BAB 2 : WIRA TAMTAMA, PRAJURIT
PENGAWAL RAJA 2
Ditulis oleh : Apung GWAP
Suara gaduh disertai suara auman
harimau masih terdengar di gerumbul semak-semak, diselingi suara auman keras
dari aji Senggara Macan.
Tujuh orang prajurit Wira Tamtama
masih berdiri tegak, jarinya masih menggenggam pedang, tapi tangannya sudah
tidak kuat untuk mengangkatnya, sehingga pedangnya menjuntai kebawah, kakinya
gemetar tidak mampu digerakkan, apalagi untuk melangkah maju.
Mereka terpengaruh dan ketakutan
mendengar suara auman harimau dari aji Senggara Macan yang terdengar tumpang
tindih dengan auman macan gembong dari dalam gerumbul semak-semak.
Sultan Trenggana dan ketiga
Tumenggung hanya bisa menunggu dengan cemas, menunggu usaha Karebet untuk
menangkap hidup-hidup seekor harimau gembong yang badannya sebesar kerbau.
"Ternyata didalam diri Karebet,
disamping kekuatannya yang luar biasa, juga tersimpan aji Senggara Macan"
kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati.
Didalam gerumbul semak-semak
terdengar suara benturan keras, disusul oleh suara auman aji Senggara Macan,
setelah itu terdengar suara benturan dua kali berturut-turut.
Tak lama kemudian suara gaduh
didalam gerumbul semakin pelan, semakin lirih, dan sesaat kemudian suara gaduh
itupun berhenti, kembali suasana di hutan Prawata menjadi sunyi senyap.
Sesaat kemudian terdengar suara
gemerisik didalam gerumbul, dan keluarlah seorang pemuda tampan, Karebet, yang
ditangan kanan dan kirinya mengepit dua ekor anak harimau yang masih kecil,
berjalan menuju kearah Sultan Trenggana.
Setelah sampai didepan Kanjeng
Sultan, Karebet berhenti membungkuk hormat dan menanti perintah dari Kanjeng
Sultan selanjutnya.
"Karebet" kata Sultan
Trenggana. "Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Karebet.
"Kau datang kesini membawa dua
ekor gogor, dimana macan gembong sebesar kerbau yang tadi berada di
gerumbul?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan, harimau sebesar kerbau itu masih berada di dalam gerumbul semak-semak,
macan gembong itu telah pingsan" kata Jaka Tingkir.
"Mari kita lihat" kata
Sultan Trenggana.
Dengan mengempit dua ekor anak
harimau, Karebet berjalan menuju gerumbul, diikuti oleh Sultan Trenggana
beserta ketiga Tumenggung, dan dibelakangnya berjalan prajurit Wira Tamtama yang
tubuhnya hampir pulih dari pengaruh suara aji Senggara Macan.
Sultan Trenggana melihat seekor
macan gembong tergeletak pingsan didalam gerumbul hutan, harimau itu terlihat
masih bernafas, perutnya masih bergerak teratur.
"Karebet, kau apakan harimau itu?"
tanya Kanjeng Sultan. "Hamba pukul kepalanya Kanjeng Sultan" jawab
Karebet.
Sultan Trenggana menganggukkan
kepalanya, kalau Karebet mau, sekali pukul kepala macan gembong itu bisa pecah.
"Tumenggung Gajah Birawa"
kata Sultan Trenggana.
"Dawuh dalem Kanjeng
Sultan"kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Kita harus tinggalkan tempat
ini secepatnya, sebelum harimau itu sadar dari pingsannya, dan kau Karebet,
kembalikan gogor itu kepada induknya" kata Sultan Trenggana
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" jawab Karebet, lalu kedua gogor itupun dilepaskan di gerumbul
semak-semak.
Merasa dirinya sudah bebas, kedua
ekor anak harimau itu berlari menuju ketempat induknya yang masih pingsan..
"Tumenggung Gajah Birawa, kita
lanjutkan perburuan, kita berjalan menuju arah utara, dan harus menjauh dari
tempat harimau ini, karena tidak akan ada binatang buruan apapun, selama kita
berada di daerah jelajah macan gembong" kata Sultan Demak.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Rombongan Kanjeng Sultan berjalan
kembali menuju arah utara, meninggalkan harimau loreng yang masih pingsan
didalam gerumbul semak-semak.
Sambil terus berjalan, berbagai
pertanyaan berputar-putar di dalam pikiran Kanjeng Sultan dan para Tumenggung,
ketika melihat ditubuh Karebet tidak ada luka lecet sedikitpun, tidak ada bekas
cakaran ataupun bekas gigitan taring harimau.
"Hmm selain mempunyai aji
Senggara Macan, aji apalagi yang dipakai Karebet ketika menaklukkan seekor
macan gembong, tubuhnya tidak terluka sedikitpun, cakar dan gigi harimau tak
mampu melukainya" kata Kanjeng Sultan dalam hati.
Rombongan para pemburu terus
berjalan kearah utara, menjauhi daerah jelajah macan gembong
Matahari terus berjalan
perlahan-lahan kearah barat, di perkemahan yang dijaga prajurit Wira Braja dan prajurit
Wira Manggala, serta dipimpin oleh Panji Kertapati terlihat sunyi, hanya
terlihat dua orang prajurit Wira Braja yang berjaga di depan perkemahan.
Di halaman, masih berdiri tegak
bendera Gula Kelapa, dan tiga buah bendera kesatuan prajurit Demak serta sebuah
bende yang dikaitkan pada sebuah tonggak kayu.
Matahari sudah condong kebarat,
prajurit Wira Braja yang bertugas melihat rombongan Kanjeng Sultan berjalan
mendekati perkemahan, dan sesaat kemudian terdengarlah suara bende yang ditabuh
beberapa kali.
Dari ketiga gubug itu, keluarlah
para prajurit dan abdi dalem untuk menyambut kedatangan Kanjeng Sultan
Rombongan pemburu memasuki
perkemahan, didepan sendiri Tumenggung Gagak Anabrang berjalan menuju gubug,
dibelakangnya Kanjeng Sultan bersama Tumenggung Gajah Birawa.
Karebet bersama beberapa prajurit
berjalan dibelakang Sultan, dengan memakai sebatang bambu Karebet beserta
seorang prajurit memanggul seekor kijang yg terkena panah Kanjeng Sultan.
Dibelakang Karebet ada lagi dua
orang prajurit yang memanggul seekor kijang lainnya.
Panji Kertapati berserta ketiga
Tumenggung mengantar Kanjeng Sultan sampai masuk ke gubugnya, setelah dua
prajurit Wira Tamtama menjaga gubug Kanjeng Sultan, maka ketiga orang
Tumenggung beserta Panji Kertapati meninggalkan gubug Kanjeng Sultan.
Beberapa prajurit dan abdi dalem
membawa kijang hasil buruan ke sebuah sungai kecil didekat perkemahan lalu
memotongnya menjadi beberapa bagian.
Malam harinya, ketika gelap
menyelimuti perkemahan di hutan Prawata, para prajurit mulai membuat perapian
untuk memanggang kijang hasil buruan.
Empat buah perapian sudah menyala,
dan daging kijang pun sudah dibagikan di setiap gubug.
Api unggun Kanjeng Sultan berada
ditengah, dikelilingi oleh tiga perapian para prajurit.
Didepan perapian, Kanjeng Sultan
menikmati sepotong daging paha kijang, didekatnya, tiga orang Tumenggung juga
sedang menikmati daging kijang yang dibakar.
Didekat api unggun yang lain,
sebagian para prajurit juga sedang menikmati daging kijang, sebagian lagi
terlihat sedang berjaga diujung tanah lapang.
Malam semakin larut, rembulan telah
bergeser ke arah barat, seberkas cahayanya menyentuh dedaunan di hutan Prawata,
empat buah perapian sudah lama padam.
Waktu berjalan terus, tiba saatnya
sang surya menggantikan tugas sang candra, semburat sinar merah membayang di
arah bang wetan. Suara kicau burungpun memenuhi perkemahan.
Ketika terdengar suara bende, maka
perkemahan menjadi terbangun, dan mulailah persiapan untuk perjalanan pulang ke
kotaraja Demak.
Matahari mulai merangkak naik, dua
orang prajurit perintis sudah berangkat, mendahului beberapa ratus langkah
didepan rombongan Kanjeng Sultan.
Ketika semilir angin pagi menyapa
pepohonan di hutan, terdengar suara bende yang ditabuh untuk pertama kalinya.
Kuda-kuda telah berbaris rapi, para
prajurit dan abdi dalem sudah siap disamping kuda masing-masing.
Kanjeng Sultanpun keluar dari dalam
gubug diapit oleh Tumenggung Gagak Anabrang dan Tumenggung Surapati,
dibelakangnya berjalan seorang prajurit membawa songsong kerajaan. Tumenggung
Gajah Birawa mempersilahkan Kanjeng Sultan untuk naik ke punggung kuda, dan
terdengarlah suara bende yang ditabuh untuk kedua kalinya, dan para prajurit
dan abdi dalem naik ke punggung kuda masing-masing.
Ketika para prajurit sudah berada
diatas punggung kuda, jumlah orang yang berpakaian abdi dalem yang semula tiga
orang, sekarang teryata hanya ada dua orang, berkurang satu orang, tetapi
jumlah prajurit Wira Tamtama bertambah satu orang.
Atas titah Sultan Trenggana, salah
seorang abdi dalem telah diangkat menjadi seorang prajurit, dan telah
diperkenankan memakai pakaian prajurit dari kesatuan Wira Tamtama.
Prajurit Wira Tamtama yang baru,
yang sekarang telah berada diatas punggung kuda, adalah seorang prajurit
berwajah tampan yang masih muda, serta mempunyai pandangan mata yang tajam,
setajam mata seekor macan kumbang.
Karebet, yang sekarang berada diatas
punggung kuda dengan memakai seragam Wira Tamtama merasa dalam hati, Kanjeng
Sultan Trenggana yang mengenalnya belum lama, tapi terasa benar, Kanjeng Sultan
telah melimpahkan kasih kepadanya.
Suara bende yang ketiga kalinya
telah terdengar, kuda Tumenggung Gagak Anabrang yang menjadi cucuk lampah telah
bergerak maju, kemudian diikuti oleh kuda para prajurit beserta dua orang abdi
dalem.
Rombongan berkuda berjalan dengan
kecepatan sedang, menuju ke arah barat dengan tujuan akhir, kotaraja Demak.
Para prajurit Wira Tamtama yang
sedang berkuda mengawal Kanjeng Sultan merasa senang, Karebet yang mempunyai
keberanian yang luar biasa, telah menjadi prajurit Wira Tamtama.
Para prajurit merasa kagum, karena
tanpa menggunakan senjata, Karebet telah berani melawan seekor macan gembong
yang badannya sebesar kerbau.
Ketiga orang Tumenggung lebih kagum
lagi, karena Karebet yang masih muda ternyata memiliki aji Senggara Macan, yang
mampu membuat para prajuritnya gemetar.
Sultan Trengganapun kagum terhadap
Karebet, yang umurnya masih muda, tapi sudah mempunyai rangkapan aji, yang
membuatnya tak terluka ketika dicakar ataupun digigit seekor macan gembong.
"Hmm ilmu kebal apakah yang
dipunyai oleh karebet?" desis Sultan Trenggana.
"Sayang sekali, aku tidak
melihat gerakan ilmu kanuragan Karebet sewaktu bertarung menaklukkan seekor
harimau loreng, kalau aku tadi bisa melihat pergulatan itu, tentu aku akan tahu
ilmu kebal yang digunakan oleh Karebet" kata Sultan Trenggana dalam hati
Sultan Trenggana pun
mengangguk-anggukkan kepalanya, menghadapi seekor macan gembong yang badannya
sebesar kerbau, memang harus mempunyai rangkapan ilmu, dan iapun merasa,
ilmunya aji Tameng Waja mampu untuk menghadapi seekor macan gembong yang ganas.
"Aji Tameng Waja milikku juga
tak mampu ditembus oleh cakaran maupun gigitan seekor harimau loreng" kata
Sultan Trenggana dalam hati.
Kuda-kuda yang berlari masih tetap
melaju dengan kecepatan sedang menuju arah barat, meninggalkan debu tebal yang
berhamburan.
"Tumenggung Gajah Birawa"
kata Kanjeng Sultan sambil memperlambat kudanya.
"Dawuh dalem Kanjeng
Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa yang merapatkan kudanya ke kuda
Kanjeng Sultan
"Nanti kita singgah lagi di
Panti Kudus" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Kemudian Tumenggung Gajah Birawa
menyuruh seorang prajurit untuk mendahului ke Panti Kudus, memberitahu Kanjeng
Sunan Kudus, kalau siang ini rombongan Kanjeng Sultan Treggana akan singgah di
Panti Kudus.
Beberapa saat kemudian seorang
prajurit keluar dari dalam barisan dan memacu kudanya menuju Panti Kudus dan
sesaat kemudian bayangannya pun sudah tidak kelihatan.
Matahari memanjat langit semakin
tinggi, debu berhamburan dari kaki-kaki kuda, dan rombongan Kanjeng Sultanpun
semakin mendekati Panti Kudus.
Beberapa saat kemudian, di Panti
Kudus, Sunan Kudus menerima prajurit Wira Tamtama yang berkuda mendahului
rombongan lainnya, untuk mengabarkan bahwa Kanjeng Sultan Treggana akan singgah
di Panti Kudus.
"Baik, segera saya persiapkan
makan siang dan tempat istirahat para prajurit" kata Sunan Kudus.
Kanjeng Sunan Kudus lalu memanggil
salah seorang santri untuk mempersiapkan keperluan rombongan Kanjeng Sultan.
Sementara itu kuda-kuda rombongan
pemburu dari Kraton Demak masih tetap berlari ke arah barat, semakin dekat
dengan tujuannya, Kudus.
Beberapa saat kemudian Tumenggung
Gagak Anabrang memperlambat laju kudanya, karena sudah mendekati Panti Kudus.
Dari jauh terlihat Kanjeng Sunan
Kudus bersama para santri, berdiri didepan Panti Kudus, siap menyambut
kedatangan Sultan Trenggana.
Sesaat kemudian rombongan berkudapun
berhenti, Tumenggung Gagak Anabrang turun dari kudanya, mempersilahkan Sultan
Trenggana turun dari kudanya, lalu bersama kedua Tumenggung yang lain, ia
mengantar Kanjeng Sultan bertemu dengan Sunan Kudus.
Setelah itu Sunan Kuduspun
mempersilahkan mereka berempat masuk ke ruangan untuk beristirahat.
Tak beberapa lama setelah dijamu
dengan beberapa buah kelapa muda dan beberapa buah lainnya, Kanjeng Sunan Kudus
berkata: "Kanjeng Sultan, saya lihat Karebet sekarang sudah memakai
pakaian prajurit Wira Tamtama, apa yang sudah terjadi?"
"Ya Kanjeng Sunan" kata
Sultan Trenggana, lalu Kanjeng Sultan menceritakan semua peristiwa yang terjadi
di hutan Prawata.
"Jadi Karebet mampu mengalahkan
seekor macan gembong yang badannya sebesar kerbau tanpa membunuhnya ?"
tanya Sunan Kudus.
"Betul Kanjeng Sunan"
jawab Sultan Trenggana.
"Saya ingin mengenal Karebet
lebih dekat, saya mohon diperbolehkan bicara berdua dengan Karebet" kata
Sunan Kudus.
"Silahkan, mau bicara di mana
Kanjeng Sunan" tanya Sultan Trenggana.
"Di ruangan sebelah saja,
silahkan Kanjeng Sultan beristirahat tetap di ruangan ini, saya tinggal ke
ruang sebelah sebentar" kata Sunan Kudus.
"Silahkan Kanjeng Sunan"
kata Kanjeng Sultan, lalu berkata kepada Ki Tumenggung :" Tumenggung Gajah
Birawa, panggil Karebet kemari, supaya segera menemui Kanjeng Sunan Kudus"
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa,
Sunan Kudus dan Tumenggung Gajah
Birawa bersama-sama keluar ruangan, Kanjeng Sunan menuju ruangan disebelah,
sedangkan Tumenggung Gajah Birawa mencari Karebet.
Beberapa saat kemudian, didalam
sebuah ruangan, Kanjeng Sunan Kudus mendengar pintu diketuk, dan sesaat
kemudian masuklah Karebet ke dalam ruangan.
"Mari, silakan masuk cah bagus,
duduklah di sini" kata Sunan Kudus.
"Terima kasih Kanjeng
Sunan" kata Karebet.
"Bagaimana keadaanmu sekarang,
bagas kewarasan Karebet ?" tanya Sunan Kudus.
"Atas doa dan pangestu Kanjeng
Sunan Kudus, saya dalam keadaan sehat" jawab Karebet.
"Kau masih sering ke
Pengging?" tanya Kanjeng Sunan.
"Kadang-kadang saya ke Pengging
Kanjeng Sunan, tetapi saya lebih sering berada di Tingkir" jawab Karebet.
"Coba kau ceritakan, sampai kau
bisa jadi seorang prajurit Wira Tamtama" kata Sunan Kudus.
Maka Karebetpun menceritakan
semuanya, kecuali tentang pertemuannya dengan Kanjeng Sunan Kaljaga, Karebet
juga tidak bercerita tentang pengembaraanya sewaktu berguru kepada orang-orang
linuwih, belajar kepada orang-orang pinunjul.
Pertemuannya dengan Kanjeng Sunan
Kalijaga sewaktu dia sedang menunggu padi gaga, lalu Kanjeng Sunan Kalijaga
mengatakan besok ia akan menjadi raja, dan tentang pengembaraannya ke berbagai
sudut Kasultanan Demak, berguru untuk mendapatkan aji jaya kawijayan, tidak
diceritakan kepada Sunan Kudus.
"Kau belajar olah kanuragan
dimana Karebet ? Siapa yang mengajarimu ?" tanya Sunan Kudus.
"Di desa Tingkir, Kanjeng Sunan,
yang mengajari adalah siwa Kebo Kanigara, ia kakak dari ayahanda Kebo
Kenanga" jawab Karebet.
"Kau belajar ilmu perguruan
Pengging?" tanya Sunan Kudus.
"Ya Kanjeng Sunan" kata
Karebet
"Lalu harimau yang kau kalahkan
itu masih hidup?" tanya Kanjeng Sunan.
"Masih hidup Kanjeng Sunan,
macan gembong itu hanya pingsan saja" jawab Karebet.
Sunan Kudus menganggukkan kepalanya,
dan dia pun teringat akan murid kesayangannya yang berada di kotaraja Demak.
Dilihatnya Karebet yang duduk
didepannya, lalu Sunan Kuduspun membandingkan Karebet dengan keponakan
sekaligus muridnya, Arya Penangsang.
"Umurnya hampir sebaya,
kekuatan wadagnya juga seimbang, ilmu kanuragannya mungkin juga tidak jauh
berbeda" kata Sunan Kudus dalam hati.
Tetapi ada sedikit rasa khawatir di
hati Sunan Kudus, terhadap sifat muridnya Arya Penangsang.
"Kelemahan Penangsang hanya
pada sifatnya yang pemarah, dan nantinya, sifat pemarah Penangsang harus bisa
dihilangkan" kata Sunan Kudus dalam hati.
"Kalau Karebet dan Penangsang
suatu saat berlatih ilmu kanuragan dan ternyata ilmu mereka seimbang, maka
sifat pemarah Penangsang bisa menjadi awal dari kekalahannya" kata Sunan
Kudus.
"Aku harus berusaha untuk
membuat Penangsang lebih sabar" kata Sunan Kudus dalam hati.
Sekali lagi Kanjeng Sunan Kudus melihat,
menakar, menghitung dan memperhatikan tubuh Karebet.
"Seimbang" kata Kanjeng
Sunan Kudus sekali lagi: "Penangsang pun tidak akan kalah kalau diadu
dengan macan gembong, Penangsang mampu memecahkan kepala harimau loreng yang
badannya sebesar kerbau dengan sekali pukul"
"Penangsang harus sabar, baru
bisa seimbang dengan Karebet" kata Sunan Kudus.
Tetapi Kanjeng Sunan mengernyitkan
dahinya, ketika ia melihat seperti ada seberkas cahaya di mata Karebet.
"Karebet" kata Sunan
Kudus.
"Kita sudah cukup lama berada
disini, silakan berkumpul dengan para prajurit, aku akan kembali ke ruangan
sebelah untuk menemani Kanjeng Sultan Trenggana" kata Sunan Kudus.
"Terima kasih Kanjeng
Sunan" kata Karebet, dan iapun mohon diri untuk kembali berkumpul dengan
para prajurit.
Kembali Sunan Kudus menemui tamunya,
Sultan Trenggana di ruang dalam Panti Kudus dan beberapa saat kemudian, ketika
terdengar bunyi kentongan dari masjid Panti Kudus, maka Kanjeng Sunanpun
mengajak tamunya untuk melaksanakan sholat dhuhur berjamaah,
Waktu berjalan terus, matahari sudah
bergeser sedikit kearah barat, Kanjeng Sultan Trenggana dan rombongan telah
melaksanakan sholat dhuhur berjamaah, kemudian dilanjutkan dengan makan siang,
dan sekarang telah tiba waktunya untuk mohon diri, pamit kembali ke kotaraja
Demak.
Ketika kuda-kuda sudah siap untuk
berangkat, maka Sunan Kuduspun berjalan turun dari pendapa, mengantar Sultan
Trenggana sampai di halaman Panti Kudus.
"Saya mohon diri Kanjeng Sunan,
akan melanjutkan perjalanan kembali ke kotaraja Demak, saya dan rombongan sudah
dijamu dengan baik di Panti Kudus, terima kasih" kata Sultan Trenggana.
"Ya, selamat jalan, semoga
Kanjeng Sultan dan rombongan selamat sampai di kotaraja Demak" kata Sunan
Kudus.
Tumenggung Gagak Anabrang yang
menjadi cucuk lampah mulai menjalankan kudanya maju, diikuti oleh seluruh
rombongan berkuda, meninggalkan Panti Kudus, berpacu ke arah barat, ke kotaraja
Demak.
Debu mengepul dibelakang kaki-kaki
kuda ketika rombongan baru saja menyeberangi kali Serang, dan meneruskan perjalanan
menuju arah matahari terbenam.
Beberapa saat kemudian, Tumenggung
Gajah Birawa mengutus seorang prajurit untuk mendahului ke Demak, mengabarkan
kedatangan rombongan Kanjeng Sultan kepada Patih Wanasalam.
Waktu terus berjalan, kaki- kudapun
masih tetap berlari, beberapa kali rombongan terpaksa beristirahat dan ketika
matahari sudah condong kebarat, rombongan Kanjeng Sultan telah sampai di tepi
sebelah timur sungai Tuntang.
Tumenggung Gajah Birawa lalu
mengatur penyeberangan bergantian menuju tepi barat sungai Tuntang,
Tak lama kemudian, semua rombongan
sudah selesai menyeberang, dan mereka sudah masuk wilayah kotaraja Demak,
tinggal selangkah lagi akan sampai di Kraton Kasultanan.
Tumenggung Gagak Anabrang yang
menjadi cucuk lampah, berkuda di depan sendiri, telah mulai berjalan, diikuti
oleh para prajurit dan abdi dalem dibelakangnya. Rombongan berkuda terus
berjalan menuju arah keraton, dan di sepanjang jalan terlihat rakyat Demak
berjongkok ketika Kanjeng Sultan Trenggana lewat didepannya.
Di halaman dalem Suranatan, dari
balik pagar, Ganjur sedang mengintip rombongan bekuda, rombongan Kanjeng Sultan
yang pulang dari berburu di hutan Prawata, matanya mencari kemenakannya,
Karebet yang kemarin telah diangkat menjadi abdi dalem Kasultanan, dan iapun ikut
rombongan Kanjeng Sultan, ikut berburu ke hutan Prawata.
Matanya mencari Karebet diantara
rombongan berkuda, betapa terkejutnya ketika dilihatnya, abdi dalem yang naik
kuda hanya dua orang, seharusnya tiga orang dan Karebet tidak ada diantara
rombongan yang berpakaian abdi dalem.
Karebet telah hilang !
Dada Ganjur menjadi berdebar-debar,
Karebet telah hilang, dia tidak ada didalam rombongan Kanjeng Sultan yang
kembali dari berburu di hutan Prawata.
Ganjur telah melihat, didalam
rombongan yang memakai pakaian abdi dalem hanya dua orang.
Bagaimana nanti kalau ia menjelaskan
kepada kakaknya, Nyai Ageng Tingkir, kalau Karebet hilang ketika mengikuti
perburuan Kanjeng Sultan di hutan Prawata.
Sekali lagi, pandangan Ganjur
melihat ke arah para prajurit, dan Ganjurpun terkejut untuk kedua kalinya,
ketika dilihatnya ada seorang Prajurit Wira Tamtama yang mempunyai wajah mirip
wajah Karebet.
Tangan Ganjur meraba dadanya yang
menjadi deg-degan, kepalanya tiba-tiba terasa pusing, Karebet telah hilang,
sekarang malah ada prajurit Wira Tamtama yang wajahnya mirip dengan wajah
Karebet.
Pandangan Ganjur masih terus melihat
kearah rombongan berkuda sampai bayangannya hilang dari pandangan.
Beberapa saat kemudian, Tumenggung
Gagak Anabrang sudah sampai di pintu gerbang Kraton, dan iapun memperlambat
laju kudanya, dan rombongan berkudapun masuk ke halaman Kraton, dan berhenti di
halaman Sasana Sewaka.
Disana sudah ada Patih Wanasalam
yang berdiri beserta beberapa Tumenggung, Panji, Rangga, dan beberapa Lurah
prajurit, bersiap menyambut rombongan Kanjeng Sultan.
Sultan Trenggana turun dari punggung
kuda, kemudian disambut oleh Patih Wanasalam, lalu bersama Tumenggung Gajah
Birawa, Patih Wanasalam segera mengantar Sultan Trenggana ke ruangan dalam.
Dihalaman, dengan memakai pakaian
prajurit Wira Tamtama, Karebet dan para prajurit lainnya, masih menunggu Ki
Tumenggung untuk menerima perintah selanjutnya.
Beberapa saat kemudian Tumenggung
Gajah Birawa keluar dari ruang dalam, dan dengan tangannya, Ki Tumenggung
memanggil Karebet untuk mendekat.
Setelah Karebet berada didekatnya,
maka Tumenggung Gajah Birawa memanggil seseorang :"Ki Lurah Wirya Sentika,
kesini sebentar"
Seseorang yang sudah agak tua,
berpakaian Lurah Wira Tamtama maju mendekati Tumenggung Gajah Birawa.
"Ki Lurah, ini Karebet,
prajurit Wira Tamtama yang baru, mulai besok dia berada dibawah perintah Ki
Lurah Wirya" kata Ki Tumenggung.
"Mulai besok ajari Karebet
tentang tata cara keprajuritan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Baik Ki Tumenggung" jawab
Lurah Wirya Sentika.
"Karebet, Lurahmu di Wira
Tamtama adalah Ki Lurah Wirya ini" kata Ki Tumenggung.
"Ya Ki Tumenggung, terima
kasih" kata Karebet.
Setelah Tumenggung Gajah Birawa
telah selesai mengatur beberapa persoalan, maka iapun kemudian berkata kepada
semua prajurit :"Kalian semua, sekarang boleh pulang".
"Karebet, besok pagi kau temui
aku di dalam Kraton, di ruangan Wira Tamtama" kata Ki Lurah Wiryo.
"Baik Ki Lurah dan saya mohon
pamit Ki Lurah" kata Karebet.
Setelah berpamitan kepada Ki Lurah
Wirya Sentika dan Ki Tumenggung Gajah Birawa, maka dengan masih menggunakan
pakaian prajurit Wira Tamtama, Karebet pulang ke dalem Suranatan, ketempat pamannya
bekerja, paman Ganjur.
Matahari hampir tenggelam, ketika
Karebet melangkahkan kakinya memasuki regol, berjalan di halaman dalem
Suranatan.
Dirumahnya, Ganjur sedang duduk
diatas lincak, badannya lesu, wajahnya menunduk, merenung, dimana Karebet sekarang
?
Dia sudah menghitung beberapa kali,
abdi dalem yang pulang didalam rombongan Kanjeng Sultan cuma ada dua orang,
padahal sewaktu rombongan Kanjeng Sultan berangkat, Ganjur telah menghitung,
abdi dalem yang berangkat ikut dalam rombongan Kanjeng Sultan ada tiga orang,
termasuk Karebet yang memakai pakaian seorang abdi dalem.
"Aku harus bertanya kepada Ki
Tumenggung Gajah Birawa" kata Ganjur dalam hati.
Ganjur masih terbenam dalam
angan-angannya, badannya merinding, bagaimana kalau misalnya Karebet telah mati
dimakan binatang di hutan Prawata, atau bagaimana kalau sewaktu menyeberangi
sungai Serang, di daerah Tanggul Angin, Karebet disambar seekor buaya, atau
jangan-jangan ia sudah jadi korban hantu gentayangan, digondol wewe dimakan
lelepah, atau dimakan demit hutan Prawata, hiii....
Tetapi alangkah terkejutnya Ganjur
ketika ia mengangkat wajahnya, dihadapannya telah berdiri seorang prajurit Wira
Tamtama yang berwajah mirip Karebet, menatapnya sambil tersenyum.
"Paman Ganjur" sapa orang
yang memakai pakaian prajurit Wira Tamtama itu.
"Kau,,,, Karebet?" tanya
Ki Ganjur :"Kau betul Karebet ? Kau masih hidup ?" tanya pamannya
Ganjur
Karebetpun menjadi heran mendengar
pertanyaan pamannya.
"Ya paman, aku masih hidup, ada
apa ?" tanya Karebet heran.
"Kau memakai pakaian prajurit
Wira Tamtama ?" tanya Karebet.
"Ya paman, kenapa ?" kata
Karebet.
"Karebet !" kata pamannya
Ganjur keras.
"Kau tidak usah gagah-gagahan
memakai pakaian seorang prajurit Wira Tamtama, meskipun kita hanya punya satu
pakaian sepengadeg saja, tidak apa apa, kau tidak perlu meminjam pakaian dari
seorang prajurit Wira Tamtama hanya untuk kau tunjukkan kepada pamanmu, kau
tidak usah pamer memakai pakaian itu" kata Ganjur yang sedang marah.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Cepat kau lepas pakaian
prajurit itu, lalu ganti dengan pakaian yang biasa kau pakai" kata Ganjur.
"Ya paman" jawab Karebet.
Karebet masuk kedalam rumah, melepas
pakaian prajurit Wira Tamtama, mengganti dengan pakaiannya sehari-hari, dan
masih didengar suara pamannya menggeremang sendiri.
Malam harinya, cahaya bulan masih
cukup terang untuk menerangi halaman dalem Suranatan.
Di halaman depan, diatas dua buah
dingklik, Ganjur duduk berdua dengan kemenakannya Karebet.
"Sebenarnya paman, aku memang
sudah diangkat menjadi seorang prajurit Wira Tamtama" kata Karebet.
"Ah, kau memang suka bercanda
Karebet" kata pamannya.
"Aku tidak bercanda paman, aku
memang sudah menjadi seorang prajurit Wira Tamtama" kata Karebet.
"Apakah ada penerimaan untuk
menjadi prajurit baru ?" tanya Ganjur.
"Tidak paman, semua itu atas
titah Kanjeng Sultan, karena aku di hutan Prawata membantu Kanjeng Sultan"
kata Karebet.
"Membantu apa ?" tanya
Ganjur heran.
"Bermacam-macam paman, membantu
membawakan busur dan perlengkapan berburu, memanggul kijang hasil buruan,
memotong daging kijang, memasak, meladeni semua keperluan Kanjeng Sultan"
kata Karebet.
"Begitu mudahnya ?" tanya
Ki Ganjur
"Ya paman, memang mudah, aku
juga tidak tahu paman, kenapa jadi mudah, limpahan kasih Kanjeng Sultan
kepadaku besar sekali" kata Karebet.
Keduanya beberapa saat terdiam dan
melepas angan-angannya yang mengembara.
"Sudah malam, tidurlah Karebet,
kau pasti lelah" kata Ganjur.
"Ya, paman" sahut Karebet.
Keduanya masuk ke dalam rumah, berbaring, dan tak lama keduanya terlelap ke
alam mimpi.
Waktu terus berjalan, malam gelap
segera berlalu, seberkas cahaya merah muncul di bang wetan, burungpun berkicau
menyambut pagi.
Udara pagi yang segar, mengiringi
langkah Karebet keluar dari dalem Suranatan menuju Kraton untuk memulai tugas
pertamanya sebagai seorang prajurit Wira Tamtama.
Pagi yang cerah, secerah hati
Karebet, yang mendapat perhatian yang besar dari Sultan Trenggana.
Di pintu gerbang Kraton, Karebet
berbicara dengan prajurit penjaga pintu gerbang, lalu iapun masuk ke Kraton,
berjalan menuju halaman didepan Sasana Sewaka, menunggu kedatangan Ki Lurah
Wirya Sentika.
Tidak usah menunggu lama, Ki Lurah
Wirya Sentika terlihat masuk di halaman Kraton dan berjalan menuju ruangan Wira
Tamtama.
Diruangan, Karebet menghadap Ki
Lurah Wirya, dan mulai diberitahu tentang tugas prajurit Wira Tamtama.
"Karebet" kata Lurah
Wirya.
"Ya Ki Lurah" jawab
Karebet sambil menunduk di hadapan Ki Lurah. "Tugas utama Wira Tamtama
adalah menjaga keselamatan Kanjeng Sultan dan keluarganya" kata Ki Lurah
Wirya.
"Ya Ki Lurah"
"Termasuk pengamanan terhadap
Panti Pusaka, ruangan untuk pasewakan di sasana sewaka, ruangan dalam Kraton,
ruang tidur Kanjeng Sultan, Kesatrian maupun Kaputren" kata Ki Lurah.
"Ya Ki Lurah"
"Kalau prajurit yang menjaga di
pintu gerbang, penjaganya adalah dari pasukan Wira Braja, sebagai pengamanan
lapis kedua, tetapi kalau diperlukan, bisa juga dari kesatuan Wira
Tamtama" kata Lurah Wirya menjelaskan.
"Ya ki Lurah"
"Latihan keprajuritan, akan
diadakan setiap pasaran pahing, beberapa kelompok mengadakan latihan
keprajuritan secara bergantian" kata lurah Wirya menjekaskan :"Dan
mulai besok kau tidur di dalem lor, bersama dengan prajurit lainnya yang masih
bujangan"
"Ya Ki Lurah"
Ki Lurah Wirya Sentika bangkit dari
duduknya dan berkata:" Mari Karebet, kutunjukkan tempat-tempat yang harus
dijaga, yang menjadi tanggung jawab prajurit Wira Tamtama"
Karebet berdiri, mengikuti Ki Lurah
Wirya Sentika keluar dari ruangan, berjalan menuju ruang dalam, dan didepan
ruang dalam, berdiri dua orang prajurit Wira Tamtama sedang berjaga.
"Pintu depan ini dijaga dua
orang prajurit, di pintu belakang juga dijaga oleh dua orang prajurit"
kata Ki Lurah.
Lurah Wirya mengajak Karebet masuk
ke ruang dalam :"Ini kamar Kanjeng Sultan beserta Prameswari, dijaga oleh
dua orang prajurit Wira Tamtama"
Keduanya lalu berjalan ke arah
kesatrian, di seberang pintu masuk kesatrian ada dua orang prajurit Wira
Tamtama yang sedang berjaga.
"Ini kesatrian atau kaputran,
penghuninya hanya laki-laki, mereka putra dan kerabat sentana Kanjeng
Sultan" kata Ki Lurah.
Ketika Ki Lurah Wirya Sentika berada
di depan pintu kesatrian, keluarlah seorang pemuda sebaya Karebet, dan ternyata
Karebet pernah melihatnya ketika bersama-sama menghadap Kanjeng Sultan di ruang
dalam.
Orang itu, Arya Penangsang,
memandang Ki Lurah dan Karebet berganti-ganti.
"Kau Lurah Wirya" kata
Arya Penangsang.
"Ya Raden" kata Lurah
Wirya Sentika.
"Dia prajurit Wira Tamtama yang
baru?" tanya Arya Penangsang sambil tangannya menunjuk ke arah Karebet.
"Ya Raden" jawab Ki Lurah.
Lalu kepada prajurit yang baru, Arya
Penangsang bertanya: "Siapa namamu?"
"Nama saya Karebet, Raden"
jawab Karebet.
Arya Penangsang sekali lagi
memandang Ki Lurah Wirya dan Karebet sekilas, lalu Penangsang berjalan terus
tanpa menghiraukan keduanya.
Setelah Penangsang hilang dari
pandangan, Ki Lurah meneruskan pekerjaannya.
Dari kesatrian, Ki Lurah Wirya
Sentika bersama Karebet berjalan menuju Panti Pusaka.
"Inilah, gedung pusaka, dijaga
oleh empat orang prajurit atau Lurah, beserta seorang Rangga atau seorang
Panji, disini tersimpan semua pusaka Kasultanan Demak" kata Ki Lurah.
Di gedung pusaka, keduanya hanya
lewat saja, merekapun meneruskan langkahnya menuju kaputren.
"Ini kaputren, penghuninya
hanya para perempuan, putri atau kerabat sentana Kanjeng Sultan" kata Ki
Lurah.
Karebet melihat di seberang pintu
kaputren ada dua orang prajurit yang sedang berjaga.
"Prajurit yang bertugas tidak
berada disebelah pintu kaputren, tetapi disini, diseberangnya" kata Ki
Lurah Wirya.
Tapi yang tidak diketahui oleh
Karebet, dari dalam kaputren, dari belakang sebuah pintu yang tertutup di
kaputren, ada dua pasang mata yang terus memperhatikan Karebet dari ujung kaki
sampai ujung kepala.
"Pintu di kaputren dijaga oleh
dua orang prajurit Wira Tamtama" kata Ki Lurah Wirya.
"Ya Ki Lurah" jawab
Karebet tanpa mengetahui ada dua pasang mata yang terus mengawasinya dari pintu
kaputren yang tertutup.
Tak lama kemudian, Ki Lurah Wirya
Sentika dan Karebet berjalan meninggalkan kaputren menuju ruang Wira Tamtama.
"Karebet, hari ini kau bertugas
di depan ruang dalam, bersama dua orang prajurit yang sudah ada, mulai hari ini
kau magang disana beberapa hari" kata Ki Lurah.
"Jangan lupa, mulai besok kau
tidur di dalem lor, bersama para prajurit yang lain yang belum punya istri,
nanti akan disiapkan sebuah amben untukmu" kata Ki Lurah.
"Terima kasih Ki Lurah, saya ke
ruang dalam dulu" kata Jaka Tingkir.
Karebet lalu bangkit menuju
penjagaan di ruang dalam, hari ini dia magang berjaga di ruang dalam, berjaga
bersama dua orang prajurit Wira Tamtama lainnya.
Hari semakin siang, seorang prajurit
berjalan dari depan ruang tidur Kanjeng Sultan, menuju prajurit penjaga dan
berkata :"Karebet, kau ditunggu Kanjeng Sultan di ruang dalam"
Karebet terkejut, tidak menyangka
dia akan dipanggil Kanjeng Sultan.
"Baik, aku kesana
sekarang" kata Karebet.
Karebet segera berjalan menuju ruang
dalam dan didepan ruangan Kanjeng Sultan, Karebet berhenti, sesaat kemudian
terdengar suara :"Masuklah Karebet"
Karebetpun masuk ruangan, setelah
menyembah, iapun duduk bersila didepan Kanjeng Sultan.
"Kau masih magang di Wira
Tamtama, Karebet ?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" jawab Karebet.
"Karebet, kau bisa memijat?
Pijat kakiku Karebet, supaya hilang lelahku kemarin" kata Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" jawab Karebet..
Karebet merasa heran, memijat kaki
seorang Sultan? Tidak setiap orang bisa mendapatkan kesempatan seperti ini,
Karebetpun bergeser maju.
"Ini Karebet kakiku, tolong
dipijat" kata Sultan Trenggana.
Karebetpun mulai memegang dan
memijit kaki Kanjeng Sultan, perlahan-lahan, tidak terlalu keras.
Karebet merasa, begitu besar
perhatian Sultan Trenggana kepadanya.
"Karebet, tahukah kau, kalau
kau masih terhitung keponakanku? Nenekmu dan ayahku adalah kakak beradik?"
tanya Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dalem, hamba tahu
Kanjeng Sultan, eyang Asmayawati adalah adik dari eyang Patah" jawab
Karebet.
"Ya, memang betul, Karebet
dimana kau belajar olah kanuragan?" tanya Kanjeng Sultan.
"Di desa Tingkir, hamba belajar
ilmu perguruan Pengging, Kanjeng Sultan" jawab Karebet.
"Siapa yang mengajarimu ?"
tanya Sultan Trenggana.
"Siwa Kebo Kanigara, Kanjeng
Sultan" jawab Karebet. "Dimana Ki Kebo Kanigara sekarang?" tanya
Sultan Trenggana.
"Ampun Kanjeng Sultan, hamba tidak
tahu" jawab Karebet.
"Ya, aku juga tidak tahu dimana
Ki Kebo Kanigara sekarang" kata Sultan Trenggana membenarkan jawaban
Karebet.
Tangan Karebet masih tetap memijit
kaki Kanjeng Sultan perlahan-lahan.
"Jadi ilmu kanuraganmu ilmu
dari perguruan Pengging ?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" kata Karebet.
"Selain ilmu dari perguruan
Pengging, kau berguru kemana lagi?" tanya Sultan Trenggana lagi.
Karebet ragu-ragu untuk menjawab,
tetapi akhirnya dia menjawab :"Kasinggihan dalem Kanjeng Sultan, hamba
pernah belajar di perguruan Sela" kata Karebet.
"Perguruan Sela yang dipimpin
oleh Ki Ageng Sela yang mampu menangkap petir?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dalem Kanjeng
Sultan, tetapi hamba belajar dengan putra Ki Ageng Sela, Nis dari Sela"
kata Karebet.
"Nis dari Sela mempunyai
kecepatan gerak yang luar biasa, dia bisa bergerak secepat gerak ayahnya, Ki
Ageng Sela, lalu kau belajar kemana lagi ?" tanya Sultan Trenggana.
Karebet lama tak menjawab sehingga
Kanjeng Sultan berkata :"Karebet, kau pernah berguru kepada Ki Buyut
Gunung Kelud ?" kata Kanjeng Sultan.
Karebet terkejut :"Pasti
Kanjeng Sultan mengetahui karena mendengar suara aji Senggara Macan di hutan
Prawata" katanya dalam hati
"Ki Buyut Gunung Kelud terkenal
karena mempuyai aji Senggara Macan yang bisa mempengaruhi keberanian
seseorang" kata Sultan Trenggana.
"Senggara Macan, adalah aji
yang luar biasa, sama seperti aji Gelap Sayuta yang bisa membuat orang yang
mendengar suaranya, keberaniannya menyusut tinggal sebesar menir" kata
Kanjeng Sultan.
Tetapi Sultan Trenggana ternyata
punya keinginan untuk menguji kekuatan Karebet.
Teringatlah Kanjeng Sultan akan
cerita Tumenggung Gajah Birawa, ketika mencoba kekuatan tangan Karebet yang
ternyata bisa mengimbangi kekuatan tangan Ki Tumenggung.
Tanpa diketahui Karebet, Kanjeng
Sultan perlahan-lahan mateg aji Raga Jati, suatu aji untuk pertahanan, yang
bisa membuat tubuh keras seperti kayu jati yang telah tua, perlahan-lahan aji
Raga Jati disalurkan ke kaki yang sedang dipijit oleh Karebet.
"Karebet, pijatanmu kurang
kuat, kau seorang laki-laki, kekuatan tanganmu hanya seperti kekuatan seorang
prawan kencur, kau harus bisa memijat lebih kuat lagi" kata Sultan
Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" kata Karebet, sambil lebih memperkuat pijatannya.
"Karebet, pijatanmu lemah
seperti nenek-nenek yang sudah pikun, pijat yang lebih kuat lagi, cepat"
kata Sultan Trenggana agak keras.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" jawab Karebet, dan Karebet adalah seorang anak muda yang cerdas,
dia sudah bisa menduga maksud Kanjeng Sultan.
"Kanjeng Sultan hanya ingin
tahu seberapa kuat jari tanganku" kata Karebet dalam hati.
Perlahan-lahan Karebet mateg aji
Tapak Angin, sedikit demi sedikit kekuatan aji Tapak Angin tersalur ke tangan
Karebet yang sedang memijat kaki Kanjeng Sultan
Sultan Trenggana betul-betul
terkejut ketika kekuatan tangan Karebet, meskipun hanya sebuah sentuhan, mampu
menembus pertahanan aji Raga Jati.
Yang dapat dilakukan Kanjeng Sultan
adalah memperkuat pertahanan aji Raga Jati, supaya kakinya tidak mengalami
cedera.
"Bukan main Karebet, ternyata
aji Raga Jati bisa ditembus oleh anak kemarin sore" kata Sultan Trenggana.
Karebet, yang kekuatannya tertahan
oleh aji Raga Jati, merasakan kaki Kanjeng Sultan sekeras kayu jati yang telah
tua, maka sedikit demi sedikit ia memperkuat kekuatan aji Tapak Angin.
(bersambung)
ASSALAMU ALAIKUM.WR.WB.. SAYA TERMASUK ORANG YANG GEMAR BERMAIN TOGEL,SETELAH SEKIAN LAMANYA SAYA BERMAIN TOGEL AKHIRNYA SAYA MENEMUKAN NOMOR SEORANG PERAMAL TOGEL YANG TERKENAL KEAHLIANNYA DI SELURUH DUNIA,NAMANYA
BalasHapusKIYAI_PATI DAN SAYA BENAR BENAR TIDAK PERCAYA DAN HAMPIR PINSANG KARNA KEMARIN ANGKA GHOIB YANG DIBERIKAN OLEH KIYAI 4D DI PUTARAN SGP YAITU 1239 TERNYATA BETUL-BETUL TEMBUS. SUDAH 2.KALI PUTARAN SAYA MENAN BERKAT BANTUAN KIYAI
PADAHAL,AWALNYA SAYA CUMA COBA COBA MENELPON DAN SAYA MEMBERITAHUKAN SEMUA KELUHAN SAYA KEPADA KIYAI_PATI DISITULAH ALHAMDULILLAH KIYAI_PATI TELAH MEMBERIKAN SAYA SOLUSI YANG SANGAT TEPAT DAN DIA MEMBERIKAN ANGKA YANG BEGITU TEPAT..,MULANYA SAYA RAGU TAPI DENGAN PENUH SEMANGAT ANGKA YANG DIBERIKAN KIYAI ITU SAYA PASANG DAN SYUKUR ALHAMDULILLAH BERHASIL SAYA JACKPOT DAPAT 500.JUTA,DAN BETAPA BAHAGIANYA SAYA BERSUJUD-SUJUD SAMBIL BERKATA ALLAHU AKBAR…..ALLAHU AKBAR….ALLAHU AKBAR….SEKALI LAGI MAKASIH BANYAK YAA KIYAI,SAYA TIDAK AKAN LUPA BANTUAN DAN BUDI BAIK KIYAI, BAGI ANDA SAUDARAH-SAUDARAH YANG INGIN MERUBAH NASIB SEPERTI SAYA TERUTAMA YANG PUNYA HUTANG SUDAH LAMA BELUM TERLUNASI SILAHKAN HUBUNGI KIYAI_PATI DI NOMOR HP: 0852_1741_5657
luar biasa
BalasHapus