Rabu, 25 Juni 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 3



BAB 1 : AYAM JANTAN DARI PENGGING 3

Ditulis oleh : Apung GWAP

Sultan Trenggana adalah seorang Raja yang mumpuni berbagai ilmu, yang kasar maupun yang halus, pernah mengalami berbagai macam peristiwa, yang kasatmata maupun yang tidak kasatmata, sehingga raut mukanya masih tetap tenang, pandangannya tetap lurus kedepan, dan tetap berjalan menuju pintu masjid, tanpa menghiraukan anak muda yang kepalanya menunduk, berada diseberang kolam setelah melompat mundur sambil berjongkok.

Ganjur yang melihat peristiwa itu, jantungnya serasa berhenti berdetak, ketika diliriknya, Karebet yang tadi berada di sisi sebelah timur, sekarang sudah berada disisi sebelah barat kolam tempat wudhu, masih dalam keadaan berjongkok dan masih tetap menunduk ke arah Sultan Trenggana.
Terbayang dimatanya, sebentar lagi Karebet akan dihukum berat oleh Kanjeng Sultan Trenggana, penguasa tunggal Kasultanan Demak.
Sultan Trenggana terus berjalan bersama dua orang Tumenggung dan beberapa orang prajurit Wira Tamtama, sudah terlihat masuk kedalam masjid.

Setelah melihat Kanjeng Sultan masuk ke dalam masjid, dengan badan gemetar, Ganjur berjalan mendekati Karebet dan berkata: "Karebet, aku khawatir Kanjeng Sultan akan marah, kenapa kau tidak berusaha menghindar sebelum kanjeng Sultan masuk halaman masjid ?"
"Aku tidak bisa menghindar paman, aku tidak mampu bergerak, kakiku begetar terus, gemetar, kaku, tidak bisa digerakkan untuk melangkah" jawab Karebet.
"Tapi kenapa kau mampu melompat kebelakang?" tanya Ganjur
"Ya paman, aku sangat takut kepada Ki Tumenggung yang berbadan tinggi besar sehingga aku mencoba berjalan, tetapi kakiku tidak bisa bergerak, aku hanya mampu melompat kebelakang dan ternyata bisa berhasil sampai disini" jawab Karebet.
"Ya sudahlah Karebet, semua sudah terlanjur, mudah-mudahan Kanjeng Sultan tidak marah kepadamu" kata Ganjur.
"Maafkan aku paman Ganjur" jawab Karebet.

Beberapa saat kemudian, ketika sudah selesai sholat di masjid, Sultan Trenggana kembali ke Kraton, diapit dikiri kanannya oleh dua orang Tumenggung dari kesatuan Wira Tamtama, dan dikawal oleh beberapa prajurit Wira Tamtama.
Sultan Trenggana berjalan menuju Kraton, setelah memasuki pintu gerbang, Kanjeng Sultanpun berjalan sendiri masuk ke ruang dalam.
Beberapa saat kemudian, Sultan Trenggana duduk di kursi di salah satu ruangan dalam, dan memberi perintah kepada prajurit Wira Tamtama yg berjaga di pintu ruang dalam :"Panggil Ki Tumenggung Gajah Birawa, suruh ia menghadapku sekarang"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata prajurit itu.
Prajurit Wira Tamtama itupun berjalan keluar dan sejenak kemudian, masuklah seorang Tumenggung yg bertubuh gagah, tinggi besar, seorang Tumenggung yang baru saja bertugas mengawal Sultan Trenggana ketika sholat di masjid.
"Masuklah" kata Sultan Trenggana. Tumenggung itu menyembah, lalu duduk bersila di hadapan Sultan Trenggana.
"Tumenggung Gajah Birawa" kata Sultan Trenggana.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa, sambil tetap menunduk.
"Tidak biasanya aku memanggilmu, tapi ini ada masalah penting, yaitu mengenai kejadian yang baru saja terjadi di masjid tadi, ketika ada seorang anak muda melompat kebelakang sambil berjongkok di kolam tempat wudhu" kata Sultan Trenggana.

"Coba kau selidiki siapa anak muda itu, seorang anak muda yang membuat pangeram-eram, kelihatannya dia mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi, dan alangkah baiknya kalau dia mau menjadi prajurit, sehingga akan menambah kekuatan pasukan Demak" kata Sultan Demak.
"Kasinggihan dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Kalau dia mau menjadi prajurit, nanti bisa dicarikan tempat yang tepat, di kesatuan Wira Tamtama, atau di kesatuan lainnya" kata Sultan Trenggana :"Kalau ketemu, nanti jajagi pula sampai dimana kemampuannya dalam olah kanuragan".
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya kali ini hanya mengenai anak muda itu saja, tidak ada persoalan lainnya" kata Sultan Trenggana :"Kutunggu laporanmu besok pagi".
"Sendika dawuh, hamba mohon pamit Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya" kata Sultan Trenggana.
Tumenggung Gajah Birawa menyembah, lalu perlahan-lahan dia bergeser ke pintu lalu keluar dari ruang dalam,
Sultan Trenggana memandang Tumenggung Gajah Birawa yang sudah berumur setengah baya, sampai hilang dibalik pintu.
Sultan Trenggana melihat, selama ini Tumenggung Gajah Birawa adalah seorang Tumenggung yang baik, sabar, setia, patuh dan mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi, apalagi Ki Tumenggung mempunyai aji yang dahsyat, aji Dirada Seta yg kekuatannya seperti kekuatan seekor gajah yang mampu menumbangkan sebatang pohon yang besar.
Dipintu gerbang, Tumenggung Gajah Birawa memanggil seorang prajurit Wira Tamtama yang tadi juga ikut mengawal Sultan Trenggana.
"Coba kau selidiki, siapa anak muda yang tadi melompat sambil berjongkok di kolam tempat wudhu, nanti malam dia suruh menghadapku di dalem Gajah Birawan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Baik Ki Tumenggung" kata prajurit Wira Tamtama.

Siang baru saja berganti malam, gelap terlihat menyelimuti bumi diseluruh kotaraja Demak, tugas matahari telah selesai dan digantikan oleh sang rembulan.
Di rumah pamannya di dalem Suranatan, Karebet duduk di lincak, sedang berbicara dengan pamannya Ganjur.
"Yang aku khawatirkan adalah kemarahan Kanjeng Sultan kepadamu Karebet" kata Ganjur.
"Maafkan aku paman" kata Karebet..
Pamannya tidak menjawab, dan suasana menjadi hening, masing-masing sibuk dengan pikirannya sendiri.
"Kalau Kanjeng Sultan marah, aku tidak mampu berbuat apapun, Ki Tumenggung Suranata pun tidak mampu menolongmu" kata Ki Ganjur :"Apalagi saat ini Ki Tumenggung Suranata masih berada di Pati"
Keduanya berdiam diri, hanya ada suara cengkerik dan belalang yang sayup-sayup terdengar, dan suasana malam terasa sepi.

Tapi mendadak Ganjur terkejut sekali, ketika mendengar pintu rumahnya diketuk dari luar.
Ketukan di pintu yang tidak begitu keras, tapi bagi telinga Ganjur, seperti mendengar suara halilintar yang menggelegar.
Dengan tergesa-gesa Ganjur membuka pintu, dan jantungnya serasa berhenti berdenyut, ketika pintu sudah terbuka, dilihatnya seorang prajurit Wira Tamtama sedang berdiri di depan pintu.
Badan Ganjurpun gemetar, wajahnya pucat, mulutnya seperti terkunci, sehingga tak mampu mengucapkan kalimat apapun.
Matanya hanya menatap kosong kearah prajurit Wira Tamtama yang berdiri di depan pintu.
"Selamat malam Ki Ganjur" kata seorang prajurit Wira Tamtama yang telah berdiri di depan pintu.
Ganjur hanya mampu memandang prajurit itu, tanpa bisa menjawab.
"Ki Ganjur dan keponakannya diharap menghadap Ki Tumenggung Gajah Birawa, di dalem Gajah Birawan sekarang juga" kata prajurit itu.
Ganjur sudah tidak mampu menjawab, badannya lemas, yang menjawab adalah keponakannya :"Baik, kita kesana sekarang, mari paman, kita dipanggil Ki Tumenggung di dalem Gajah Birawan"
Ganjur hanya bisa mengangguk, dan merekapun segera berjalan menuju dalem Katumenggungan.

Didepan sendiri, berjalan prajurit Wira Tamtama, disusul Ganjur yang badannya gemetar, berjalan sambil memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing, lalu yang paling belakang adalah Karebet, yang berjalan sambil menundukkan kepalanya.
Ternyata dengan berjalan menunduk, Karebet sedang berusaha menyembunyikan senyumnya.
Perhitungannya tepat, setelah dia melakukan sebuah gerakan melompat mundur dengan berjongkok, perbuatannya itu telah berhasil menarik perhatian seorang Tumenggung.
Karebet berharap, pemanggilan yang dilakukan oleh Tumenggung Gajah Birawa tidak akan berhenti sampai disini, tetapi akan bersambung dengan pemanggilan selanjutnya oleh Kanjeng Sultan Trenggana.
Mereka bertiga berjalan terus, tak terasa pintu gerbang dalem Gajah Birawan telah kelihatan.
Setibanya di dalem Gajah Birawan, prajurit Wira Tamtama menemui Tumenggung Gajah Birawa yang sedang duduk di kursi dan Ki Tumenggungpun mempersilahkan mereka bertiga masuk.
Ketika masuk kedalam ruangan, perhatian Karebet tertuju kepada Tumenggung Gajah Birawa yang berbadan tinggi besar, gagah seperti seekor gajah, rambutnya sudah banyak yang berwarna putih, pandangan matanya tajam memandang kepada lawan bicaranya.
"Prajurit, kau boleh kembali di Kraton, selesaikan tugasmu yang disana" kata Tumenggung Gajah Birawa"
"Baik Ki Tumenggung" jawab prajurit itu.

Lalu prajurit Wira Tamtama itupun berjalan menuju ke Kraton, sedangkan Tumenggung Gajah Birawa berbicara dengan Ganjur.
"Ki Ganjur" kata Tumenggung Gajah Birawa .
"Ya Ki Tumenggung" jawab Ganjur.
"Bagaimana keadaanmu, semua selamat ?" tanya Ki Tumenggung.
"Ya ya Ki Tumenggung, atas pangestu Ki Tumenggung, kami selamat semuanya" jawab Ganjur.
"Ki Ganjur, siapakah anak muda yang bersamamu ini ?" tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Kemenakan saya Ki Tumenggung", jawab Ganjur.
"Ki Ganjur" kata Tumenggung Gajah Birawa "Aku akan bertanya kepada keponakanmu"
"Silahkan Ki Tumenggung" jawab Ganjur.
Tumenggung Gajah Birawa menggeser duduknya menghadap ke arah kemenakan Ganjur, dilihatnya seorang pemuda tampan yang umurnya sebaya dengan umur anaknya.
"Anak muda, siapa namamu, dan dari mana asalmu ?" tanya ki Tumenggung
"Ki Tumenggung, saya berasal dari desa Tingkir, nama saya Karebet yang kadang-kadang saya dipanggil dengan nama Jaka Tingkir" jawab Karebet.
"Kau anak Ki Ageng Tingkir?" tanya Ki Tumenggung."Setahuku, Ki Ageng Tingkir tidak mempunyai seorang anakpun".
"Saya adalah anak angkat Nyai Ageng Tingkir" jawab Karebet :"Saat itu Ki Ageng Tingkir telah meninggal dunia ketika saya diangkat anak oleh Nyai Ageng Tingkir, tetapi sebenarnya, saya adalah anak dari Ki Ageng Pengging" jawab Karebet.

Tumenggung Gajah Birawa terkejut, Ki Ageng Pengging yang waktu itu menolak sowan ke Demak pada saat Raden Patah menjadi Sultan Demak, telah dianggap mbalelo, memberontak terhadap raja dan terpaksa di hukum mati oleh Kanjeng Sunan Kudus.
Peristiwa terbunuhnya Ki Ageng Pengging itu terjadi sudah lama sekali, hampir seumur Karebet sendiri.
Ki Tumenggung Gajah Birawa menganggukkan kepalanya :"Lalu apa maksudmu pergi ke Demak. Karebet?"
"Ki Tumenggung, saya ingin mengabdi di Kraton Demak sebagai abdi dalem Kanjeng Sultan Trenggana, tetapi kalau nanti diberi kesempatan, saya ingin menjadi prajurit Kasultanan Demak" kata Karebet.
"Karebet, untuk menjadi seorang prajurit tidak mudah, apakah kau bersedia menjalani sebuah pendadaran sebagai syarat untuk menjadi seorang prajurit ?" tanya Ki Tumenggung.
"Ya Ki Tumenggung, saya siap menjalani pendadaran" jawab Karebet.
Tumenggung Gajah Birawa tersenyum dalam hati, tugas dari Sultan Trenggana untuk meminta supaya Karebet menjadi seorang prajurit tidak perlu diucapkan, karena tanpa diminta, Karebet berkeinginan untuk menjadi seorang prajurit dan telah siap menjalani pendadaran menjadi prajurit Kasultanan Demak.
"Bagus, Karebet, Kasultanan Demak memang membutuhkan anak muda pemberani sepertimu, untuk di didik menjadi seorang prajurit yang tangguh tanggon" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Di Kasultanan Demak, disamping prajurit dari kesatuan Wira Tamtama, ada juga prajurit dari kesatuan Wira Braja, Wira Radya, Wira Yudha, Wira Manggala, Wira Pati, Nara Pati dan prajurit Patang Puluhan dan lain-lain"
"Karebet, ketahuilah, aku sendiri adalah seorang Tumenggung, salah satu perwira dari kesatuan Wira Tamtama, prajurit pengawal raja" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Tumenggung Gajah Birawa berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan menghampiri Karebet :"Berdirilah Karebet"

Karebet berdiri, Tumenggung Gajah Birawa yang bertubuh tinggi besar, mengulurkan tangan kanannya , dan Karebet segera menyambut uluran tangan itu.
Tetapi alangkah terkejutnya Karebet, ketika terasa jari tangan Ki Tumenggung menjepit telapak tangannya, seperti sebuah jepitan besi yang tak bisa lepas.
Karebet tidak mau tulang di telapak tangannya remuk, maka iapun melawan dengan mengerahkan tenaganya, jari tangannya digerakkan dengan kuat menjepit telapak tangan Ki Tumenggung.
Kali ini Tumenggung Gajah Birawa yang terkejut, ia tidak mengira kalau tenaga Karebet ternyata sekuat ini, telapak tangannya yang dijepit jari tangan Karebet, terasa seperti dibelit dan akan diremukkan oleh seekor ular sawah.
Beberapa saat kemudian, keduanya mengerahkan tenaga saling meremas telapak tangan lawannya.
Ketika Tumenggung Gajah Birawa memandang wajah Karebet, tampaklah wajah anak muda itu dipenuhi keringat, dan sekejap kemudian ketika Karebet memandang Ki Tumenggung tampak diwajah Ki Tumenggung banyak terdapat keringat sebesar butiran jagung.
"Luar biasa Karebet, jepitan jari-jarinya kuat sekali, lama-lama aku bisa kalah, tetapi terhadap anak-anak, tidak pantas kalau aku menggunakan aji Dirada Seta" kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati.
"Kuat sekali jepitan Ki Tumenggung, tapi dengan aji Welut Putih, tanganku pasti bisa terlepas dari jepitannya" kata Karebet dalam hati.
Ketika terasa jepitan Ki Tumengggung semakin keras, Karebetpun semakin mengeluarkan semua kekuatannya, perlawanannya semakin keras.
"Kalau jepitannya bertambah kuat, tanganku bisa remuk" kata Karebet, dalam hati :"Apa boleh buat, aku terpaksa menggunakan aji Hasta Dahana, meskipun nanti akibatnya telapak tangan Ki Tumenggung bisa terbakar",

Aji Hasta Dahana, aji yang dihadiahkan oleh alam kepada Karebet setelah mesu raga dan mesu jiwa di puncak gunung Merapi yang sedang menyala merah, sebuah aji yang bisa menjadikan tangannya sepanas bara api.
Tumenggung Gajah Birawa yang sedang berjuang melawan jepitan tangan Karebet, sudah tidak bisa mundur lagi, kalau dia mengendorkan jepitannya, telapak tangannya bisa hancur dijepit jari tangan Karebet, yang bisa dilakukannya adalah bertahan sekuat-kuatnya, sambil bersiap membangunkan ilmunya yang mempunyai kekuatan seperti seekor gajah, aji Dirada Seta.
Pada saat yang bersamaan, Karebet juga sedang membangunkan seluruh kekuatannya untuk disalurkan ke telapak tangannya, bersiap mateg aji Hasta Dahana untuk membakar telapak tangan Tumenggung Gajah Birawa.
Dalam pada itu, Ganjur yang sama sekali tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya memandang kedua orang itu dengan tatapan mata yang kosong.
Dia hanya melihat bagaimana kedua orang itu saling memegang telapak tangan, dan wajah mereka terlihat basah berkeringat.
Karebet mengerahkan semua kekuatan dirinya, yang dipusatkan di telapak tangan dan jari tangannya, telah bersiap mateg aji Hasta Dahana, tiba-tiba teringat maksud dan tujuannya ke Demak, kalau sampai tangan Tumenggung Gajah Birawa terbakar, maka semua usahanya akan gagal.

Setelah berpikir demikian, maka Karebet perlahan-lahan mengurangi kekuatan jepitannya, sedikit demi sedikit tenaga yang tersalur ke telapak tangannya mulai dikurangi.
Tumenggung Gajah Birawa yang sedang bersiap menbangunkan kekuatan aji Dirada Seta terkejut ketika terasa Karebet mengurangi kekuatan jepitan tangannya, dan Ki Tumenggungpun teringat maksudnya semula, hanya ingin menguji kekuatan Karebet, maka Ki Tumenggung juga melakukan hal yang sama, sedikit mengurangi kekuatan jepitan jari tangannya.
Karebet yang merasa Ki Tumenggung sedikit mengurangi kekuatan jepitannya, lalu berkata :"Saya mohon ampun Ki Tumenggung"
Keduanya kemudian saling memperlemah jepitan tangannya, dan sesaat kemudian kedua tangan itupun telah terlepas . "Tangan saya menjadi remuk Ki Tumenggung" kata Karebet.
Tumengung Gajah Birawa menyeka keringat yang ada pada wajahnya sambil berkata : "Terima kasih Karebet, kau tidak membuat seorang Tumenggung menjadi malu dihadapan pamanmu"
"Silahkan duduk lagi Karebet" kata Ki Tumenggung, dan keduanya kemudian ber-sama2 duduk kembali.
Tumenggung Gajah Birawa memandang wajah Karebet dengan parasaan kagum, ternyata anak yang masih semuda itu mampu mengimbangi kekuatannya.
Lalu Ki Tumenggung kemudian menggeser badannya menghadap Ganjur dan berkata;
"Ki Ganjur" kata Tumenggung Gajah Birawa.

Ganjur yang sejak semula bingung, dan tidak mengerti apa yang sedang terjadi, hanya pandangan matanya yang kosong menatap Karebet dan Ki Tumengung bergantian, sangat terkejut dan hampir terjatuh dari tempat duduknya, ketika namanya dipanggil oleh Tumenggung Gajah Birawa.
Detak jantungnya terasa semakin cepat ketika Ki Tumenggung memanggil namanya sekali lagi.
"Ki Ganjur" kata Ki Tumenggung sekali lagi.
"Ya Ki Tumenggung" jawab Ganjur gemetar.
"Ki Ganjur, ternyata ponakanmu ingin menjadi seorang prajurit" kata Ki Tumenggung.
"Ya Ki Tumenggung" jawab Ganjur.
"Ki Ganjur dan kau Karebet, saat ini aku belum bisa menjajikan apapun, tapi besok setelah aku menghadap Kanjeng Sultan, aku akan memberi kabar kepadamu" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Terima kasih Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Karebet, untuk kali ini cukup sampai disini dulu, kau tunggu saja di rumah Ki Ganjur sambil membantu pekerjaannya di dalem Suranatan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung" jawab Karebet
"Ki Ganjur, kau boleh pulang, urusan tentang ponakanmu, untuk sementara sudah selesai"
"Ya Ki Tumenggung" kata Ganjur.
"Ki Ganjur, kalau pulang ke dalem Suranatan, apakah kau perlu diantar oleh prajurit Wira Tamtama" tanya Ki Tumenggung sambil tersenyum.
"Ya, ya Ki Tumenggung" jawab Ganjur.

Tetapi Ganjur jadi tersadar ketika melihat Tumenggung Gajah Birawa tertawa.
"Tidak, tidak Ki Tumenggung, tidak usah diantar prajurit Wira Tamtama, saya berani pulang sendiri ke dalem Suranatan" kata Ganjur.
Mendengar jawaban Ganjur, bukan hanya Ki Tumenggung saja yang tertawa, Karebetpunpun tidak dapat menahan senyumnya.
Tumenggung Gajah Birawa lalu menepuk bahu Karebet :"Bagus, Karebet, kekuatan tanganmu ternyata mampu menghancurkan sebuah batu hitam"
"Ah, Ki Tumenggung terlalu memuji" kata Karebet.
Keduanya lalu mohon diri kepada Tumenggung Gajah Birawa, dan keduanya berjalan meninggalkan dalem Gajah Birawan.
Setelah keduanya menghilang dalam kegelapan malam, Tumengung Gajah Birawa lalu memijit telapak tangannya yang terasa sakit karena dijepit oleh tangan Karebet :"Hampir saja tanganku remuk"
Di perjalanan pulang ke dalem Suranatan, Karebet berjalan dibelakang pamannya Ganjur yang berjalan didepan.
Sambil berjalan, tak henti-hentinya tangan Ganjur mengusap-usap dadanya sendiri sambil berkata :"Slamet, slamet, slamet".

Malam itu karebet dan pamannya dapat tidur nyenyak dan dalam tidurnya terlihat Karebet sedang tersenyum.
Di pagi hari, ketika matahari telah memanjat langit semakin tinggi, di ruang dalam Kraton Demak, Sultan Trenggana sedang menerima kedatangan Tumenggung Gajah Birawa.
Sultan Trenggana sedang duduk disebuah kursi dan dihadapannya duduk bersila Tumenggung Gajah Birawa.
Tumenggung Gajah Birawa bercerita dari awal sampai akhir, runtut, tidak ada yang terlewat satupun.
"Jadi Karebet yang umurnya masih sangat muda itu mampu mengimbangi kekuatanmu?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Ternyata Karebet adalah anak yang luar biasa, umurnya masih sangat muda tetapi kekuatannya mampu mengimbangi kekuatan Tumenggung Gajah Birawa " kata Sultan Trenggana dalam hati.
"Apakah Karebet punya saudara, kakak atau adik?" tanya Kanjeng Sultan.
"Tidak Kanjeng Sultan, sepengetahuan hamba, anak Ki Ageng Pengging cuma satu, Karebet, dia anak ontang anting" jawab Tumenggung Gajah Birawa.

"Ternyata Karebet masih terhitung keponakanku sendiri, karena eyang putrinya, Dewi Asmayawati, istri dari Adipati Dayaningrat, adalah adik dari ayahanda Sultan Patah" kata Sultan Trenggana dalam hati.
"Baiklah, nanti akan kucarikan suatu cara pendadaran yang tepat bagi Karebet untuk bisa menjadi seorang prajurit, besok pagi kau antar Karebet menghadapku kemari" kata Sultan Trenggana
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa
"Ya, jangan lupa tugasmu besok pagi"
Tumenggung Gajah Birawa menyembah, lalu perlahan-lahan ia bergeser, lalu bergerak keluar meninggalkan ruangan dalam.

Matahari sudah berada di puncak langit, dan pada saat itu di dalem Suranatan, Ganjur dan Karebet, keduanya sedang beristirahat dibawah pohon sawo.
"Huuf panasnya hari ini" kata Ganjur, tetapi tiba-tiba mata Ganjur terbelalak, ketika dia memandang ke arah pintu gerbang, dilihatnya seorang prajurit Wira Tamtama berjalan menuju ke arahnya.
"Karebet, ada prajurit Wira Tamtama berjalan menuju kemari, ada apa lagi? Menurut Ki Tumenggung persoalan kemarin sudah selesai" kata pamannya.
Karebet tidak menjawab, dia berdiri menyambut prajurit dengan mengangguk hormat.
"Ki Ganjur, ini ada perintah dari Ki Tumenggung Gajah Birawa, besok pagi Karebet diharap menghadap Ki Tumenggung di dalem Gajah Birawan" kata prajurit itu.
"Apakah aku juga dipanggil Ki Tumenggung?" tanya Ganjur kepada prajurit itu.
"Tidak Ki Ganjur, yang dipanggil hanya Karebet" jawab prajurit Wira Tamtama itu.
Ganjur mengangguk-anggukkan kepalanya, diapun heran kenapa Ki Tumenggung kali ini tidak memanggilnya
Setelah memberi perintah kepada Karebet untuk menghadap Ki Tumenggung, maka Prajurit Wira Tamtama tersebut berjalan kembali menuju dalem Gajah Birawan.
Malam harinya, gelap menyelimuti seluruh kotaraja Demak, pada saat itu Karebet sedang duduk didepan rumah, sambil memandang ke angkasa, dilihatnya bintang gubuk penceng, yang menunjuk ke arah selatan, dikelilingi oleh banyak bintang disekitarnya.
"Jauh ke arah selatan, terletak desa Tingkir, ada biyung disana, sekarang sudah tua, sedangkan akupun sekarang berada di kotaraja, kasihan biyung" kata Karebet dalam hati.
Karebet masih memandang lintang gubuk penceng lalu iapun berkata dalam hati :"Kalau lebih ke selatan lagi, ada sebuah desa dan disana adalah tanah kelahiranku, Pengging".
Ketika dilihatnya beberapa bintang telah perpindah tempat, Karebetrpun berkata: "Banyak sekali lintang ngalih malam ini"
Karebet menoleh ketika mendengar derit pintu dibuka, dilihatnya pamannya Ganjur berjalan mendekatinya.
"Karebet, sekarang sudah malam, wayah sepi bocah sudah berlalu, sekarang sudah wayah sepi wong, kau tidak tidur ?" tanya pamannya, Ganjur.
"Ya paman" jawab Karebet, dan iapun beranjak masuk ke dalam rumah.
 Malam itu Karebet telah tertidur dan berusaha keras mengisi impiannya, memulai sebuah perjuangan dengan satu tujuan, nggayuh kamukten.

Fajar memerah diufuk timur, ketika beberapa kali terdengar kokok ayam jantan, dan kemudian disusul pula bunyi kicau burung di pohon belimbing, terlihat Karebet menggeliat bangun, dan mulai mempersiapkan dirinya untuk menghadap Tumenggung Gajah Birawa,
Setelah berpamitan kepada pamannya, maka Karebet berjalan menuju dalem Gajah Birawan.
Ketika dilihatnya di pintu gerbang dalem Gajah Birawan, ada seorang abdi sedang menyapu halaman, maka Karebet menghampirinya, dan memohon ijin menghadap Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya, ndara Menggung sudah berpesan, Ki Sanak terus masuk saja, ditunggu di ruang dalam" kata abdi katumenggungan.
Karebet terus berjalan naik ke pendapa lalu menuju ke ruang dalam dan ternyata Tumenggung Gajah Birawa sudah menunggu disana :"Masuk saja Karebet, silahkan duduk disini".
Ketika Karebet sudah duduk berhadapan, Ki Tumenggung berkata :"Kita ke Kraton, menghadap Kanjeng Sultan".
"Baik Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Kita berangkat sekarang" kata Ki Tumenggung, lalu keduanya kemudian berdiri, lalu berjalan keluar dari dalem Gajah Birawan menuju ke Kraton.
Tak berapa lama mereka berdua telah tiba di alun-alun, lalu merekapun menuju pintu gerbang Kraton.

Di pintu gerbang Kraton, dua orang prajurit membungkuk hormat kepada Tumenggung Gajah Birawa, dan ketika keduanya sampai di pintu dalam, Ki Tumenggung berkata pada prajurit Wira Tamtama :"Prajurit, kami akan menghadap Kanjeng Sultan".
"Baik Ki Tumenggung, akan kami sampaikan kepada Kanjeng Sultan" kata prajurit tersebut, lalu ia berjalan menuju ruang dalam, dan sesaat kemudian prajurit itu berkata: "Silahkan Ki Tumenggung, ditunggu Kanjeng Sultan di ruangan dalam"
"Ya, terima kasih" kata Ki Tumenggung, lalu bersama Karebet, keduanya menuju ke ruang dalam.
Didepan pintu keduanya berdiri dengan tangan ngapurancang dan kepala menunduk, tak lama kemudian terdengar suara Sultan Trenggana dari dalam ruangan: "Masuklah"
Setelah menyembah, keduanya duduk di lantai, dengan kepala menunduk.
"Tumenggung Gajah Birawa, pemuda ini yang bernama Karebet?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Ki Tumenggung.
"Karebet" kata Sultan Trenggana.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Karebet
"Apakah betul kau anak Ki Ageng Pengging? Kau anak ontang anting?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, hamba satu-satunya anak Ki Ageng Pengging, hamba anak ontang- anting, tidak mempunyai kakak dan tidak mempunyai adik" jawab Karebet.
"Bagaimana pendapatmu tentang meninggalnya ayahmu Ki Ageng Pengging, Karebet ?" tanya Sultan Trenggana.

Karebet terkejut, dengan hati-hati ia menjawab :" Kanjeng Sultan, ketika ayahanda Ki Kebo Kenanga meninggal, hamba baru berumur tiga warsa, hamba tidak tahu mengenai kejadian itu, dan sejak meninggalnya ayahanda, maka persoalan Pengging telah dianggap selesai".
"Baiklah Karebet, kau memang benar, persoalan Pengging memang sudah selesai" kata Sultan Trenggana.
"Sekarang kita bicara tentang hal lainnya, Tumenggung Gajah Birawa dan kau Karebet, dua hari lagi akan purnama penuh. Pada saat bulan purnama, aku ingin berburu di hutan Prawata, kalian berdua akan aku ajak pergi berburu" kata Sultan Trenggana.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" jawab keduanya.

Belum sempat Sultan Trenggana menjelaskan tentang perburuannya, didepan pintu telah berdiri seorang pemuda sebaya Karebet, bertubuh sedang, dengan sikap ngapurancang, kepala menunduk kearah Kanjeng Sultan.
"Masuklah" kata Sultan Trenggana kepada pemuda tersebut.
Setelah menyembah, maka pemuda itu bergeser akan duduk dilantai, disebelah Karebet.
Karebet menggeser duduknya, dan tanpa sengaja pandangannya bertemu dengan tatapan mata pemuda itu, sorot mata yang tajam.
"Siapakah pemuda ini, tatapan matanya tajam, seperti sorot mata seekor kucing Candramawa" kata Karebet dalam hati.
Setelah pemuda tersebut duduk dan menyembah, lalu terdengar Sultan Trenggana berkata : "Arya Penangsang"

"Dawuh dalem, pamanda Sultan memanggil hamba ?" kata pemuda itu, Arya Penangsang.
"Ya, kau kupanggil karena besok lusa, pada saat bulan purnama, aku akan berburu ke hutan Prawata, kau akan ikut berburu di hutan, Penangsang?" tanya Sultan Trenggana.
"Mohon ampun pamanda Sultan, besok ananda sudah terikat janji dengan Lurah Pasar Pon, ananda akan mengganti satu ekor kuda jantan miliknya yg mati ketika dikejar kuda hitam milik ananda, Gagak Rimang, beberapa tulang iganya patah kena sepak, tulang lehernya juga patah kena gigit Gagak Rimang" kata Arya Penangsang.
"Lalu besok lusa?" tanya Sultan Trenggana.
"Ananda akan ke Jipang, untuk mengembalikan tombak pusaka Jipang, tombak Kyai Muntab yg telah hamba pakai untuk membunuh Sura Alap-alap".kata Arya Penangsang.
"Ya, aku dengar kau telah membunuh Sura Alap-alap" kata Kanjeng Sultan :"Baiklah, tidak apa-apa, hanya persoalan berburu saja Penangsang, tidak ada persoalan lannya, sekarang kau boleh kembali ketempatmu".
"Hamba mohon pamit pamanda Sultan" kata Arya Penangsang sambil menyembah, Arya Penangsangpun kemudian bergeser mundur, dan sesaat kemudian, tubuhnyapun telah menghilang di balik pintu.

Setelah Arya Penangsang tidak terlihat lagi, Kanjeng Sultan berkata : "Tumenggung Gajah Birawa dan kau Karebet, kita lanjutkan pembicaraan kita, jadi besok lusa kita berangkat pada pagi hari, lalu malam harinya kita berkemah di hutan Prawata. Bagaimana menurut pendapatmu Tumenggung Gajah Birawa ?"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan, lalu jumlah prajurit pengawal yang ikut ke hutan Prawata, apakah seperti biasanya ?" kata Tumenggung Gajah Birawa
"Ya, tujuh orang prajurit Wira Tamtama yang kau pimpin sendiri, dan enam orang prajurit dari kesatuan Wira Braja dibawah pimpinan Tumenggung Gagak Anabrang, Tumenggung Surapati dan beberapa prajurit Wira Manggala, dua orang abdi dalem, ditambah Karebet seorang" kata Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Besok pagi kau siapkan semua peralatan dan perlengkapan untuk berburu" kata Kanjeng Sultan.
"Seperti biasanya, besok berangkatkan dulu beberapa prajurit dari kesatuan Wira Manggala untuk melihat keadaan hutan Prawata" perintah Sultan Trenggana.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Tumenggung Surapati sudah kuberitahu, kau tidak perlu pergi ke dalem Surapaten" kata Kanjeng Sultan :"Ya hanya itu, dan sekarang kau boleh kembali ketempatmu"
"Hamba mohon pamit Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa, lalu bersama Karebet keduanya menyembah kepada kanjeng Sultan, lalu bergeser ke arah pintu.

Keduanya lalu perlahan-lahan keluar dari ruangan dalam, kemudian berjalan berdua menuju pintu gerbang.
Tumenggung Gajah Birawa menganggukan kepalanya kepada prajurit yg menjaga pintu gerbang, setelah itu, bersama Karebet, keduanya berjalan kaki pulang menuju ke dalem Gajah Birawan dan dalem Suranatan.
"Ki Tumenggung, pemuda yang dipanggil oleh Kanjeng Sultan tadi, yang sorot matanya tajam, bernama Penangsang?" tanya Jaka Tingkir.
"Ya, Arya Penangsang, putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen, yang merupakan saudara dari Kanjeng Sultan Trenggana, ibu dari Arya Penangsang berasal dari daerah Jipang, putri dari Sunan Ngudung" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Arya Penangsang, pemuda yang mempunyai sorot mata yang tajam, seperti mata seekor kucing Candramawa" kata Karebet.
"Ya, tiga pasar yang lalu dia mendapat tugas untuk melumpuhkan perampok Sura Alap-alap" cerita Ki Tumenggung.
"Sura Alap-alap dari gua Kiskenda?. Perampok duk-deng , yang tubuhnya kebal senjata tajam?" kata Karebet.

Ki Tumengung menganggukkan kepala dan memandang ke Karebet.
"Ternyata Karebet banyak mengetahui persoalan diluar desa Tingkir" kata Ki Tumenggung dalam hati.
Kaki keduanya terus berjalan dengan langkah yang teratur.
"Ki Tumenggung, bukankah Sura Alap-alap tubuhnya kebal dari senjata tajam?" tanya Karebet.
"Ya, itulah sebabnya maka Arya Penangsang membawa tombak pusaka dari Jipang, Kyai Muntab" jawab Ki Tumenggung.
"Ternyata Sura Alap-alap tak mampu mengimbangi ilmu Arya Penangsang, Sura Alap-alap mati terbunuh, tombak Arya Penangsang mampu menembus ilmu kebalnya, dadanya terkena tombak Kyai Muntab tembus kebelakang" kata Ki Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung" jawab Karebet.
"Bukan hanya itu saja keperkasaannya, kekuatan tangan Arya Penangsang luar biasa, belum lama ini Arya Penangsang membuat pangeram-eram, sepasar yang lalu, sebuah batu padas sebesar gudel, dipukul dengan tangannya, akibatnya batu padas sebesar anak kerbau itu pecah berserakan" kata Ki Tumenggung
Tumenggung Gajah Birawa lalu memandang ke arah Karebet, dilihatnya bentuk tubuh Karebet yang hampir sama dengan bentuk Arya Penangsang,

"Kalau mereka berdua beradu ilmu, kelihatannya mereka berimbang, tangan Karebet pasti mampu kalau dipakai untuk menghancurkan batu padas sebesar gudel" kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati.
Seakan mengetahui jalan pikiran Tumenggung Gajah Birawa, Karebet memandang ke arah tangannya sendiri yang menyimpan beberapa aji jaya kawijayan, dan seakan-akan bertanya, apakah nanti pada suatu saat kalau beradu ilmu, ilmunya akan mampu mengimbangi ilmu Arya Penangsang?
Karebet teringat kembali, pada saat berlatih olah kanuragan disebuah hutan, dengan lambaran aji Tapak Angin, dia pernah menghantam sebuah batu padas yang juga sebesar gudel, hingga pecah berserakan.
Selain menghancurkan batu padas, dia pernah pula mateg aji Hasta Dahana, tangannya menghantam sebatang kayu sebesar sepelukan orang, sehingga hangus terbakar.
Apalagi kalau tubuhnya dilambari dengan aji Lembu Sekilan, serangan dari lawannya tertahan pada jarak sekilan dari badannya, tak akan ada senjata yang mampu menyentuh tubuhnya.
Tumenggung Gajah Birawa dan Karebet masih berjalan dengan langkah kaki yang teratur, dan keduanya sudah semakin dekat dengan dalem Gajah Birawan.
"Ki Tumenggung, siapakah guru Arya Penangsang ?" tanya Karebet.
"Gurunya adalah Kanjeng Sunan Kudus. Arya Penangsang masih terhitung keponakan dari Kanjeng Sunan Kudus, sebab Kanjeng Sunan Kudus adalah merupakan putra dari Sunan Ngudung, sejak kecil Arya Penangsang hidup di Kraton dan iapun sering berada di Panti Kudus" cerita Tumenggung Gajah Birawa.
"Ki Tumenggung, setahu saya, Sunan Ngudung dulunya adalah berasal daerah Jipang Panolan" kata Karebet.
"Ya, ketika terjadi perang Kasultanan Demak melawan Kerajaan Majapahit, Demak dipimpin oleh Sunan Ngudung dari Jipang Panolan sebagai Senapati perang, dengan bersenjatakan tombak dan memakai pusaka Kutang Antakusuma milik Kanjeng Sunan Kalijaga, Sunan Ngudung memimpin prajurit Demak segelar sepapan " cerita Tumenggung Gajah Birawa.

"Tak ada senjata yang mampu menembus kulit Sunan Ngudung yang dilambari dengan Kutang Antakusuma" cerita Ki Tumenggung
"Betapa perkasanya Sunan Ngudung, dengan memegang tombak pusakanya, Sunan Ngudung berdiri sendiri di barisan paling depan pasukan Demak, dihujani panah dan tombak oleh para prajurit Majapahit, tidak ada satu senjatapun yang bisa melukai tubuhnya".
"Ya Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Senapati yg memimpin prajurit dari Majapahit adalah seorang Senapati yang tangguh, Adipati Terung, dengan bersenjatakan sebuah keris pusaka luk tiga belas, bergambar seekor naga, yang mempunyai sisik berwarna kuning keemasan"
"Kyai Nagasasra " desis Karebet.

"Ya, keris Kyai Nagasasra, ternyata kau tahu segalanya Karebet, tidak ada seorangpun yang bisa bertahan hidup kalau tubuhnya tergores keris Kyai Nagasasra meskipun hanya seujung rambut" cerita Ki Tumenggung.
"Ya Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Pada saat itu keris Kyai Nagasasra belum diboyong ke Demak Bintara, keris itu masih menjadi pusaka ageng Kerajaan Majapahit" kata Ki Tumenggung.
"Dengan bersenjatakan keris pusaka ageng Majapahit Kyai Nagasasra, Adipati Terung bertempur melawan Sunan Ngudung yang bersenjatakan tombak pusaka dari Jipang Panolan, dirangkapi dengan memakai pusaka Kutang Antakusuma".
"Ditangan Adipati Terung, ternyata keris pusaka Kyai Nagasasra mampu menembus ilmu kebal dan mengoyak pusaka Kutang Antakusuma Senapati Kasultanan Demak hingga sobek, akibatnya Sunan Ngudung dadanya tergores oleh keris Kyai Nagasasra, dan itu ternyata adalah sebuah goresan yang dalam" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Gugurlah seorang Senapati Kasultanan Demak Bintara, yang berasal dari Jipang Panolan, eyang dari Arya Penangsang, Sunan Ngudung." kata Tumenggung Gajah Birawa.
(bersambung)

7 komentar:

  1. Sejarah yg sangat menarik sebagai warisan untuk generasi selanjutnya

    BalasHapus
  2. Cerita sejarah yg ditulis dgn cara yg indah dan ringan sehingga menarik untuk dibaca dan tidak membosankan serta memudahkan kita untuk mengingat sejarah kita sendiri

    BalasHapus
  3. ceritanya mengalir... mudah diikuti..

    BalasHapus
  4. Is very menarik
    Cara menulisnya mantaaap

    BalasHapus