah anak laki-laki keturunan langsung dari Raden Patah, Sultan Demak pertama dan melihat watak Penangsang yang pemarah dan tak kenal takut, maka tidak mungkin dia akan membiarkan ayahnya mati dibunuh tanpa balas, diamnya Penangsang saat ini adalah seperti api dalam sekam, dendamnya akibat ayahnya dibunuh Pangeran Arya, suatu saat nanti pasti akan meledak" kata uwanya.
"Nah Karebet, jangan kau anggap ringan Penangsang, kau jangan membuat persoalan dengan dia, saat ini kedudukanmu belum sejajar dengan Penangsangn dan hindari semua pertentangan dengan Penangsang, selama kau belum menjadi menantu Sultan Trenggana" kata uwanya.
"Kau dengan Penangsang mempunyai ilmu kanuragan yang seimbang, hanya yang sabar dan cerdik, yang akan mendapat kemenangan, itulah gambaran keadaan yang nanti akan kau hadapi, kalau kau menjadi menantu Sultan Trenggana" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, akan saya perhatikan" kata Karebet.
"Satu lagi Karebet, kau jangan melakukan kesalahan sekecil apapun, yang bisa menyebabkan semua yang telah kita rencanakan menjadi berantakan" kata uwanya.
"Baik wa, aku akan lebih berhati-hati" kata Karebet.
"Aku akan selalu dibelakangmu, nanti akan kita pikirkan langkah-langkah selanjutnya" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, setelah ini siwa akan kemana ?" tanya Karebet
"Aku saat ini berada di sekitar kotaraja hingga sekitar satu candra lagi" jawab Kebo Kanigara.
"Kalau ada sesuatu yang penting, bagaimana saya bisa menghubungi siwa Kebo Kanigara ?" tanya Karebet.
"Disini, di tempat ini kau letakkan batang kayu ini dibawah rumpun bambu itu, maka aku yang akan mencarimu di kotaraja dengan suara burung Kedasih. Ingat Karebet, aku akan menirukan suara burung Kedasih" kata uwanya.

"Kalau kau dengar suara burung Kedasih, kau keluar menuju ke arah jalan ini" kata Kebo Kanigara.
"Baik wa" kata Karebet.
"Saat ini kita hanya bisa menunggu tindakan yang dilakukan oleh Sultan Trenggana tentang hubunganmu dengan Sekar Kedaton, nah Karebet, matahari hampir tenggelam, kita berpisah dulu, kalau ada sesuatu yang penting, segera kau kabari aku" kata Kebo Kanigara sambil memakai capingnya.
"Baik wa, sekarang saya akan pulang ke dalem Suranatan" kata Karebet.
Setelah mencium tangan Ki Kebo Kanigara, maka merekapun berpisah, Karebet berjalan ke arah utara, menuju dalem Suranatan, sedangkan Kebo Kanigara berjalan ke arah selatan.
Karebet berjalan terus memasuki kotaraja dan tak lama kemudian Karebetpun sudah masuk pintu gerbang dalem Suranatan.
Seperti biasanya, pamannya terlihat sedang duduk di lincak didepan rumah.
"Kau baru pulang Karebet" kata Ki Ganjur ketika Karebet sampai didepan pintu.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Rombongan Kanjeng Sultan sudah pulang dari hutan Prawata" kata Ki Ganjur.
"Kapan rombongan Kanjeng Sultan lewat didepan ?" tanya Karebet.
"Baru saja" kata pamannya.
"Ya paman, sekarang aku mau mandi dulu" kata Karebet langsung masuk kedalam rumah.

Setelah mandi dan membersihkan badan, maka Karebetpun kemudian duduk pula disebelah Ki Ganjur.
"Kau bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga ?" tanya Ki Ganjur.
"Ya paman, aku bertemu Kanjeng Sunan" kata Karebet"
"Bagus, belajarlah mengaji ke Kadilangu" kata Ganjur.
"Ya paman" kata Karebet.
"Kau tidak makan ? Masih ada nasi didalam gledeg" kata pamannya.
"Tidak paman aku tidak lapar" kata Karebet.
Keduanya lalu berbincang-bincang sampai mendekati wayah sepi wong.
"Karebet, aku akan tidur" kata Ki Ganjur.
"Ya paman, aku juga sudah mengantuk" kata Karebet, dan merekapun masuk ke dalam rumah.
Malam semakin larut, suara kentongan yang dipukul dengan nada dara muluk telah terdengar, dua orang yang berada di rumah paman Ganjur di dalem Suranatanpun telah tertidur nyenak.
Matahari telah muncul di langit sebelah timur, semakin lama semakin tinggi.
Pagi yang cerah, Karebet berjalan menuju ke Kraton, untuk mengawali tugasnya sebagai seorang Lurah Wira Tamtama setelah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan.
Ketika Karebet memasuki pintu gerbang Kraton, penjaga pintu gerbang menyalaminya, penjaga itu berdecak kagum padanya, ternyata cerita Karebet membunuh kerbau liar yang mengamuk, sudah tersebar ke semua prajurit di kotaraja, apalagi sepulang dari hutan Prawata, ada enam orang prajurit yang terluka ketika melawan amukan kerbau liar.

"Kau luar biasa Karebet, kerbau itu mati terkena pukulan tanganmu" kata penjaga pintu gerbang Kraton.
"Sebetulnya kerbau itu sudah terlalu lelah setelah dikeroyok belasan prajurit, sehingga ketika tiba giliranku, aku menjadi agak mudah mengalahkannya"  kata Karebet sambil tertawa.
Prajurit itu tersenyum, dia sama sekali tidak percaya atas penjelasan karebet.
"Kau sudah menjadi Lurah Wira Tamtama lagi ?" tanya prajurit itu.
"Belum, mudah-mudahan nanti Ki Tumenggung Gajah Birawa memberi aku sebuah selendang cinde berwarna merah" kata Karebet sambil tersenyum.
Prajurit penjaga pintu gerbangpun tertawa tetapi tetap saja ia masih heran akan kekuatan yang dimiliki oleh Karebet,
Belasan prajurit terlatih yang dipimpin oleh Rangga Pideksa, tidak bisa mengalahkan seekor kerbau liar, malah enam orang prajurit telah terluka, tetapi akhirnya Kerbau itu mati terkena pukulan telapak tangan Karebet.
Prajurit itu masih memandang Karebet yang berjalan menjauh menuju ruang Wira Tamtama.
Karebetpun melanjutkan langkahnya menuju ruang Wira Tamtama untuk menemui Ki Tumenggung Gajah Birawa.
Karebetpun berjalan menuju ruang Wira Tamtama, didalam ruangan hanya ada seorang prajurit Wira Tamtama.
"Saya akan menunggu kedatangan Ki Tumenggung Gajah Birawa" kata Karebet.
Beberapa saat kemudian Tumenggung Gajah Birawa datang di ruang Wira Tamtama, kemudian Ki Tumenggungpun menyuruh Karebet supaya mendekat.
"Karebet, seperti keputusan Kanjeng Sultan kemarin, kau sudah mendapat pengampunan, mulai hari ini kau kembali bertugas sebagai seorang Lurah Wira Tamtama" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Terima kasih Ki Tumenggung" kata Karebet.

Lalu Ki Tumenggungpun mengambil sebuah bungkusan dan diberikan kepada Karebet.
"Itu pakaian Lurah Wira Tamtama milikmu yang dulu, masih aku simpan, sekarang bisa kau pakai lagi" kata Ki Tumenggung sambil memberikan pakaian milik Karebet.
"Untuk hari ini, sementara kau bertugas di ruang dalam, untuk selanjutnya, tugasmu nanti akan diatur sesuai kebutuhan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Sekarang kau bisa mulai bertugas di ruangan dalam" kata Ki Tumenggung.
"Terima kasih Ki Tumenggung, saya ke ruang dalam dulu" kata Karebet setelah menerima pakaian Lurah Wira Tamtama miliknya.
Karebetpun segera keluar dari ruangan Wira Tamtama dan menuju ruang ganti pakaian dan selanjutnya berjaga di ruang dalam.
Tumenggung Gajah Birawa memandang Karebet sampai hilang dibalik pintu, dan Ki Tumenggung yang pernah mencoba beradu kekuatan melawan Karebet, menjadi semakin heran dengan kekuatan Karebet yang mampu membakar kepala kerbau dengan sekali pukulan telapak tangan.
"Hm Karebet memang berilmu tinggi" kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati.

"Hm Karebet memang berilmu tinggi" kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati.
Matahari terus merambat naik, menjelang tengah hari, Karebet bersama seorang prajurit lainnya yang berjaga, melihat Nyai Madusari keluar dari Kaputren menuju ke arah ruang dalam.
"Mau kemana Nyai Madusari" tanya Karebet.
"Mau ke ruang dalam Karebet, eh Ki Lurah" jawab Nyai Menggung.
"Silahkan nyai" kata Karebet mempersilahkan.
"Ki Lurah, saya akan menghadap Gusti Kanjeng Prameswari, Gusti Putri, mohon ijin untuk menghadap ibundanya" kata Nyai Madusari selanjutnya.
Karebet tersenyum, kalau diijinkan menghadap Kanjeng Prameswari, sebentar lagi Sekar Kedaton akan lewat dipintu yang dijaganya.
Nyai Madusari masuk ke ruang dalam, berbicara sebentar dengan emban Prameswari, dan tak lama kemudian Nyai Madusari keluar dari ruang dalam dan berhenti didepan Karebet, lalu iapun berkata :"Sebentar lagi Gusti Putri akan menghadap Kanjeng Prameswari"
"Ya nyai" kata Karebet.

Nyai Madusari segera berjalan menuju Kaputren, dan tak lama kemudian terlihat dua orang keluar dari pintu Kaputren.
Nyai Madusari bersama Sekar Kedaton Mas Cempaka berjalan menuju ruangan dalam, menghadap Kanjeng Prameswari.
Ketika sampai didepan Karebet, Nyai Madusari mengajak penjaga yang lain untuk berbicara, sedangkan Sekar Kedaton berhenti didepan Karebet, dan perlahan-lahan Putri Mas Cempakapun berkata :"Kau selamat Karebet"
"Ya Gusti Putri, saya baik-baik saja" jawab Karebet.
"Kau tambah kurus Karebet" kata Mas Cempaka.
Karebet tersenyum, Sekar Kedaton melihat senyum Karebet merasa, senyum inilah yang dirindukan selama ini, senyum yang telah membuatnya nyaman sekaligus membuatnya mabuk kepayang.
"Ya Gusti Putri, janji saya untuk kembali ke kotaraja sudah saya tepati" kata Karebet.
"Ya, tapi terlalu lama Karebet" kata Mas Cempaka.
"Kesempatan baru datang sekarang Gusti Putri" kata Karebet.
Sekar Kedaton hanya tersenyum mendengar perkataan Karebet.
"Saya dengar Gusti Putri jatuh sakit" kata Karebet selanjutnya.
"Ya, itu semua gara-gara kau Karebet" kata Sekar Kedaton sambil tersenyum.
"Sebetulnya sejak aku sakit, kesalahanmu sudah diampuni oleh ayahanda Sultan, Karebet" kata Mas Cempaka.

Sekar Kedaton melihat sekelilingnya, dilihatnya prajurit yang satu lagi masih berbincang dengan Nyai Madusari, dan ketika tidak ada seorangpun yang memperhatikannya maka Putri Mas Cempaka berbisik :"Kau berani membawa aku lari keluar dari Kraton Karebet ?"
Karebet terkejut mendengar tantangan Sekar Kedaton, dengan hati-hati ia menjawab :"Gusti Putri, bukannya saya tidak berani, tetapi nanti Kanjeng Prameswari bisa menangis tiga hari tiga malam kalau mengetahui Gusti Putri hilang, bersabarlah Gusti Putri".
"Baiklah Karebet, aku akan bersabar dua tiga candra lagi, kalau tidak ada perubahan, paling lambat tiga bulan lagi kau harus membawa aku meninggalkan Kraton, kemanapun kau pergi, aku ikut Karebet" kata Sekar Kedaton sambil tersenyum.
"Karebet, aku akan menghadap Kanjeng Ibu dulu" kata Gusti Putri, lalu bersama Nyai Madusari, keduanya menuju ruang dalam.
Demikianlah waktupun berjalan terus, matahari terbit di ufuk timur, tenggelam di cakrawala barat, gelappun menyelimuti bumi, bulanpun malu-malu bersembunyi dibalik awan.
Hari berganti hari, setiap hari Gusti Putri Mas Cempaka menghadap ibundanya, dengan berbagai macam alasan, dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya, sehingga membuat Kanjeng Prameswari cemas.
Selama tiga pasar, sejak Karebet bertugas di Kraton, setiap hari Sekar Kedaton berkunjung ke ibundanya, dan ini membuat Kanjeng Prameswari memberanikan diri membicarakannya dengan Kanjeng Sultan.

Pada malam harinya, Kanjeng Prameswari berkata kepada Kanjeng Sultan :"Mohon ampun Kanjeng Sultan, kalau diperkenankan hamba ingin berbicara"
"Kau ingin bicara apa Ratu" kata Kanjeng Sultan Trenggana.
"Mengenai anak kita, Sekar Kedaton Kanjeng Sultan" kata Kanjeng Prameswari.
"Ada apa dengan Cempaka, Ratu"
"Apakah tidak sebaiknya Kanjeng Sultan mulai memikirkan kelanjutan hubungan Sekar Kedaton dengan Karebet" kata Kanjeng Ratu.
"O soal Cempaka dan Karebet, aku sudah memikirkan, malah bukan hanya itu, aku juga sudah memikirkan yang lain, aku merencanakan membangun empat buah bangunan baru, yang berupa bangunan pesanggrahan dua buah, yang berupa bangunan Kadipaten dua buah" kata Sultan Trenggana.
"Bangunan itu nanti akan aku berikan untuk anak kita Pangeran Arya, untuk menantu kita Pangeran Hadiri, untuk keponakan kita Penangsang dan untuk calon menantu kita Karebet" kata Kanjeng Sultan.
"Sedangkan untuk anak kita yang bungsu, Pangeran Timur kita pikirkan besok karena dia masih terlalu kecil" kata Kanjeng Sultan selanjutnya.

"Mereka berempat akan dibuatkan bangunan untuk pesanggrahan dan kadipaten ? Didaerah mana Kanjeng Sultan" tanya Kanjeng Prameswari.
"Yang sudah aku tentukan baru satu, Arya Penangsang akan menjadi Adipati di Jipang Panolan, sedangkan Pangeran Arya, Pangeran Hadiri dan Karebet belum aku tentukan, karena besok aku baru akan membicarakannya dulu dengan Patih Wanasalam" kata Kanjeng Sultan.
"Terima kasih Kanjeng Sultan" kata Kanjeng Prameswari.
"Mungkin lusa Karebet akan aku tanya mengenai sikapnya terhadap Cempaka" kata Kanjeng Sultan selanjutnya.
Keesokan harinya, Kanjeng Sultan memberi perintah kepada seorang prajurit yang berjaga di ruang dalam.
"Panggil Patih Wanasalam, supaya menghadap sekarang" kata Kanjeng Sultan.
Prajurit itupun segera pergi ke Kepatihan menemui Ki Patih Wanasalam.

(bersambung)



Minggu, 17 Agustus 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 14

BAB 6 : PENGAMPUNAN 1

Karya : Apung GWAP

"Kedua orang prajurit sandi itu sedang membawa sebuah ploncon untuk tempat menancapkan songsong kerajaan di dalam gubug Kanjeng Sultan" kata Karebet dalam hati.
Karebet melihat sekelilingnya, tidak ada yang menarik perhatiannya, hanya dua ekor kuda yang dipakai oleh petugas sandi dari kotaraja terikat pada sebuah dahan pohon.
Kemudian Karebetpun perlahan-lahan berjalan meninggalkan perkemahan dan berjalan kembali ke tempat semula, tempat Ki Wuragil dan kedua temannya yang sedang menunggu di tepi hutan.
Perjalanan kembali menuju tempat semula menjadi lebih cepat, hanya tinggal berjalan berbalik arah melalui jalan yang sudah dilewati tadi. Jalan yang sudah ada jejak berupa ranting pohon maupun sulur-sulur yang terpotong oleh pedang pendeknya.
Tidak beberapa lama kemudian Karebetpun telah sampai ditempat semula dan dijumpainya Ki Wuragil seorang diri.
"Kerbaunya sudah dapat, seekor kerbau jantan yang besar" kata Ki Wuragil.
"Sekarang kerbaunya berada dimana ?" tanya Karebet.
"Kerbau itu sekarang berada di sebelah gerumbul sebelah selatan sungai kecil, sedang diawasi oleh Mas Manca" jawab Ki Wuragil
"Lalu Jaka Wila kemana" tanya Karebet lagi.
"Dia sedang membersihkan binatang buruannya disungai" kata Ki Wuragil.
"Jaka Wila bisa mendapatkan seekor kijang ?" tanya Karebet.
"Agak lebih kecil sedikit, dia mendapatkan seekor kancil" kata Ki Wuragil.

Kemudian mereka berdua berjalan menuju sebelah gerumbul dan disana terlihat Mas Manca sedang duduk mengawasi seekor kerbau liar yang sedang berada di balik gerumbul.
"Itu kerbaunya, baru saja ia keluar dari sungai" kata Mas Manca
Ya, kita awasi dan ikuti terus sampai besok pagi" kata Karebet.
"Ya, nanti kita bergantian mengawasi kerbau itu" kata Mas Manca.
"Kita mengawasi jangan terlalu dekat, kalau sampai terlihat, dia bisa mengejar kita" kata Karebet.
Tak lama kemudian Jaka Wila datang mendekat dengan membawa beberapa bungkusan daun pisang yang berisi daging kancil yang sudah dibersihkan dan dipotong menjadi potongan kecil-kecil.
"Kijangnya tidak ada, yang ada hanya seekor kancil jantan, ukurannya agak besar, bisa untuk makan kita berempat sekarang dan nanti malam" kata Jaka Wila.
"Jagung dan ubinya masih ada di bungkusan" kata Karebet.
"Ya, coba kalau kita kemarin membawa kendil yang terbuat dari gerabah, jagung dan ubinya bisa kita rebus" kata jaka Wila.
"Kalau kita membawa kendil, sudah hancur kena senggol ekor buaya" kata Mas Manca.
"Aku akan membuat api" kata Jaka Wila selanjutnya.
"Membakarnya agak jauh dari kerbau, jangan sampai kerbaunya melihat dan mengejarmu" kata Ki Wuragil.
Jaka Wila berjalan menjauh sambil membawa daging kancil, beberapa buah jagung dan ubi kayu.
"Pekerjaan kita angon kerbau sampai besok pagi" kata Ki Wuragil.
"Ya kita ikuti terus kemanapun kerbau itu pergi" kata Mas Manca.

Tidak beberapa lama, Jaka Wila datang mendekat, dan sesaat kemudian mereka bertiga makan jagung, ubi, dan daging bakar, sedangkan Mas Manca tetap berdiri mengawasi kerbau liar yang masih di balik gerumbul.
"Kita makan bergantian" kata Ki Wuragil.
"Kita makan daging separo saja, yang separo kita makan nanti malam" kata Jaka Wila.
Matahari berjalan terus ke arah barat, dan saat itu matahari sudah hampir tenggelam.
"Pada saat sore hari seperti ini Kanjeng Sultan sudah tiba ke perkemahan, dan pada waktu nanti malam, Kanjeng Sultan sudah mulai berburu, dan pulang ke perkemahan biasanya besok pagi" kata Karebet.
Mereka berempat terus bergeser, mengikuti kemanapun kerbau itu bergerak.
Matahari sudah tenggelam di cakrawala, malam ini langit diatas hutan Prawata dihiasi bulan yang bulat, bulan purnama penuh, suasanapun tidak gelap gulita, ada sedikit sinar yang memudahkan keempat orang itu mengawasi kerbau liar yang sedang beristirahat.
"Kita mengawasi bergantian, biar sekarang aku yang mengawasi, nanti menjelang tengah malam, Jaka Wila dan Mas Manca yang bergantian menjaganya" kata Ki Wuragil ,
Sisa daging yang masih separo, yang dibakar tadi siang telah habis dimakan bersama jagung dan ubi.
Malam itu semuanya berjalan seperti biasanya, bulan yang telah bersinar terang, dan ketika menjelang fajar menyingsing, terdengar kicau burung dan kokok beberapa ayam hutan.
Langit telah semakin terang, mereka berempat pun bergantian membersihkan diri untuk bersiap mengerjakan sebuah pekerjaan penting, memancing kerbau liar ke perkemahan Kanjeng Sultan.
Setelah selesai membersihkan diri, maka Karebetpun mengutarakan rencananya.
"Aku akan berangkat ke perkemahan lagi, memastikan apakah Kanjeng Sultan sudah kembali" kata Karebet.
Kalian tetap disini mengawasi kerbau liar itu, aku berangkat sekarang" kata Karebet dan iapun berjalan menuju perkemahan Kanjeng Sultan.

Perjalanan menyusurui jalan yang pernah dilalui, bisa lebih cepat, tidak beberapa lama Karebetpun sudah berada di balik sebatang pohon di dekat perkemahan.
Perkemahan masih sepi, Kanjeng Sultan belum pulang dari berburu, dan Karebetpun dengan sabar menunggu kedatangan Kanjeng Sultan.
Karebet tidak perlu menunggu terlalu lama, sesaat kemudian terdngar suara gaduh, belasan orang berjalan mendatangi perkemahan.
"Ternyata yang berjalan bersama Kanjeng Sultan adalah Ki Tumenggung Gajah Birawa dan Ki Tumenggung Gagak Anabrang" kata Karebet dalam hati.
Karebetpun beringsut mundur, dia merasa terlalu berbahaya kalau terlalu lama berada sekitar perkemahan.
"Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi, terutama ilmu Kanjeng Sultan" kata Karebet dan iapun segera meninggalkan perkemahan menuju ke tempat teman-temannya yang masih menjaga kerbau liar.
Cepat sekali perjalanan yang dilakukan Karebet, sesaat kemudian Karebetpun telah tiba di tempat Ki Wuragil yang sedang mengawasi kerbau liar.
Setelah mereka bertemu, Karebetpun berkata :"Aku akan memancing kerbau itu ke dekat perkemahan, kalian mengikuti kerbau itu dari belakang"
Setelah berkata demikian, Karebet mengambil sebuah ranting pohon yang agak panjang, lalu iapun berjalan mendekati kerbau yang berada dibalik gerumbul perdu.
Ketika kerbau liar itu melihat seseorang mendekat sambil mengacungkan ranting pohon seperti akan memukulnya, maka kerbau itupun menganggapnya sebagai lawan dan berlari mengejarnya.
Sesaat setelah kerbau itu mengejar, ternyata orang yang dikejarnya menghilang, sehingga kerbau itupun berhenti sambil menanti lawannya muncul lagi.
Tidak beberapa lama lawannya muncul lagi jauh didepan, maka kerbau itupun mengejarnya, dan ternyata beberapa saat setelah lari, lawannya menghilang lagi.

Setelah Karebet berhasil memancing kerbau liar beberapa kali mengejarnya, dan saat ini sudah tidak terlalu jauh dari perkemahan, maka mulailah Karebet akan berbuat sesuatu seperti yang di perintahkan oleh Ki Buyut Banyubiru.
Maka dibuanglah ranting pohon yang dipakai untuk menggoda kerbau kemudian Karebetpun mengeluarkan sebuah kantong kain kecil pemberian Ki Buyut Banyubiru, dan dari dalam kantong itu, iapun mengambil segumpal tanah liat.
Tanah liat itu dipegang dengan tangan kanannya, dan Karebetpun menggoda kerbau supaya menyerangnya.
Kerbau yang telah melihat lawan didepannya, maka iapun menyerang, dengan cepat Karebet menghindar ke sebelah kanan, ketika kerbau berbalik, maka dengan cepat Karebet melompat disebelahnya dan memasukkan segumpal tanah liat kedalam telinga kerbau.
Kerbaupun semakin marah, kepalanya digoyang-goyangkan, di geleng-gelengkan untuk mengeluarkan benda yang masuk di telinganya.
Setelah beberapa saat telinganya masih tersumbat, maka kemarahan kerbau liar tertumpah pada lawannya, maka dengan cepat diserangnya lawan yang berada didepannya.
Karebet menghindar melompat kesamping, kerbau itupun mengejarnya, maka Karebetpun lari menuju perkemahan.
Kerbaupun dengan cepat membalikkan badannya lalu dengan cepat berlari mengejar lawannya.
Kerbau liar yang marah karena telinganya disumbat dengan tanah liat, tidak mengetahui lawannya telah menghilang bersembunyi di belakang sebatang pohon, maka kerbau itupun dengan cepat terus berlari lurus masuk ke perkemahan.
Setelah berhasil memancing seekor kerbau liar masuk ke dalam perkemahan Kanjeng Sultan, maka Karebetpun kemudian menemui Ki Wuragil beserta Mas Manca dan Jaka Wila.
"Ki Wuragil, Mas Manca dan kau Jaka Wila, aku akan masuk ke perkemahan, mudah-mudahan perhitungan

Ki Buyut Banyubiru tidak salah, kalian tunggu di tikungan sungai kecil di sebelah barat perkemahan, setelah selesai, aku akan kembali menemui kalian" kata Karebet.
"Baiklah" kata mereka bertiga.
Kemudian Karebetpun segera kembali menuju perkemahan, sedangkan Ki Wuragil beserta kedua temannya berjalan menuju tikungan sungai di sebelah barat perkemahan.
Pada saat yang bersamaan, di perkemahan hutan Prawata, suasana masih ramai, Kanjeng Sultan Trenggana baru saja pulang dari berburu bersama beberapa orang perwira dan prajurit Wira Tamtama.
Enam orang prajurit sudah siap akan mengangkat tiga ekor kijang hasil buruan, yang akan dibersihkan di pinggir sungai kecil di dekat perkemahan.
Kanjeng Sultan baru saja memasuki gubugnya, dan ketika sedang berbicara dengan Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Gagak Anabrang, tiba-tiba di luar terdengar suara gaduh, suara benda-benda jatuh berderak, suara para prajurit yang terkejut berteriak, lalu ada prajurit yang berteriak supaya semua bersiaga.
"Ada apa ?" tanya Sultan Trenggana kepada Tumenggung Gajah Birawa.
Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Gagak Anabrang keluar dari gubug, dilihatnya sebuah gubug yang dihuni para prajurit hampir roboh diamuk oleh seekor kerbau liar.
"Ada seekor kerbau liar yang mengamuk di perkemahan, Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Sultan Trengganapun berjalan keluar, dilihatnya seekor kerbau sedang mengamuk dan melemparkan seorang prajurit Wira Tamtama.

Mengetahui Sultan Trenggana telah keluar dari gubug, maka Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Gagak Anabrang bergeser, keduanya lalu berdiri disamping kanan dan kiri Kanjeng Sultan.
Seorang prajurit dengan tergesa-gesa mengambil bendera Gula Kelapa, yang tertancap di depan gubug Kanjeng Sultan, untuk diselamatkan dari amukan kerbau.
"Awas Ki Rangga !!" teriak seorang prajurit ketika melihat kerbau itu berlari akan menerjang seorang Rangga yang sedang tertegun karena melihat gubugnya telah diobrak abrik dan dinding gubugnya roboh hampir menimpanya.
Orang itu, Ki Rangga Pideksa dengan cepat melompat kesamping, dan iapun segera berusaha menghindar dari tandukan kerbau yang mengamuk itu.
Sebuah gubug telah porak poranda dan hampir rata dengan tanah.
Semua barang-barang yang berada di dalam gubug telah berserakan semuanya.
Seorang prajurit Wira Tamtama yang bertubuh tinggi besar berusaha untuk mengalihkan perhatian kerbau, ia seorang diri berani menghadapi amukan seekor kerbau liar itu.
Ketika kerbau mengobrak abrik gubugnya, iapun melompat maju didepan kerbau, dengan cepat kedua tangannya memegang tanduk kerbau, dan iapun berusaha untuk mematahkan leher kerbau.
Dengan sekuat tenaga, tanduk kerbau itu di putar ke kanan, tetapi tenaganya bukan tandingan tenaga kerbau liar yang telinganya disumbat tanah liat,
Sekejap kemudian prajurit Wira Tamtama itupun terlempar ke belakang dan jatuh disamping kerbau itu.
Prajurit itu dengan cepat melompat berdiri dan sekejap kemudian di tangannya telah tergenggam sebuah pedang pendek.
Beberapa prajurit lainnya juga telah mencabut pedangnya, mereka menghadang kerbau agar supaya tidak lari ke arah gubug Kanjeng Sultan.

Kerbau liar itupun membalikkan badannya, kemudian berlari ke arah gubug yang disebelahnya, mengobrak abrik gubug itu sehingga roboh.
Beberapa lincak, dingklik, dan beberapa bumbung berisi air dan bahan makanan, semua berserakan porak poranda di tanduk kerbau.
"Kepung kerbau itu!! " perintah Ki Rangga kepada para prajurit, dan belasan prajurit dengan menggenggam pedang, segera mengepung kerbau yang mengamuk itu.
Setelah mengobrak abrik dua buah gubug, maka kerbau liar itu berdiri di dalam kepungan belasan orang prajurit Wira Tamtama Demak.
Ki Rangga Pideksa menarik pedang pendek dari warangka yang tergantung di ikat pinggangnya dan berusaha untuk merapatkan kepungan, iapun maju selangkah, tetapi tanpa diduga tiba-tiba kerbau itupun lari ke arahnya.
Dengan cepat Rangga Pideksa menghindar kesamping, dan dengan sekuat tenaga pedangnya menusuk tubuh kerbau yang mengamuk.
Tetapi alangkah terkejutnya Ki Rangga Pideksa ketika pedangnya menusuk tubuh kerbau, ternyata kulit kerbau itu sangat liat, pedangnya tak mampu melukai kerbau itu.
Ki Rangga Pideksa melompat mundur, tempatnya digantikan oleh dua orang prajurit, seorang prajurit menusuk leher, yang seorang lagi menusuk perut kerbau dan ternyata kedua pedang itupun juga tak mampu melukai kerbau itu.
Kerbau liar meskipun ditusuk pedang, ia tidak terluka, hanya merasa kesakitan sehingga kerbaupun bertambah marah, dengan cepat ia maju kedepan, dan tandukannya berhasil melempar seorang prajurit lagi.
Sultan Trenggana yang berada di depan gubug, telah melihat belasan prajuritnya tidak mampu mengatasi amukan seekor kerbau liar, kemudian dilihatnya kerbau itupun masih mampu melemparkan seorang prajurit lagi,

Dua orang prajurit yang telah terluka terkena tanduk, dan satu orang terinjak oleh kerbau liar itu, telah dibawa menyingkir ke luar kepungan.
"Tumenggung Gajah Birawa" kata Sultan Trenggana.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Kelihatannya para prajurit tidak bisa menguasai keadaan" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
Tumenggung Gajah Birawa melihat sekelilingnya, kerbau itu masih mengamuk, korban terkena tandukannya bertambah satu lagi, dan prajurit yang terluka itupun juga telah dibawa menyingkir, diangkat ke pinggir lapangan.
Tumenggung Gajah Birawa menjadi bimbang, kalau dia maju menghadapi kerbau itu, bagaimana kalau kerbau itu berlari menuju tempat Kanjeng Sultan.
Rangga Pideksa, yang memimpin pengepungan terhadap kerbau liar menjadi berdebar-debar, empat orang prajuritnya telah terluka dan tidak mampu lagi melakukan perlawanan tehadap kerbau itu.
Sekali lagi Sultan Trenggana melihat seorang prajurit tidak mampu berdiri karena terinjak kaki kerbau, juga telah dipapah di bawa ke pinggir.
Lima orang yang telah terluka akibat amukan seekor kerbau liar, telah diangkat ke pinggir lapangan.
Ketika dilihatnya sebuah pedang yang diayunkan oleh seorang prajurit tak mampu melukai kerbau itu, Kanjeng Sultanpun menggeleng-gelengkan kepalanya sambil melihat ke arah Tumenggung Gajah Birawa.
"Hm apakah seorang Sultan Trenggana harus melawan Kebo ndanu yang mengamuk di perkemahan?" kata Kanjeng Sultan dalam hati.

Setelah melihat ke arah Tumenggung Gajah Birawa, Sultan Trenggana lalu melihat ke arah kerbau yang mengamuk, Kanjeng Sultanpun menyangsikan apakah Tumenggung Gajah Birawa mampu mengalahkan kerbau yang tak mempan ditusuk pedang oleh para prajurit Wira Tamtama.
Kelihatannya amukan kerbau itu tidak akan teratasi oleh para prajurit Demak.
Kanjeng Sultan melihat, ketika kekuatan prajuritnya masih utuh, belasan prajuritnya tidak mampu menguasai amukan kerbau liar, apalagi saat ini prajuritnya telah berkurang lima orang,
Ketika kerbau itu menyerang lagi, dua orang prajurit maju kedepan, masing-masing memegang tanduk kanan dan kiri, tak lama kemudian dua orang prajurit itupun telah terlempar kesamping.
"Kerbau ini kuat sekali, lama kelamaan prajuritku bisa habis" kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati, dan iapun bergeser menghadap ke Sultan.
"Mohon ampun Kanjeng Sultan, apakah hamba dan adi Tumenggung Gagak Anabrang diperkenankan melawan kerbau itu ?" tanya Tumenggung Gajah Birawa.
Kanjeng Sultanpun memandang Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Gagak Anabrang bergantian, dan Kanjeng Sultanpun berpikir :"Hm kalau keduanya tidak bisa mengalahkan kerbau itu, terpaksa aku sendiri yang akan melawan Kebo ndanu"
Kanjeng Sultan Trenggana tidak menjawab permintaan Tumenggung Gajah Birawa, tetapi pandangannya diedarkan melihat keadaan di sekililingnya.
Di depannya, dilihatnya seekor kerbau liar yang marah masih tegak berdiri, belum dapat di kalahkan oleh belasan prajuritnya, bahkan lima orang telah terluka.
Lalu dipandangnya Ki Rangga Pideksa, yang terlihat kewalahan mengatur perlawanan terhadap amukan kerbau liar.
Kanjeng Sultan yang mempunyai pengalaman yang sangat banyak, melihat Ki Rangga Pideksa hanya tinggal menunggu waktu kekalahannya saja,
Kanjeng Sultan yang sedang mengedarkan pandangannya, tiba-tiba melihat di ujung jalan ditepi tanah lapang, ada seorang sedang berdiri melihat para prajurit yang sedang mengepung dan berusaha mengalahkan seekor kerbau liar.

Kanjeng Sultan menajamkan pandangannya, orang itu adalah seorang anak muda yang pernah menarik perhatiannya, Karebet, yang telah bersalah membunuh Dadung Awuk dan telah diusir dari kotaraja Demak.
Karebet yang melihat pandangan Kanjeng Sultan yang pada saat itu sedang tertuju kepadanya, maka iapun segera membungkukkan badannya dalam-dalam serta mengatupkan kedua tangan didepan wajahnya, menyembah kepada Kanjeng Sultan.
Sultan Trenggana yang melihat Karebet menyembahnya seakan-akan telah menemukan sebuah jalan untuk menyelasaikan dua persoalan sekaligus, membunuh kerbau yang mengamuk dan membahagiakan putrinya, Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka.
"Tumenggung Gajah Birawa, kau lihat anak muda yang berdiri di ujung lapangan itu ? Dia adalah Karebet, kau kesana temuilah dia, bilang pada Karebet, ini perintah dari Sultan Demak, apabila Karebet mampu mengalahkan Kebo ndanu, maka semua kesalahannya yang lalu akan diampuni dan akan dipulihkan haknya sebagai Lurah Wira Tamtama" kata Sultan Trenggana.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa, lalu iapun segera berlari menuju ketempat Karebet.
Setelah sampai di ujung lapangan Tumenggung Gajah Birawa melihat Karebet membungkukkan badannya sambil berkata :"Hormat saya untuk Ki Tumenggung Gajah Birawa"
Kanjeng Sultan melihat Tumenggung Gajah Birawa berbicara dengan Karebet, sesaat kemudian Karebetpun masuk kedalam kepungan para prajurit, kemudian iapun berjalan mendekat ke arah kerbau yang baru saja melemparkan seorang prajurit lagi.
Tumenggung Gajah Birawapun segera kembali ke gubug Kanjeng Sultan.
Kerbau liar yang melihat ada seorang yang masuk mendekat menantangnya, menjadi semakin marah.
Karebet lalu membungkukkan badannya ke arah Kanjeng Sultan lalu kedua telapak tangannya di katupkan didepan wajahnya, Karebetpun menyembah Kanjeng Sultan, sesaat setelah menyembah, ia melihat kerbau liar itu berlari menerjangnya.

Kerbau liar yang melihat ada seorang yang masuk mendekat menantangnya, menjadi semakin marah.
Karebet lalu membungkukkan badannya ke arah Kanjeng Sultan lalu kedua telapak tangannya di katupkan didepan wajahnya, Karebetpun menyembah Kanjeng Sultan, sesaat setelah menyembah, ia melihat kerbau liar itu berlari menerjangnya.
Dengan cepat Karebet menghindar selangkah ke arah kanan, dan dengan cepat tangannya mengambil tanah liat dari dalam telinga kerbau liar itu.
Setelah membuang tanah liat, Karebetpun melompat ke belakang kerbau, berlari beberapa langkah, menjauh dari kerbau, dan dengan cepat dikumpulkannya semua kekuatan aji Hasta Dahana pada telapak tangannya.
Dengan mengatur pernapasannya dan memusatkan pikirannya, Karebet berusaha mateg aji Hasta Dahana.
Kerbau yang merasa kehilangan lawannya, menengok kekiri dan kekanan, lalu kerbaupun membalikkan badannya dan bersamaan dengan itu, Karebetpun telah selesai memusatkan kekuatannya.
Aji Hasta Dahana telah manjing di telapak tangan kanannya.
Tangan kanan Karebet yang sepanas bara api dari gunung Merapi siap dihantamkan pada lawannya.
Karebet bersiap sepenuhnya, ia menghadap ke arah kerbau, dan ketika kerbau itu menyerang dengan tanduknya, Karebetpun bergeser selangkah kesamping kiri, kerbau yang merasa serangannya menemui tempat kosong, segera membalikkan badannya, tepat pada saat itu telapak tangan Karebet yang dilambari aji Hasta Dahana telah menghantam kepalanya, tepat ditengah-tengah, diantara kedua tanduknya.
Sekejap kemudian, kerbaupun terjatuh, tumbang, di kepalanya telah tergambar sebuah telapak tangan berwarna hitam.

Melihat Karebet mengalahkan kerbau yang mengamuk itu dengan sekali pukulan ke arah kepala, maka para prajurit bersorak sambil mengangkat pedangnya keatas, berteriak mbata rubuh.
Sultan Trenggana terkejut, ketika melihat telapak tangan Karebet menghantam kepala kerbau, pandangan mata Kanjeng Sultan yang tajam melihat asap tipis mengepul dari kepala kerbau yang terkena telapak tangan Karebet.
"Karebet menggunakan aji yang sama seperti ketika ia membunuh Klabang Ireng" kata Kanjeng Sultan dalam hati.
Setelah melihat kerbau liar itu tidak bangun kembali, maka Kanjeng Sultan pun berkata :"Tumenggung Gagak Anabrang, kau urus para prajurit itu, nanti kalau semua sudah selesai, perintahkan Karebet supaya menghadapku"
Lalu Kanjeng Sultanpun masuk kedalam gubug diikuti oleh Tumenggung Gajah Birawa, sedangkan Tumenggung Gagak Anabrangpun berjalan menuju tempat Ki Rangga Pideksa.
Di lapangan, sebagian prajurit mengerumuni kerbau yang sudah mati, sebagian lagi mengerumuni Karebet yang baru saja mengalahkan lawannya.
Para prajurit menyarungkan pedangnya, dan mereka bergantian menyalami Karebet.
"Hai Lintang Kemukus yang jelek, kita bertemu lagi" kata seorang prajurit Wira Tamtama disebelahnya.
Karebet menoleh, dilihatnya seorang prajurit Wira Tamtama mendekatinya sambil tertawa senang.
"Kau Tumpak" kata Karebet.
Tumpakpun mendekat dan menyalaminya, hatinya senang Karebet mampu mengalahkan seekor kerbau liar.
Seorang prajurit yang lainnya, juga bertanya kepada Karebet.
"Kau baik-baik saja Karebet?" tanya seorang prajurit.
"Ya Soma, aku baik-baik saja" kata Karebet.

Somapun menyalami Karebet, tangan Karebet dipegangnya, dilihatnya, dan Somapun heran, tangan Karebet bentuknya sama seperti tangannya, tetapi tangan itu telah mampu membunuh seekor kerbau liar dengan hanya sekali pukulan di kepalanya.
"Tanganmu sama dengan tanganku, kenapa sekali pukul kerbau itu bisa mati ?" tanya Soma.
"Kerbau itu memang sengaja mengalah padaku" kata Karebet sambil tersenyum.
Terdengar tawa Soma, Tumpak dan beberapa prajurit lainnya, tetapi mereka terdiam ketika seseorang datang mendekati Karebet.
Beberapa prajurit bergeser dan berkata :"Silahkan Ki Rangga"
Orang yang datang, Rangga Pideksa yang merasa senang karena lawannya, seekor kerbau yang mengamuk telah mati, berjalan mendekati Karebet.
"Kau selamat Karebet" kata Rangga Pideksa.
"Ya Ki Rangga, atas pengestu Ki Rangga saya baik-baik saja, kata Karebet.
"Kau telah dua kali menyelamatkan aku Karebet" kata Rangga Pideksa.
Ki Ranggapun menyalami Karebet sambil menepuk pundaknya.
"Aku masih beruntung, betapa malu seorang Rangga Pideksa apabila tidak mampu mengatasi seekor kerbau yang mengamuk, untung kau telah membunuhnya" kata Ki Rangga.
"Hanya suatu kebetulan Ki Rangga" kata Karebet.
"Kemana saja kau selama ini Karebet?" tanya Ki Rangga Pideksa.
"Di Pengging Ki Rangga, kadang-kadang pergi juga ke beberapa daerah" jawab Karebet.
Ketika Rangga Pideksa dan Karebet melihat Tumenggung Gagak Anabrang mendekatinya, maka Karebetpun mengangguk hormat.
"Hormat saya untuk Ki Tumenggung Gagak Anabrang" kata Karebet.
"Selamat, kau telah kembali dilingkungan prajurit Wira Tamtama lagi, Karebet" kata Ki Tumenggung Gagak Anabrang.
"Terima kasih Ki Tumenggung" kata Karebet.
Mendengar kata Tumenggung Gagak Birawa, kalau Karebet diterima lagi menjadi prajurit Wira Tamtama, yang terlihat paling senang adalah Tumpak.

Di goyang-goyangnya kedua lengan Karebet dari belakang sambil tertawa :"Kau menjadi prajurit Wira Tamtama lagi Karebet"
Karebetpun hanya tersenyum melihat Tumpak tertawa senang.
Tumenggung Gagak Anabrang lalu berkata :"Ki Rangga Pideksa, bagaimana dengan prajurit yang terluka ?"
"Ada enam orang yang terluka Ki Tumenggung" kata Rangga Pideksa.
"Karebet kau tunggu disini dulu, aku akan menengok prajurit yang terluka bersama Ki Rangga Pideksa" kata Tumenggung Gagak Anabrang.
"Silahkan Ki Tumenggung" jawab Karebet.
Sesaat kemudian Ki Rangga Pideksa bersama Ki Tumenggung Gagak Anabrang berjalan meninggalkan Karebet.
Ketika dilihatnya beberapa orang prajurit mengerumuni kerbau yang telah mati, maka Tumenggung Gagak Anabrangpun berhenti sebentar.
Ki Tumenggungpun berdecak kagum ketika melihat di kepala kerbau ada gambar telapak tangan yang berwarna hitam.
"Luar biasa kemampuan Karebet, sekali pukul kerbau ini mati dengan kepala terbakar, di kepalanya ada gambar telapak tangan berwarna hitam, akupun tak mampu kalau harus berbuat seperti ini" kata Tumenggung Gagak Anabrang dalam hati.
Keduanya lalu melanjutkan berjalan menemui beberapa prajurit yang terluka, yang masih berada di tepi lapangan, dan sedang dirawat oleh sesama prajurit.
"Bagaimana luka kalian?" tanya Ki Tumenggung.
"Tidak apa-apa Ki Tumenggung, hanya luka ringan terkena tanduk kerbau" kata salah seorang prajurit yang pahanya sobek terkena tanduk.
Ki Tumenggung lalu berkata kepada prajurit di sebelahnya.
"Tulang kakimu patah ?" tanya Ki Temenggung.
"Tidak Ki Tumenggung, hanya sedikit terkilir, ketika jatuh dilempar kerbau kebelakang, tumpuan kakiku sedikit terpeleset" jawab prajurit itu.
"Mudah-mudahan kalian besok sudah mampu pulang ke kotaraja dengan naik kuda" kata Ki Tumenggung.
"Kalau besok mudah-mudahan sudah baik Ki Tumenggung"
Ki Tumenggung Gagak Anabrang kemudian kembali lagi ke tempat Karebet dan iapun berbicara dengan Rangga Pideksa :" Ki Rangga, kau singkirkan bangkai kerbau, Karebet akan aku ajak menghadap Kanjeng Sultan"
"Baik Ki Tumenggung" kata Rangga Pideksa.
"Ayo Karebet, kita ke gubug Kanjeng Sultan" kata Ki Tumenggung.
"Baik Ki Tumenggung" jawab Karebet.

Keduanya lalu menuju gubug Kanjeng Sultan, Karebetpun disuruh menunggu diluar, lalu Tumenggung Gagak Anabrangpun masuk kedalam gubug.
Tak lama kemudian Ki Tumenggung keluar dan menyuruh Karebet masuk kedalam gubug.
Karebet kemudian masuk kedalam gubug, didalam gubug, terlihat Kanjeng Sultan sedang duduk, dihadap oleh Tumenggung Gajah Birawa.
Tumenggung Gagak Anabrang duduk di sebuah dingklik, sedangkan Karebet, duduk di bawah, diatas anyaman daun kelapa.
Setelah duduk bersila dihadapan Kanjeng Sultan, maka Karebetpun menyembah kepada Kanjeng Sultan Trenggana.
"Karebet" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Karebet, hukuman yang aku berikan kepadamu, karena kesalahanmu membunuh Dadung Awuk, aku cabut karena kau telah membunuh Kebo ndanu" kata Sultan Trenggana
"Mulai hari ini kau telah bebas berada di kotaraja, dan mulai besok lusa kau akan kembali menjadi seorang Lurah Wira Tamtama" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh, terima kasih Kanjeng Sultan" kata Karebet sambil menyembah.
"Selama menjalani hukuman, kau pergi kemana saja Karebet0?" tanya Kanjeng Sultan
"Hamba beberapa waktu yang lalu kembali ke Pengging Kanjeng Sultan" jawab Karebet
"Kau tidak pulang ke Tingkir ?" tanya Sultan Trenggana
"Tidak Kanjeng Sultan, hamba tidak ingin melihat biyung menjadi bersedih" jawab Karebet.
"Ya, mulai besok lusa kedudukanmu sebagai lurah Wira Tamtama telah pulih kembali, nanti biar diatur oleh Tumenggung Gajah Birawa" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Karebet.
"Kau akan ke kotaraja sekarang ? Kau akan tidur dimana ?" tanya Kanjeng Sultan.
"Hamba akan ke kotaraja sekarang, dan hamba nanti akan tidur di dalem Suranatan, ikut paman Ganjur, Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Ya, kau boleh pulang sekarang" kata Kanjeng Sultan.

Setelah mengucapkan terima kasih, dan menyembah sekali lagi, maka Karebetpun keluar dari gubug Kanjeng Sultan.
Ketika Karebet telah berada diluar gubug, di lapangan telah terjadi kesibukan, beberapa prajurit berusaha mendirikan gubug yang telah roboh, sebagian lagi, beberapa orang sedang menyeret bangkai kerbau.
Karebetpun kemudian menghampiri para prajurit dan iapun berpamitan akan mendahului ke kotaraja.
"Lusa kita ketemu lagi" kata Tumpak.
"Ya" kata Karebet, dan Karebetpun segera pergi meninggalkan perkemahan.
Karebet berjalan cepat, setelah agak jauh, maka iapun menuju ke tikungan sungai di sebelah barat perkemahan, tempat ia berjanji akan bertemu dengan tiga orang temannya.
Tak lama kemudian sampailah Karebet di tikungan sungai, dan disana telah menunggu tiga orang temannya.
"Ki Wuragil, Mas Manca dan adi Jaka Wila" kata Karebet.
Mereka bertigapun bergeser maju ke depan.
"Aku sudah berhasil bertemu Kanjeng Sultan dan sudah diampuni semua kesalahanku, besok lusa aku akan dipulihkan lagi kedudukanku sebagai seorang Lurah Wira Tamtama" kata Karebet.
"Nah, sekarang aku akan ke kotaraja Demak, kalian kembali ke Banyubiru, nanti, apabila yang dikatakan Ki Buyut Banyubiru itu benar-benar terjadi dan aku bisa mendapatkan kamukten, maka kalian akan aku jemput, kalian akan ikut mukti bersamaku" kata Karebet.
Ketiga temannya mengiyakan dan merekapun senang mendengar janji seorang yang telah dikatakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga maupun Ki Buyut Banyubiru akan menjadi seorang raja di Tanah Jawa.
"Ki Wuragil, Mas Manca dan kau adi Jaka Wila, kita berpisah sekarang, aku akan pergi menuju ke kotaraja" kata Karebet.

Setelah menerima bungkusan miliknya yang berisi pakaian dan sebuah pedang pendek, maka Karebetpun menyalami ketiga temannya, setelah itu merekapun berpisah.
Ki Wuragil bersama kedua temannya kembali ke Banyubiru lewat jalan yang telah dilalui kemarin, sedangkan Karebet mengambil jalan lain.
Karebetpun berjalan bukan lewat jalan yang dilalui semula, tetapi agak ke utara, lewat jalan yang sudah terbuka, jalan yang sering dilalui rombongan berkuda Kanjeng Sultan ketika berburu ke hutan Prawata.
"Aku harus berjalan cepat, supaya sebelum matahari terbenam aku sudah sampai di kotaraja" kata Karebet dalam hati.
"Mudah-mudahan aku tidak terlambat" kata Karebet dan iapun berjalan cepat ke arah barat, bahkan kadang-kadang diselingi dengan berlari-lari kecil.
Ketika matahari hampir sampai dipuncak, Karebet baru saja tiba di tepi sebelah timur sungai Serang.
Setelah menyeberangi sungai Serang, Karebet terus berjalan ke arah kotaraja Demak, istirahat sebentar, hanya makan beberapa buah jambu air yang ditemuinya di perjalanan.
Karebet yang seakan-akan berlomba dengan bergeraknya matahari ke arah barat, membuat ia berjalan cepat bahkan kadang-kadang berlari-lari, membuat perjalanannya cepat sekali.
Ketika Karebet tiba di tepi sebelah timur sungai Tuntang, matahari masih belum terbenam, iapun menarik napas lega: "Ternyata aku belum terlambat" katanya dalam hati.
Karebetpun segera masuk ke dalam air menyeberangi sungai yang tidak terlalu dalam.
Beberapa saat kemudian, Karebet telah berada di tepi sebelah barat sungai Tuntang, selanjutnya iapun melanjutkan perjalanan menuju ke Kraton.
"Matahari belum terbenam, belum terlambat" katanya dalam hati.

Waktu terus berjalan, matahari hampir tenggelam, bergeser turun ke cakrawala sebelah barat,
Ketika senja telah membayang, Nyai Madusari baru saja keluar dari pintu Kaputren, lalu iapun keluar melalui pintu gerbang Kraton, berjalan pulang ke rumahnya, di dalem Katumenggungan.
Setelah berjalan agak jauh dari pintu gerbang, Nyai Madusari terkejut ketika dari balik sebatang pohon muncul seorang pemuda yang membawa sebuah bungkusan, seorang pemuda yang beberapa candra yang lalu telah menemuinya, lalu menghilang dan kini tiba-tiba telah berdiri sambil tersenyum didepannya.
"Kau...kau.." Nyai Madusari kaget, suaranya terputus-putus, sambil tangannya menunjuk pada pemuda itu.
Nyai Madusari seperti tidak percaya pada penglihatannya, ia lalu meng-ucak-ucak kedua matanya, tetapi betapa terkejutnya Nyai Madusari, ketika ia membuka matanya, pemuda yang membawa bungkusan yang telah dikenalnya, yang tadi berada didepannya kini telah tidak ada, hilang.
Nyai Madusari menengok sekelilingnya, tidak ada seorangpun yang berada didekatnya, sepi.
"Hilang, tidak ada, dimana dia?" kata Nyai Madusari dalam hati.
Tetapi tiba-tiba Nyai Madusari terkejut bukan buatan, ketika pundaknya terasa ada yang menepuk dari belakang.
Dengan cepat Nyai Madusari menengok kebelakang, dilihatnya seorang anak muda membawa sebuah bungkusan sambil tersenyum kepadanya.
"Kau...kau Karebet ?" tanya Nyai Madusari.
"Ya Nyai, aku Karebet" kata Karebet.
"Kau senang menggoda aku, kau senang membuat aku kaget setengah mati, kalau aku kaget, kemudian aku pingsan, nanti bagaimana coba" kata Nyai Madusari.
Karebetpun hanya tertawa mendengar kata-kata Nyai Madusari.
"Eh Karebet, saat ini kau masih menjalani hukuman dari Kanjeng Sultan, kalau ketahuan prajurit Wira Tamtama, kau bisa ditangkap" kata Nyai Madusari
"Tidak Nyai, aku kesini membawa kabar gembira" kata Karebet.
"Kabar apa Karebet ?" tanya Nyai Madusari.
"Aku sudah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan" kata Karebet.
Nyai Madusari terkejut, kemudian iapun bertanya :" Mulai kapan ?"
"Mulai hari ini" jawab Karebet.
"Hari ini Kanjeng Sultan masih berburu di hutan Prawata, belum pulang" kata Nyai Madusari.
"Ya, aku menghadap Kanjeng Sultan di hutan Prawata" jawab Karebet.
Nyai Madusari tidak menjawab, iapun masih terlihat kaget melihat Karebet berada di kotaraja.
"Besok lusa aku sudah bertugas sebagai Lurah Wira Tamtama lagi" kata Karebet meneruskan,
"Katakan kepada Gusti Putri, janjiku untuk kembali ke kotaraja telah aku penuhi" kata Karebet
"Aku akan memberitahu Gusti Putri" kata Nyai Madusari kemudian iapun berjalan kembali menuju kraton.

Langkah Nyai Madusari terayun cepat, kembali berjalan memasuki pintu gerbang Kraton.
Di pintu gerbang Kraton, prajurit penjaga menegurnya :"Kenapa kembali nyai, apakah cincinmu ketinggalan lagi Nyai Menggung ?"
Nyai Madusari menoleh ke prajurit penjaga gerbang:"Huh kau lagi"
Prajurit itupun tertawa :" Nyai, nyai, belum tua sudah mulai pikun"
Tanpa menghiraukan penjaga pintu gerbang, Nyai Madusari berjalan secepatnya menuju Kaputren.
Senja telah berlalu, langit semakin lama semakin redup, malam mulai turun, setelah bertemu dengan Nyai Madusari, saat itu Karebet sedang berjalan menuju dalem Suranatan, untuk menemui pamannya.
"Hm paman Ganjur sudah semakin tua, mudah-mudahan paman masih dalam keadaan sehat" kata Karebet dalam hati.
Dalem Suranatan sudah tidak jauh lagi, Karebet terus berjalan, sebentar lagi ia akan memasuki pintu gerbang.
Ketika Karebet akan memasuki pintu gerbang, iapun menghentikan langkahnya, karena bertepatan dengan keluarnya seekor kuda dari pintu gerbang.
Penunggangnya, Tumenggung Suranata terkejut melihat Karebet berada didepan rumahnya, sehingga Ki Tumenggung Suranatapun menghentikan kudanya.
"Kau Karebet" kata Ki Tumenggung.
"Hormat saya untuk Ki Tumenggung Suranata" kata Karebet sambil membungkukkan badannya.
"Karebet, bukankah kau sedang menjalani hukuman Kanjeng Sultan, kau tidak boleh berada di kotaraja?" tanya Ki Tumenggung Suranata.
"Ya Ki Tumenggung, tetapi saya sudah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan" kata Karebet.
Tumenggung Suranata menganggukkan kepalanya :"Sejak kapan kau mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan?"
"Mulai hari ini Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Kau menghadap Kanjeng Sultan ke hutan Prawata ?" tanya Tumenggung Suranata.
"Ya, Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Baik, soal pengampunan dari Kanjeng Sultan, besok akan aku tanyakan kepada kakang Tumenggung Gajah Birawa, sekarang kau mau kemana Karebet ?" tanya Tumenggung Suranata.
"Saya akan menemui paman Ganjur, sekalian minta ijin Ki Tumenggung untuk menginap dua malam di tempat paman Ganjur " kata Karebet.
"Ya, tidak apa-apa, silahkan saja, sekarang aku pergi dulu Karebet, aku akan ke dalem Surapaten" kata Ki Tumenggung.
"Silahkan, terima kasih Ki Tumenggung" kata Karebet.
Tumenggung Suranata menjalankan kudanya kedepan, dan kudanyapun berlari menuju dalem Surapaten, lalu Karebetpun masuk ke dalem Suranatan menemui pamannya Ganjur.
Malam itu Ganjur sedang duduk di lincak di depan rumah, pikirannya melayang-layang, ada rasa rindu kepada kakaknya, Nyai Ageng Tingkir, tetapi untuk pergi ke desa Tingkir, Ganjur merasa sudah tua, tidak mampu untuk melakukan perjalanan sendiri.

Ganjur yang sedang duduk melamun di depan rumah, mendengar langkah seseorang di dalam kamarnya, lalu disusul keluarnya seseorang keluar sambil membawa cething berisi nasi.
"Paman sudah makan ? Nasi ini boleh saya makan ?" tanya orang itu.
"Ya makanlah, aku sudah makan tadi, itu ada belut bakar dan sambal" jawab Ganjur acuh tak acuh.
Orang yang membawa cething kemudian berbalik masuk kedalam rumah lagi, dan Ganjurpun kemudian melanjutkan lamunannya yang terputus.
Sebetulnya Ki Ganjur ingin pergi ke desa Tingkir bersama keponakannya, tetapi saat ini keponakannya yang dulu pernah menjadi seorang Lurah Wira Tamtama, sedang menjalani hukuman, ia tidak lagi menjadi seorang prajurit dan telah diusir dari kotaraja Demak karena dianggap bersalah membunuh Dadung Awuk.
"Sejak dia diusir dari kotaraja, sampai sekarang tidak ada kabar beritanya, sekarang Karebet berada dimana, akupun tidak tahu" kata Ganjur dalam hati.
Tetapi kemudian Ganjurpun terkejut seperti digigit kalajengking, kalau keponakannya sedang menjalani hukuman diusir dari kotaraja, lalu orang yang keluar membawa cething tadi siapa?
Ki Ganjurpun kemudian tergesa-gesa masuk kedalam rumah.
(bersambung)