Minggu, 22 Juni 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 2



BAB 1 : AYAM JANTAN DARI PENGGING  2

Ditulis oleh : Apung GWAP

Karebet terkejut ketika dari balik pohon terdengar suara :"Ternyata kau Karebet"
Setelah itu terlihat seseorang melangkah keluar dari balik pohon munggur, seorang yang berumur setengah abad, bertubuh sedang, berpakaian sederhana, dan berwajah tenang.
Melihat seseorang keluar dari balik pohon munggur, Karebetpun berkata dalam hati :"Pantas kalau aku tidak mampu mendengar kehadirannya disini"
Karebet segera meletakkan pedangnya, dan perlahan-lahan dilepaskannya Aji Lembu Sekilan yang manjing didalam dirinya, lalu dihampirinya orang yang menyapanya.
"Siwa Kebo Kanigara" kata Karebet sambil melangkah maju, diciumnya tangan orang itu.
"Kau mau kemana Karebet ?" tanya orang itu.
"Mau pulang ke desa Tingkir wa" jawab Karebet.
"Kenapa kau berada di Alas Roban?"
"Saya mau menuju arah ke selatan wa, melingkar melalui kaki gunung Prahu, Sumbing dan Sindoro" jawab Karebet.

Orang itu, uwa nya Karebet, Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya Kebo Kenanga, tersenyum :"Karebet, berhati-hatilah dengan Aji Lembu Sekilan, ilmu itu jangan kau gunakan setiap saat, kau harus pandai mengatur, kapan waktu yang tepat untuk menggunakan aji Lembu Sekilan itu."
"Ya, wa", sahut Karebet.
"Karebet, aku dengar beberapa candra yang lalu kau mengalahkan lima orang perampok dari sungapan kali Serayu dan kau bunuh salah seorang dari mereka?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa" jawab Karebet heran, dari mana uwa nya tahu perjalanannya ketika menyusuri kali Serayu
"Terpaksa wa, dia adalah pemimpin perampok yang tidak mau menyerah, terpaksa saya bunuh, ia berbahaya wa" kata Karebet, lalu iapun bertanya :"Siwa dari mana?"
"Dari barat, aku dari Tegal Arang" sahut Kebo Kanigara :"Ketika kudengar suara sebuah suitan nyaring, aku berlari menuju kesini, dan ternyata kulihat kau sedang berkelahi"
"Ya wa, mereka begal Alas Roban" sahut Karebet.
"Ya" kata Kebo Kanigara :"Karebet, kalau kau pergi, jangan terlalu lama, ingat, biyungmu berada dirumah sendirian, kasihan dia"
"Ya, wa" jawab Karebet.
"Baiklah Karebet, kita berpisah disini," kata Kebo Kanigara.
"Ya, wa" kata Karebet, lalu diciumnya tangan Kebo Kanigara, setelah itu merekapun berpisah, Kebo Kanigara menuju arah timur, sedangkan Karebet melanjutkan perjalanannya pulang ke Tingkir, melalui jalan yang terjal di kaki gunung Prahu, Sumbing dan Sindoro.

Tetapi Karebet yang sedang berjalan di tengah Alas Roban kearah selatan, terkejut hingga tersedak, ketika pundaknya dipegang lembut oleh sebuah tangan keriput seorang perempuan tua :"Ngger Karebet, makannya tanduk ngger, tambah nasi lagi biar perutmu kenyang"
Karebet tidak mampu menjawab, lamunannya ketika sedang bersama uwanya Kebo Kanigara di alas roban, hilang sepeti awan tertiup angin kencang.
Lamunan yang bergerak berurutan seperti beberapa buah gambar, telah berganti menjadi sebuah kenyataan yang ada sekarang, saat ini Karebet sedang berada di rumahnya di desa Tingkir, sedang makan ditunggui oleh biyungnya Nyai Ageng Tingkir yang sangat menyayanginya.
Karebet yang tersedak, merasa lehernya seakan-akan tercekik, lalu diambilnya air kendi, iapun minum air yang agak banyak untuk mendorong makanan yang tersangkut di lehernya.
Dengan penuh kasih sayang seorang biyung, Nyai Ageng Tingkir melayani anak angkatnya makan.
"Karebet, lain kali kalau kau pergi jangan terlalu lama ngger, biyung merasa sepi dirumah sendiri" kata biyungnya.
"Ya biyung, untuk beberapa candra kedepan, aku akan menemani biyung dirumah " jawab Karebet.
Nyai Ageng Tingkir tersenyum, tangannya yang lemah dan keriput menyentuh lengan Karebet :"Lenganmu keras sekali ngger, biyung sudah tidak kuat lagi mengudangmu"
Karebet menjadi heran ketika mendengar perkataan Nyai Ageng Tingkir.
"Biyung ingin mengudangku?" kata Karebet perlahan-lahan, padahal ia sendiri tidak ingat kapan terakhir kali dia dikudang biyungnya

Selama beberapa hari kemudian, Karebet disibukkan dengan pekerjaan di ladang, disamping pekerjaan menanam padi gaga, Karebet tidak lupa berlatih olah kanuragan.
Beberapa hari dia tinggal di dalam hutan, melatih kekuatan tangan dan kaki, berlatih kekuatan raga dan jiwa, berlatih bukan hanya ilmu dari perguruan Pengging saja, tapi juga ilmu dari beberapa perguruan yang lain.
Perjalanannya menjelajah ke berbagai tempat , lembah, jurang, ara-ara, sungai, gunung, kawah, rawa, goa, luweng, pantai, lumpur panas, membuatnya banyak berpengalaman menghadapi alam.
Karebet yang mengenal hampir semua daerah di pulau Jawa bagian tengah, mengenal sebagian daerah bang wetan maupun bang kulon, dari pesisir kidul sampai pesisir lor, telah mengetahui bermacam-macam perguruan olah kanuragan.
Beberapa kali Karebet telah bertemu dengan orang yang berilmu tinggi, maka iapun tak segan selama beberapa candra berguru kepadanya.
Karebet sangat tekun tak kenal lelah, iapun rajin berlatih untuk memperdalam aji Lembu Sekilan, sebuah aji yang dianggap oleh orang-orang pinunjul sebagai aji yang telah punah, aji yang dulu hanya dimiliki oleh Maha Patih Gajah Mada yang tak terkalahkan, aji yang telah lama dianggap hilang bersamaan dengan muksa nya sang maha patih kerajaan Majapahit yang perkasa.
Selain aji Lembu Sekillan, beberapa ilmu dari berbagai perguruan di daerah kekuasaan Kasultanan Demak juga telah dikuasainya.

Karebet menguasai ilmu kanuragan dari perguruan Sela yang dipimpin oleh Ki Ageng Sela yang mampu menangkap petir, menguasai aji Tapak Angin dari perguruan Baureksa yg tinggal di Karawelang, menguasai ilmu sirep Megananda dari Padepokan Randu Tunggal di sebuah goa yang tak jauh dari Segara Kidul, bahkan ilmu Senggara Macan dari Buyut Gunung Kelud pun telah dikuasainya dengan baik.
Di suatu pagi, setelah matahari terbit, Karebet duduk bersila ditanah, matanya terpejam, memusatkan pikiran untuk memulai gerakan sebuah ilmu kanuragan, sekejap kemudian Karebet telah meloncat berdiri, kedua tangannya bersilang didepan dada, seolah-olah didepannya sedang berdiri seseorang yang menjadi lawannya.
Karebet menggerakkan kedua tangannya secara bergantian menyerang musuhnya, tebasan sisi telapak tangannya menyerang kedepan, disusul tusukan dua buah jari tangannya ke arah leher, ketika lawannya seakan-akan menangkis, maka dengan cepat lima jari tangannya telah berubah arah, menyerang dada dengan jari-jari tajam mencengkeram.
Karebet bergerak melingkar mengelilingi musuhnya, tangannya bergantian menyerang cepat sekali, tangannya yang hanya dua buah, se akan-akan telah berubah menjadi tiga buah, itulah ilmu Trisula Manik dari Panembahan Gunung Lawu yang bersumber dari ilmu Ranggalawe yang perkasa.
Karebet bergerak dengan cepat menyerang musuhnya, keringatnya mengalir deras, sehingga terasa tubuhnya menjadi licin, ternyata Karebet sedang mengetrapkan aji Welut Putih, yang bisa membuat tubuhnya menjadi licin, selicin belut, yang tak akan dapat ditangkap lawannya.
Karebet masih terus bergerak lincah, tangan dan kakinya menyerang bayangan lawannya, dikeluarkan semua kemampuannya, diperasnya semua ilmunya sampai tapis.
Matahari sudah semakin tinggi, ketika Karebet mengakhiri latihannya hari itu, lalu diambilnya sepotong kain dari bungkusan yang dibawanya, dibersihkan keringat yang menempel pada tubuhnya.
Setelah cukup beristirahat, maka Karebet berjalan keluar dari hutan, langkah kakinya telah membawanya menuju ladangnya.

Dilihatnya, padi gaga di ladang hampir menguning, sebentar lagi akan dipanen, sehingga Karebet merasa harus lebih sering ke ladang untuk mengawasi padinya, supaya tidak habis dimakan burung.
Beberapa hari kemudian, di suatu pagi yang cerah, Karebet bersiap akan pergi ke ladang, ketika itu dilihatnya Nyai Ageng sedang menyapu halaman.
"Ngger Karebet, kau akan pergi ke ladang ?" tanya Nyai Ageng Tingkir.
"Ya biyung" jawab Karebet.
"Bawa makanan yang banyak ngger " kata biyungnya.
"Sudah, biyung" jawab Karebet, dan berangkatlah dia ke ladang menunggu padinya yang hampir panen.
Menjelang sore, hujan gerimis membasahi desa Tingkir, awan mendung masih menggantung, dari arah selatan, terlihat seorang laki-laki yang berperawakan tinggi, berpakaian berwarna wulung, memakai ikat kepala wulung, membawa sebuah tongkat cis, berjalan perlahan-lahan mendekat ke arah Karebet.
Gerimis masih turun di desa Tingkir, udarapun menjadi dingin, dari kejauhan tampak gunung Merbabu masih tegak berdiri.

Tetapi Karebet merasa sangat terkejut ketika mengetahui, tiba-tiba beberapa langkah didepannya, telah berdiri tegak, seorang berpakaian wulung, memakai ikat kepala wulung, dengan membawa sebuah tongkat cis.
Karebet adalah seorang pemuda perkasa yang prigel olah kanuragan, mata dan telinganya terlatih baik dan mempunyai panggrahita yang tajam, tapi ternyata dia tidak mengetahui kedatangan orang tersebut.
Segera saja ia bersiaga, matanya tajam memandang sosok tubuh yang tegak berdiri didepannya.
Orang yang berpakaian wulung memandang Karebet yang berada beberapa langkah didepannya, dan ternyata sorot matanya yang sejuk mampu membuat Karebet bersikap ngapurancang dan menundukkan kepalanya.
Sejenak kemudian, orang itupun berkata :"Cah bagus, jangan terlalu asyik bekerja, pergilah nggayuh kamukten di Kasultanan Demak, mengabdilah engkau kepada Sultan Trenggana, besok engkau akan bisa menjadi seorang raja."

Karebet menengadahkan kepalanya, memandang kepada orang yang membawa tongkat cis, ia terkejut, ketika melihat orang yang berpakaian wulung telah berada jauh didepan, berjalan ke arah utara. "Luar biasa orang itu" kata Karebet kagum :"Cepat sekali jalannya, siapakah dia ?"
"Apa katanya tadi ? Aku harus pergi ke Demak ? Mengabdi kepada Sultan Trenggana ? Jadi Raja ? Menjadi Rajaaaaa ? Siapakah sebenarnya orang itu?" kata Karebet dalam hati.
Sederet pertanyaan muncul melingkar-lingkar di angan-angan Karebet. Gerimis semakin rapat, Karebet ingin cepat pulang menemui biyungnya, lalu dipotongnya satu buah pelepah daun pisang, kemudian dipakai untuk melindungi kepalanya dari air hujan, dan dengan cepat Karebet berjalan pulang ke rumah.
"Biyung" kata Karebet memanggil Nyai Ageng Tingkir ketika sampai dirumah.
"Ada apa ngger anakku Karebet" sahut biyungnya yang keluar dari ruang dalam.
"Biyung, ketika aku sedang menunggu padi gaga, lalu ada orang datang dan berkata supaya aku mengabdi ke Demak dan nantinya aku akan menjadi raja" kata Karebet.
"Kau akan menjadi raja ngger?" tanya Nyai Ageng Tingkir.
"Kata orang itu biyung" jawab Karebet.
"Ciri-ciri orangnya seperti apa ngger Karebet ?" tanya Nyai Ageng Tingkir
"Orangnya tinggi biyung, berpakaian serba wulung, ikat kepala wulung, dan ia membawa sebuah tongkat cis" kata Karebet.

"Ngger Karebet, dia adalah seorang wali yang waskita, dialah Kanjeng Sunan Kalijaga" kata biyungnya.
Karebet terkejut ketika mengetahui yang berkata demikian adalah Kanjeng Sunan Kalijaga :"Lalu apa yang harus aku lakukan biyung"
Nyai Ageng Tingkir memeluk tubuh Karebet yang basah terkena air hujan :"Ngger Karebet, biyung rela kau pergi ke kotaraja Demak, karena yang mengatakan kau akan menjadi raja adalah seorang wali yang waskita, Kanjeng Sunan Kalijaga"
"Ya biyung" kata Karebet. "Ngger Karebet, sebaiknya kau berangkat besok pagi" kata biyungnya.
"Ya biyung" jawab Karebet.
"Ngger, jarak ke kotaraja Demak sangat jauh, kalau kau berangkat sendiri, kau bisa tersesat, biarlah besok dua orang pembantu kita pamanmu Suta dan pamanmu Naya, mengantar kau ke kotaraja Demak, mereka sudah pernah kesana, mereka sudah tahu jalan ke kotaraja Demak" kata Nyai Ageng Tingkir
"Di kotaraja ada pamanmu, namanya Ki Ganjur, sekarang ia bekerja di dalem Suranatan, temui dia disana" kata biyungnya.
"Ya biyung" jawab Karebet

Malam telah larut, malam yang sepi di desa Tingkir, sayup-sayup terdengar suara kentongan yang dipukul dengan irama dara muluk, yang kemudian disahut oleh suara kentongan di rumah Nyai Ageng yang dipukul oleh pembantunya.
"Dara muluk, sudah tengah malam" desis Nyai Ageng Tingkir yang tak dapat memejamkan matanya, angan-angannya melayang tinggi, teringat kepada ayah Karebet, Ki Ageng Pengging dan Nyai Ageng Pengging, yang telah meninggal dunia dan telah memberikan seorang anak angkat kepadanya.
Meskipun Karebet hanya seorang anak angkat, tapi kasih sayangnya kepada Karebet telah sok glogok tanpa wates, sudah mbalung sumsum, semua kasih sayangnya tertumpah kepada Karebet.
Kini Karebet besok pagi akan ke Demak, seorang wali yang waskita, salah seorang Walisanga, Kanjeng Sunan Kalijaga telah berkata bahwa Karebet besok akan menjadi seorang raja.
Tangannya yang keriput mengusap matanya, dan telapak tangannyapun menjadi basah, betapa bangganya Nyai Ageng Tingkir, anak angkatnya besok akan menjadi seorang raja.
"Karebet akan mukti di kotaraja, anakku akan menjadi raja disana" kata Nyai Ageng Tingkir dalam hati.
 Dikamar yang bersebelahan dengan kamar Nyai Ageng, Karebet tak bisa memejamkan matanya, besok pagi dia akan pergi ke kotaraja Demak, meninggalkan biyungnya yang semakin tua.
Sekarangpun biyungnya sudah sering lupa, banyak yang ia tidak ingat, biyung sudah mulai agak pikun.
"Kasihan biyung" kata Karebet.

Keesokan harinya, setelah fajar menyingsing, Karebet bersama pembantunya, Suta dan Naya, bersiap akan berangkat ke Demak.
"Ngger Karebet, itu bekal yang akan kau bawa, ada di atas lincak, biar nanti yang membawa paman Suta dan paman Naya" kata Nyai Ageng Tingkir.
Karebet terkejut ketika melihat di atas lincak ada beberapa sisir pisang, pepaya, jagung, ketela rambat dan ketela pohon. Ada juga jagung pripil yang sudah direbus, ternyata biyungnya mempersiapkan bekalnya sejak menjelang fajar.
"Ya biyung" jawab Karebet yang tak sampai hati kalau ia menolak bekal yang sudah disiapkan oleh Nyai Ageng Tingkir.
Ketika semuanya sudah siap berangkat, Nyai Ageng Tingkir kemudian memeluk anak angkatnya dengan erat.
"Kau akan mukti disana ngger" kata biyungnya.
"Ya biyung" kata Karebet.
Karebet kemudian mencium tangan biyungnya, dan kepergiannya ke kotaraja Demak telah dilepas dengan linangan air mata biyungnya.
"Mari kita berangkat paman" kata Karebet kepada pembantu biyungnya, Suta dan Naya
Selangkah demi selangkah mereka bertiga meninggalkan desa Tingkir menuju ke utara, kotaraja Demak.

Pagi itu, langit diatas gunung Merbabu terlihat cerah, seorang pemuda tampan beserta dua orang setengah baya, berjalan keluar dari desa Tingkir menuju arah utara.
Karebet atau yang disebut juga Jaka Tingkir, yang sedang berusaha nggayuh kamukten di Kasultanan Demak, berjalan didepan, kemudian dibelakangnya diikuti oleh kedua pembantu biyungnya, Suta dan Naya.
Sebetulnya Karebet lebih senang kalau ia berangkat ke Demak sendiri, berjalan tanpa harus membawa teman maupun beban, seperti yang telah berkali-kali dilakukannya, tetapi dia tidak sampai hati membantah perkataan ibunya.
Nyai Ageng Tingkir masih menganggap dia seperti anak kecil, dianggapnya belum tahu jalan yang harus ditempuh untuk menuju kotaraja Demak, sehingga perlu menyuruh Suta dan Naya untuk mengantarnya, sekaligus sebagai penunjuk jalan.
"Biyung pasti mengira kalau aku belum pernah pergi ke kotaraja Demak" kata Karebet dalam hati, padahal sewarsa yang lalu dia telah dua kali mengunjungi kotaraja Demak.
Perlahan-lahan matahari terus mendaki langit, semakin lama semakin tinggi, ketika perjalanan mereka bertiga melintasi sebuah sungai kecil, Karebetpun bertanya :"Jalan mana yang harus kita lewati paman?"
"Kita berjalan lurus ke utara, sebelum sampai di rawa kita masuk ke hutan sampai tembus ke sungai Tuntang" kata Suta.
"Ya, setelah sampai di sungai Tuntang kita nanti berbelok ke kanan, menyusuri sungai itu, dan akan sampai di kotaraja Demak" sambung Naya.
"Paman, kalau kita lewat dekat hulu sungai Tuntang, kita memutar terlalu jauh, sebaiknya kita ambil jalan yang lebih dekat. Setelah kita melalui pohon randu alas di sebelah gumuk, kita berbelok kekanan, lewat jalan setapak, nanti kita akan sampai di sebelah timur kedung Srengenge" kata Karebet.

Mereka berdua mengangguk hampir bersamaan dan keduanya memandang ke Karebet, heran, dari mana ia bisa mengetahui tentang jalan pintas itu ?
"Kita berhenti dulu dibawah pohon randu alas paman, kita makan bekal yang diberi biyung, supaya paman lebih ringan membawanya" kata Karebet sambil tersenyum. Mereka bertiga berjalan menuju pohon randu alas, duduk bersama dibawahnya, sambil menikmati bekal yang dibawanya.
Suta mengeluarkan beberapa bungkusan yang berisi jagung pripil rebus, yang dimakan ber-sama dengan secuil kelapa muda.
"Jagung rebus paman, gurih" kata Karebet.
"Ya" sahut keduanya.
"Pisang dan pepayanya dimakan, paman" kata Karebet.
Mereka bertiga makan sampai kenyang, Suta lalu mengambil dari bungkusannya, tiga buah bumbung berisi air minum.
"Airnya kita habiskan, nanti kita isi di mata air di sebelah gumuk itu" kata Suta.
Setelah istirahat dirasa cukup, merekapun melanjutkan perjalanan, setelah melewati pohon randu alas tempat mereka beristirahat, Karebetpun berbelok ke kanan.
Jalan setapak yang menuju arah ke kedung Srengenge masih belum terbuka sepenuhnya, sehingga Jaka Tingkir perlu membuka jalan.
Diambilnya sebuah pedang pendek yang dibawanya, dan dengan tangannya yang trampil, Karebet bekerja membuka jalan, memotong dahan dan sulur yang mengganggu perjalanan mereka.
Ketika mereka bertemu dengan sebuah mata air, yang mengalirkan air yang bening, merekapun mengisi bumbung tempat air minum hingga penuh.

Matahari sudah condong ke barat ketika mereka bertiga semakin dekat dengan kedung Srengenge.
"Paman, itu kedung Srengenge sudah kelihatan, kita berjalan sedikit memutar, jangan lewat kedung Srengenge" kata Karebet.
"Ya" sahut Suta dan Naya bersamaan, mereka merasa takut lewat Kedung Srengenge, kedung yang tenang, tetapi menyimpan banyak buaya didalamnya.
Keduanya saling berpandangan, heran, mereka yang diperintah oleh Nyi Ageng Tingkir untuk menunjukkan jalan ke Demak, tetapi malah Karebetlah yang menjadi petunjuk jalan.
Mereka berjalan terus, kedung Srengenge sudah berada jauh dibelakang mereka.
"Apakah kita bisa sampai di kotaraja Demak sebelum hari menjadi gelap?" tanya Suta kepada Karebet.
"Tidak bisa paman, kita terpaksa bermalam di Mrapen" kata Karebet. "Mrapen" kata keduanya, ditempat itu terdapat api yang keluar dari dalam tanah.
"Kita berjalan ke sisi sebelah barat sungai saja, kita menyeberang disini paman, disini agak dangkal, sehingga kita tidak usah berenang" kata Karebet.
Ketika perlahan-lahan langit telah berwarna lembayung jingga, mereka bertiga sudah sampai di daerah Mrapen.
"Paman, kita mandi dulu" kata Karebet :"Disebelah barat, tidak jauh dari tempat keluarnya api, ada sungai kecil, kita bisa mandi disana".
Suta dan Naya tidak menjawab, mereka bertambah heran, tenyata Karebet banyak mengetahui tentang daerah yang dilaluinya.

Malam harinya, mereka bertiga makan ketela pohon dan jagung bakar, sambil duduk mengelilingi nyala api, yang keluar dari dalam tanah.
"Uuff aku dapat jagung yang sudah tua " kata Suta lirih
Sambil makan jagung, Suta memandang api Mrapen yang menyala terus menerus, siang malam dan tak akan bisa padam meskipun api itu diguyur hujan lebat.
Pikirannya melayang jauh, menggapai keatas, seperti api yang menyala didepannya,ia heran, mahluk apa yang berada didalam tanah, sehingga tubuhnya bisa mengeluarkan api terus menerus.
Lamunannya membubung tinggi, mencari asal mula dan dari mana datangnya api abadi Mrapen.
Di tempat ini, di Mrapen, pikir Suta, didalam tanahnya pasti ada sesuatu yang menyeramkan, yang bisa mengeluarkan lidah api, sesuatu yang tidak kasat mata.
Dilihatnya api masih tetap menyala, panasnya terasa seperti membelai wajahnya.
Didalam tanah, pikir Ki Suta, pasti terdapat sesosok tubuh yang bertubuh api, bertangan api, berkepala api.
Tiba-tiba seperti tersengat kalajengking, Suta terkejut sekali, sampai dia terloncat kebelakang.
Disebelahnya, Naya yang sedang makan jagung bakar, terkejut melihat Suta terkejut.
Dengan suara yang bergetar Naya bertanya :"Ada apa?"
Suta menjawab tak kalah gemetarnya :"Banaspati !!"

Kali ini Naya betul-betul terkejut, sehingga jagung bakarnya terlepas dari tangannya, dan jatuh ketanah, dan dengan suara yang bergetar, Naya bertanya :"Dimana ?"
"Pasti Banaspati, disitu, didalam tanah itu" kata Suta gemetar, sambil tangannya menunjuk ke arah api yang yang masih terus menyala.
"Didalamnya pasti ada sosok Banaspati yang tubuhnya bisa mengeluarkan api" kata Suta.
"Ah kau, bikin kaget orang saja, rumah memedi api, Banaspati, bukan disini, tetapi di puncak gunung Merapi" jawab Naya sambil memungut jagungnya yang jatuh ke tanah.
"Coba saja lihat ke puncak Merapi kalau Banaspati marah, puncak gunung itu kelihatan sedang mengeluarkan api" kata Ki Naya.
Suta menganguk, lalu ia pun bertanya :"Tapi kenapa dari dalam tanah ini bisa mengeluarkan api?"
"Sudahlah, paman berdua tidak usah takut, kita semua tidak tahu, kenapa tanah disini bisa mengeluarkan api " kata Karebet.
"Yang penting bagi kita, api ini bermanfaat, bisa untuk membakar jagung dan ubi" kata Karebet selanjutnya sambil tersenyum.
Keduanya pamannya terdiam, lalu dilanjutkannya pekerjaan mereka yang tertunda, makan jagung bakar.
Malam itu mereka tidur di sebelah api, berselimut kain panjang, hangat.

Fajar telah merekah di ufuk timur, mereka bertiga segera bersiap melanjutkan perjalanan yang tidak jauh lagi ke arah utara.
"Kita berangkat sekarang?" tanya Suta.
"Nanti saja paman, sebentar lagi, kotaraja Demak sudah dekat, kita habiskan dulu bekal kita, masih ada ketela pohon yang belum di bakar" kata Karebet, dan merekapun membakar beberapa ketela pohon yang masih tersisa.
Ketika matahari mulai memanjat langit, berjalanlah ketiga orang itu meninggalkan daerah Mrapen, menuju ke utara, kotaraja Demak.

Menjelang tengah hari, terlihat Karebet yang diantar kedua pembantu biyungnya, berjalan memasuki kotaraja Demak, dan tujuan mereka adalah dalem Suranatan, rumah Ki Tumenggung Suranata.
Sementara itu, adik dari Nyai Ageng Tingkir yang bernama Ganjur saat itu sedang bekerja di halaman rumah dalem Suranatan, melihat dua orang yang dikenalnya, Suta dan Naya sedang berjalan kearahnya disertai seorang pemuda.
"Kakang Ganjur" panggil Suta dan Naya hampir bersamaan.
"Adi Suta dan adi Naya" kata Ganjur senang.
Ganjur kemudian berjalan menyongsong ketiganya, dan dibawanya mereka masuk kedalam rumah dibelakang yang selama ini ditempati oleh Ganjur.
Ganjur mempersilahkan tamunya duduk diatas lincak, dan merekapun saling mengabarkan keselamatan masing-masing.

"Pantas, dari tadi suara burung prenjak ngganter berbunyi terus, ternyata ada tamu dari jauh, njanur gunung, adi Suta dan adi Naya datang di kotaraja Demak" kata Ganjur.
"Pemuda ini siapa adi" tanya Ganjur.
"Ini Karebet, putra Nyai Ageng Tingkir" jawab Ki Suta.
"Karebet, kau sekarang sudah menjadi seorang pemuda yang gagah, aku pamanmu Ganjur" kata Ganjur :"Dulu ketika aku datang ke Tingkir menemui biyungmu, kau masih kecil Karebet"
"Ya paman" jawab Karebet.
Ganjur berkata kepada Suta dan Naya :"Lalu ada keperluan apakah adi Suta dan adi Naya ke Demak ?" tanya Ganjur.
"Kami diutus Nyai Ageng Tingkir untuk mengantar Karebet menemui kakang Ganjur" jawab Ki Suta.
"Lalu apa keperluanmu Karebet?" tanya pamannya, Ganjur.
"Paman Ganjur, saya ingin mengabdikan diri pada Kanjeng Sultan Trenggana sebagai abdi dalem, kalau nanti ada pendadaran prajurit, saya ingin ikut pendadaran sebagai prajurit Wira Tamtama" jawab Karebet.
"Karebet, kalau melihat bentuk tubuhmu, kau pantas menjadi prajurit Wira Tamtama" jawab Ki Ganjur.
"Lalu besok saya harus menghadap siapa paman?" tanya Karebet.
"Nanti aku yang akan mengantarmu menghadap Ki Tumenggung Suranata, tetapi kemarin Ki Tumenggung baru saja berangkat pergi ke Pati bersama dengan dua orang prajurit" kata Ganjur.

"Berapa lama Ki Tumenggung Suranata pergi ke Pati paman Ganjur ?" tanya Karebet.
"Empat pasar" jawab Ganjur.
"Dua puluh hari, lama sekali" pikir Karebet.
"Selama menanti Ki Tumenggung Suranata pulang dari Pati, kau membantu paman membersihkan dalem Suranatan, sedangkan adi Suta dan adi Naya biar menginap di Demak dulu beberapa hari" kata Ganjur.
"Terima kasih kakang, tetapi kami besok pagi terpaksa mohon diri, kami akan kembali ke desa Tingkir" kata Suta.
"Kenapa tergesa-gesa adi ?" tanya Ganjur. "Padi gaga yang diladang, sudah waktunya dipanen, kakang Ganjur" kata Naya.
"Baiklah, kalian beristirahatlah disini, aku tinggal kedepan dulu, aku akan menyelesaikan pekerjaanku yang belum selesai" kata Ganjur,
"Baik kakang Ganjur" kata Suta.
Ki Ganjur lalu berjalan meninggalkan mereka bertiga, dan kembali meneruskan pekerjaannya.

Esoknya, dipagi hari Suta dan Naya berpamitan kepada Ganjur, mereka akan pulang ke desa Tiingkir.
"Kami mohon diri kakang Ganjur" kata Suta.
"Kami berangkat sekarang kakang" kata Naya.
"Paman, hati-hati dijalan, kalau nanti paman menyeberangi sungai, lewat jalan yang kemarin saja, jangan menyeberang di kedung Srengenge" kata Karebet sambil tersenyum
"Ya" kata Naya.
"Terima kasih, paman telah bersedia mengantarku ke Demak" lanjut Karebet.
"Aku hanya bisa nyangoni slamet adi" kata Ganjur,
Setelah bersalaman, Suta dan Naya berjalan keluar dari dalem Suranatan, berjalan melalui jalan semula, menuju desa Tingkir, di kaki gunung Merbabu.

Tinggallah Ganjur dan Karebet di halaman dalem Suranatan.
"Karebet, tolong bantu paman memindahkan beberapa tanaman, dari halaman belakang ke halaman depan" kata Ganjur.
"Baik paman" kata Karebet.
Sehari itu Karebet membantu pamannya Ganjur bekerja di halaman dalem Suranatan.
Esok harinya, Ganjur berkata pada Karebet :"Karebet, hari ini kau ikut membantu paman membersihkan Masjid"
"Baik paman" kata Karebet, lalu keduanya berjalan menuju masjid yang letaknya tidak jauh dari dalem Suranatan.

Hari itu, Ganjur membersihkan masjid, dibantu oleh keponakannya, Karebet.
Menjelang waktu Ashar, terlihat beberapa prajurit Wira Tamtama memasuki halaman masjid. "Paman, ada dua orang prajurit Wira Tamtama berada di pintu gerbang masjid, lalu ada juga dua orang prajurit di halaman depan, ada masalah apa paman?" tanya Karebet kepada pamannya,
"Sebentar lagi, Kanjeng Sultan Trenggana akan melaksanakan sholat Ashar di masjid, nanti kalau Kanjeng Sultan lewat didepan kita, semua orang harus berjongkok, kepala tunduk, pandangan harus kebawah, jangan melihat ke arah Kanjeng Sultan Trenggana", kata pamannya.
"Baik paman" jawab Karebet.

Tidak lama kemudian, lewat pintu masuk sebelah utara, masuklah seorang yang berbadan tegap, berusia setengah abad, berpakaian seorang raja, diapit oleh dua orang Tumenggung, itulah penguasa Kasultanan Demak, Sultan Trenggana, putra dari Sultan Demak Bintoro, Sultan Patah.
Sultan Trenggana menjadi Sultan Demak ke tiga, menggantikan kakaknya, Pati Unus yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabrang Lor.
Dibelakang Sultan Demak, terdapat seorang prajurit yang membawa songsong, payung kerajaan berwarna kuning emas, lalu diikuti oleh beberapa prajurit pengawal raja, dari kesatuan Wira Tamtama.
Semua orang yang berada di halaman masjid segera berjongkok ketika melihat Kanjeng Sultan Trenggana berjalan menuju masjid.

Sultan Trenggana berjalan perlahan, melewati kolam tempat wudhu, lalu naik di masjid, diikuti kedua Tumenggung dan beberapa prajurit Wira Tamtama.
Dengan ekor matanya, dari jauh Karebet melirik, melihat dengan jelas ketika Sultan Trenggana berjalan, mulai dari masuk pintu masjid, melewati kolam tempat wudhu sampai Kanjeng Sultan memasuki masjid.
"Kanjeng Sultan Trenggana adalah seorang yang gagah, mumpuni dalam olah kanuragan maupun olah kajiwan, hmm kapan aku bisa jadi pengawal Kanjeng Sultan, aku harus berusaha untuk bisa masuk di lingkungan Kraton" kata Karebet di dalam hatinya.
Tidak lama kemudian Sultan Trenggana yang sudah selesai sholat berjalan keluar dari masjid dan semua orang yang berada dihalaman masjidpun segera berjongkok kembali, sampai Sultan Trenggana keluar lewat pintu gerbang.

Malam harinya, karebet tidak dapat memejamkan matanya, pikirannya melayang-layang, mengembara berputar-putar, keinginan nggayuh kamukten di Kraton Demak.
Saat itu Jaka Karebet belum mendapat kesempatan untuk menghadap Tumenggung Suranata, karena saat ini, Ki Tumenggung masih berada di Pati.
"Aku harus menunggu kedatangan Ki Tumenggung Suranata setelah dua puluh hari, terlalu lama" desis Karebet.
Malam semakin larut, dari jauh terdengar suara kentongan dipukul dengan irama dara muluk.
"Dara muluk, sudah tengah malam" kata Karebet.
Pikirannya saat itu tertuju pada tahta Kasultanan Demak, bagaimana dia bisa masuk kedalam lingkungan Kraton Demak.
Sultan Trenggana adalah orang yang pinunjul dalam ilmu jaya kawijayan guna kasantikan, mumpuni berbagai ilmu lahir maupun batin, mempunyai berbagai aji didalam dirinya.
Tiba-tiba Karebet bangkit dari tidurnya, duduk di amben, dan terlihat dibibirnya tersungging sebuah senyuman.
Senyum seorang anak muda yang cerdik, trampil trengginas, sedang nggayuh kamukten atas perintah salah seorang wali sanga, Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Mudah-mudahan, kalimat sang wali yang waskita, Kanjeng Sunan Kalijaga, bisa menjadi kenyataan" katanya dalam hati
"Aku harus menunggu kesempatan itu datang, lalu membuat sebuah pengeram-eram, Kanjeng Sultan yang berilmu tinggi pasti tergerak hatinya" kata Karebet dalam hati.
"Hm pangeram-eram, terpaksa harus kulakukan, bukan maksudku untuk pamer ilmu kanuragan, tapi menunggu Ki Tumenggung Suranata pulang dari Pati, dua puluh hari lagi, itu terlalu lama, apa boleh buat" guman Karebet.
Setelah berpikir akan membuat pangeram-eram, Karebetpun berbaring kembali, memejamkan matanya, dan iapun tidur nyenyak sampai pagi.

Keesokan harinya, Ganjur masih bekerja mengurusi tanaman di halaman dalem Suranatan, dibantu keponakannya dari desa Tingkir, Karebet.
Dua hari kemudian, tibalah saat yang ditunggu-tunggu Karebet.
Hari itu hari Jum'at, pamannya Ganjur mengajaknya untuk membersihkan masjid.
Sambil membersihkan halaman masjid, Karebet telah bersiap untuk membuat sesuatu yang bisa menjadi pangeram-eram, sesuatu yang luar biasa, sesuatu yang bisa menarik perhatian Sultan Trenggana.
Menjelang tengah hari, ketika Karebet melihat ada dua orang prajurit Wira Tamtama berada di depan pintu gerbang, maka Karebet bergeser mendekati kolam tempat untuk ber wudhu.
Sesaat kemudian, Sultan Trenggana terlihat berjalan diapit oleh dua orang Tumenggung, yang disebelah kiri bertubuh sedang, dan yang disebelah kanan adalah Tumenggung yang bertubuh gagah, tinggi besar.
Ketika terlihat Sultan Trenggana masuk ke masjid melalui pintu utara, Jaka Tingkir malah sengaja berjongkok di sisi sebelah timur kolam tempat wudhu, sambil menundukkan kepala, dia berada di lintasan jalan yang akan dilalui Sultan Trenggana.

Di halaman masjid, selain para prajurit, semua orang sudah terlihat berjongkok, termasuk Karebet yang telah berjongkok di tepi kolam tempat wudhu.
Ganjur terkejut, ketika melihat Karebet berjongkok disisi sebelah timur kolam tempat wudhu, di lintasan jalan yang akan dilalui Sultan Trenggana, tetapi Ganjur tidak berani berteriak memperingatkannya, karena Sultan Trenggana sudah berada di halaman masjid. Demikian juga beberapa prajurit Wira Tamtama yang berada di halaman, mereka tidak bisa berteriak memperingatkan, mereka hanya bisa menunggu apakah nanti yang akan terjadi.
Ganjur hampir pingsan ketika melirik kearah Kanjeng Sultan sudah semakin dekat ke arah kolam, dua orang Tumenggung sudah maju kedepan mendekati Karebet, tapi kemudian terjadilah sesuatu yang diluar perhitungan semua orang.
Karebet, yang juga dipanggil Jaka Tingkir, seorang pemuda tampan yang cerdik, lincah, prigel trengginas, trampil dalam olah kanuragan sedang melaksanakan sebuah rencananya, awal dari usahanya untuk nggayuh kamukten di Kraton Demak.

Ketika Kanjeng Sultan Trenggana tinggal lima enam langkah disebelahnya, dan kedua orang Tumenggung hampir sampai di tempatnya, Karebet yang masih berjongkok dengan kepala menunduk, melakukan sebuah gerakan cepat, dia melompat kebelakang melewati kolam tempat wudhu, kolam yang lebarnya lima enam langkah, dilompatinya mundur sambil berjongkok dengan mudahnya.
Sesaat kemudian Karebetpun telah sampai di seberang kolam wudhu sambil masih tetap berjongkok, dengan kepala tetap menunduk kearah Kanjeng Sultan.
Sultan Trenggana terkejut melihat anak muda yg didepannya melompat mundur kebelakang, ke sisi sebelah barat kolam tempat wudhu sambil berjongkok, sebuah gerakan yg sangat sulit dilakukan oleh orang biasa, hanya orang-orang yang punya kemampuan olah kanuragan yang tinggi saja yang mampu melakukannya.
(bersambung)

4 komentar:

  1. assalamualaikum wrwb,, trimakasih telah mampu mengobati rindu akan bacaan cersil jawa . semoga tetap langgeng ,,, aamiin.

    BalasHapus
  2. Terima kasih utk penulis semoga ada karya karya yg lain yg bernuansa sejarah

    BalasHapus
  3. Asiik ada bacaan berlatar budaya jawa

    BalasHapus
  4. Assalamu'alaikum
    Alhamdulillah dengan adanya kisah sejarah tanah jawi seperti ini dapat memberikan khasanah pengetahuan bagi generasi muda Indonesia yang mulai silau dengan cerita dari dunia barat.
    Semoga semakin banyak penulis yang menulis cerita berlatarbelakang sejarah kerajaan negeri ini.
    Aamiin Allahumma Aamiin

    BalasHapus