Minggu, 29 Juni 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 6



BAB 3 : BUNGA CEMPAKA 1

Ditulis oleh : Apung GWAP


Sultan Trenggana yang sudah merasakan pijatan tangan Karebet, menjadi heran, kekuatan jari tangannya memang luar biasa, di umur yang masih muda, Karebet sudah mempunyai kekuatan yang besar.
Aji Raga Jati miliknya yang sudah matang tidak bisa dipatahkan, tetapi bisa disentuh oleh kekuatan Karebet, telah membuat dirinya kagum kepada Karebet.
Karebet yang masih berusia muda sudah mampu menembus aji Raga Jati, cukup memuatnya heran, karena itulah maka Sultan Trenggana berkata :"Cukup Karebet, pijatanmu cukup terasa"
"Mohon ampun Kanjeng Sultan" kata Karebet yang merasa Kanjeng Sultan Trenggana sangat memperhatikan dirinya.
"Ya, kau sekarang boleh kembali bertugas lagi" kata Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Karebet dan setelah menyembah, Karebetpun bergeser ke pintu.

Sultan Trenggana memandang Karebet yang melangkah keluar ruangan, sampai hilang dibalik pintu.
Karebet yang merupakan cucu buyut Sang Prabu Brawijaya Pamungkas, meninggalkan ruangan menuju pintu masuk ruang dalam, tempat dia berjaga semula.
Karebetpun kembali ke tempat tugasnya, dan ketika ditanya diapun bercerita seadanya.
"Jadi kau disuruh memijat Kanjeng Sultan?" tanya temannya heran.
"Ya , apakah ada yang aneh?" tanya Karebet.
"Selama ini belum pernah ada yang dipanggil Sultan untuk memijat" kata temannya.
Karebetpun menjawab seadanya :"Ya, mungkin Kanjeng Sultan lelah"
Matahari bergeser terus ke barat, ketika langit berganti menjadi gelap, Karebetpun pulang ke tempat paman Ganjur, dan bercerita tentang perintah tinggal di rumah khusus untuk prajurit di dalem lor.
"Jadi besok malam kau sudah tidak tidur disini?" tanya Ganjur.
"Ya paman, aku tidur di dalem lor" kata Karebet.
"Jaga dirimu baik-baik Karebet, laksanakan semua tugas keprajuritan yang diberikan kepadamu" kata pamannya, Ganjur.

Malam itu, Karebet dapat tidur nyenyak, di kegelapan malam, ribuan bintang angkasa tanpa kenal lelah terus bergerak kearah barat
Mulailah hari demi hari Karebet menjalani hidupnya sebagai prajurit Wira Tamtama, Karebetpun telah beberapa kali dipanggil untuk memijat, betul-betul memijat Kanjeng Sultan, bukan karena Kanjeng Sultan ingin mencoba untuk mengetahui kekuatannya.
Ternyata beberapa hari saja setelah Karebet menjadi prajurit Wira Tamtama, telah menjadi perbincangan laki-laki dan perempuan se kotaraja Demak.
Banyak laki-laki yang mendengar dari para prajurit yang ikut berburu ke hutan Prawata, yang bercerita tentang keberanian dan keperkasaan Karebet menaklukkan seekor macan gembong.
Sedangkan yang perempuan banyak yang jatuh hati ketika melihat ketampanan Karebet, apalagi ketika Karebet mengenakan pakaian prajurit Wira Tamtama.

Di suatu pagi yang cerah, Karebet telah selesai melakukan magang beberapa hari, dan pada hari itu dia mendapat tugas berjaga di depan ruang dalam.
Sudah beberapa hari ini, setiap pagi ada seorang perempuan setengah baya, cantik dan menarik, setiap lewat pasti tersenyum kepada para penjaga dan memberikan senyum yang paling manis kepada Karebet. "Sssstt itu siapa?" tanya Karebet kepada temannya sesama prajurit Wira Tamtama yang bernama Tumpak.
"Mana?" tanya Tumpak
"Itu..." Kata Karebet sambil menunjuk perempuan itu dengan dagunya.
"Yang mana? O itu,, itu Nyai Menggung" jawab Tumpak, lalu ia melanjutkan :"Nyai Menggung, janda cantik yang sudah beberapa tahun ditinggal mati suaminya, seorang Tumenggung"

Karebet hanya mendengarkan saja cerita Tumpak tentang Nyai Menggung.
"Nama sebenarnya dari Nyai Menggung adalah Nyai Madusari" kata Tumpak, dan iapun terus bercerita :"Dulu sewaktu masih gadis, Nyai Madusari tinggalnya juga di kaputren karena masih sentana dalem, dan setelah menjadi istri dari seorang Tumenggung, lalu pindah ke rumah Ki Tumenggung"
"Kenapa Nyai Menggung tiap hari ke keputren? tanya Karebet.
"Ya, karena Nyai Menggung mengajari putri Kanjeng Sultan yang menginjak dewasa, Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka, mengajar ngadi busana dan ngadi salira"
Karebet hanya mendengarkan saja semua cerita Tumpak, pikirannya sedang mengembara mencari satu nama, Sekar Kedaton Kasultanan Demak, Gusti Putri Mas Cempaka.

Siang harinya, ketika matahari sedikit condong ke barat, terlihat pintu kaputren sedikit terbuka, dan keluarlah wanita setengah baya yang masih cantik, Nyai Madusari.
Langkah kaki dari Nyai Madusari perlahan-lahan menuju pintu gerbang, lambaian tangannya enak dipandang, seperti blarak sempal.
Ketika lewat didepan Karebet, Nyai Madusari tersenyum manis kepada Karebet, dan terdengar suara merdu memanggil sebuah nama :" Karebet"
Karebet tersenyum, dan dilihatnya Nyai Madusari berjalan terus keluar dari pintu gerbang. "Coba misalnya kalau aku setampan kau Karebet, Nyai Mengggung pasti sudah menjadi istriku" kata Tumpak sambil tertawa.
Karebetpun juga ikut tertawa ketika mendengar kata-kata dari Tumpak.

Waktu berjalan terus, beberapa hari kemudian, tidak jauh dari kotaraja Demak, di sebuah lapangan yang agak luas di tepi sungai, dua orang pemuda yang berada di punggung kuda, terlihat sedang membicarakan sesuatu.
"Ki Lurah, kudamu digeser agak ke utara sedikit, jangan terlalu dekat dengan Gagak Rimang" kata seorang pemuda yang duduk diatas punggung kuda hitam yang gagah.
"Baik Raden" kata orang yang diajak bicara, Lurah Pasar Pon, sambil memajukan kudanya, lalu iapun turun dari punggung kudanya, mendekati pemuda yang mengajaknya bicara.
"Raden Penangsang sudah mendengar apa yang dibicarakan orang-orang se kotaraja Demak ?" kata Lurah Pasar Pon.
"Membicarakan tentang apa ?" tanya pemuda itu, Arya Penangsang, kemenakan Kanjeng Sultan Trenggana.
"Tentang keberanian seorang prajurit Wira Tamtama yang baru" kata Ki Lurah.
"Karebet ?" kata Arya Penangsang
"Ya raden, kekuatan tangan Karebet mampu memukul kepala seekor macan gembong hingga pingsan" kata Lurah Pasar Pon.

Arya Penangsang menganggukkan kepalanya :"Ya, Karebet mampu memukul kepala seekor macan gembong hingga pingsan, tangannya pasti kuat sekali"
"Ya, orang sekotaraja Demak mengaguminya" kata Lurah Pasar Pon.
"Ya, aku juga mendengar soal itu dari para prajurit Wira Tamtama, biar saja, malah bagus itu, seorang prajurit Wira Tamtama mempunyai ilmu yang tinggi" jawab Penangsang.
"Dulu raden pernah membuat pangeram-eram, memukul batu padas sebesar gudel hingga pecah berserakan" kata Lurah Pasar Pon.
Arya Penangsang tidak menjawab, dilihatnya tangan kanannya yang mempunyai kekuatan yang dahsyat.
"Dengan lambaran aji Panglebur Jagad, sekali saja terkena tanganku, kepala seekor macan gembong pasti pecah" kata Arya Penangsang dalam hati.
"Raden, apakah Karebet mampu memukul kepala macan gembong hingga pecah berserakan, atau menghancurkan batu padas sebesar gudel ?" tanya Ki Lurah Pasar Pon.

Arya Penangsang tidak menjawab, tapi ada suatu keinginan untuk menakar ilmu kanuragan melawan Karebet.
"Kelihatannya aku dan Karebet perlu adu kerasnya tulang, liatnya kulit, adu ilmu kanuragan jaya kawijayan guna kasantikan, bagaimana pendapatmu he Lurah Pasar, kalau aku tantang Karebet sekarang?" tanya Arya Penangsang.
"Raden, misalnya Raden suatu saat bisa bertanding ilmu kanuragan melawan Karebet, kalau Karebet kalah dan mati, seperti Sura Alap-alap yang telah raden bunuh, apakah Kanjeng Sultan tidak marah kepada raden?" kata Lurah Pasar Pon.

Arya Penangsang mengangguk-anggukkan kepalanya, kemudian iapun berkata :"Ya, Kanjeng Sultan pasti akan murka kalau aku tanpa alasan membunuh seorang prajurit Wira Tamtama"
"Kalau Raden Penangsang bertanding melawan Karebet yang cuma seorang prajurit Wira Tamtama, perbandingan kekuatannya tidak seimbang, Raden" kata Lurah Pasar Pon.
Arya Penangsang menarik nafas dalam-dalam untuk menekan hasratnya yang menggelora.
"Ya, kalau aku menang tidak menjadi terkenal, kalau aku kalah hanya akan mendapat malu" kata Arya Penangsang yang telah kehilangan hasrat untuk bertanding melawan Karebet.
Sebenarnya Penangsang memang segan dan takut kepada pamannya, Sultan Trenggana, disamping sebagai seorang Sultan yang merupakan penguasa tunggal di Kasultanan Demak, ilmu kanuragan Kanjeng Sultan adalah sangat tinggi, hampir tak terukur, serta menguasai beberapa aji jaya kawijayan yang tak akan dapat dilawannya.
"Biar saja Karebet mampu mengalahkan seekor macan gembong, tidak apa-apa, itu bukan urusanku, ayo, sekarang kita berlatih berpacu kuda, Ki Lurah, kau pacu kudamu lebih dulu, nanti aku kejar" kata Arya Penangsang.
Ki Lurah segera naik ke atas punggung kudanya, dan memacu kudanya lari terlebih dulu, beberapa saat kemudian, Arya Penangsang diatas punggung Gagak Rimang memacu kudanya secepat tatit mengejar kuda didepannya.

Pada saat yang bersamaan, didepan kaputren dua orang prajurit Wira Tamtama sedang berjaga, salah satu prajurit itu, Karebet, tidak menyadari bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh dua pasang mata yang mengintip dari balik pintu kaputren yang tertutup.
"Itu pemuda tampan yang bernama Karebet, Gusti Putri" kata salah seorang yang mengintip.
"Nyai Menggung, ternyata Karebet memang pemuda yang tampan" kata orang yang mengintip lainnya, Sekar Kedaton Kasultanan Demak, putri Kanjeng Sultan Trenggana, Gusti Putri Mas Cempaka.
"Disamping tampan, kata orang-orang keberanian dan ilmu kanuragan Karebet memang luar biasa, katanya dia di hutan Prawata mampu mengalahkan macan gembong sebesar kerbau ?" tanya Gusti Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri, kata orang-orang memang begitu" jawab Nyai Menggung.
"Nyai Menggung, aku ingin sekali bisa ketemu Karebet" kata Mas Cempaka.
"Sulit Gusti Putri, hanya saya saja yang bisa ketemu Karebet" kata Nyai Madusari sambil tersenyum.
"Ah kau" kata Gusti Putri Mas Cempaka.

Sore harinya, terlihat Karebet pulang dari berjaga di Kraton, setelah keluar dari pintu gerbang Kraton, dijalan berpapasan dengan Nyai Menggung, dan seperti biasanya Nyai Menggung memberi senyum yang manis.
"Karebet" panggil Nyai Menggung.
"Ya Nyai Menggung" jawab Karebet.
"Karebet, panggil nama saya, Nyai Madusari" kata Nyai Menggung.
"Ya Nyai Madusari" kata Karebet.
"Karebet, kau jangan bilang siapapun, Gusti Mas Cempaka ingin bertemu dengan kau" kata Nyai Menggung.
Karebet terkejut, dia tak sempat menjawab, karena Nyai Menggung sudah berjalan kembali.
Malam harinya, Karebet sulit sekali memejamkan matanya, di angan-angannya hanya terbayang satu nama yang telah mengutarakan maksudnya ingin bertemu dengannya, Gusti Mas Cempaka, Sekar Kedaton Kasultanan Demak, putri Kanjeng Sultan Trenggana.

Keesokan harinya, seperti biasa Karebet mendapat tugas berjaga, kali ini Karebet bertugas berjaga di gedung pusaka, ketika seorang prajurit Wira Tamtama menemuinya.
"Karebet" kata prajurit itu.
"Ya Tumpak, ada apa ?" tanya Karebet.
"Kau dipanggil Tumenggung Gajah Birawa sekarang, di ruang Wira Tamtama, disini sementara aku yang jaga" kata Tumpak.
"Baik, aku kesana sekarang" kata Karebet dan iapun berjalan menuju ruangan Wira Tamtama.
Karebet berdiri didepan pintu, sesaat kemudian terdengar suara dari dalam: "Masuklah Karebet"
Karebet masuk kedalam ruangan, disana sudah ada empat orang, dua diantaranya sudah dia kenal, Tumenggung Gajah Birawa dan satunya lagi Lurah Wirya Sentika, sedangkan dua orang lainnya, belum dikenalnya, tetapi terlihat dari pakaiannya adalah seorang Tumenggung dan seorang Rangga.
"Duduklah Karebet" kata Tumenggung Gajah Birawa.

Setelah mengangguk hormat, Karebetpun duduk bersama mereka.
"Karebet disebelah saya adalah Ki Tumenggung Suranata dan Ki Rangga Pideksa, keduanya baru pulang dari bertugas di daerah Pati" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Hormat saya Ki Tumenggung dan Ki Rangga" kata Karebet.
"Kau keponakannya Ki Ganjur ?" tanya Tumenggung Suranata.
"Ya Ki Tumenggung, mohon maaf saya pernah menumpang menginap beberapa hari di dalem Suranatan" kata Karebet.
"Ya, tidak apa-apa Karebet" kata Tumenggung Suranata.
"Karebet" kata Tumenggung Gajah Birawa: " Tiga hari lagi, Kanjeng Sultan Trenggana beserta Prameswari dan Putri Sekar Kedaton, Gusti Mas Cempaka, akan pergi langen suka, ingin pesiar naik perahu ke pantai"
"Ya Ki Tumenggung" jawab Karebet. "Silahkan Ki Tumenggung Suranata yang menjelaskan kepada Karebet." kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Karebet" kata Tumenggung Suranata :"Nanti yang akan ikut mengawal ke pantai ada beberapa orang, diantaranya adalah aku sendiri, Ki Rangga Pideksa, Tumpak dan kau Karebet"

"Sebelum kau mengawal Kanjeng Sultan naik perahu, ada tugas penting yang harus kau laksanakan besok pagi" kata Tumenggung Suranata.
"Ya Ki Tumenggung" jawab Karebet.
"Besok pagi Ki Rangga Pideksa bersama kau dan Tumpak naik perahu sampai ke pantai, untuk memeriksa dan memastikan sungai yang akan dilewati Kanjeng Sultan dalam keadaan aman. Besok kau berangkat pagi hari, dan yang akan memimpin adalah Ki Rangga Pideksa" kata Tumenggung Suranata.
"Baik Ki Tumenggung" jawab Karebet.
"Ya, hanya itu saja, jangan lupa besok pagi berangkat bersama Ki Rangga Pideksa dan sekarang silahkan kembali bertugas menjaga gedung pusaka" kata Tumenggung Suranata.
Karebet lalu mohon diri, dan berjalan kembali ke gedung pusaka untuk melanjutkan tugasnya disana.
"Besok kita berangkat pagi hari" kata Karebet kepada Tumpak.

Matahari terus bergerak kearah barat tanpa mengenal lelah, ketika Karebet sedang dalam perjalanan pulang dari bertugas, tidak jauh dari pintu gerbang, dia bertemu dengan Nyai Menggung.
"Bagaimana Karebet, apa jawabanmu ?" tanya Nyai Menggung
"Nyai Madusari, tiga hari lagi, saya diperintahkan ikut mengawal di perahu Kanjeng Sultan, nanti Gusti Putri akan bertemu dengan saya disana, sedangkan besok pagi saya akan ke pantai, memeriksa tempat yang akan dikunjungi Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Baik, besok saya sampaikan ke Gusti Putri" kata Nyai Menggung.
"Terima kasih Nyai" kata Jaka Tingkir.
"Karebet, saya kemarin panen pisang raja, sudah matang, enak dan manis, nanti kau mau datang kerumahku cah bagus?" Kata Nyai Madusari sambil tersenyum manis.
"Nyai Madusari, setelah ini, saya harus mempersiapkan keperluan untuk perjalanan ke pantai bersama Ki Rangga Pideksa besok pagi" jawab Jaka Tingkir.
"Besok kau akan berangkat pagi-pagi sekali Karebet ?" tanya Nyai Menggung.
"Ya Nyai Madusari, saya berangkat dari dalem Suranatan setelah fajar" jawab Karebet.
"Ya sudah, tidak apa-apa Karebet, tetapi lain kali kau harus datang kerumahku cah bagus" kata Nyai Madusaripun dan iapun segera berlalu dari pandangan Karebet.

Keesokan harinya, matahari dilangit sebelah timur belum begitu tinggi, sinarnya menghangati bumi kotaraja Demak, ketika tiga orang laki-laki berpakaian petani keluar dari pintu gerbang Kraton.
Dua orang prajurit Wira Tamtama beserta seorang perwira berpangkat Rangga, tanpa mengenakan pakaian keprajuritan, berjalan ke arah timur, mereka terus berjalan menuju sungai Tuntang, yang terletak disebelah timur kotaraja Demak.
Ditangan Karebet tergenggam sebuah bungkusan yang berisi tiga buah pedang pendek dan sedikit bekal untuk makan dan minum.
Belum lama mereka berjalan, dihadapan mereka, terlihat seorang gadis tanggung, seorang prawan kencur, ditangannya tergantung sesisir pisang raja,
Gadis itu menghampiri Karebet, dan memanggilnya:" Kakang Karebet"
Karebet berhenti dan bertanya:" Siapa namamu nduk cah ayu?"

"Menur" jawab anak perempuan itu, lalu pisang raja yang dibawanya, diberikan kepada Karebet.
Setelah memberikan pisang, Menurpun lari menjauh, Karebet lalu memasukkan pisang itu kedalam bungkusan yang dibawanya.
"Siapa dia ?" tanya Karebet kepada se-akan kepada diri sendiri.
"Menur, gadis yang cantik, secantik ibunya, Nyai Madusari" jawab Ki Rangga sambil tertawa, diikuti oleh tawa Tumpak.
Ternyata Ki Ranggapun suka bercanda. Karebetpun akhirnya tertawa juga.
"Dulu sewaktu aku masih muda, Nyai Madusari tidak mau kujadikan istri, aku kalah bersaing, dikalahkan oleh Ki Tumenggung" kata Ki Rangga sambil tertawa, dan mereka bertigapun tertawa lepas.
Ketiganya berjalan terus, sebentar lagi mereka akan sampai di sungai Tuntang.
"Di sungai sudah disiapkan sebuah perahu kecil" kata Rangga Pideksa "Ya Ki Rangga" jawab Karebet dan Tumpak hampir bersamaan

Beberapa saat kemudian, sampailah mereka bertiga ditepi sungai Tuntang dan ditepi sungai sudah tertambat sebuah perahu kecil yang didalamnya terdapat dua buah dayung.
"Itu perahunya, kita kesana" kata Ki Rangga.
Mereka bertigapun menuruni pinggir sungai, melepas tali yang masih tertambat pada sebuah pohon.
"Hati-hati, jalannya licin, kalau kalian terpeleset masuk ke sungai, kalian akan berubah menjadi dua ekor buaya putih" kata Ki Rangga sambil tertawa, disusul oleh Karebet dan Tumpak yang tertawa berderai. Setelah tali yang tertambat di sebuah pohon sudah dilepas, maka mereka bertiga naik ke perahu.
Tak berapa lama perahu itupun pelan-pelan meluncur ke arah utara, menuju muara sungai.
Dua orang prajurit yang berpakaian petani, Karebet dan Tumpak, duduk agak dibelakang disebelah kanan dan kiri, masing-masing memegang sebuah dayung,
Mereka menggerakkan dayung dengan kuat, dan perahupun bergerak kedepan, menyibak air sungai Tuntang.

Perlahan-lahan perahu itu berjalan terus, berkelok-kelok mengikuti alur sungai menuju muara, dipertemuan antara sungai dengan laut.
Pepohonan mulai agak jarang, udara yang bertiup sudah mulai berbau angin laut.
"Hati-hati, mulai daerah ini sampai di muara, kadang-kadang muncul satu atau dua ekor buaya muara" kata Rangga Pideksa.
"Ya Ki Rangga" kata Karebet dan Tumpak.
Perahupun masih tetap melaju pelan ke arah laut, sungai sudah terlihat semakin lebar, angin laut bertiup kencang menerpa wajah mereka.

Matahari hampir mencapai puncaknya, ketika mereka sampai di muara sungai Tuntang, riak ombak berkejaran dari arah laut.
"Kita menyusuri pantai ke arah timur dan disana kita minggir, mendarat dan istirahat sebentar di pantai" kata Rangga Pideksa.
Karebet dan Tumpakpun mendayung menyusuri pantai, dan beberapa saat kemudian, mereka meminggirkan perahunya di pasir pantai, lalu ketiganya turun di pantai.
"Perutku sudah lapar, Karebet, bekalnya kita makan sekarang" kata Ki Rangga.
"Yang bawa bungkusan adalah saya Ki Rangga, harusnya saya dapat bagian yang lebih banyak" kata Karebet.
"Jatah makanan seorang Rangga dua kali lipat dari jatah makanan seorang prajurit" kata Ki Rangga sambil tertawa, disusul tawa dari Tumpak dan Karebet.
Karebet mengambil bungkusan yang dibawanya dari kotaraja, bungkusan yang berisi makanan dan minuman, tidak ketinggalan didalam bungkusan juga terdapat tiga buah pedang pendek.
Karebet menebarkan pandangan berkeliling, beberapa waktu yang lalu dia pernah melewati daerah ini, ketika berjalan menyusuri pantai dari bandar Jepara menuju daerah Asem Arang.
Karebet juga tahu, bahwa dibalik pohon bakau agak disebelah timur, ada beberapa bangunan gubug, yang dihuni oleh beberapa keluarga nelayan.

Ketiganya lalu berjalan menuju sebuah pohon yang tidak begitu besar, tapi dapat digunakan untuk berteduh, serta menikmati bekal yang dibawanya, nasi yang sudah dingin, tiga ekor ikan lele bakar, beberapa buah ketimun dan sebungkus kecil sambal
"Enak juga makan ditepi pantai" kata Ki Rangga.
"Ikan lelenya ini ukurannya agak besar" kata Karebet.
"Tumpak, kenapa ikan lelemu kau cabuti kumisnya" tanya Rangga Pideksa.
"Ya Ki Rangga, aku tidak senang dengan kumis ikan lele, sebab dulu istriku mau di jadikan istri oleh orang yang berkumis seperti kumis ikan lele, aku hanya membayangkan yang aku cabuti adalah kumis orang itu" jawab Tumpak, lalu terdengar tiga orang itu tertawa berderai.
"Makan secukupnya saja, jangan terlalu banyak" kata Rangga Pideksa.
"Sambalnya terlalu pedas" kata Karebet.
Setelah makan nasi, maka merekapun beristirahat sambil makan pisang raja yang diberi oleh Nyai Madusari
"Pisangnya manis, semanis senyum Nyai Madusari" kata Rangga Pideksa, dan kembali mereka bertiga tertawa.
"Sering-sering saja kau dapat pisang Karebet, biar perutku kenyang" kata Tumpak, dan suara tawa mereka bertigapun terdengar panjang.

"Enak kalau jadi suami Nyai Madusari, rumah warisan Ki Tumenggung besar sekali" kata Tumpak, dan terdengar lagi mereka tertawa.
"Kalau jadi suami Nyai Madusari, kita tidak perlu punya modal apapun juga" kata Ki Rangga sambil tertawa, disusul suara tertawa Tumpak dan Karebet.
Tetapi suara tertawa Karebet yang berkepanjangan tiba-tiba berhenti, cep klakep seperti orong-orong kena injak, sehingga suara tertawa Ki Rangga dan Tumpakpun juga ikut berhenti.
"Ada apa?" tanya Rangga Pideksa.
"Suara titir" jawab Karebet dan iapun segera berdiri dan berkata :"Dari arah timur"

Rangga Pideksa berdiri dan menegakkan kepalanya, lamat-lamat ia mendengar suara kentongan yang dipukul dengan irama cepat :"Ya, itu suara titir"
Tumpak segera berdiri, dia berusaha menelan pisang yang masih berada didalam mulutnya.
Karebet segera meraih tiga buah pedang pendek yang berada didalam bungkusan dan yang dua buah diberikannya kepada Rangga Pideksa dan Tumpak.
"Mari kita kesana, mumpung belum terlambat" kata Rangga Pdeksa dan Ki Ranggapun mendahului lari ke arah timur, diikuti oleh Karebet dan Tumpak.
Dengan cepat mereka bertiga berlari, Karebet menduga, suara kentongan yang dipukul dengan irama titir berasal dari beberapa rumah dibalik pohon bakau. Beberapa saat setelah mereka berlari, agak jauh didepan terlihat dua orang sedang memanggul sesuatu dipundaknya, sedang berlari kearah pantai.
"Itu orangnya, dua orang perampok, mereka tidak akan bisa kita kejar, jaraknya terlalu jauh" kata Ki Rangga.

"Kita cegat mereka disebelah pohon bakau" kata Karebet, dan iapun langsung melompat dan lari berbelok ke arah pohon bakau diikuti oleh Ki Rangga dan Tumpak.
Karebet berlari memotong jalan, melompati beberapa genangan air laut, setelah melewati dua gerumbul pohon bakau, maka dia telah berada didepan dua orang yang dikejarnya.
Kedua orang yang sedang berlari menuju pantai menjadi terkejut. ketika didepannya, dari balik sebuah pohon bakau, muncul seorang pemuda yang melompat menghadang, kemudian diikuti oleh dua orang lainnya.
Kedua orang itu lalu meletakkan benda yang dipanggulnya yang ternyata adalah dua orang perempuan yang telah pingsan.

Melihat ada tiga orang yang menghadang didepannya, salah seorang dari mereka tertawa berkepanjangan
"Ha ternyata kau Rangga Pideksa, hari ini kita bertemu lagi, dulu kau bisa lolos dari tanganku karena kau dibantu prajurit segelar sepapan, sekarang kau tidak akan bisa lari lagi, kau akan mati disini" kata salah seorang dari mereka sambil tertawa senang.
"Klabang Ireng dan kau Klabang Ijo, kalian dua orang perampok kakak beradik, disini kau culik dua orang perempuan, disini pula akhir dari petualanganmu, menyerahlah supaya aku tidak membunuhmu" kata Rangga Pideksa.
"Kakang Ireng, kita bunuh mereka bertiga, karena berani mengganggu kesenangan kita" kata Klabang Ijo.
"Baik, adi Ijo, kau layani yang seorang, sedangkan Rangga Pideksa dan satu temannya lagi biar menjadi bagianku, akan kubunuh mereka berdua" kata Klabang Ireng.
"Karebet dan Tumpak" kata Ki Rangga :"Dua orang itu, Klabang Ireng dan Klabang Ijo adalah dua orang perampok kakak beradik yang sering merampok disekitar bandar Jepara, dulu dia bisa melarikan diri, tetapi sekarang dia akan mati disini"
"Ayo Rangga Pideksa, majulah kalian berdua, keroyoklah aku" kata Klabang Ireng.
"Tumpak, kau bantu Ki Rangga, biar aku sendiri yang melawan Klabang Ijo" kata Karebet.
"Hati-hati Karebet" kata Ki Rangga.

Karebet yang belum mengetahui tingkat kemampuan lawannya, tidak berani bertindak tergesa-gesa, segera dibangunnya kekuatan aji Lembu Sekilan untuk membentengi dirinya.
"Kalian bertiga, bersiaplah untuk mati disini" kata Klabang Ireng.
Ki Rangga mengetahui betapa ganas dan berbahaya sepak terjang Klabang Ireng, sehingga Ki Rangga segera mencabut pedang pendeknya, diikuti oleh Tumpak dan Karebet
"Rangga Pideksa, keluarkan semua senjatamu sebelum kau mati disini" kata Klabang Ireng sambil tertawa.
Karebet menggeser badannya sehingga berhadapan dengan Klabang Ijo, sedangkan Tumpak melangkah mendekati Ki Rangga dan bersiap menghadapi Klabang Ireng.
Melihat lawannya sudah menggenggam sebuah pedang pendek, Klabang Ijopun mencabut goloknya, sambil berjalan mendekati lawannya.
"Kakang Ireng, mari kita berlomba, siapa yang lebih dulu membunuh lawannya" kata Klabang Ijo,
"Rangga Pideksa memang sudah bosan hidup, dia yang pertama kali akan mati" kata Klabang Ireng.
"Namamu Karebet? Kau yang akan mati lebih dulu" kata Klabang Ijo:"Kau terlalu sombong, kau anak kemarin sore sudah berani menempatkan diri melawan Klabang Ijo yang tak terkalahkan di .........."

Belum selesai Klabang Ijo berbicara, tiba-tiba pemuda yang disebutnya sebagai anak kemarin sore itu telah menjulurkan pedang kearah dadanya, sehingga Klabang Ijo dengan tergesa-gesa melompat mundur kebelakang..
Hampir saja Klabang Ijo tidak bisa menyelesaikan ucapannya.
Mereka belum mulai bertempur, tetapi Klabang ijo sudah marah terlebih dulu, dadanya hampir saja berlubang ditembus pedang Karebet.
"Kau membuat aku marah" kata Klabang Ijo sambil menunjuk muka Karebet dengan goloknya.
"Aku sudah marah sejak tadi" kata Karebet.
"Kau memang ingin mati disini" kata Klabang Ijo dan tanpa menunggu jawaban, Klabang Ijopun mengayunkan goloknya menyerang Karebet.
Karebet mundur selangkah untuk menghindari ayunan golok Klabang Ijo, tetapi Klabang Ijo masih menyerangnya dengan sebuah tusukan lurus kedepan.
Kali ini Karebet tidak menghindar, tetapi memukul golok Klabang ijo kesamping dengan menggunakan pedang pendeknya.

Terdengar suara beradunya dua buah senjata, dan sekilas terlihat loncatan bunga api.
Klabang ijo berputar mengikuti arah pukulan lawan, dan dengan sigap iapun mundur dua langkah, dan bersiap untuk menyerang kembali.
Belum sempat Klabang Ijo menyerang, Karebet telah menyerangnya lebih dulu dengan ayunan menyilang, dan Klabang ijopun melayaninya dengan menggerakkan goloknya membentur pedang Karebet.
Keduanya telah terlibat perkelahian yang sengit, pengalaman Klabang Ijo yang bertahun-tahun menjadi perampok tak terkalahkan, menjadikan tingkah lakunya sangat ganas, ingin cepat-cepat mengalahkan lawannya yang umurnya masih sangat muda.

Klabang Ireng masih melihat bagaimana adiknya bertempur, dan iapun mengangguk-anggukkan kepalanya, melihat adiknya mendesak lawannya mundur.
"Kau lihat Rangga Pideksa, sebentar lagi temanmu pasti mati dibunuh oleh adikku, Klabang Ijo, ayo Rangga Pideksa, mari kita mulai" katanya sambil mencabut golok dipinggangnya, dan tanpa menunggu jawaban, Klabang Ireng melompat kedepan, dan goloknya terayun dengan tebasan menyilang kearah Rangga Pideksa.
Rangga Pideksa melompat mundur, Klabang Ireng menjulurkan goloknya mengejar, tetapi terpaksa serangannya ditarik kembali karena sebuah pedang pendek yang lain terjulur kearah perutnya,
Klabang Ireng cepat menarik goloknya, dan digunakan untuk memukul pedang yang terjulur ke arah perutnya, sesaat kemudian terjadi benturan antara golok Klabang Ireng dengan pedang pendek milik Tumpak.

Tumpak terkejut sekali ketika pedang pendeknya terbentur golok Klabang Ireng, tangannya bergetar dan terasa sakit, hampir saja pedangnya terlepas dari genggaman tangannya.
Tumpak mundur selangkah, dilihatnya Rangga Pideksa kembali menyerang Klabang Ireng dengan cepatnya.
Terjadilah dua lingkaran perkelahian, Karebet melawan Klabang Ijo, dan perkelahian Rangga Pideksa bersama Tumpak melawan Klabang Ireng.
Klabang Ireng terlihat masih bisa tertawa, meskipun harus menghadapi dua orang lawannya, sedangkan Klabang Ijo hatinya berdebar kencang menghadapi kekuatan dan ketangkasan Karebet.
Perkelahian telah berlangsung beberapa saat, silih ungkih singa lena,
Saling menyerang dengan seluruh kemampuan untuk mengalahkan lawannya, pedang dan golok saling berkejaran dan berbenturan sehingga beberapa kali terlihat loncatan bunga api.
Karebet melihat sesuatu yang mengkhawatirkan pada perkelahian Ki Rangga bersama Tumpak melawan Klabang Ireng.

Terlihat perkelahian yang berat sebelah, meskipun Ki Rangga dan Tumpak sudah mengeluarkan segala kemampuannya, tapi lawannya, Klabang Ireng masih bisa melayani mereka berdua sambil tertawa keras.
Karebet harus mengambil sebuah keputusan yang cepat, dia harus mengalahkan Klabang Ijo terlebih dulu, sebelum perlawanan Ki Rangga dan Tumpak semakin lemah.
Mulailah Karebet berpacu dengan waktu, diapun menyerang Klabang Ijo dengan cepat dan kuat seperti berputarnya angin lesus.
Tangannya yang hanya dua buah, digerakkan dengan lambaran ilmu Trisula Manik menyerang kearah Klabang Ijo.

Klabang Ijo terkejut melihat perubahan gerak lawannya, tangannya berubah seakan-akan menjadi tiga buah, pedang pendeknya berubah ubah dari tangan kanan, tiba-tiba sudah berada di tangan kiri.
Klabang Ijo sama sekali tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang, yang bisa dilakukannya adalah bergerak mundur berputar-putar, bertahan sekuat tenaga berusaha menghindar dari serangan pedang pendek lawannya yang dilambari ilmu Trisula Manik.
Pada saat yang bersamaan, Klabang Ireng berniat untuk mengakhiri perkelahian, goloknya diputar seperti baling-baling, dan ketika datang serangan pedang pendek dari Tumpak, dibenturkan pedang lawannya dengan golok yang diputarnya dengan kekuatan penuh, dan tanpa dicegah, pedang Tumpakpun terlempar jatuh ke tanah.

Telapak tangan Tumpak terasa sakit, dia melompat mundur dua langkah, Rangga Pideksapun segera bergeser mendekati Tumpak sambil mengacungkan pedangnya.
Klabang Ireng tertawa, iapun segera bersiap untuk membunuh kedua lawannya.
Perkelahian Karebet melawan Klabang Ijo sudah sampai pada saat yang menentukan, Karebet dalam puncak ilmu Trisula Manik berhasil memutar pedang pendeknya menempel pada golok lawannya, dan dengan satu hentakan keras kesamping, golok Klabang Ijo terlempar jatuh ke tanah.
Klabang Ijo melompat mundur, tetapi Karebet tidak melepaskannya, dengan satu lompatan panjang, pedangnya terjulur mengejar ke dada lawannya.

Di perkelahian lainnya, setelah berhasil menjatuhkan pedang dari salah satu lawannya, Klabang Ireng menyerang Rangga Pideksa dengan ayunan goloknya, Ki Ranggapun menangkis dengan pedang pendeknya dan terjadilah satu benturan keras, akibatnya pedang Rangga Pideksa hampir saja terlepas, dan ketika Klabang Ireng bersiap akan menyerang kembali, ia terkejut ketika mendengar suara adiknya berteriak nyaring: "Kakang Ireng!!!"
Klabang Ireng menoleh dan iapun terkejut, dilihatnya pedang Karebet mengancam dada adiknya, dan dibuatnya sebuah keputusan yang cepat, dibatalkannya niat untuk membunuh Rangga Pideksa, dengan cepat tangannya meraba ikat pinggangnya, sekejap kemudian meluncurlah dua buah pisau belati mengarah tepat ke punggung Karebet.
Wajah Klabang Ijo pucat pasi, pedangnya telah terlempar, dan kini ia tanpa senjata menghadapi Karebet, anak kemarin sore yang masih memegang pedang pendeknya.
Klabang Ijo mundur selangkah, menghindari tusukan pedang pendek lawannya, Karebet yang mempunyai panggrahita yang tajam, merasa ada senjata tajam yang menyerang punggungnya.
Menghadapi serangan yang mengarah ke punggungnya, Karebet berpikir cepat dan mengambil sebuah keputusan yang tepat.

Karebet tidak menghiraukan serangan yang mengarah ke punggungnya, dengan suatu lompatan panjang, pedangnya yang disabetkan secara menyilang, berhasil menggores dada Klabang Ijo.
Sebuah goresan menyilang yang dalam, telah mengakibatkan Klabang Ijo berteriak nyaring, karena merasa dadanya terbelah.
Tubuh Klabang Ijo terdorong selangkah kebelakang, lalu dengan keras jatuh terbanting ke tanah.
Klabang Ijo, salah satu dari dua perampok bersaudara yang tak terkalahkan disekitar bandar Jepara, kini telah jatuh dan terbaring diam, mati ditangan seorang prajurit Wira Tamtama yang berpakaian petani, Karebet,
Teriakan Klabang Ijo bersamaan dengan runtuhnya dua buah pisau belati yang dilempar kepunggung Karebet oleh Klabang Ireng.

Dua buah pisau belati runtuh ke tanah, hanya berjarak sekilan dari punggung Karebet.
Klabang Ireng sangat terkejut mendengar teriakan kesakitan adiknya, dengan tergesa-gesa ia tinggalkan kedua lawannya, Rangga Pideksa dan Tumpak yang telah kehilangan pedangnya, dan dengan dua lompatan panjang, ia telah berdiri di depan Karebet yang masih memegang pedang pendek berlumuran darah, darah adiknya.
"Kau bunuh adikku" kata Klabang Ireng gemetar.
"Ya" kata Karebet.
"Hutang nyawa bayar nyawa, hutang pati bayar pati" kata Klabang Ireng.
"Cobalah kalau kau mampu" kata Karebet.

Klabang ireng yang marah karena kehilangan adiknya, tidak mau menunggu lama, goloknya digerakkan menebas kesamping menyerang kearah lawannya, sehingga Karebet, terpaksa mundur dua langkah.
Ketika Klabang Ireng merubah tebasan kesamping menjadi tusukan lalu berubah lagi menjadi tebasan menyilang, maka Karebetpun membenturkan pedang pendeknya ke golok lawannya, dan terjadiah benturan keras dan tangan keduanya menjadi bergetar.
Karebet tidak mau diserang terus menerus, maka tangannya pun bergerak dengan cepat, menyerang silih berganti, berputar mengelilingi Klabang ireng.
Sementara itu, Tumpak telah mengambil kembali pedangnya yang lepas ketika bertempur melawan Klabang Ireng, dan bersama Ki Rangga Pideksa mereka melihat Klabang Ireng yang marah karena adiknya terbunuh, sedang bertahan atas serangan gencar dari Karebet yang menggunakan ilmu Trisula Manik.
Karebet bergerak memutar setengah lingkaran, menyerang Klabang Ireng dari sebelah kiri, dan pedang pendeknya terjulur tepat ke arah dada.

Klabang Ireng tidak mau dadanya berlubang, cepat ia menangkis dengan goloknya, dan itu yang sebetulnya ditunggu oleh Karebet. Ketika golok Klabang Ireng menangkis pedang pendeknya, maka dengan sekuat tenaga, Karebet memutar pedang pendeknya, sehingga golok Klabang Ireng ikut berputar, dan dengan satu hentakan keras kesamping, maka terlepaslah golok Klabang Ireng dari tangannya.
Melihat goloknya terlepas, Klabang Ireng melompat mundur dua langkah, tangannya bergerak meraba ikat pinggangnya, sekejap kemudian ditangannya telah tergenggam sebuah cemeti panjang, sebuah cemeti pusaka warisan dari nenek moyangnya.
Di ujung cemeti terikat erat beberapa buah logam kecil yang tajam seperti pisau, yang mampu mengoyak kulit dan daging lawannya.
Sekali cemeti itu diusapkan di ubun-ubunnya, sekejap kemudian terdengarlah suara ledakan keras, ketika cemeti itu dilecutkan di udara.
Dengan bersenjatakan sebuah cemeti, Klabang Ireng selalu mengambil jarak dari lawannya, menghindari pertarungan jarak dekat.

Jangkauan cemeti yang panjang, membuatnya mampu menyerang lebih banyak daripada serangan lawannya.
Ketika cemeti Klabang Ireng mendesing cepat menyambar leher, Karebet membungkukkan badannya, belum sempat berdiri tegak, ujung cemeti Klabang Ireng membelit pedang pendeknya, dan dengan satu hentakan sendal pancing yang kuat, pedang pendek Karebet terlepas jatuh ketanah.
Klabang Ireng tertawa berkepanjangan ketika melihat lawannya tanpa senjata, dan dengan penuh nafsu membunuh, dihajarnya tubuh Karebet dengan lecutan cemeti beruntun.
Tangan kanan Klabang Ireng bergerak cepat memainkan cemetinya yang berujung beberapa logam tajam, yang mampu mengoyak kulit daging seseorang.

Berkali-kali ujung cemeti yang tajam dilecut dengan keras mengarah ke tubuh Karebet, tetapi ujung cemeti yang tajam itu seakan-akan tertahan oleh perisai yang tidak kasat mata.
Sementara itu Ki Rangga Pideksa dan Tumpak yang melihat peristiwa itu menjadi heran, mereka jelas melihat ujung cemeti mengarah ke tubuh Karebet, tetapi cemeti itu tidak pernah bisa menyentuh tubuh Karebet.
Gempuran cemeti yang berujung tajam dari Klabang Ireng seakan tertahan oleh sesuatu yang tidak terlihat, hanya berjarak sekilan dari tubuh Karebet.
Tak lama kemudian, setelah bertempur beberapa saat, maka Karebetpun berniat ingin mengakhiri perlawanan Klabang Ireng.

Dengan cepat dihimpunnya kekuatan aji Hasta Dahana dan dipusatkan di tangan kanannya.
Aji Hasta Dahana, sebuah aji Tangan Api, yang didapat dari menghimpun panas kawah gunung Merapi, dan ditangan Karebet aji Hasta Dahana mampu membakar dan menghanguskan batang pohon sebesar sepelukan orang
Karebet tidak menghiraukan ketika ujung cemeti menyerangnya, bukannya menghindari serangan cemeti lawan, tetapi Karebet malah melompat maju menyongsong hantaman cemeti Klabang Ireng.
Ketika Klabang Ireng melihat Karebet maju, maka iapun melompat mundur untuk mengambil jarak, lalu dengan keras dilecutkan cemetinya diatas kepala lawannya.
Tedengar sebuah ledakan keras diudara, lalu ujung cemeti menyambar cepat ke arah dada Karebet.
Sekali lagi Karebet melompat maju dua langkah, dan dengan cepat tangan kirinya menangkap cemeti, bukan pada ujung cemeti, tetapi hampir di pangkal cemeti, hanya berjarak sedepa dari pangkal cemeti.

Dengan kekuatan penuh, tangan kiri Karebet menarik cemeti ke arah dirinya, tetapi Klabang Ireng tidak mau kehilangan cemeti pusaka warisan leluhurnya, dia mempertahankan cemeti itu sekuat tenaganya, jangan sampai cemeti pusakanya itu jatuh ke tangan lawannya.
Tangannya masih menggenggam cemeti dengan kuatnya, sehingga badan Klabang Ireng tersentak maju kedepan, dan semuanya itu sudah diperhitungkan oleh Karebet.
Semua terjadi dalam waktu sekejap.. Ketika badan Klabang Ireng tersentak maju selangkah kedepan, maka dengan cepat Karebet melompat kedepan menyongsong tubuh lawannya, tangan kanannya digunakan untuk menyentuh wajah Klabang Ireng, serta dua jari tangannya menyerang ke arah ke mata.
Klabang Ireng terkejut, dia tidak mau kehilangan dua buah bola matanya, maka serangan dua jari tangan itu ditangkisnya.

Tangan kanan Klabang Ireng masih memegang dengan erat cemeti pusakanya, maka tidak ada jalan lain, Klabang Ireng terpaksa menangkis tangan kanan Karebet dengan tangan kirinya,.
Tetapi Klabang Ireng terkejut bukan buatan, tangan kirinya yang sudah terlanjur diangkat keatas untuk menangkis serangan Karebet menemui tempat kosong, ternyata Karebet telah menyerang dengan sebuah gerak tipuan.
Sebelum tangan Karebet menyentuh tangan Klabang Ireng, dengan cepat Karebet merubah serangan tangannya kebawah, bukan lagi berupa sebuah serangan dua jari kearah mata, tetapi berupa serangan telapak tangan kanan yang menyerang ke arah dada.
Telapak tangan yang dilambari aji Hasta Dahana, menghantam tepat didada Klabang Ireng.
Klabang Ireng merasa, dadanya terasa seperti tertimpa kawah gunung Merapi, panas sekali, hanya sekejap, setelah itu dia tidak pernah merasakan rasa sakit lagi.
(bersambung)