BAB 3 : BUNGA CEMPAKA 1
Ditulis oleh : Apung GWAP
Sultan Trenggana yang sudah
merasakan pijatan tangan Karebet, menjadi heran, kekuatan jari tangannya memang
luar biasa, di umur yang masih muda, Karebet sudah mempunyai kekuatan yang
besar.
Aji Raga Jati miliknya yang sudah
matang tidak bisa dipatahkan, tetapi bisa disentuh oleh kekuatan Karebet, telah
membuat dirinya kagum kepada Karebet.
Karebet yang masih berusia muda
sudah mampu menembus aji Raga Jati, cukup memuatnya heran, karena itulah maka
Sultan Trenggana berkata :"Cukup Karebet, pijatanmu cukup terasa"
"Mohon ampun Kanjeng
Sultan" kata Karebet yang merasa Kanjeng Sultan Trenggana sangat
memperhatikan dirinya.
"Ya, kau sekarang boleh kembali
bertugas lagi" kata Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng
Sultan" kata Karebet dan setelah menyembah, Karebetpun bergeser ke pintu.
Sultan Trenggana memandang Karebet
yang melangkah keluar ruangan, sampai hilang dibalik pintu.
Karebet yang merupakan cucu buyut
Sang Prabu Brawijaya Pamungkas, meninggalkan ruangan menuju pintu masuk ruang
dalam, tempat dia berjaga semula.
Karebetpun kembali ke tempat
tugasnya, dan ketika ditanya diapun bercerita seadanya.
"Jadi kau disuruh memijat
Kanjeng Sultan?" tanya temannya heran.
"Ya , apakah ada yang
aneh?" tanya Karebet.
"Selama ini belum pernah ada
yang dipanggil Sultan untuk memijat" kata temannya.
Karebetpun menjawab seadanya
:"Ya, mungkin Kanjeng Sultan lelah"
Matahari bergeser terus ke barat,
ketika langit berganti menjadi gelap, Karebetpun pulang ke tempat paman Ganjur,
dan bercerita tentang perintah tinggal di rumah khusus untuk prajurit di dalem
lor.
"Jadi besok malam kau sudah
tidak tidur disini?" tanya Ganjur.
"Ya paman, aku tidur di dalem
lor" kata Karebet.
"Jaga dirimu baik-baik Karebet,
laksanakan semua tugas keprajuritan yang diberikan kepadamu" kata
pamannya, Ganjur.
Malam itu, Karebet dapat tidur
nyenyak, di kegelapan malam, ribuan bintang angkasa tanpa kenal lelah terus
bergerak kearah barat
Mulailah hari demi hari Karebet
menjalani hidupnya sebagai prajurit Wira Tamtama, Karebetpun telah beberapa
kali dipanggil untuk memijat, betul-betul memijat Kanjeng Sultan, bukan karena
Kanjeng Sultan ingin mencoba untuk mengetahui kekuatannya.
Ternyata beberapa hari saja setelah
Karebet menjadi prajurit Wira Tamtama, telah menjadi perbincangan laki-laki dan
perempuan se kotaraja Demak.
Banyak laki-laki yang mendengar dari
para prajurit yang ikut berburu ke hutan Prawata, yang bercerita tentang
keberanian dan keperkasaan Karebet menaklukkan seekor macan gembong.
Sedangkan yang perempuan banyak yang
jatuh hati ketika melihat ketampanan Karebet, apalagi ketika Karebet mengenakan
pakaian prajurit Wira Tamtama.
Di suatu pagi yang cerah, Karebet
telah selesai melakukan magang beberapa hari, dan pada hari itu dia mendapat
tugas berjaga di depan ruang dalam.
Sudah beberapa hari ini, setiap pagi
ada seorang perempuan setengah baya, cantik dan menarik, setiap lewat pasti
tersenyum kepada para penjaga dan memberikan senyum yang paling manis kepada
Karebet. "Sssstt itu siapa?" tanya Karebet kepada temannya sesama
prajurit Wira Tamtama yang bernama Tumpak.
"Mana?" tanya Tumpak
"Itu..." Kata Karebet
sambil menunjuk perempuan itu dengan dagunya.
"Yang mana? O itu,, itu Nyai
Menggung" jawab Tumpak, lalu ia melanjutkan :"Nyai Menggung, janda
cantik yang sudah beberapa tahun ditinggal mati suaminya, seorang
Tumenggung"
Karebet hanya mendengarkan saja
cerita Tumpak tentang Nyai Menggung.
"Nama sebenarnya dari Nyai
Menggung adalah Nyai Madusari" kata Tumpak, dan iapun terus bercerita
:"Dulu sewaktu masih gadis, Nyai Madusari tinggalnya juga di kaputren
karena masih sentana dalem, dan setelah menjadi istri dari seorang Tumenggung,
lalu pindah ke rumah Ki Tumenggung"
"Kenapa Nyai Menggung tiap hari
ke keputren? tanya Karebet.
"Ya, karena Nyai Menggung
mengajari putri Kanjeng Sultan yang menginjak dewasa, Sekar Kedaton Gusti Putri
Mas Cempaka, mengajar ngadi busana dan ngadi salira"
Karebet hanya mendengarkan saja
semua cerita Tumpak, pikirannya sedang mengembara mencari satu nama, Sekar
Kedaton Kasultanan Demak, Gusti Putri Mas Cempaka.
Siang harinya, ketika matahari
sedikit condong ke barat, terlihat pintu kaputren sedikit terbuka, dan
keluarlah wanita setengah baya yang masih cantik, Nyai Madusari.
Langkah kaki dari Nyai Madusari perlahan-lahan
menuju pintu gerbang, lambaian tangannya enak dipandang, seperti blarak sempal.
Ketika lewat didepan Karebet, Nyai
Madusari tersenyum manis kepada Karebet, dan terdengar suara merdu memanggil
sebuah nama :" Karebet"
Karebet tersenyum, dan dilihatnya
Nyai Madusari berjalan terus keluar dari pintu gerbang. "Coba misalnya
kalau aku setampan kau Karebet, Nyai Mengggung pasti sudah menjadi
istriku" kata Tumpak sambil tertawa.
Karebetpun juga ikut tertawa ketika
mendengar kata-kata dari Tumpak.
Waktu berjalan terus, beberapa hari
kemudian, tidak jauh dari kotaraja Demak, di sebuah lapangan yang agak luas di
tepi sungai, dua orang pemuda yang berada di punggung kuda, terlihat sedang
membicarakan sesuatu.
"Ki Lurah, kudamu digeser agak
ke utara sedikit, jangan terlalu dekat dengan Gagak Rimang" kata seorang
pemuda yang duduk diatas punggung kuda hitam yang gagah.
"Baik Raden" kata orang
yang diajak bicara, Lurah Pasar Pon, sambil memajukan kudanya, lalu iapun turun
dari punggung kudanya, mendekati pemuda yang mengajaknya bicara.
"Raden Penangsang sudah
mendengar apa yang dibicarakan orang-orang se kotaraja Demak ?" kata Lurah
Pasar Pon.
"Membicarakan tentang apa
?" tanya pemuda itu, Arya Penangsang, kemenakan Kanjeng Sultan Trenggana.
"Tentang keberanian seorang
prajurit Wira Tamtama yang baru" kata Ki Lurah.
"Karebet ?" kata Arya
Penangsang
"Ya raden, kekuatan tangan
Karebet mampu memukul kepala seekor macan gembong hingga pingsan" kata
Lurah Pasar Pon.
Arya Penangsang menganggukkan
kepalanya :"Ya, Karebet mampu memukul kepala seekor macan gembong hingga
pingsan, tangannya pasti kuat sekali"
"Ya, orang sekotaraja Demak
mengaguminya" kata Lurah Pasar Pon.
"Ya, aku juga mendengar soal
itu dari para prajurit Wira Tamtama, biar saja, malah bagus itu, seorang prajurit
Wira Tamtama mempunyai ilmu yang tinggi" jawab Penangsang.
"Dulu raden pernah membuat
pangeram-eram, memukul batu padas sebesar gudel hingga pecah berserakan"
kata Lurah Pasar Pon.
Arya Penangsang tidak menjawab,
dilihatnya tangan kanannya yang mempunyai kekuatan yang dahsyat.
"Dengan lambaran aji Panglebur
Jagad, sekali saja terkena tanganku, kepala seekor macan gembong pasti
pecah" kata Arya Penangsang dalam hati.
"Raden, apakah Karebet mampu
memukul kepala macan gembong hingga pecah berserakan, atau menghancurkan batu
padas sebesar gudel ?" tanya Ki Lurah Pasar Pon.
Arya Penangsang tidak menjawab, tapi
ada suatu keinginan untuk menakar ilmu kanuragan melawan Karebet.
"Kelihatannya aku dan Karebet
perlu adu kerasnya tulang, liatnya kulit, adu ilmu kanuragan jaya kawijayan
guna kasantikan, bagaimana pendapatmu he Lurah Pasar, kalau aku tantang Karebet
sekarang?" tanya Arya Penangsang.
"Raden, misalnya Raden suatu
saat bisa bertanding ilmu kanuragan melawan Karebet, kalau Karebet kalah dan
mati, seperti Sura Alap-alap yang telah raden bunuh, apakah Kanjeng Sultan
tidak marah kepada raden?" kata Lurah Pasar Pon.
Arya Penangsang mengangguk-anggukkan
kepalanya, kemudian iapun berkata :"Ya, Kanjeng Sultan pasti akan murka
kalau aku tanpa alasan membunuh seorang prajurit Wira Tamtama"
"Kalau Raden Penangsang
bertanding melawan Karebet yang cuma seorang prajurit Wira Tamtama,
perbandingan kekuatannya tidak seimbang, Raden" kata Lurah Pasar Pon.
Arya Penangsang menarik nafas
dalam-dalam untuk menekan hasratnya yang menggelora.
"Ya, kalau aku menang tidak
menjadi terkenal, kalau aku kalah hanya akan mendapat malu" kata Arya
Penangsang yang telah kehilangan hasrat untuk bertanding melawan Karebet.
Sebenarnya Penangsang memang segan
dan takut kepada pamannya, Sultan Trenggana, disamping sebagai seorang Sultan
yang merupakan penguasa tunggal di Kasultanan Demak, ilmu kanuragan Kanjeng
Sultan adalah sangat tinggi, hampir tak terukur, serta menguasai beberapa aji
jaya kawijayan yang tak akan dapat dilawannya.
"Biar saja Karebet mampu
mengalahkan seekor macan gembong, tidak apa-apa, itu bukan urusanku, ayo,
sekarang kita berlatih berpacu kuda, Ki Lurah, kau pacu kudamu lebih dulu,
nanti aku kejar" kata Arya Penangsang.
Ki Lurah segera naik ke atas
punggung kudanya, dan memacu kudanya lari terlebih dulu, beberapa saat
kemudian, Arya Penangsang diatas punggung Gagak Rimang memacu kudanya secepat
tatit mengejar kuda didepannya.
Pada saat yang bersamaan, didepan
kaputren dua orang prajurit Wira Tamtama sedang berjaga, salah satu prajurit
itu, Karebet, tidak menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh dua pasang
mata yang mengintip dari balik pintu kaputren yang tertutup.
"Itu pemuda tampan yang bernama
Karebet, Gusti Putri" kata salah seorang yang mengintip.
"Nyai Menggung, ternyata
Karebet memang pemuda yang tampan" kata orang yang mengintip lainnya,
Sekar Kedaton Kasultanan Demak, putri Kanjeng Sultan Trenggana, Gusti Putri Mas
Cempaka.
"Disamping tampan, kata
orang-orang keberanian dan ilmu kanuragan Karebet memang luar biasa, katanya
dia di hutan Prawata mampu mengalahkan macan gembong sebesar kerbau ?"
tanya Gusti Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri, kata
orang-orang memang begitu" jawab Nyai Menggung.
"Nyai Menggung, aku ingin
sekali bisa ketemu Karebet" kata Mas Cempaka.
"Sulit Gusti Putri, hanya saya
saja yang bisa ketemu Karebet" kata Nyai Madusari sambil tersenyum.
"Ah kau" kata Gusti Putri
Mas Cempaka.
Sore harinya, terlihat Karebet
pulang dari berjaga di Kraton, setelah keluar dari pintu gerbang Kraton, dijalan
berpapasan dengan Nyai Menggung, dan seperti biasanya Nyai Menggung memberi
senyum yang manis.
"Karebet" panggil Nyai
Menggung.
"Ya Nyai Menggung" jawab
Karebet.
"Karebet, panggil nama saya,
Nyai Madusari" kata Nyai Menggung.
"Ya Nyai Madusari" kata
Karebet.
"Karebet, kau jangan bilang
siapapun, Gusti Mas Cempaka ingin bertemu dengan kau" kata Nyai Menggung.
Karebet terkejut, dia tak sempat
menjawab, karena Nyai Menggung sudah berjalan kembali.
Malam harinya, Karebet sulit sekali
memejamkan matanya, di angan-angannya hanya terbayang satu nama yang telah
mengutarakan maksudnya ingin bertemu dengannya, Gusti Mas Cempaka, Sekar
Kedaton Kasultanan Demak, putri Kanjeng Sultan Trenggana.
Keesokan harinya, seperti biasa
Karebet mendapat tugas berjaga, kali ini Karebet bertugas berjaga di gedung
pusaka, ketika seorang prajurit Wira Tamtama menemuinya.
"Karebet" kata prajurit
itu.
"Ya Tumpak, ada apa ?"
tanya Karebet.
"Kau dipanggil Tumenggung Gajah
Birawa sekarang, di ruang Wira Tamtama, disini sementara aku yang jaga"
kata Tumpak.
"Baik, aku kesana
sekarang" kata Karebet dan iapun berjalan menuju ruangan Wira Tamtama.
Karebet berdiri didepan pintu,
sesaat kemudian terdengar suara dari dalam: "Masuklah Karebet"
Karebet masuk kedalam ruangan,
disana sudah ada empat orang, dua diantaranya sudah dia kenal, Tumenggung Gajah
Birawa dan satunya lagi Lurah Wirya Sentika, sedangkan dua orang lainnya, belum
dikenalnya, tetapi terlihat dari pakaiannya adalah seorang Tumenggung dan
seorang Rangga.
"Duduklah Karebet" kata
Tumenggung Gajah Birawa.
Setelah mengangguk hormat,
Karebetpun duduk bersama mereka.
"Karebet disebelah saya adalah
Ki Tumenggung Suranata dan Ki Rangga Pideksa, keduanya baru pulang dari
bertugas di daerah Pati" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Hormat saya Ki Tumenggung dan
Ki Rangga" kata Karebet.
"Kau keponakannya Ki Ganjur
?" tanya Tumenggung Suranata.
"Ya Ki Tumenggung, mohon maaf
saya pernah menumpang menginap beberapa hari di dalem Suranatan" kata
Karebet.
"Ya, tidak apa-apa
Karebet" kata Tumenggung Suranata.
"Karebet" kata Tumenggung
Gajah Birawa: " Tiga hari lagi, Kanjeng Sultan Trenggana beserta
Prameswari dan Putri Sekar Kedaton, Gusti Mas Cempaka, akan pergi langen suka,
ingin pesiar naik perahu ke pantai"
"Ya Ki Tumenggung" jawab
Karebet. "Silahkan Ki Tumenggung Suranata yang menjelaskan kepada
Karebet." kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Karebet" kata Tumenggung
Suranata :"Nanti yang akan ikut mengawal ke pantai ada beberapa orang,
diantaranya adalah aku sendiri, Ki Rangga Pideksa, Tumpak dan kau Karebet"
"Sebelum kau mengawal Kanjeng
Sultan naik perahu, ada tugas penting yang harus kau laksanakan besok
pagi" kata Tumenggung Suranata.
"Ya Ki Tumenggung" jawab
Karebet.
"Besok pagi Ki Rangga Pideksa
bersama kau dan Tumpak naik perahu sampai ke pantai, untuk memeriksa dan
memastikan sungai yang akan dilewati Kanjeng Sultan dalam keadaan aman. Besok
kau berangkat pagi hari, dan yang akan memimpin adalah Ki Rangga Pideksa"
kata Tumenggung Suranata.
"Baik Ki Tumenggung" jawab
Karebet.
"Ya, hanya itu saja, jangan lupa
besok pagi berangkat bersama Ki Rangga Pideksa dan sekarang silahkan kembali
bertugas menjaga gedung pusaka" kata Tumenggung Suranata.
Karebet lalu mohon diri, dan
berjalan kembali ke gedung pusaka untuk melanjutkan tugasnya disana.
"Besok kita berangkat pagi
hari" kata Karebet kepada Tumpak.
Matahari terus bergerak kearah barat
tanpa mengenal lelah, ketika Karebet sedang dalam perjalanan pulang dari
bertugas, tidak jauh dari pintu gerbang, dia bertemu dengan Nyai Menggung.
"Bagaimana Karebet, apa jawabanmu
?" tanya Nyai Menggung
"Nyai Madusari, tiga hari lagi,
saya diperintahkan ikut mengawal di perahu Kanjeng Sultan, nanti Gusti Putri
akan bertemu dengan saya disana, sedangkan besok pagi saya akan ke pantai,
memeriksa tempat yang akan dikunjungi Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Baik, besok saya sampaikan ke
Gusti Putri" kata Nyai Menggung.
"Terima kasih Nyai" kata
Jaka Tingkir.
"Karebet, saya kemarin panen
pisang raja, sudah matang, enak dan manis, nanti kau mau datang kerumahku cah
bagus?" Kata Nyai Madusari sambil tersenyum manis.
"Nyai Madusari, setelah ini,
saya harus mempersiapkan keperluan untuk perjalanan ke pantai bersama Ki Rangga
Pideksa besok pagi" jawab Jaka Tingkir.
"Besok kau akan berangkat
pagi-pagi sekali Karebet ?" tanya Nyai Menggung.
"Ya Nyai Madusari, saya
berangkat dari dalem Suranatan setelah fajar" jawab Karebet.
"Ya sudah, tidak apa-apa
Karebet, tetapi lain kali kau harus datang kerumahku cah bagus" kata Nyai
Madusaripun dan iapun segera berlalu dari pandangan Karebet.
Keesokan harinya, matahari dilangit
sebelah timur belum begitu tinggi, sinarnya menghangati bumi kotaraja Demak,
ketika tiga orang laki-laki berpakaian petani keluar dari pintu gerbang Kraton.
Dua orang prajurit Wira Tamtama
beserta seorang perwira berpangkat Rangga, tanpa mengenakan pakaian
keprajuritan, berjalan ke arah timur, mereka terus berjalan menuju sungai
Tuntang, yang terletak disebelah timur kotaraja Demak.
Ditangan Karebet tergenggam sebuah
bungkusan yang berisi tiga buah pedang pendek dan sedikit bekal untuk makan dan
minum.
Belum lama mereka berjalan,
dihadapan mereka, terlihat seorang gadis tanggung, seorang prawan kencur,
ditangannya tergantung sesisir pisang raja,
Gadis itu menghampiri Karebet, dan
memanggilnya:" Kakang Karebet"
Karebet berhenti dan bertanya:"
Siapa namamu nduk cah ayu?"
"Menur" jawab anak
perempuan itu, lalu pisang raja yang dibawanya, diberikan kepada Karebet.
Setelah memberikan pisang, Menurpun
lari menjauh, Karebet lalu memasukkan pisang itu kedalam bungkusan yang
dibawanya.
"Siapa dia ?" tanya
Karebet kepada se-akan kepada diri sendiri.
"Menur, gadis yang cantik,
secantik ibunya, Nyai Madusari" jawab Ki Rangga sambil tertawa, diikuti
oleh tawa Tumpak.
Ternyata Ki Ranggapun suka bercanda.
Karebetpun akhirnya tertawa juga.
"Dulu sewaktu aku masih muda,
Nyai Madusari tidak mau kujadikan istri, aku kalah bersaing, dikalahkan oleh Ki
Tumenggung" kata Ki Rangga sambil tertawa, dan mereka bertigapun tertawa
lepas.
Ketiganya berjalan terus, sebentar
lagi mereka akan sampai di sungai Tuntang.
"Di sungai sudah disiapkan
sebuah perahu kecil" kata Rangga Pideksa "Ya Ki Rangga" jawab
Karebet dan Tumpak hampir bersamaan
Beberapa saat kemudian, sampailah
mereka bertiga ditepi sungai Tuntang dan ditepi sungai sudah tertambat sebuah
perahu kecil yang didalamnya terdapat dua buah dayung.
"Itu perahunya, kita
kesana" kata Ki Rangga.
Mereka bertigapun menuruni pinggir
sungai, melepas tali yang masih tertambat pada sebuah pohon.
"Hati-hati, jalannya licin,
kalau kalian terpeleset masuk ke sungai, kalian akan berubah menjadi dua ekor
buaya putih" kata Ki Rangga sambil tertawa, disusul oleh Karebet dan
Tumpak yang tertawa berderai. Setelah tali yang tertambat di sebuah pohon sudah
dilepas, maka mereka bertiga naik ke perahu.
Tak berapa lama perahu itupun pelan-pelan
meluncur ke arah utara, menuju muara sungai.
Dua orang prajurit yang berpakaian
petani, Karebet dan Tumpak, duduk agak dibelakang disebelah kanan dan kiri,
masing-masing memegang sebuah dayung,
Mereka menggerakkan dayung dengan
kuat, dan perahupun bergerak kedepan, menyibak air sungai Tuntang.
Perlahan-lahan perahu itu berjalan
terus, berkelok-kelok mengikuti alur sungai menuju muara, dipertemuan antara
sungai dengan laut.
Pepohonan mulai agak jarang, udara
yang bertiup sudah mulai berbau angin laut.
"Hati-hati, mulai daerah ini
sampai di muara, kadang-kadang muncul satu atau dua ekor buaya muara" kata
Rangga Pideksa.
"Ya Ki Rangga" kata
Karebet dan Tumpak.
Perahupun masih tetap melaju pelan
ke arah laut, sungai sudah terlihat semakin lebar, angin laut bertiup kencang
menerpa wajah mereka.
Matahari hampir mencapai puncaknya,
ketika mereka sampai di muara sungai Tuntang, riak ombak berkejaran dari arah
laut.
"Kita menyusuri pantai ke arah
timur dan disana kita minggir, mendarat dan istirahat sebentar di pantai"
kata Rangga Pideksa.
Karebet dan Tumpakpun mendayung
menyusuri pantai, dan beberapa saat kemudian, mereka meminggirkan perahunya di
pasir pantai, lalu ketiganya turun di pantai.
"Perutku sudah lapar, Karebet,
bekalnya kita makan sekarang" kata Ki Rangga.
"Yang bawa bungkusan adalah
saya Ki Rangga, harusnya saya dapat bagian yang lebih banyak" kata
Karebet.
"Jatah makanan seorang Rangga
dua kali lipat dari jatah makanan seorang prajurit" kata Ki Rangga sambil
tertawa, disusul tawa dari Tumpak dan Karebet.
Karebet mengambil bungkusan yang
dibawanya dari kotaraja, bungkusan yang berisi makanan dan minuman, tidak
ketinggalan didalam bungkusan juga terdapat tiga buah pedang pendek.
Karebet menebarkan pandangan
berkeliling, beberapa waktu yang lalu dia pernah melewati daerah ini, ketika
berjalan menyusuri pantai dari bandar Jepara menuju daerah Asem Arang.
Karebet juga tahu, bahwa dibalik
pohon bakau agak disebelah timur, ada beberapa bangunan gubug, yang dihuni oleh
beberapa keluarga nelayan.
Ketiganya lalu berjalan menuju
sebuah pohon yang tidak begitu besar, tapi dapat digunakan untuk berteduh,
serta menikmati bekal yang dibawanya, nasi yang sudah dingin, tiga ekor ikan
lele bakar, beberapa buah ketimun dan sebungkus kecil sambal
"Enak juga makan ditepi
pantai" kata Ki Rangga.
"Ikan lelenya ini ukurannya
agak besar" kata Karebet.
"Tumpak, kenapa ikan lelemu kau
cabuti kumisnya" tanya Rangga Pideksa.
"Ya Ki Rangga, aku tidak senang
dengan kumis ikan lele, sebab dulu istriku mau di jadikan istri oleh orang yang
berkumis seperti kumis ikan lele, aku hanya membayangkan yang aku cabuti adalah
kumis orang itu" jawab Tumpak, lalu terdengar tiga orang itu tertawa
berderai.
"Makan secukupnya saja, jangan
terlalu banyak" kata Rangga Pideksa.
"Sambalnya terlalu pedas"
kata Karebet.
Setelah makan nasi, maka merekapun
beristirahat sambil makan pisang raja yang diberi oleh Nyai Madusari
"Pisangnya manis, semanis
senyum Nyai Madusari" kata Rangga Pideksa, dan kembali mereka bertiga
tertawa.
"Sering-sering saja kau dapat
pisang Karebet, biar perutku kenyang" kata Tumpak, dan suara tawa mereka
bertigapun terdengar panjang.
"Enak kalau jadi suami Nyai
Madusari, rumah warisan Ki Tumenggung besar sekali" kata Tumpak, dan
terdengar lagi mereka tertawa.
"Kalau jadi suami Nyai
Madusari, kita tidak perlu punya modal apapun juga" kata Ki Rangga sambil
tertawa, disusul suara tertawa Tumpak dan Karebet.
Tetapi suara tertawa Karebet yang
berkepanjangan tiba-tiba berhenti, cep klakep seperti orong-orong kena injak,
sehingga suara tertawa Ki Rangga dan Tumpakpun juga ikut berhenti.
"Ada apa?" tanya Rangga
Pideksa.
"Suara titir" jawab
Karebet dan iapun segera berdiri dan berkata :"Dari arah timur"
Rangga Pideksa berdiri dan
menegakkan kepalanya, lamat-lamat ia mendengar suara kentongan yang dipukul
dengan irama cepat :"Ya, itu suara titir"
Tumpak segera berdiri, dia berusaha
menelan pisang yang masih berada didalam mulutnya.
Karebet segera meraih tiga buah
pedang pendek yang berada didalam bungkusan dan yang dua buah diberikannya
kepada Rangga Pideksa dan Tumpak.
"Mari kita kesana, mumpung
belum terlambat" kata Rangga Pdeksa dan Ki Ranggapun mendahului lari ke
arah timur, diikuti oleh Karebet dan Tumpak.
Dengan cepat mereka bertiga berlari,
Karebet menduga, suara kentongan yang dipukul dengan irama titir berasal dari
beberapa rumah dibalik pohon bakau. Beberapa saat setelah mereka berlari, agak
jauh didepan terlihat dua orang sedang memanggul sesuatu dipundaknya, sedang
berlari kearah pantai.
"Itu orangnya, dua orang
perampok, mereka tidak akan bisa kita kejar, jaraknya terlalu jauh" kata
Ki Rangga.
"Kita cegat mereka disebelah
pohon bakau" kata Karebet, dan iapun langsung melompat dan lari berbelok
ke arah pohon bakau diikuti oleh Ki Rangga dan Tumpak.
Karebet berlari memotong jalan,
melompati beberapa genangan air laut, setelah melewati dua gerumbul pohon
bakau, maka dia telah berada didepan dua orang yang dikejarnya.
Kedua orang yang sedang berlari
menuju pantai menjadi terkejut. ketika didepannya, dari balik sebuah pohon bakau,
muncul seorang pemuda yang melompat menghadang, kemudian diikuti oleh dua orang
lainnya.
Kedua orang itu lalu meletakkan
benda yang dipanggulnya yang ternyata adalah dua orang perempuan yang telah
pingsan.
Melihat ada tiga orang yang
menghadang didepannya, salah seorang dari mereka tertawa berkepanjangan
"Ha ternyata kau Rangga
Pideksa, hari ini kita bertemu lagi, dulu kau bisa lolos dari tanganku karena
kau dibantu prajurit segelar sepapan, sekarang kau tidak akan bisa lari lagi,
kau akan mati disini" kata salah seorang dari mereka sambil tertawa
senang.
"Klabang Ireng dan kau Klabang
Ijo, kalian dua orang perampok kakak beradik, disini kau culik dua orang
perempuan, disini pula akhir dari petualanganmu, menyerahlah supaya aku tidak
membunuhmu" kata Rangga Pideksa.
"Kakang Ireng, kita bunuh
mereka bertiga, karena berani mengganggu kesenangan kita" kata Klabang
Ijo.
"Baik, adi Ijo, kau layani yang
seorang, sedangkan Rangga Pideksa dan satu temannya lagi biar menjadi bagianku,
akan kubunuh mereka berdua" kata Klabang Ireng.
"Karebet dan Tumpak" kata
Ki Rangga :"Dua orang itu, Klabang Ireng dan Klabang Ijo adalah dua orang
perampok kakak beradik yang sering merampok disekitar bandar Jepara, dulu dia
bisa melarikan diri, tetapi sekarang dia akan mati disini"
"Ayo Rangga Pideksa, majulah
kalian berdua, keroyoklah aku" kata Klabang Ireng.
"Tumpak, kau bantu Ki Rangga,
biar aku sendiri yang melawan Klabang Ijo" kata Karebet.
"Hati-hati Karebet" kata
Ki Rangga.
Karebet yang belum mengetahui
tingkat kemampuan lawannya, tidak berani bertindak tergesa-gesa, segera
dibangunnya kekuatan aji Lembu Sekilan untuk membentengi dirinya.
"Kalian bertiga, bersiaplah
untuk mati disini" kata Klabang Ireng.
Ki Rangga mengetahui betapa ganas
dan berbahaya sepak terjang Klabang Ireng, sehingga Ki Rangga segera mencabut
pedang pendeknya, diikuti oleh Tumpak dan Karebet
"Rangga Pideksa, keluarkan
semua senjatamu sebelum kau mati disini" kata Klabang Ireng sambil
tertawa.
Karebet menggeser badannya sehingga
berhadapan dengan Klabang Ijo, sedangkan Tumpak melangkah mendekati Ki Rangga
dan bersiap menghadapi Klabang Ireng.
Melihat lawannya sudah menggenggam
sebuah pedang pendek, Klabang Ijopun mencabut goloknya, sambil berjalan
mendekati lawannya.
"Kakang Ireng, mari kita
berlomba, siapa yang lebih dulu membunuh lawannya" kata Klabang Ijo,
"Rangga Pideksa memang sudah
bosan hidup, dia yang pertama kali akan mati" kata Klabang Ireng.
"Namamu Karebet? Kau yang akan
mati lebih dulu" kata Klabang Ijo:"Kau terlalu sombong, kau anak
kemarin sore sudah berani menempatkan diri melawan Klabang Ijo yang tak
terkalahkan di .........."
Belum selesai Klabang Ijo berbicara,
tiba-tiba pemuda yang disebutnya sebagai anak kemarin sore itu telah
menjulurkan pedang kearah dadanya, sehingga Klabang Ijo dengan tergesa-gesa
melompat mundur kebelakang..
Hampir saja Klabang Ijo tidak bisa
menyelesaikan ucapannya.
Mereka belum mulai bertempur, tetapi
Klabang ijo sudah marah terlebih dulu, dadanya hampir saja berlubang ditembus
pedang Karebet.
"Kau membuat aku marah"
kata Klabang Ijo sambil menunjuk muka Karebet dengan goloknya.
"Aku sudah marah sejak
tadi" kata Karebet.
"Kau memang ingin mati
disini" kata Klabang Ijo dan tanpa menunggu jawaban, Klabang Ijopun
mengayunkan goloknya menyerang Karebet.
Karebet mundur selangkah untuk
menghindari ayunan golok Klabang Ijo, tetapi Klabang Ijo masih menyerangnya
dengan sebuah tusukan lurus kedepan.
Kali ini Karebet tidak menghindar,
tetapi memukul golok Klabang ijo kesamping dengan menggunakan pedang pendeknya.
Terdengar suara beradunya dua buah
senjata, dan sekilas terlihat loncatan bunga api.
Klabang ijo berputar mengikuti arah
pukulan lawan, dan dengan sigap iapun mundur dua langkah, dan bersiap untuk
menyerang kembali.
Belum sempat Klabang Ijo menyerang,
Karebet telah menyerangnya lebih dulu dengan ayunan menyilang, dan Klabang
ijopun melayaninya dengan menggerakkan goloknya membentur pedang Karebet.
Keduanya telah terlibat perkelahian
yang sengit, pengalaman Klabang Ijo yang bertahun-tahun menjadi perampok tak
terkalahkan, menjadikan tingkah lakunya sangat ganas, ingin cepat-cepat
mengalahkan lawannya yang umurnya masih sangat muda.
Klabang Ireng masih melihat
bagaimana adiknya bertempur, dan iapun mengangguk-anggukkan kepalanya, melihat
adiknya mendesak lawannya mundur.
"Kau lihat Rangga Pideksa,
sebentar lagi temanmu pasti mati dibunuh oleh adikku, Klabang Ijo, ayo Rangga
Pideksa, mari kita mulai" katanya sambil mencabut golok dipinggangnya, dan
tanpa menunggu jawaban, Klabang Ireng melompat kedepan, dan goloknya terayun
dengan tebasan menyilang kearah Rangga Pideksa.
Rangga Pideksa melompat mundur,
Klabang Ireng menjulurkan goloknya mengejar, tetapi terpaksa serangannya
ditarik kembali karena sebuah pedang pendek yang lain terjulur kearah perutnya,
Klabang Ireng cepat menarik
goloknya, dan digunakan untuk memukul pedang yang terjulur ke arah perutnya,
sesaat kemudian terjadi benturan antara golok Klabang Ireng dengan pedang
pendek milik Tumpak.
Tumpak terkejut sekali ketika pedang
pendeknya terbentur golok Klabang Ireng, tangannya bergetar dan terasa sakit,
hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman tangannya.
Tumpak mundur selangkah, dilihatnya
Rangga Pideksa kembali menyerang Klabang Ireng dengan cepatnya.
Terjadilah dua lingkaran
perkelahian, Karebet melawan Klabang Ijo, dan perkelahian Rangga Pideksa
bersama Tumpak melawan Klabang Ireng.
Klabang Ireng terlihat masih bisa
tertawa, meskipun harus menghadapi dua orang lawannya, sedangkan Klabang Ijo
hatinya berdebar kencang menghadapi kekuatan dan ketangkasan Karebet.
Perkelahian telah berlangsung
beberapa saat, silih ungkih singa lena,
Saling menyerang dengan seluruh
kemampuan untuk mengalahkan lawannya, pedang dan golok saling berkejaran dan
berbenturan sehingga beberapa kali terlihat loncatan bunga api.
Karebet melihat sesuatu yang
mengkhawatirkan pada perkelahian Ki Rangga bersama Tumpak melawan Klabang
Ireng.
Terlihat perkelahian yang berat
sebelah, meskipun Ki Rangga dan Tumpak sudah mengeluarkan segala kemampuannya,
tapi lawannya, Klabang Ireng masih bisa melayani mereka berdua sambil tertawa
keras.
Karebet harus mengambil sebuah
keputusan yang cepat, dia harus mengalahkan Klabang Ijo terlebih dulu, sebelum
perlawanan Ki Rangga dan Tumpak semakin lemah.
Mulailah Karebet berpacu dengan
waktu, diapun menyerang Klabang Ijo dengan cepat dan kuat seperti berputarnya
angin lesus.
Tangannya yang hanya dua buah,
digerakkan dengan lambaran ilmu Trisula Manik menyerang kearah Klabang Ijo.
Klabang Ijo terkejut melihat
perubahan gerak lawannya, tangannya berubah seakan-akan menjadi tiga buah,
pedang pendeknya berubah ubah dari tangan kanan, tiba-tiba sudah berada di
tangan kiri.
Klabang Ijo sama sekali tidak
mempunyai kesempatan untuk menyerang, yang bisa dilakukannya adalah bergerak
mundur berputar-putar, bertahan sekuat tenaga berusaha menghindar dari serangan
pedang pendek lawannya yang dilambari ilmu Trisula Manik.
Pada saat yang bersamaan, Klabang
Ireng berniat untuk mengakhiri perkelahian, goloknya diputar seperti
baling-baling, dan ketika datang serangan pedang pendek dari Tumpak,
dibenturkan pedang lawannya dengan golok yang diputarnya dengan kekuatan penuh,
dan tanpa dicegah, pedang Tumpakpun terlempar jatuh ke tanah.
Telapak tangan Tumpak terasa sakit,
dia melompat mundur dua langkah, Rangga Pideksapun segera bergeser mendekati
Tumpak sambil mengacungkan pedangnya.
Klabang Ireng tertawa, iapun segera
bersiap untuk membunuh kedua lawannya.
Perkelahian Karebet melawan Klabang
Ijo sudah sampai pada saat yang menentukan, Karebet dalam puncak ilmu Trisula
Manik berhasil memutar pedang pendeknya menempel pada golok lawannya, dan
dengan satu hentakan keras kesamping, golok Klabang Ijo terlempar jatuh ke
tanah.
Klabang Ijo melompat mundur, tetapi
Karebet tidak melepaskannya, dengan satu lompatan panjang, pedangnya terjulur
mengejar ke dada lawannya.
Di perkelahian lainnya, setelah
berhasil menjatuhkan pedang dari salah satu lawannya, Klabang Ireng menyerang
Rangga Pideksa dengan ayunan goloknya, Ki Ranggapun menangkis dengan pedang
pendeknya dan terjadilah satu benturan keras, akibatnya pedang Rangga Pideksa
hampir saja terlepas, dan ketika Klabang Ireng bersiap akan menyerang kembali,
ia terkejut ketika mendengar suara adiknya berteriak nyaring: "Kakang
Ireng!!!"
Klabang Ireng menoleh dan iapun
terkejut, dilihatnya pedang Karebet mengancam dada adiknya, dan dibuatnya
sebuah keputusan yang cepat, dibatalkannya niat untuk membunuh Rangga Pideksa,
dengan cepat tangannya meraba ikat pinggangnya, sekejap kemudian meluncurlah
dua buah pisau belati mengarah tepat ke punggung Karebet.
Wajah Klabang Ijo pucat pasi,
pedangnya telah terlempar, dan kini ia tanpa senjata menghadapi Karebet, anak
kemarin sore yang masih memegang pedang pendeknya.
Klabang Ijo mundur selangkah,
menghindari tusukan pedang pendek lawannya, Karebet yang mempunyai panggrahita
yang tajam, merasa ada senjata tajam yang menyerang punggungnya.
Menghadapi serangan yang mengarah ke
punggungnya, Karebet berpikir cepat dan mengambil sebuah keputusan yang tepat.
Karebet tidak menghiraukan serangan
yang mengarah ke punggungnya, dengan suatu lompatan panjang, pedangnya yang
disabetkan secara menyilang, berhasil menggores dada Klabang Ijo.
Sebuah goresan menyilang yang dalam,
telah mengakibatkan Klabang Ijo berteriak nyaring, karena merasa dadanya
terbelah.
Tubuh Klabang Ijo terdorong
selangkah kebelakang, lalu dengan keras jatuh terbanting ke tanah.
Klabang Ijo, salah satu dari dua
perampok bersaudara yang tak terkalahkan disekitar bandar Jepara, kini telah
jatuh dan terbaring diam, mati ditangan seorang prajurit Wira Tamtama yang
berpakaian petani, Karebet,
Teriakan Klabang Ijo bersamaan
dengan runtuhnya dua buah pisau belati yang dilempar kepunggung Karebet oleh
Klabang Ireng.
Dua buah pisau belati runtuh ke
tanah, hanya berjarak sekilan dari punggung Karebet.
Klabang Ireng sangat terkejut
mendengar teriakan kesakitan adiknya, dengan tergesa-gesa ia tinggalkan kedua
lawannya, Rangga Pideksa dan Tumpak yang telah kehilangan pedangnya, dan dengan
dua lompatan panjang, ia telah berdiri di depan Karebet yang masih memegang
pedang pendek berlumuran darah, darah adiknya.
"Kau bunuh adikku" kata
Klabang Ireng gemetar.
"Ya" kata Karebet.
"Hutang nyawa bayar nyawa,
hutang pati bayar pati" kata Klabang Ireng.
"Cobalah kalau kau mampu"
kata Karebet.
Klabang ireng yang marah karena
kehilangan adiknya, tidak mau menunggu lama, goloknya digerakkan menebas
kesamping menyerang kearah lawannya, sehingga Karebet, terpaksa mundur dua
langkah.
Ketika Klabang Ireng merubah tebasan
kesamping menjadi tusukan lalu berubah lagi menjadi tebasan menyilang, maka
Karebetpun membenturkan pedang pendeknya ke golok lawannya, dan terjadiah
benturan keras dan tangan keduanya menjadi bergetar.
Karebet tidak mau diserang terus
menerus, maka tangannya pun bergerak dengan cepat, menyerang silih berganti,
berputar mengelilingi Klabang ireng.
Sementara itu, Tumpak telah
mengambil kembali pedangnya yang lepas ketika bertempur melawan Klabang Ireng,
dan bersama Ki Rangga Pideksa mereka melihat Klabang Ireng yang marah karena
adiknya terbunuh, sedang bertahan atas serangan gencar dari Karebet yang
menggunakan ilmu Trisula Manik.
Karebet bergerak memutar setengah
lingkaran, menyerang Klabang Ireng dari sebelah kiri, dan pedang pendeknya
terjulur tepat ke arah dada.
Klabang Ireng tidak mau dadanya
berlubang, cepat ia menangkis dengan goloknya, dan itu yang sebetulnya ditunggu
oleh Karebet. Ketika golok Klabang Ireng menangkis pedang pendeknya, maka
dengan sekuat tenaga, Karebet memutar pedang pendeknya, sehingga golok Klabang
Ireng ikut berputar, dan dengan satu hentakan keras kesamping, maka terlepaslah
golok Klabang Ireng dari tangannya.
Melihat goloknya terlepas, Klabang
Ireng melompat mundur dua langkah, tangannya bergerak meraba ikat pinggangnya,
sekejap kemudian ditangannya telah tergenggam sebuah cemeti panjang, sebuah
cemeti pusaka warisan dari nenek moyangnya.
Di ujung cemeti terikat erat
beberapa buah logam kecil yang tajam seperti pisau, yang mampu mengoyak kulit
dan daging lawannya.
Sekali cemeti itu diusapkan di
ubun-ubunnya, sekejap kemudian terdengarlah suara ledakan keras, ketika cemeti
itu dilecutkan di udara.
Dengan bersenjatakan sebuah cemeti,
Klabang Ireng selalu mengambil jarak dari lawannya, menghindari pertarungan
jarak dekat.
Jangkauan cemeti yang panjang,
membuatnya mampu menyerang lebih banyak daripada serangan lawannya.
Ketika cemeti Klabang Ireng
mendesing cepat menyambar leher, Karebet membungkukkan badannya, belum sempat
berdiri tegak, ujung cemeti Klabang Ireng membelit pedang pendeknya, dan dengan
satu hentakan sendal pancing yang kuat, pedang pendek Karebet terlepas jatuh
ketanah.
Klabang Ireng tertawa berkepanjangan
ketika melihat lawannya tanpa senjata, dan dengan penuh nafsu membunuh,
dihajarnya tubuh Karebet dengan lecutan cemeti beruntun.
Tangan kanan Klabang Ireng bergerak
cepat memainkan cemetinya yang berujung beberapa logam tajam, yang mampu
mengoyak kulit daging seseorang.
Berkali-kali ujung cemeti yang tajam
dilecut dengan keras mengarah ke tubuh Karebet, tetapi ujung cemeti yang tajam
itu seakan-akan tertahan oleh perisai yang tidak kasat mata.
Sementara itu Ki Rangga Pideksa dan
Tumpak yang melihat peristiwa itu menjadi heran, mereka jelas melihat ujung
cemeti mengarah ke tubuh Karebet, tetapi cemeti itu tidak pernah bisa menyentuh
tubuh Karebet.
Gempuran cemeti yang berujung tajam
dari Klabang Ireng seakan tertahan oleh sesuatu yang tidak terlihat, hanya
berjarak sekilan dari tubuh Karebet.
Tak lama kemudian, setelah bertempur
beberapa saat, maka Karebetpun berniat ingin mengakhiri perlawanan Klabang
Ireng.
Dengan cepat dihimpunnya kekuatan
aji Hasta Dahana dan dipusatkan di tangan kanannya.
Aji Hasta Dahana, sebuah aji Tangan
Api, yang didapat dari menghimpun panas kawah gunung Merapi, dan ditangan
Karebet aji Hasta Dahana mampu membakar dan menghanguskan batang pohon sebesar
sepelukan orang
Karebet tidak menghiraukan ketika
ujung cemeti menyerangnya, bukannya menghindari serangan cemeti lawan, tetapi
Karebet malah melompat maju menyongsong hantaman cemeti Klabang Ireng.
Ketika Klabang Ireng melihat Karebet
maju, maka iapun melompat mundur untuk mengambil jarak, lalu dengan keras
dilecutkan cemetinya diatas kepala lawannya.
Tedengar sebuah ledakan keras
diudara, lalu ujung cemeti menyambar cepat ke arah dada Karebet.
Sekali lagi Karebet melompat maju
dua langkah, dan dengan cepat tangan kirinya menangkap cemeti, bukan pada ujung
cemeti, tetapi hampir di pangkal cemeti, hanya berjarak sedepa dari pangkal
cemeti.
Dengan kekuatan penuh, tangan kiri
Karebet menarik cemeti ke arah dirinya, tetapi Klabang Ireng tidak mau
kehilangan cemeti pusaka warisan leluhurnya, dia mempertahankan cemeti itu
sekuat tenaganya, jangan sampai cemeti pusakanya itu jatuh ke tangan lawannya.
Tangannya masih menggenggam cemeti
dengan kuatnya, sehingga badan Klabang Ireng tersentak maju kedepan, dan
semuanya itu sudah diperhitungkan oleh Karebet.
Semua terjadi dalam waktu sekejap..
Ketika badan Klabang Ireng tersentak maju selangkah kedepan, maka dengan cepat
Karebet melompat kedepan menyongsong tubuh lawannya, tangan kanannya digunakan
untuk menyentuh wajah Klabang Ireng, serta dua jari tangannya menyerang ke arah
ke mata.
Klabang Ireng terkejut, dia tidak
mau kehilangan dua buah bola matanya, maka serangan dua jari tangan itu
ditangkisnya.
Tangan kanan Klabang Ireng masih
memegang dengan erat cemeti pusakanya, maka tidak ada jalan lain, Klabang Ireng
terpaksa menangkis tangan kanan Karebet dengan tangan kirinya,.
Tetapi Klabang Ireng terkejut bukan
buatan, tangan kirinya yang sudah terlanjur diangkat keatas untuk menangkis
serangan Karebet menemui tempat kosong, ternyata Karebet telah menyerang dengan
sebuah gerak tipuan.
Sebelum tangan Karebet menyentuh
tangan Klabang Ireng, dengan cepat Karebet merubah serangan tangannya kebawah,
bukan lagi berupa sebuah serangan dua jari kearah mata, tetapi berupa serangan
telapak tangan kanan yang menyerang ke arah dada.
Telapak tangan yang dilambari aji
Hasta Dahana, menghantam tepat didada Klabang Ireng.
Klabang Ireng merasa, dadanya terasa
seperti tertimpa kawah gunung Merapi, panas sekali, hanya sekejap, setelah itu
dia tidak pernah merasakan rasa sakit lagi.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar