Sabtu, 28 Juni 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 4



BAB 2 : WIRA TAMTAMA, PRAJURIT PENGAWAL RAJA 1

Ditulis oleh : Apung GWAP

Tumenggung Gajah Birawa dan Karebet masih terus berjalan dengan langkah yang teratur, semakin dekat dengan tempat yang mereka tuju.
Ketika keduanya sampai di depan dalem Gajah Birawan, Ki Tumenggung berkata :"Karebet, aku akan menemui adi Tumenggung Gagak Anabrang, kau langsung pulang saja ke dalem Suranatan, besok lusa, sesaat setelah matahari terbit, kau harus sudah berada di pintu gerbang Kraton, kau tunggu aku disana"
"Baik Ki Tumenggung" jawab Karebet.
Keduanya kemudian berpisah, Tumenggung Gajah Birawa masuk ke dalam rumahnya, sedangkan Karebet meneruskan perjalanannya ke dalem Suranatan.
Ketika Karebet memasuki pintu gerbang dalem Suranatan, dilihatnya pamannya Ganjur sedang bekerja membersihkan halaman depan.
"Paman Ganjur" kata Karebet.

Ganjur menoleh, lalu berkata :"Karebet, tadi Ki Tumenggung Gajah Birawa marah kepadamu?
Karebetpun berjalan mendekati pamannya, lalu iapun berkata :"Tidak paman, Ki Tumenggung tidak marah kepadaku, bersama Ki Tumenggung, tadi aku diajak ke Kraton menghadap Kanjeng Sultan"
"Kau tadi telah menghadap Kanjeng Sultan ?" tanya Ganjur seakan-akan tidak percaya.
"Ya paman, besok lusa aku diajak ikut Kanjeng Sultan Trenggana berburu di hutan Prawata" kata Karebet.
"Kanjeng Sultan mengajakmu berburu ke hutan Prawata?" tanya Ganjur.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Karebet apakah telingamu masih baik, paman khawatir, kau salah dengar" kata pamannya.
"Tidak paman, Kanjeng Sultan memang mengajakku berburu" Jawab Karebet.
Pamannya menggelengkan kepalanya, seperti masih belum percaya, kalau Sultan Trenggana telah mengajak Karebet pergi berburu ke hutan Prawata.
"Ya sudah, kau ganti pakaian dulu, lalu bantu paman membersihkan halaman" kata Ganjur
"Baik paman" kata Karebet.

Ketika Karebetpun memasuki rumah pamannya untuk berganti pakaian, dan pada saat yang bersamaan, seekor kuda keluar dari dalem Gajah Birawan, seekor kuda yang tegar berwarna coklat, sesuai dengan badan penunggangnya yang juga berbadan tinggi besar, Tumenggung Gajah Birawa.
Tumenggung Gajah Birawa berkuda ke arah selatan, dan tak lama kemudian sampailah di depan regol sebuah rumah Katumenggungan, kuda Ki Tumenggung lalu berbelok memasuki rumah tersebut.
Di halaman rumah, seorang abdi yang sedang bekerja membersihkan halaman, berlari menghampiri kuda Tumenggung Gajah Birawa, lalu tangannya mengambil alih, memegang tali kendali kuda coklat itu.
Tumenggung Gajah Birawa turun dari kudanya, lalu bertanya :"Ki Tumenggung Gagak Anabrang berada di rumah?"
"Ada, ndara Menggung berada dihalaman samping" jawab abdi Katumenggungan sambil menambatkan kendali kuda pada sebuah tonggak kayu disamping sebatang pohon belimbing.
Tumenggung Gajah Birawa lalu berjalan menuju kesamping rumah, terlihat seorang setengah baya, sedang terhanyut menikmati suara burung perkutut.
"Adi Tumenggung Gagak Anabrang" panggil Tumenggung Gajah Birawa.
Orang itu menoleh, lalu tersenyum :"Mangga kakang Tumenggung Gajah Birawa, burung perkututku suaranya sudah kung, mari silahkan, kita ke ruang dalam saja"

Keduanya lalu naik ke pendapa, lalu berjalan menuju ruang dalam, setelah duduk dan mengabarkan keselamatan masing-masing, Tumenggung Gajah Birawa berkata :"Adi Tumenggung Gagak Anabrang, aku membawa perintah dari Kanjeng Sultan"
Mulailah Tumenggung Gajah Birawa mengutarakan rencana Sultan Trenggana untuk berburu ke hutan Prawata besok lusa.
"Baik kakang Tumengung, jadi dari pasukan Wira Braja ada enam orang yang akan berangkat ke hutan Prawata ?" tanya Tumenggung Gagak Anabrang.
"Betul adi Tumenggung ditambah seorang yang menjadi pimpinan prajurit Wira Braja, jadi tujuh orang"
"Kalau begitu besok yang akan berangkat adalah saya sendiri, ditambah seorang Panji, lalu seorang Lurah dan empat orang prajurit" kata Tumenggung Gagak Anabrang.
"Baik adi Tumenggung, besok pagi akan kita persiapkan semuanya, dan sekarang saya mohon pamit" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Silahkan kakang Tumenggung" kata Tumenggung Gagak Anabrang.
Kedua orang Tumenggung itupun kemudian berdiri, dan berjalan menuju ke regol.
Tumenggung Gagak Anabrang mengantar tamunya sampai di regol, sesaat kemudian kuda yang ditunggangi Tumenggung Gajah Birawa telah berlari menuju arah utara.

Waktupun berjalan terus, matahari merambat pelan-pelan di kaki langit dan tenggelam di ufuk barat.
Pada keesokan harinya di sebuah ruangan di dalam Kraton, tiga orang Tumenggung sedang membicarakan rencana keberangkatan kehutan Prawata besok pagi.
"Adi Tumenggung Gagak Anabrang dan Adi Tumenggung Surapati, persiapan kita sudah selesai, semua berjalan lancar, tidak ada masalah, besok kita akan berangkat pagi hari, lalu kapan Adi Tumenggung Surapati akan memberangkatkan petugas sandi ?" tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya kakang Tumenggung, sebentar lagi dua prajurit sandi dari kesatuan Wira Manggala akan berangkat untuk melihat situasi dihutan Prawata" jawab Tumenggung Surapati.
"Terima kasih adi Tumenggung Surapati" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Besok kalau Kanjeng Sultan berangkat, apakah urusan Kraton sudah dibicarakan dengan Ki Patih Wanasalam?" tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Sudah Ki Tumenggung" jawab Tumenggung Surapati.

"Baik, adi Tumenggung Gagak Anabrang, apakah prajurit yang membuat rakit sudah diberangkatkan ?" tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Sudah kakang Tumenggung, sudah diberangkatkan tadi pagi" jawab Tumenggung Gagak Anabrang.
"Lalu untuk keperluan tenda dan makanan sudah diberangkatkan ?" tanya Tumenggung Gajah Birawa lagi.
"Sudah kakang Tumenggung, bersama dengan prajurit yang berangkat tadi pagi, kita berangkatkan tiga ekor kuda yang membawa beban" jawab Tumenggung Gagak Anabrang.
"Baiklah, pembicaraan kita sampai sekian, besok pagi kita bertemu lagi disini" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Ketiganya lalu keluar, ketika sampai di halaman, Tumenggung Surapati lalu berjalan menuju ke arah pohon sawo, menemui dua orang berpakaian petani.
"Kalian boleh berangkat, kau bawa beberapa panah sendaren?" kata Tumenggung Surapati.
"Ya Ki Tumenggung, kami bawa panah sendaren, kami berangkat sekarang" kata salah seorang petani itu.
Tak lama kemudian, dua ekor kuda yang ditunggangi oleh dua orang berpakaian petani yang membawa beberapa panah sendaren, keluar dari pintu gerbang Kraton menuju ke arah timur, ke arah hutan Prawata.

Malam itu, ketika langit bertabur bintang diatas kotaraja Demak, Karebet sedang berbaring menganyam angan-angannya yang melambung tinggi.
Semuanya mengalir seperti air, begitu mudahnya, dia sendiripun tidak menyangka, besok pagi dia akan diajak Sultan Trenggana berburu dihutan Prawata.
"Aku harus siap, apapun yang akan terjadi di hutan Prawata nanti" kata Karebet didalam hati.
Malam telah larut, yang terdengar hanyalah suara binatang malam dan suara nafas Karebet yang teratur, tenggelam di alam mimpi.
Esok paginya, semburat merah terlihat di bang wetan, ketika Karebet sedang berpamitan kepada pamannya Ganjur.
"Hati-hati Karebet, kali ini kau pergi bersama dengan seorang Raja yang dikawal oleh belasan prajurit Wira Tamtama, jaga dirimu baik-baik, jangan melawan perintah Kanjeng Sultan" kata Ganjur.
"Baik paman" kata Karebet.
Karebet lalu melangkahkan kakinya, berjalan keluar dari dalem Suranatan menuju ke arah Kraton.
Udara pagi yang segar, mengiringi Karebet yang melangkah cepat, berlomba dengan alam yang semakin terang.
Sampai didepan pintu gerbang Kraton, yang dijaga oleh dua orang prajurit, Karebetpun berhenti, menunggu kedatangan Tumenggung Gajah Birawa.

Beberapa saat kemudian, terlihat seekor kuda tinggi besar berwarna coklat berlari mendekat, dan setelah sampai didepan pintu gerbang Kraton, kuda itupun berhenti.
Penunggangnya, Tumenggung Gajah Birawa yang memakai pakaian perwira Wira Tamtama, turun dari kudanya.
Sesaat kemudian, terlihat seorang prajurit Wira Tamtama menghampirinya lalu memegang tali kendali kudanya, kemudian kuda itupun dituntun masuk ke dalam halaman Kraton.
Tumenggung Gajah Birawa beserta Karebet kemudian berjalan memasuki halaman Kraton, dan ternyata disana telah menunggu Tumenggung Gagak Anabrang yang memakai pakaian perwira Wira Braja dan Tumenggung Surapati yang juga memakai pakaian perwira Wira Manggala. Di belakang mereka sudah siap belasan kuda, dan beberapa bendera kesatuan prajurit yang masih tergulung..
"Adi Tumenggung Surapati" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya kakang Tumenggung" jawab Tumenggung Surapati.
"Prajurit perintis sudah bisa diberangkatkan sekarang" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Baik, kakang Tumenggung" kata Tumenggung Surapati, lalu ia melambaikan tangannya, sejenak kemudian, dua ekor kuda berpenumpang dua orang petani yang membawa pedang pendek, panah sendaren dan panah api, berjalan keluar dari pintu gerbang Kraton menuju ke arah timur.

Itulah dua orang prajurit perintis Wira Manggala, yang berangkat lebih awal, mereka berkuda beberapa ratus langkah didepan rombongan Kanjeng Sultan untuk memastikan jalan yang aman untuk dilalui rombongan Sultan Trenggana.
Tumenggung Gajah Birawa memanggil Karebet dengan isyarat tangan, setelah Karebet mendekat, maka Ki Tumenggungpun berkata :" Karebet, kau bisa naik kuda ?"
"Bisa Ki Tumenggung" jawab Karebet.
"Baik, sekarang sebaiknya kau berganti pakaian dulu" kata Ki Tumenggung.
"Maaf Ki Tumenggung, pakaian saya hanya satu, yang saya pakai sekarang ini" kata Karebet.
Tumenggung Gajah Birawa tersenyum, lalu tangannya melambai dan seorang abdi dalem mendekat sambil membawa sebuah bungkusan.
"Karebet, ini sepengadeg pakaian abdi dalem Kasultanan Demak, pakailah pakaian ini, dan kau ganti pakaian dulu di belakang" kata Ki Tumenggung sambil memberikan sebuah bungkusan kepada Karebet.
"Terima kasih Ki Tumenggung" jawab Karebet sambil menerima bungkusan, dan ia pun kemudian pergi kebelakang untuk berganti pakaian.

Sementara itu, seorang prajurit mengatur letak posisi beberapa kuda, ada beberapa kuda yang posisinya masih terlihat miring, diluruskan, sehingga membentuk suatu barisan kuda yang rapi.
Beberapa saat kemudian terlihat Karebet yang sudah berpakaian abdi dalem Kasultanan, berjalan menuju ketempat Tumenggung Gajah Birawa.
"Karebet, kau naik kuda yang itu, kau bersama dua abdi dalem lainnya, nanti melayani keperluan Kanjeng Sultan dan keperluan lainnya di sepanjang jalan dan di hutan Prawata." kata Ki Tumenggung.
"Baik Ki Tumenggung" kata Karebet.
Tumenggung Gajah Birawa melihat berkeliling, setelah semuanya siap, tangannya diangkat memberi isyarat, lalu terdengar suara bende yang ditabuh.
Suara bende telah berbunyi sekali, dan tak lama kemudian semua prajurit dan abdi dalem sudah siap di samping kudanya masing-masing.
Sekali lagi Tumenggung Gajah Birawa melihat berkeliling, dilihatnya kedua Tumenggung menganggukkan kepalanya, lalu Tumenggung Gajah Birawa mengangkat tangannya, maka Tumenggung Gagak Anabrang dan Tumenggung Surapati berjalan menuju ke ruang dalam.
Sesaat kemudian terlihat Sultan Trenggana keluar ruangan dengan memakai busana ksatrian, diapit oleh Tumenggung Gagak Anabrang dan Tumenggung Surapati.
Dibelakang Sultan Trenggana ada seorang yang membawa songsong kerajaan, payung kebesaran Kasultanan Demak yg berwarna kuning keemasan

Disebelah abdi dalem yang membawa payung, berjalan pula seseorang yang sudah berumur setengah baya.
Tumenggung Gajah Birawa maju selangkah dan mempersilahkan Kanjeng Sultan untuk naik kuda yang telah dipersiapkan, sedangkan orang yang berumur setengah baya, yang keluar bersama Sultan Trenggana, hanya berdiri saja disamping kuda Kanjeng Sultan.
Setelah Kanjeng Sultan berada dipunggung kuda, maka terdengarlah suara bende yang ditabuh untuk kedua kalinya, dan semua prajurit dan abdi dalem naik ke punggung kuda masing-masing, siap untuk berangkat.
Karebet, yg duduk diatas kuda, menebarkan pandangan berkeliling, ia melihat betapa gagahnya para prajurit yang duduk diatas punggung kuda.
Didepan sendiri, diatas punggung kudanya, Tumenggung Gagak Anabrang bertindak sebagai cucuk lampah, dibelakangnya enam orang prajurit berkuda Wira Braja, dua diantaranya membawa bendera kesatuan Wira Braja dan bendera Kasultanan Demak.

Dibelakangnya, Sultan Trenggana berkuda dikelilingi oleh tujuh orang prajurit berkuda Wira Tamtama, tiga diantaranya membawa bendera Wira Tamtama, sebuah songsong kuncup, payung Kasultanan Demak dalam keadaan tertutup, dan seorang lagi yang membawa sebuah bende.
Dibelakangnya, tiga orang abdi dalem termasuk dirinya, duduk diatas punggung kuda.
Berkuda paling belakang adalah Tumenggung Surapati, dan disebelahnya seorang prajurit berkuda dengan membawa bendera kesatuan Wira Manggala.
Sultan Trenggana berkata pada orang yang berdiri disampingnya:" Patih Wanasalam, aku berangkat sekarang"
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, hati-hati dijalan" jawab Patih Wanasalam.
Setelah semua bersiap, maka Tumenggung Gajah Birawa mengangkat tangannya, maka terdengar suara bende yang dipukul ketiga kalinya, lalu kuda Tumenggung Gagak Anabrang yang menjadi cucuk lampah, perlahan- lahan mulai bergerak maju.

Rombongan mulai meninggalkan pintu gerbang Kraton menuju ke arah timur. Jaka Tingkir yang berpakaian abdi dalem, duduk diatas kuda yang berjalan perlahan, melihat indahnya seragam para prajurit dari Kasultanan Demak, dan betapa gagahnya bendera yang berkibar.
Bendera yang berkibar paling depan adalah bendera kesatuan Wira Braja, yang mempunyai dasar warna pare anom bergambar sebuah Trisula warna hitam, Trisula Sakti.
Dibelakangnya ada bendera yang mempunyai dasar warna hitam, bergambar sebuah Cakra berwarna kuning emas, itulah bendera kesatuan Wira Tamtama, Cakra Baskara.
Yang paling belakang adalah bendera dari kesatuan Wira Manggala dengan warna dasar putih, bergambar sinar matahari terbit berwarna merah, Surya Sumirat.
Semua bendera berkibar megah, tapi ada satu bendera yang berkibar amat gagah, tegak berdiri paling tinggi, bendera yang ukurannya lebih besar dibandingkan dengan bendera lainnya, yang terletak didepan Sultan Trenggana, bendera yang dibawa oleh seorang prajurit Wira Braja..
Itulah bendera Kasultanan Demak, Sang Dwi Warna, bendera Gula Kelapa.

Matahari perlahan-lahan merayap naik, langit sudah terlihat terang, gelap malam sudah tak tersisa lagi ketika rombongan berkuda Sultan Trenggana beriringan keluar dari pintu gerbang Kraton, berjalan ke arah timur.
Didepan sendiri Tumenggung Gagak Anabrang berkuda sebagai cucuk lampah, terlihat gagah sekali dengan seragam pasukan Wira Braja, dan kudanyapun berlari tidak begitu kencang kearah matahari terbit.
Disepanjang jalan, rakyat Demak menunduk hormat, berjongkok ketika Kanjeng Sultan Trenggana lewat didepan mereka.
Ketika rombongan berkuda lewat didepan dalem Suranatan, ada sepasang mata yang mengintip dari balik pagar, melihat ke arah rombongan Kanjeng Sultan dengan kagum dan heran.
Ganjur melihat keponakannya, Karebet naik seekor kuda, berada dibelakang kuda Kanjeng Sultan.

"Biyuh biyuh, anak itu sekarang sudah menjadi abdi dalem Kanjeng Sultan" kata Ganjur dalam hati.
Betapa kagumnya Ki Ganjur, hanya beberapa hari yang lalu, kemenakannya, Karebet, baru saja datang dari desa Tingkir, sekarang sudah berada diatas punggung kuda berpakaian abdi dalem pergi bersama Raja Demak, Kanjeng Sultan Trenggana, ikut berburu ke hutan Prawata.
"Betapa mudahnya" kata Ki Ganjur dalam hati.
"Nyai Ageng Tingkir pasti bangga, kalau anaknya menjadi abdi dalem" katanya dalam hati.
Pandangannya masih mengagumi sosok Karebet yang berkuda di dalam rombongan Kanjeng Sultan Trenggana.
Diintipnya Kanjeng Sultan dan rombongan berkuda dari balik pagar, sampai bayangan rombongan berkuda hilang dari pandangan.

Rombongan Sultan Trenggana terus berjalan menuju ke arah timur, dan beberapa saat kemudian mereka telah tiba di tepi sungai Tuntang.
Kuda pun berhenti, kemudian Sultan Trenggana turun dari kuda diikuti semua rombongan.
"Dimana rakit yang sudah dipersiapkan ?" tanya Tumenggung Gajah Birawa kepada seorang prajurit Wira Tamtama.
"Rakitnya disitu Ki Tumenggung" kata prajurit itu sambil tangannya menunjuk ke sebuah rakit yang tertambat ditepi sungai..
Tumenggung Gajah Birawa kemudian mengatur penyeberangan, mereka semua akan menyeberangi sungai menggunakan rakit secara bergantian.

Yang pertama kali menyeberang adalah Tumenggung Gagak Anabrang beserta enam orang prajurit Wira Braja, empat orang dari mereka mendorong rakit dengan menggunakan batang bambu.
Setelah sampai diseberang, beberapa prajurit Wira Braja berpencar memeriksa keadaan disekelilngnya.
Tumenggung Gagak Anabrang memberi isyarat aman kepada Tumenggung Gajah Birawa, dan rakit kedua yang berisi Kanjeng Sultan dan prajurit Wira Tamtamapun mulai bergerak maju.
Ketika semua orang dan kuda sudah berada disebelah timur sungai Tuntang maka rombongan berkuda Sultan Trenggana melanjutkan perjalanan, menuju ke timur.
Matahari perlahan-lahan bergerak di atas langit menuju ke arah barat, hari sudah semakin siang, masih ada waktu beberapa saat lagi sebelum sampai di kali Serang.
Tumenggung Gajah Birawa memerintahkan kepada seorang prajurit Wira Tamtama untuk berangkat mendahului ke Kudus, memberi kabar kepada Sunan Kudus, karena rombongan Kanjeng Sultan akan singgah di Panti Kudus.
Sesaat kemudian, seekor kuda melepaskan diri dari rombongan, dipacu menuju Panti Kudus dan tak lama kemudian bayangannyapun sudah hilang dari pandangan.
Ketika rombongan Kanjeng Sultan sudah berada ditepi kali Serang, Ki Tumenggung Gajah Birawa kembali mengatur penyeberangan di sungai yang cukup lebar, bergantian mereka menyeberangi sungai menggunakan rakit.

Dari tepi timur kali Serang, rombongan berkuda kembali meneruskan perjalanan dan tak lama kemudian, terlihat didepan mereka, sebuah bangunan yang menjadi tempat tinggal salah satu Wali Sanga yang pernah menjadi Senapati Perang Kasultanan Demak, Kanjeng Sunan Kudus,
Ketika rombongan berkuda semakin dekat, Tumenggung Gajah Birawa melihat beberapa orang berdiri di depan Panti Kudus, menyambut kedatangan rombongan Sultan Trenggana. Didepan sendiri, berdiri Kanjeng Sunan Kudus, dan di belakang Kanjeng Sunan Kudus, belasan santri juga siap menyambut para prajurit, siap merawat dan memberi makan kuda tunggangan para prajurit.
Tumenggung Gagak Anabrang yang berkuda paling depan mengangkat tangannya, dan sesaat kemudian rombongan Kanjeng Sultan berhenti, dan semua penunggangnya turun dari kuda.
Pandangan Kanjeng Sunan Kudus menyapu semua orang didalam rombongan Sultan Demak, seakan-akan ada seseorang yang ditunggu dan dicari didalam rombongan itu.
Sunan Kudus maju beberapa langkah menyambut Kanjeng Sultan bersama ketiga orang Tumenggung, Sunan Kudus mengajak mereka masuk ke ruangan Panti Kudus.
Sedangkan para prajurit dipersilahkan istirahat disebuah ruangan yang lain.

Didalam ruangan, Kanjeng Sunan Kudus bersama Kanjeng Sultan Trenggana duduk dikursi, sedangkan ketiga Tumenggung duduk diatas tikar
Setelah saling menanyakan kabar keselamatan masing-masing, Sunan Kudus bertanya kepada Kanjeng Sultan "Kanjeng Sultan, dimana muridku Penangsang?"
"Penangsang sebetulnya sudah saya ajak untuk ikut berburu, Kanjeng Sunan, tapi hari ini kebetulan Penangsang akan pergi ke Jipang Panolan" kata Sultan Trenggana.
"Kemenakanku Penangsang memang terlalu keras hatinya, kalau sudah mempunyai suatu kemauan, maka kemauan itu harus terlaksana, seharusnya Penangsang menunda kepergiannya ke Jipang Panolan, sebaiknya dia ikut berburu ke hutan Prawata, sehingga bisa bertemu dengan aku, gurunya" kata Sunan Kudus
Pembicaraan itu terhenti ketika beberapa santri Kudus masuk ke ruangan dengan membawa pisang rebus dan beberapa buah kelapa muda.

Setelah Kanjeng Sultan menikmati makanan dan minuman, Sunan Kudus berkata : "Kanjeng Sultan, waktunya sudah masuk dhuhur, mari kita tunaikan kewajiban kita, kita bersama-sama sholat dhuhur berjamaah"
"Baik Kanjeng Sunan" kata Sultan Trenggana.
Kanjeng Sunan Kudus bersama Sultan Trenggana keluar ruangan diikuti oleh ketiga Tumenggung, untuk menunaikan kewajiban sholat dhuhur.
"Kolam dan padasan untuk wudhu ada di sebelah barat" kata Sunan Kudus.
Bersama Kanjeng Sultan, Sunan Kudus berjalan menuju kolam serta padasan untuk mengambil air wudhu.
Ketika sedang berjalan, Sunan Kuduspun melihat tiga orang abdi dalem bersama beberapa orang santri sedang memberi makan dan minum kuda,
Ketiga abdi dalem itu melihat ke Sunan Kudus yang sedang berjalan menuju padasan, mereka mengangguk hormat, Sunan Kuduspun juga membalas hormatnya,

Ketika itu pandangan mata Sunan Kudus beradu dengan sorot mata salah seorang abdi dalem yang masih sangat muda, anak muda yang berbadan sedang, berwajah tampan, mempunyai sorot mata yang tajam, seperti mata seekor macan kumbang.
"Siapakah sebenarnya pemuda luar biasa itu, pandangan matanya bercahaya" kata Sunan Kudus dalam hati.
Ketika terdengar suara kentongan yang dipukul oleh salah seorang santri, maka Kanjeng Sunan Kudus bersama semua santri dan para tamu, bersiap melakukan sholat dhuhur berjamaah.
Perlahan-lahan matahari terus bergeser ke arah barat dan telah tiba saatnya Sultan Trenggana, para perwira dan para prajurit dijamu makan siang di dalam Panti Kudus.
Setelah selasai makan, Kanjeng Sunan Kudus mengajak Sultan Trenggana untuk berbicara berdua di sebuah ruangan di dalam panti Kudus.
"Kanjeng Sultan" kata Sunan Kudus :"Sebelum kita sholat tadi, saya berjalan ketempat padasan untuk mengambil air wudhu, saya melihat tiga orang abdi dalem, seorang diantaranya menarik perhatian saya"
"Umurnya masih sangat muda, pandangan matanya tajam, kalau boleh tahu, siapakah sebenarnya pemuda itu Kanjeng Sultan?" tanya Sunan Kudus.

"Yang dimaksud Kanjeng Sunan seorang anak muda bertubuh sedang, berwajah tampan, pandangan matanya tajam ?" tanya Sultan Trenggana.
"Betul Kanjeng Sultan" kata Sunan Kudus.
"O anak itu. Namanya Karebet, Mas Karebet" kata Sultan Trenggana.
"Mas Karebet,...... Karebet, saya pernah mendengar nama itu, Karebet" kata Sunan Kudus.
"Ya, Karebet Kanjeng Sunan, anak Ki Kebo Kenanga dari Pengging" kata Kanjeng Sultan :"Ayahnya dulu terbunuh oleh Kanjeng Sunan Kudus, ketika Karebet masih kecil, masih berumur tiga warsa"
"Betul, aku yang membunuhnya. Ki Ageng Pengging terbunuh karena tidak mau menghadap ayahanda Sultan Patah di Demak" kata Sunan Kudus.
"Ki Ageng Pengging memang harus mati, kebetulan orang yang membunuhnya adalah Kanjeng Sunan Kudus sebagai Senapati Perang Kasultanan Demak" kata Sultan Trenggana.
Sunan Kudus teringat ketika Sultan Demak Bintara, Raden Patah mengangkatnya sebagai Senapati menggantikan ayahnya, Sunan Ngudung yang berasal dari Jipang, yang gugur melawan Adipati Terung dari Majapahit.

"Ya, memang saya diberi purba wasesa oleh ayahanda Sultan, sebagai duta pamungkas, lalu apa kata Karebet tentang kematian ayahnya? " kata Sunan Kudus.
"Karebet berkata, dengan meninggalnya Ki Kebo Kenanga, maka persoalan Pengging sebenarnya sudah selesai" kata Sultan Trenggana.
"Ya, dari dulu persoalan Ki Ageng Pengging memang sudah selesai" kata Sunan Kudus.
"Betul Kanjeng Sunan, persoalan Pengging memang sudah selesai" kata Sultan Trenggana.
Keduanya berdiam diri, hanyut dalam pusaran pengembaraan angan-angan.
Sejenak kemudian Sultan Trenggana mengucapkan terima kasih dan mohon pamit, akan meneruskan perjalanan.
"Ya, mudah-mudahan perjalanan Kanjeng Sultan lancar" kata Sunan Kudus.
Keduanya kemudian keluar menemui Tumenggung Gajah Birawa yang telah menunggu diluar.
"Kita berangkat sekarang" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, para prajurit sudah siap di halaman" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Sultan Trenggana kemudian menuju ke halaman dan naik ke atas punggung kuda.

Setelah Kanjeng Sultan sudah berada diatas punggung kuda, maka para prajurit dan abdi dalem semua naik ke punggung kudanya bersiap untuk berangkat.
Kanjeng Sunan Kudus berdiri disamping kuda Kanjeng Sultan dan setelah Sultan Trengana sekali lagi mohon diri, maka Tumenggung Gagak Anabrang sebagai cucuk lampah yang berada paling depan, mengerakkan kudanya maju perlahan-lahan
Rombongan berkuda bergerak maju ke arah timur, meninggalkan debu yang berhamburan dibelakangnya.
Berlawanan dengan bergeraknya kaki-kaki kuda kearah timur, maka matahari perlahan-lahan terus bergerak kearah barat.
Rombongan Sultan Trenggana berjalan terus, belum jauh dari Panti Kudus, Tumenggung Gagak Anabrang membelokkan kudanya sedikit ke arah selatan menuju arah hutan Prawata.
Setelah menempuh waktu cukup lama maka Tumenggung Gagak Anabrang mengangkat tangannya, memberi isyarat untuk berjalan lebih pelan karena sudah masuk di bibir hutan Prawata.

Rombongan pemburu berjalan masuk kehutan, tak lama kemudian sampailah disebuah tanah lapang yang agak luas dan disana telah terdapat empat buah gubug yang telah dibangun oleh prajurit yang telah berangkat lebih dulu, sebuah perkemahan sederhana.
Empat bangunan gubug yang dibangun diatas tanah lapang, satu bangunan gubug agak besar berada di tengah, dikelilingi tiga bangunan gubug ukuran sedang.
Hanya berjarak beberapa puluh langkah dari perkemahan, terdapat sebuah sungai kecil yang dapat dipergunaan untuk mandi ataupun untuk keperluan lainnya.
Rombongan berkuda berhenti, di depan gubug dan disana telah menanti dua orang prajurit berpakaian petani yang telah berangkat lebih dulu dan berkuda beberapa ratus langkah didepan rombongan Kanjeng Sultan.
Sultan Trenggana turun dari kuda diikuti oleh tiga orang tumenggung beserta prajurit yang membawa songsong Kasultanan, berjalan menuju gubug yang paling besar dan atapnya tertutup oleh daun kelapa.

Didalam gubug ada dua buah lincak yang terbuat dari bambu, lalu ada sebuah meja diatasnya terdapat sebuah kendi, sebuah ploncon tempat songsong kerajaan, beberapa buah kelapa muda, dan beberapa buah-buahan segar.
Disudut gubug, ada sebuah kamar yang disekat, didalamnya ada banyak sekali bambu-bambu yang dipotong pendek, berisi air untuk keperluan mandi Sultan Trenggana.
Setelah mengantar Kanjeng Sultan masuk kedalam gubugnya dan memasukkan payung kerajaan kedalam sebuah plocon, yang sebetulnya adalah tempat menyimpan tombak yang saat ini dipakai untuk tempat payung supaya bisa berdiri, maka ketiga orang Tumenggung dan seorang prajurit pembawa songsong, berjalan menuju ketiga gubug lainnya, sedangkan didepan gubug Sultan Trenggana, berjaga dua orang prajurit berpakaian petani.
Didalam ketiga gubug prajurit banyak terdapat bahan makanan yang segera dimasak oleh abdi dalem dibantu para prajurit.

Dua orang prajurit Wira Tamtama telah berganti pakaian, dan dengan memakai pakaian sehari-hari, mereka mengambil alih penjagaan gubug Kanjeng Sultan dari prajurit berpakaian petani.
Dihalaman, bendera yang dibawa rombongan ditancapkan di tanah, sehingga bendera itu bisa bebas berkibar tertiup angin. Terjadi kesibukan ketika tiga orang abdi dalem dibantu beberapa prajurit sedang memasak nasi untuk makan malam Sultan Trenggana beserta para prajurit.

Malam telah menyelimuti hutan Prawata, sinar bulan purnama hanya mampu menggapai lemah kegelapan hutan, beberapa obor dinyalakan didepan beberapa gubug, dua orang prajurit Wira Tamtama masih berjaga di depan gubug Kanjeng Sultan.
Didalam gubug, Sultan Trenggana duduk dihadap oleh Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Gagak Anabrang, didepannya, di atas meja terdapat sebuah pelita kecil yang menyala dengan diberi minyak dari lemak binatang yang dipanaskan.
Sesaat kemudian masuklah dua orang abdi dalem membawa makanan, nasi sebakul, sayur dan sepotong daging bakar.
"Makanannya ditaruh disitu saja Karebet" kata Kanjeng Sultan.
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Karebet.

Setelah meletakkan makanan diatas meja, kedua abdi dalempun bergeser keluar dari gubug Kanjeng Sultan.
"Mohon ampun Kanjeng Sultan, makanannya akan hamba cicipi lebih dulu" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya, silahkan" kata Kanjeng Sultan. Tumenggung Gajah Birawa mengambil daun pisang, lalu dibuatnya sebuah pincuk, dan diisinya dengan nasi dan sayur, serta di irisnya sedikit daging bakar.
Tumenggung Gajah Birawa menikmati makanan sambil merasakan kalau ada perbedaan atau keanehan dari makanan yang disajikan ke Kanjeng Sultan, sebuah pekerjaan yang berbahaya, mencicipi masakan untuk Sultan Trenggana.
 Setelah ditunggu beberapa saat ternyata Tumenggung Gajah Birawa, tidak mengalami perubahan apapun, maka Kanjeng Sultanpun mulai mengambil makanan.
"Sebentar lagi kita berangkat berburu, masuk ke tengah hutan" kata Kanjeng Sultan setelah selesai makan :"Kalian berdua makanlah dulu"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan"kata Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Gagak Anabrang, kemudian perlahan-lahan keduanya keluar dari dalam gubug.

Malam semakin dalam, para prajurit Wira Tamtama sudah bersiap mengikuti Kanjeng Sultan pergi berburu masuk kedalam hutan.
"Adi Tumenggung Gagak Anabrang dan adi Tumenggung Surapati, kita pergi bertiga ditambah tujuh prajurit Wira Tamtama, dan atas perintah Kanjeng Sultan, ditambah satu orang abdi dalem, Karebet" kata Tumenggung Gajah Birawa
"Selanjutnya siapakah yang memimpin prajurit di tinggal disini?" tanya Tumenggung Surapati.
"Dari kesatuan Wira Braja Kakang Tumenggung, seorang perwira berpangkat Panji, bernama Kertapati, Panji Kertapati" jawab Tumenggung Gagak Anabrang.
Ketika Sultan Trenggana keluar dari gubug, maka tujuh orang prajurit Wira Tamtama, tiga orang Tumenggung serta Karebet, siap untuk berburu mengikuti Kanjeng Sultan.
Beberapa prajurit membawa perlengkapan berburu, disamping membawa bekal, juga membawa beberapa busur dan puluhan anak panah.
"Adi Panji Kertapati" kata Tumenggung Gagak Anabrang :"Kami berangkat sekarang, kau jaga perkemahan ini"
"Baik Ki Tumenggung" kata Panji Kertapati.

Mulailah rombongan pemburu berjalan kaki ke arah timur, masuk ke dalam gelapnya hutan.
Dimalam yang gelap, sinar bulan purnama tak mampu menembus lebatnya pohon di hutan Prawata, yang tidak terlalu jauh dengan kaki gunung Muria, hanya terlihat seberkas sinar yang memancar dari sebuah obor yang dibawa oleh seorang prajurit.
Sudah sekian lama mereka berjalan, tetapi hutan sangat sepi, mereka tidak menjumpai seekor binatang buruanpun.
"Aneh, tidak biasanya hutan seperti ini, sepi sekali" kata Tumenggung Gagak Anabrang dalam hati.
"Tumenggung Gajah Birawa" kata Sultan Trenggana.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Kau rasakan ada yang aneh dengan hutan ini?" tanya Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, tidak biasanya suasana hutan sepi sekali seperti ini, disini tidak ada sedikitpun suara binatang hutan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.

Pada waktu berburu beberapa purnama yang lalu, pada cuaca seperti ini, biasanya sudah dapat hasil buruan, beberapa ekor kijang, atau binatang yang badannya sedikit lebih kecil, kancil..
Sultan Trenggana mempunyai naluri seorang pemburu yang sangat baik, sehingga mampu merasakan ada sesuatu yang aneh, sepi sekali.
"Ada sesuatu yang tidak wajar telah terjadi di hutan ini" kata Sultan Trenggana.
Tumenggung Gajah Birawa yang berjalan didepan Sultan Trenggana segera mencabut pedang pendeknya, kemudian diikuti oleh Tumenggung Gagak Anabrang dan Tumenggung Surapati, ditangan mereka telah tergenggam masing-masing sebuah pedang pendek.
Mengetahui keadaan yang tidak dapat diraba, ketujuh orang prajurit Wira Tamtama juga mencabut pedangnya.

Orang yang berjalan paling belakang adalah Karebet, yang tidak membawa senjata, hanya membawa perbekalan dan perlengkapan berburu.
Karebet menengadahkan kepalanya, panggrahitanya yang tajam seakan-akan mengatakan, didepan mereka ada sesuatu yang berbahaya.
"Ada apa ini" kata Karebet dalam hati.
Matanya yang tajam melihat sekelilingnya, tetapi tidak terlihat apapun juga, yang terlihat hanya gelapnya malam didalam hutan.
"Berbahaya sekali, sesuatu yang bisa mematikan, siapakah yang berada di kegelapan malam?" kata Karebet dalam hati.

Ia tidak mau terkapar pada serangan pertama, maka Karebetpun berusaha melindungi dirinya dari serangan yang mematikan itu dengan mateg aji yang tiada duanya, Lembu Sekilan.
Sultan Trenggana bukan seorang yang lemah, Kanjeng Sultan adalah orang yang mumpuni, dalam dirinya tersimpan berbagai ilmu, sehingga mampu membuat keputusan yang cepat.
Saat itu suasana hutan terasa aneh, ada yang tidak wajar, terasa sangat sepi mencekam, semua orang tidak tahu, apa yang berada didalam gerumbul hutan didepan mereka,
Sultan Trenggana mengangkat tangannya, dan memberi isyarat untuk berhenti, ketiga orang Tumenggung dan ketujuh prajurit Wira Tamtama segera berhenti, ditangan merekapun masih tergenggam sebuah pedang pendek.
"Tumenggung Gajah Birawa, kita harus mundur, karena kita tidak mengetahui dengan jelas keadaan disekitar kita, ada sesuatu yang kita tidak tahu, kita bisa diserang mendadak tanpa kita tahu dari mana arah penyerangnya" kata Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Kita kembali dulu ke perkemahan, besok pagi kita kembali ketempat ini lagi" kata Sultan Trenggana.

Perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan mereka berjalan mundur, setelah itu mereka memutar tubuh, berjalan kembali ke arah perkemahan,
Karebet yang berjalan paling belakang merasa keadaan belum sepenuhnya aman, sehingga aji Lembu Sekilan masih manjing pada dirinya.
Prajurit yang membawa obor berjalan didepan, nyala apinya menari-nari lemah, cahaya obornya menggapai lemah pepohonan disekitarnya.
Perkemahan sudah semakin dekat, Karebet yang merasa keadaan sudah semakin aman, perlahan-lahan melepas aji Lembu Sekilan dari dalam dirinya.
Ketika prajurit yang bertugas jaga diperkemahan melihat rombongan Kanjeng Sultan, maka terdengarlah suara bende yang ditabuh beberapa kali, dan para prajurit dan abdi dalem segera keluar dari gubug mereka.
Beberapa saat kemudian, rombongan Kanjeng Sultan sudah memasuki perkemahan, disambut oleh prajurit yang bertugas menunggu perkemahan, yang dipimpin oleh perwira kesatuan Wira Braja, Panji Kertapati.
Semua orang merasa heran, melihat Kanjeng Sultan dan rombongan kembali ke perkemahan, tidak melanjutkan berburu sampai pagi.

Ketika Kanjeng Sultan sudah memasuki tendanya, maka semua perwira dan prajurit masuk ke tenda masing-masing, kecuali dua orang Wira Tamtama yang berjaga-jaga didepan gubug Sultan Trenggana.
Bulan purnama perlahan-lahan bergeser ke arah barat, waktu berjalan terus, langit diufuk timur telah membayang warna merah, menjelang fajar.
Ketika semburat warna merah langit di bang wetan semakin terang, terdengarlah beberapa kali bunyi suara bende, pertanda bagi para penghuni perkemahan, untuk memulai kegiatannya, menunaikan semua yang menjadi kewajibannya.

Matahari memanjat langit semakin lama semakin tinggi, dan di depan perkemahan, para pemburupun telah bersiap untuk masuk hutan lebih dalam lagi.
Setelah mandi dan makan makanan yang dihidangkan oleh abdi dalem, Sultan Trenggana berserta tiga orang Tumenggung keluar dari gubug Kanjeng Sultan, bersiap untuk memulai perburuan kembali.
"Ki Panji Kertapati, kami akan berangkat sekarang, dan akan masuk hutan lebih dalam lagi, jaga baik-baik perkemahan ini" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Baik Ki Tumenggung" kata Panji Kertapati.

Sesaat kemudian rombongan pemburu berjalan masuk ke tengah hutan melalui jalan yang ditempuh tadi malam.
Sultan Trenggana berjalan bersama tujuh orang prajurit Wira Tamtama, tiga orang Tumenggung dan yang berjalan paling belakang, seorang abdi dalem, Karebet.
Setapak demi setapak mereka maju terus, saat itu sudah mulai terasa betapa sepinya hutan ini.
"Tumenggung Gajah Birawa, hati-hati, suasana hutan masih seperti kemarin, sepi sekali, semua binatang kelihatannya telah menyingkir jauh, menghindari tempat ini" kata Sultan Trenggana
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, kita hampir sampai ditempat yang kemarin kita behenti dan berputar kembali ke perkemahan" kata Tumenggung Gajah Birawa.

Sultan Trenggana melihat berkeliling, menakar dan menghitung kekuatan, selain dirinya, ada tujuh orang prajurit Wira Tamtama, tiga orang Tumenggung, ditambah seorang lagi, Karebet, yang telah diketahui kekuatannya, mampu mengimbangi kekuatan Tumenggung Gajah Birawa.
Kalaupun terpaksa berhadapan dengan gerombolan perampok, dua puluh orang perampok tidak akan dapat mengalahkan dirinya beserta para pengawalnya.
Suasana sepi mencengkam, kembali Karebet mulai membangun kekuatan aji Lembu Sekilan untuk melindungi dirinya dari sebuah serangan yang belum diketahui arahnya.
Setapak demi setapak setiap orang didalam rombongan maju perlahan-lahan dengan penuh kewaspadaan.
Suasana didalam hutan sunyi senyap, tak terdengar suara apapun di di dalam gerumbul ataupun disela pepohonan hutan.
 
Tetapi kesunyian hutan telah terkoyak, ketika tiba-tiba terdengar aum harimau, keras sekali, lebih keras daripada aum harimau yang biasanya terdengar, dan berjarak hanya beberapa langkah didepan mereka.
Semua orang yang berada didalam didalam rombongan Kanjeng Sutan terkejut, belum hilang rasa terkejut mereka, terdengar kembali sebuah geraman keras dari seekor harimau.
Cepat dan tanggap, ketujuh prajurit Wira Tamtama beserta seorang perwira Wira Tamtama, Tumenggung Gajah Birawa, bergerak cepat mengelilingi Sultan Trenggana di delapan arah mata angin, sehingga menjadi temu gelang.

Delapan orang Wira Tamtama yang bertugas sebagai prajurit pengawal raja, yang berdiri mengitari Kanjeng Sultan, telah menghunus pedangnya di delapan arah mata angin, membentuk sebuah lingkaran temu gelang dengan delapan ujungnya yang tajam, Cakra Baskara.
Mengetahui yang menghadang didepan adalah seekor harimau, Karebet maju beberapa langkah disamping Sultan Trenggana.
"Kekuatan Karebet telah mampu mengimbangi kekuatan Tumenggung Gajah Birawa, tidak ada salahnya kalau Karebet aku coba di adu dengan seekor harimau" kata Sultan Trenggana dalam hati.
"Karebet, kalau kau ingin menjadi seorang prajurit Wira Tamtama, tangkap harimau itu hidup-hidup" perintah Sultan Trenggana
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" jawab Karebet.

Karebet memberikan barang yang dibawanya kepada salah seorang prajurit Wira Tamtama, lalu iapun segera maju beberapa langkah kearah harimau yang masih berada didalam gerumbul semak-semak didepan mereka.
"Dengan satu lompatan, harimau itu mampu menerkamku" kata Karebet dalam hati, yang bisa dilakukan saat ini adalah mateg aji Lembu Sekilan sejauh kemampuannya untuk melindungi dari terkaman harimau.
Turmenggung Gajah Birawa menarik nafas panjang, tugas Karebet adalah sangat berat, lebih mudah untuk membunuh seekor harimau daripada menangkapnya hidup-hidup.
Semua orang terlihat tegang melihat Karebet berjalan selangkah demi selangkah mendekati gerumbul tempat terdengar auman suara harimau.
Tetapi semua orang terkejut ketika melihat dari dalam gerumbul semak-semak yang hanya berjarak beberapa langkah didepan Karebet keluar seekor harimau loreng yang besar sekali, seekor macan gembong sebesar kerbau.
Sultan Trenggana terkejut ketika melihat seekor macan gembong sebesar kerbau berada didepan Karebet, dan Karebetpun telah diperintahkannya untuk menangkap harimau dalam keadaan hidup.

Ada rasa menyesal dalam diri Sultan Trenggana yang telah memberi perintah menangkap hidup-hidup seekor harimau yang tanpa diduganya, tenyata harimau itu adalah seekor macan gembong yang badannya sebesar kerbau, tetapi kata-kata yang sudah terucap dari seorang Sultan adalah ucapan Sabdha Pandita Ratu.
Sultan Trenggana tidak bisa mencabut ucapannya, dan saat itu yang bisa dilakukan adalah menunggu, tindakan yang akan dilakukan oleh Karebet untuk mengalahkan seekor macan gembong yang telah siap untuk menerkam. Karebet berpikir, dia harus bisa memancing harimau tersebut kearah yang lain, agar supaya harimau itu tidak menerkam ke arah Kanjeng Sultan.
Karebet segera bertindak cepat, dia lari kedepan harimau dan sekali melompat Karebet masuk ke dalam gerumbul tempat harimau tadi mengaum.
Dengan cepat harimau itupun melompat mengejar Karebet, kemudian terdengar suara gaduh di gerumbul semak-semak ditengah hutan Prawata, diselingi auman marah seekor macan gembong,
Suara gaduh tidak mereda meskipun sudah berjalan beberapa lama. Suara gaduh yang diselingi suara gereng dan aum harimau.

Sultan Trenggana yang telah mengalami berbagai benturan ilmu, merasa ada sesuatu yang tidak wajar,
Diantara suara gaduh didalam gerumbul, dan di sela-sela suara auman harimau gembong yang marah, terdengar suara yang lain, suara auman seekor harimau yang tidak sewajarnya.
Suara auman dari seekor harimau yang tidak sewajarnya itu ternyata mampu membungkam suara auman seekor macan gembong yang badannya sebesar kerbau.
Sultan Trenggana saling berpandangan dengan Tumenggung Gajah Birawa, dan ketika didengarnya lagi suara auman harimau yang dahsyat dari gerumbul, dan dilihatnya kaki para prajurit Wira Tamtama gemetar mendengar auman itu, maka Sultan Trengganapun berkata lirih :"Aji Senggara Macan'
Tumenggung Gajah Birawa terkejut, sejenak kemudian ia menganggukkan kepalanya sambil berkata didalam hatinya : "Ya, itu adalah aji Senggara Macan"
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar