Kamis, 24 Juli 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 10

BAB 4 : LURAH WIRA TAMTAMA 2

Ditulis oleh : Apung GWAP


"Ayo Ki Lurah Karebet, jangan takut melihat darah, pakailah pedang, golok, tombak, keris, jangan pakai sadak kinang, ha ha kau ini orang yang lucu sekali Ki Lurah" kata Dadung Awuk masih bicara sambil tertawa berkepanjangan.
"Kalau kau kurang puas Ki Lurah Karebet, kau boleh pakai keris2 pusaka, Kyai Sangkelat, Kyai Condong Campur, Kyai Nagasasra, Kyai Sabuk Inten, silahkan tusukkan ke dadaku" kata Dadung Awuk yang merasa ilmu kebalnya tak akan pernah bisa tertembus.
"Dadung Awuk, aku akan memukulmu dengan memakai sadak kinang, apakah kau kuat menerima pukulan sadak kinang ini didadamu" kata Lurah Karebet dan iapun mengumpulkan semua kekuatan yang ada pada dirinya dan dipusatkan di telapak tangan kanannya.
"Baik, cepatlah Ki Lurah Karebet, aku tidak sabar lagi, cepat pukul dadaku sekuat tenagamu" tantang Dadung Awuk.
 

Lurah Karebet ragu-ragu, sadak kinang itu dijepit dengan dua jarinya , hanya dipegang saja, tidak dipukulkan ke Dadung Awuk.
"Ayo Ki Lurah Karebet, cepat pukul aku, kalau kau tidak berani memukul aku, berarti sebenarnya kau adalah seorang perempuan dari Pengging" kata Dadung Awuk.
"Kau memang sudah keterlaluan Dadung Awuk, baik aku turuti permintaanmu, kau akan kupukul dengan sadak kinang, awas tahan pukulanku ini" kata Lurah Karebet, lalu sadak kinang yang dijepit dengan dua jari dipukulkan ke dada Dadung Awuk yang bertubuh tinggi besar.
Dadung Awuk tertawa berkepanjangan, dia percaya sepenuhnya kepada ilmu kebalnya, ketika Lurah Karebet memukul dadanya dengan sadak kinang, Dadung Awuk dengan penuh percaya diri membusungkan dadanya, sehingga dadanya maju kedepan dua jari.
 

Pukulan sadak kinang yang dipegang Lurah Karebet mengenai dada Dadung Awuk, dan ternyata ada yang diluar perhitungan Lurah Karebet, karena bersamaan dengan datangnya pukulan sadak kinang, Dadung Awuk membusungkan dadanya, maka secara tidak sengaja telapak tangan Lurah Karebet menyentuh dada 
Dadung Awuk, hanya menyentuh, tetapi akibatnya diluar dugaan Lurah Karebet sendiri.
Sentuhan tangan Lurah Karebet di dada Dadung Awuk, merupakan sebuah kesalahan Lurah Karebet yang terbesar, kesalahan itu sudah terjadi dan tidak bisa diperbaiki, tidak bisa diulang kembali.
Ketika dada Dadung Awuk tersentuh tangan Lurah Karebet, suara tertawanya terhenti, dia merasakan dadanya seperti tertimpa bukit Sumawana yang runtuh, dan setelah itu semuanya terasa gelap.
Dadung Awuk terlempar kebelakang, jatuh terlentang di lantai dan tidak dapat bangun kembali.
Lurah Karebet terkejut ketika melihat akibat dari sentuhan tangannya pada dada Dadung Awuk.
Demikian pula dengan Lurah Wirya, Lurah Mada dan seorang prajurit Wira Tamtama yang berada di ruangan itu juga terkejut ketika melihat akibat yang terjadi setelah dada Dadung Awuk terkena sadak kinang yang dipegang oleh Lurah Karebet.
Prajurit yang ada didalam ruangan itu mendekati Dadung Awuk, meraba dadanya, dan iapun berkata :"Dadung Awuk sudah mati"
 

Semuanya tertegun tidak tahu harus berbuat apa, sampai kemudian terdengar suara Karebet pelan :"Apa boleh buat, aku yang membunuh Dadung Awuk, akulah yang harus bertanggung jawab".
"Bukan kesalahanmu seluruhnya Ki Lurah, sikap Dadung Awuk terlalu sombong dan memancing persoalan" kata Ki Lurah Wirya.
"Aku menjadi saksi, Dadung Awuk yang telah memaksa untuk diikutkan pendadaran besok pagi" kata Lurah Mada
"Ya, apapun alasannya, Dadung Awuk sudah terlanjur mati, akulah yang bertanggung jawab, sekarang kita angkat Dadung Awuk ke atas amben" kata Lurah Karebet.
Lalu mereka berempat mengangkat Dadung Awuk yang sudah tak bernapas ke atas amben.
"Ki Lurah Karebet, kau tunggu disini dulu, aku bersama Ki Lurah Mada akan menghadap Tumenggung Gajah Birawa" kata Lurah Wirya.
Setelah itu dua orang Lurah disertai seorang prajurit bergegas menghadap Tumenggung Gajah Birawa di ruang Wira Tamtama.
 

Di ruangan itu, sekarang hanya tinggal Lurah Karebet yang termenung lesu menunggu datangnya dua orang Lurah yang melapor ke ruang Wira Tamtama. Angan-angannya melayang-layang, teringat kepada biyungnya yang semakin tua dan tinggal di Tingkir, pamannya Ganjur yang tinggal di Suranatan, pamannya Kebo Kanigara yang sekarang tidak diketahui keberadaannya. Putri Sekar Kedaton yang malam nanti menunggu kedatangannya di kaputren, dan yang terakhir pandangannya menerawang, melihat Dadung Awuk yang telah dibunuhnya dengan sadak kinang.
Ada rasa menyesal, tetapi semua sudah terlanjur dan Dadung Awuk tidak bisa hidup kembali.
"Entah hukuman apa yang nanti akan aku terima dari Kanjeng Sultan Trenggana" kata Karebet didalam hatinya.
"Kenapa tadi aku menyentuh dadanya? Sebetulnya tadi lebih baik kalau aku bakar saja tangannya dengan aji Hasta Dahana. Yah percuma saja aku menyesal, semuanya telah terjadi, dan kini aku yang harus bertanggung jawab" kata Lurah Karebet.
Tidak lama kemudian, prajurit yang pergi bersama Lurah Wirya telah datang.
"Ki Lurah Karebet dipanggil Tumenggung Gajah Birawa, disini biar aku yang jaga" kata prajurit itu.
Dengan lesu Lurah Karebet bangkit menuju Kraton dan berjalan menuju ruang Wira Tamtama.
Ketika Lurah Karebet masuk ke ruangan, disana ada Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Suranata, Lurah Wirya dan Lurah Mada.
"Duduklah Ki Lurah Karebet" kata Tumenggung Gajah Birawa, dan Lurah Karebetpun duduk didepan Ki Tumenggung.
 

"Kau tahu kenapa kau kupanggil ki Lurah? tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung, aku telah membunuh Dadung Awuk" kata Lurah Karebet.
"Ya, Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada telah cerita panjang lebar, memang sebetulnya kesalahan tidak bisa ditimpakan kepadamu semuanya, tetapi yang telah terjadi adalah, Dadung Awuk telah mati karena kau pukul dengan sadak kinang, secara sengaja ataupun tidak sengaja" kata Ki Tumenggung.
"Ya Ki Tumenggung" kata Lurah Karebet.
"Semua keputusan ada pada Kanjeng Sultan, kau tunggu disini dulu, aku bersama Ki Tumenggung Suranata serta Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada akan menghadap Kanjeng Sultan, biar nanti Ki Lurah berdua yang akan menjadi saksi, bercerita langsung kepada Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Sesaat kemudian empat orang itupun berjalan menuju ruang dalam, meninggalkan Lurah Karebet yang termenung sendiri di ruang Wira Tamtama.
Setelah agak lama, baru terlihat mereka berempat keluar dari ruang dalam, setelah baru saja menghadap Kanjeng Sultan.
Dari ruang dalam, Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Suranata beserta Lurah Wirya dan Lurah Mada, berjalan menuju ruang Wira Tamtama.
Di ruang itu, Tumenggung Gajah Birawa menyampaikan keputusan Kanjeng Sultan mengenai hukuman yang harus dijalani oleh Karebet yang secara tidak sengaja telah membunuh Dadung Awuk.
"Itu keputusan hukuman dari Kanjeng Sultan yang harus kau jalani, kau terima hukuman ini Ki Lurah Karebet?" tanya Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung, aku terima hukuman ini, dan atas kejadian tadi, dengan ini saya minta maaf kepada Ki Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Suranata, Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada " kata Lurah Karebet.
"Satu permintaan saya kepada Tumenggung Gajah Birawa, mohon disampaikan permohonan maaf saya kepada Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Baik Ki Lurah Karebet, besok akan saya sampaikan kepada Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
 

Waktu terus berjalan, siang telah berganti menjadi sore, matahari sudah hampir tenggelam di cakrawala sebelah barat, saat itu terlihat Nyai Madusari berjalan pulang kerumahnya melewati pintu gerbang kraton.
Setelah agak jauh dari pintu gerbang Nyai Madusari terkejut ketika dari balik pohon muncul seorang pemuda membawa sebuah bungkusan, pemuda yang telah dikenalnya, tiba-tiba saja telah berdiri didepannya.
"E e e tobil anak kadal, kaget aku, ternyata kau Ki Lurah Karebet" kata Nyai Madusari.
"Nyai Madusari" kata Karebet.
"Ada apa Ki Lurah Karebet" tanya Nyai Madusari.
"Nyai......" kata Karebet.
"Ki Lurah, saat ini Ki Lurah harusnya belum pulang dari Kraton, dan kenapa Ki Lurah tidak memakai pakaian Lurah Wira Tamtama?" tanya Nyai Madusari.
"Nyai, aku sekarang bukan seorang Lurah lagi, dan aku sekarang juga bukan seorang Wira Tamtama lagi" kata Karebet.
" Apa yang telah terjadi Ki Lurah Karebet" tanya Nyai Menggung.
"Tadi siang, di dalem lor telah terjadi suatu peristiwa yang tidak saya duga sebelumnya" kata Karebet.
Maka berceritalah Karebet kepada Nyai Madusari, purwa madya wasana, sehingga dia dihukum oleh Kanjeng Sultan.
"Itulah yang telah terjadi Nyai, tanpa aku sengaja, Dadung Awuk telah terbunuh karena terkena tanganku" kata Karebet.
 

Mendengar cerita Karebet, Nyai Madusari tidak bisa berkata apapun juga, mulutnya seakan-akan terkunci, perasaannya seperti sebuah gerabah yang terbanting diatas batu hitam, hancur berkeping-keping.
"Nyai, kalau Nyai Madusari nanti bertemu Ki Lurah Wirya atau Ki Lurah Mada, Nyai bisa bertanya kepadanya tentang kejadian siang tadi, dan saat ini aku sedang menjalani hukuman yang telah diputuskan oleh Kanjeng Sultan, aku telah diberhentikan dari Wira Tamtama, tidak boleh berada dalam kotaraja Demak, dan malam ini juga aku harus keluar dari kotaraja Demak" kata karebet.
"Tolong sampaikan semua yang aku ceritakan tadi kepada Gusti Putri, dan bilang ke Gusti Putri, saat ini aku sedang menjalani hukuman, nanti beberapa candra lagi aku pasti akan kembali lagi ke kotaraja Demak" kata Karebet
"Sudah Nyai, aku pergi dulu" kata Karebet.
Nyai Madusari tidak mampu berkata apapun, hanya matanya yang menjadi basah, ketika melihat Karebet dengan membawa sebuah bungkusan, pergi ke arah selatan seorang diri.
Setelah Karebet melangkah pergi, maka Nyai Madusari dengan ter-gesa2 kembali ke Kaputren, untuk menemui Gusti Sekar Kedaton.
Dengan langkah yang cepat, Nyai Madusari berjalan menuju ke Kraton.
Di pintu gerbang Kraton, prajurit penjaga pintu gerbang heran melihat nyai Madusari berjalan kembali ke Kraton, dan iapun bertanya kepadanya :"Lho Nyai Menggung berjalan tergesa-gesa seperti sedang dikejar demit, ada apa ? Kenapa kembali lagi ?"
"Cincinku ketingalan di kaputren" jawab Nyai Madusari.
"Halaaaah cuma sebuah cincin saja, tidak usah dicari, besok kalau aku punya uang, Nyai Menggung aku belikan cincin lagi" kata prajurit penjaga pintu gerbang.
"E e , cincin itu peninggalan Kanjeng Tumenggung, tidak bisa ditukar dengan cincin yang lain, dulu kau pernah berjanji padaku mau membelikan gelang, sampai sekarang, kau belum beli gelang itu" jawab Nyai Madusari.
"Aku kan bilang belinya besok, bukan sekarang" kata prajurit itu sambil tertawa perlahan.
Nyai Madusari meninggalkan prajurit itu sambil bersungut-sungut dan dengan cepat ia melanjutkan perjalanannya ke Kaputren..
 

Penjaga pintu gerbang hanya tersenyum, melihat Nyai Madusari bergegas menuju ke Kaputren.
Ketika Nyai Madusari sedang berjalan, dipojok kaputren dia bertemu dengan Lurah Mada.
"Ki Lurah Mada" panggil Nyai Madusari. "Ya Nyai" kata Lurah Mada.
"Ki Lurah, bagaimana ceritanya sampai Karebet bisa mendapat hukuman dari Kanjeng Sultan, apa yang sebenarnya terjadi Ki Lurah?" tanya Nyai Madusari.
Lurah Madapun bercerita mulai awal sampai Karebet secara tidak sengaja membunuh Dadung Awuk.
"Bukan salah Karebet Nyai, Dadung Awuk memang terlalu sombong, waktu itu akupun juga marah kepadanya" kata Lurah Mada.
"Ya Ki Lurah" jawab Nyai Madusari.
"Karebet tidak punya niat untuk membunuh Dadung Awuk" kata Lurah Mada.
"Ya Ki Lurah, tapi semuanya sudah terlanjur, hukuman dari Kanjeng Sultan sudah dijatuhkan" kata Nyai Madusari.
"Ya, bukan kesalahan Karebet semuanya, sekarang Karebet sudah dihukum, sudah tidak menjadi seorang prajurit Wira Tamtama, dan tidak boleh berada di kotaraja Demak" kata Ki Lurah.
Keduanya berdiam diri, semuanya menyayangkan kenapa hal itu bisa terjadi.
"Nyai... aku mau pulang dulu" kata Lurah Mada.
"Ya Ki Lurah" kata Nyai Menggung dan merekapun kemudian berpisah, Ki Lurah menuju keluar, Nyai Madusaripun menuju Kaputren.
Di Kaputren, Gusti Putri Sekar Kedaton heran ketika melihat Nyai Madusari kembali lagi ke Kaputren.
"Ada apa Nyai kembali lagi? tanya Sekar Kedaton.
"Karebet Gusti, Karebet" kata Nyai Madusari sambil matanya berkaca-kaca.
"Ada apa dengan kakang Karebet" tanya Mas Cempaka.
Nyai Madusaripun bercerita seperti cerita yang didengarnya dari Karebet maupun dari Lurah Mada. Ketika Nyai Madusari berbicara sambil menangis dihadapan Putri Sekar Kedaton, pada saat yang bersamaan Karebet sedang berjalan kaki kearah selatan, keinginannya saat itu cuma satu, ingin secepat-cepatnya meninggalkan kotaraja Demak, untuk menjalani hukuman yang telah dijatuhkan oleh Kanjeng Sultan Trenggana.
 

Terasa betapa Kanjeng Sultan telah melimpahkan kasih kepadanya, karena kesalahannya tidak sengaja membunuh Dadung Awuk, hanya dihukum dengan hukuman yang ringan, melepas pakaian Wira Tamtama dan tidak boleh berada di kotaraja Demak tanpa batas waktu.
Alangkah ringannya hukuman itu, meskipun Karebet juga tahu, hukuman ringan itu tidak terlepas dari usaha yang dilakukan oleh Lurah Wirya dan Lurah Mada ketika bersaksi dan bercerita dihadapan Kanjeng Sultan.
Sambil terus berjalan, Karebet teringat, sebelum bertemu Nyai Madusari, ia baru saja dia berpamitan kepada pamannya Ganjur di dalem Suranatan,
Pamannya Ganjur juga berpesan, pintu Kasultanan Demak belum tertutup sama sekali, tinggal mencari waktu yang tepat untuk kembali menjadi Lurah Wira Tamtama Demak.
Menurut Ganjur, Karebet membutuhkan waktu beberapa candra sampai situasi memungkinkannya untuk kembali sowan Kanjeng Sultan Trenggana.
Pamannya juga memberinya bekal beberapa ontong jagung, yang bisa dimakan nanti diperjalanan.
Karebet berjalan terus kearah selatan, ketika sampai di daerah desa Gubug, daerah yang dekat dengan Mrapen, maka Karebetpun beristirahat dan berusaha untuk bisa memejamkan matanya.
Duduk bersandar pada sebuah pohon, Karebet berusaha untuk bisa tidur, tetapi tampaknya angan-angan Karebet mengembara, menyusuri peristiwa demi peristiwa, sampai angan-angannya terhenti pada Sekar Kedaton, Gusti Putri Mas Cempaka.
"Kasihan diajeng Cempaka" kata Karebet dalam hati.
Malam semakin kelam, ketika hampir fajar, hanya sebentar Karebet bisa tertidur, ketika menjelang fajar, Karebetpun terbangun, sinar mataharipun redup, sepertinya menyesali apa yang telah dilakukan oleh Karebet.
 

Hari itu Karebet sepertinya tidak tahu apa yang harus dilakukannya, dia hanya berjalan berputar-putar didaerah sekitar desa Gubug.
Di desa Gubug, Karebet tidur di pohon atau di atas batu besar di tepi sungai, makan apa saja yang bisa dimakan, ketika jagung pemberian Ki Ganjur sudah habis, diapun makan seadanya, buah-buahan hutan, atau umbi-umbian yang diambil dari tanaman liar disepanjang tepi sungai Tuntang.
Setelah tinggal disana selama dua pasar, Karebetpun berjalan melanjutkan ayunan langkah kakinya, meninggalkan desa Gubug, Karebet berjalan ke arah selatan, dan tidak lama kemudian, iapun tiba di desa Cengkal Sewu.
Sama seperti ketika didesa Gubug, didesa Cengkal Sewu, Karebet masih berjalan berputar-putar disekitar daerah itu, berjalan tak tentu arah, kadang-kadang berdiam diri, merenung dan semua itu dilakukan selama hampir tiga pasar.
Setelah itu, timbul keinginannya untuk pergi ke arah barat daya, ke daerah kaki gunung Merapi.
Keesokan harinya, Karebet mulai meninggalkan desa Cengkal Sewu, pergi berjalan kaki ke arah gunung Merapi.
Dari desa Cengkal Sewu, Karebetpun menyeberangi sungai, lalu berjalan menuju desa Sima, setelah itu dilanjutkan berjalan ke arah barat daya, menuju kaki gunung Merapi sebelah tenggara.
Karebet sengaja tidak mengunjungi biyungnya di desa Tingkir, dia tidak ingin membuat biyungnya bersedih mendengar cerita dirinya diusir dari kotaraja Demak.
Karebet tidak mempunyai tujuan kemanapun, hanya menuruti langkah kaki yang membawanya menuju daerah sebelah tenggara di kaki gunung Merapi.
Matahari baru saja terbenam ketika Karebet masuk hutan, didepannya gagah berdiri gunung Merapi.
"Sebentar lagi aku akan sampai di desa Butuh, hari sudah gelap, aku beristirahat disini saja" dan Karebetpun memilih bermalam di atas sebuah pohon.
Malam itu, seperti pada malam-malam sebelumnya, Karebet merasa disekelilingnya gelap dan sepi, rembulanpun terlihat sedang bersembunyi dibalik awan.
Keesokan harinya, ketika matahari mulai menyinari bumi, Karebet berjalan meninggalkan hutan, kakinya melangkah perlahan-lahan menuju ke arah barat.
"Ini adalah daerah kaki gunung Merapi sebelah tenggara" kata Karebet dalam hati.
 


Ketika akan memasuki desa Butuh, Karebet melihat, agak jauh didepannya terlihat ada seorang yang berjalan menuju ke arahnya dan sebentar lagi orang tersebut akan berpapasan dengannya.
Karebet melihat orang itu sudah tua dan orang itupun melihat kearahnya tanpa berkedip, dan sekarang semakin lama jaraknya menjadi semakin dekat.
Ketika jarak keduanya sudah semakin dekat dan orang itu masih memperhatikan wajahnya, maka Karebetpun bersiaga, karena ia merasa tidak mengenalnya, dan tidak tahu maksud orang itu sebenarnya.
Ketika sudah berhadapan, orang itupun berkata kepada Karebet. "Berhenti dulu Ki Sanak" kata orang tua tersebut.
"Anak muda, wajahmu pucat, tetapi mengingatkanku kepada wajah seseorang, apakah kau kenal dengan orang yang bernama Ki Kebo Kenanga atau yang sering dipanggil dengan nama Ki Ageng Pengging?" tanya orang tua itu.
"Nama saya Jaka Tingkir tetapi siapakah siwa ini, dan ada hubungan apa dengan Ki Ageng Pengging" kata Karebet, tanpa meninggalkan kewaspadaan.
"Aku tinggal di desa Butuh, dan orang-orang memanggilku Ki Ageng Butuh, sedangkan Ki Ageng Pengging adalah sedulurku sinarawedi, dia adalah saudara seperguruanku ketika kami masih muda dulu. Siapakah sebenarnya kau anak muda, wajahmu persis seperti wajah Ki Ageng Pengging sewaktu masih muda dulu ?" tanya Ki Ageng Butuh.
"Nama pemberian orang tua saya adalah Karebet, tetapi saya sering dipanggil Jaka Tingkir, saya sebenarnya adalah putra Ki Ageng Pengging" kata Karebet.
Mendengar jawaban Karebet, Ki Ageng Butuh mendekat dan memeluk badan Karebet, dan dimatanya mengembun titik air mata.
"Nakmas Karebet, nakmas adalah putra Ki Ageng Pengging, berarti nakmas adalah sama dengan anakku" kata Ki Ageng Butuh.
"Akhirnya mimpiku setiap malam selama beberapa hari ini menjadi kenyataan, mari nakmas kita kerumah dulu" kata Ki Ageng Butuh.
Ki Ageng Butuh lalu berbalik arah, mengajak Karebet ke rumahnya, sebuah rumah yang besar di desa Butuh.
"Nanti saja kita cerita, sekarang nakmas Karebet mandi saja dulu, setelah itu baru makan" kata Ki Ageng Butuh.
Sambil menunggu Karebet mandi, Ki Ageng Butuhpun menyuruh pembantunya untuk menyiapkan makanan untuk Karebet.
 

Tidak lama kemudian, Ki Ageng Butuh dan Karebet telah duduk di amben di pendapa.
"Nakmas cepat sekali makannya" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng, sudah kenyang" kata Karebet.
"Nah sekarang nakmas Karebet silakan cerita, kenapa nakmas bisa sampai di desa Butuh" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya, setelah ayah Ki Ageng Pengging meninggal, saat itu saya baru berumur tiga tahun, kemudian saya dijadikan anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir yang sudah janda, dan sayapun dibawa ke desa Tingkir, dan disana saya dipanggil Jaka Tingkir" kata Karebet mulai bercerita.
Kemudian Karebet bercerita dari awal sampai sekarang, sampai dia bisa bertemu dengan Ki Ageng Butuh di tepi desa Butuh.
"Jadi Kanjeng Sunan Kalijaga pernah mengatakan kau akan menjadi raja ?" tanya Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng, tapi saat ini saya sedang menjalani hukuman dari Kanjeng Sultan, saya diusir dari kotaraja Demak tanpa batas waktu" kata Karebet.
"Ya nakmas, tapi itu bukan berarti tidak boleh bertemu dengan Kanjeng Sultan diluar kotaraja Demak" kata Ki Ageng Butuh
"Nakmas Karebet, sebetulnya Ki Ageng Pengging masih punya satu orang lagi sedulur sinarawedi, yaitu Ki Ageng Ngerang, dia juga sering berangan-angan bertemu denganmu, nanti biar aku menyuruh orang untuk memberitahukan kedatanganmu" kata Ki Ageng Butuh.
Ki Ageng Butuh lalu memanggil pembantunya, lalu disuruhnya menemui Ki Ageng Ngerang untuk mengabarkan kedatangan Karebet, yang saat ini berada dirumahnya.
"Kau kesana naik kuda, biar cepat" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng" kata pembantunya. Sesaat kemudian, seorang yang duduk diatas punggung kuda keluar dari halaman rumah Ki Ageng Butuh menuju rumah Ki Ageng Ngerang.
"Nakmas Karebet, untuk sementara tinggallah disini dulu dua atau tiga candra, sambil memikirkan langkah apa yang akan nakmas lakukan untuk kembali ke lingkungan Kraton Demak" kata Ki Ageng Butuh.
"Baik Ki Ageng" kata Jaka Tingkir.
Dilangit matahari sudah semakin tinggi ketika dua ekor kuda memasuki halaman rumah Ki Ageng Butuh.
 

Ketika dua ekor kuda sudah berhenti, dan kedua penunggangnya sudah turun, salah seorang penunggangnya lalu memegang tali kendali kuda dan ditambatkan pada tonggak kayu disamping rumah, sedangkan yang seorang lagi dengan tergesa-gesa naik ke pendapa langsung memeluk Karebet sambil berkata: "Akhirnya aku ketemu juga dengan anakku Karebet" kata pengunggang kuda yang naik ke pendapa, Ki Ageng Ngerang.
Sesaat kemudian Ki Ageng Ngerang melepaskan pelukannya, dan iapun bertanya kepada Ki Ageng Butuh;"Bagaimana ceritanya, kakang bisa bertemu dengan Karebet?"
"Ya adi, entah kenapa, pagi tadi aku berjalan kearah timur, padahal aku tidak punya keperluan apapaun juga, ketika sampai diluar desa Butuh, aku bertemu dengan angger Karebet".
"Ketika aku melihat nakmas Karebet, seakan-akan aku melihat Ki Ageng Pengging, teringat sewaktu kita semua masih berusia muda. Lalu nakmas Karebet aku ajak kerumah, begitulah ceritanya adi, tetapi pada saat ini nakmas Karebet sedang mengalami kesulitan dalam perjalanan hidupnya, dia sedang mendapat sebuah masalah yang besar" kata Ki Ageng Butuh, dan iapun bercerita tentang perjalanan Karebet sampai bertemu dengannya.
Ki Ageng Ngerang mendengarkan cerita itu dengan penuh perhatian, setelah Ki Ageng Butuh selesai bercerita, Ki Ageng Ngerangpun menarik nafas panjang sambil berkata :"Ini persoalan yang rumit, pintu ke Kraton belum tertutup rapat, masih ada kesempatan, tetapi perlu perhitungan yang matang, jadi saat ini nakmas Karebet tidak boleh bertindak tergesa-gesa".
"Ya, nakmas Karebet biar tinggal disini dulu dua tiga candra, menentramkan pikirannya dulu, biar tidak terlalu gelisah dan bisa beristirahat di desa Butuh" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya, besok aku akan sering kesini untuk menemani nakmas Karebet" kata Ki Ageng Ngerang.
"Ya, terima kasih Ki Ageng berdua, aku telah diperbolehkan tinggal disini" kata Karebet.
 

Demikianlah, mulai saat itu Karebet untuk sementara tinggal di rumah Ki Ageng Butuh.
Beberapa hari setelah Karebet tinggal untuk sementara di desa Butuh, di Kraton Demak, ada sebuah peristiwa yang membuat Kanjeng Sultan dan Kanjeng Prameswari menjadi cemas.
Tiga empat pasar setelah Karebet diusir dari kotaraja Demak, Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka terbaring sakit.
Pagi itu, di Kaputren, Sekar Kedaton masih terbaring lemah di tempat tidur, ditunggu oleh Nyai Madusari beserta seorang emban.
Saat itu Sekar Kedaton yang sedang sakit, menerima kunjungan ibundanya, Kanjeng Prameswari, yang disertai oleh dua orang embannya. "Kau sakit ajeng" kata Kanjeng Prameswari, sambil memijit tangan putrinya.
"Tidak kanjeng ibu, saya tidak sakit" jawab Sekar Kedaton.
"Nanti biar ayahanda Sultan mencarikan jamu buatmu" kata Kanjeng Prameswari.
"Tidak usah Kanjeng ibu, saya tidak sakit" kata Putri Mas Cempaka.
"Ya sudah, ajeng istirahat dulu, sebaiknya ajeng jangan terlalu banyak pikiran" kata Kanjeng Prameswari.
"Emban, Gusti Putri sudah makan?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Sudah Gusti, tadi sudah makan bubur sedikit" kata emban Kaputren.
Beberapa saat kemudian, Kanjeng Prameswari pamit dan kembali ke ruang dalam,
 

Diruang dalam, Kanjeng Prameswari bercerita kepada Kanjeng Sultan, tentang sakit yang diderita oleh Sekar Kedaton.
"Ratu, kita harus berusaha untuk mendapatkan jamu yang tepat untuk Sekar Kedaton" kata Kanjeng Sultan.
"Kanjeng Sultan, kalau bisa dicarikan jamu sekarang, biar cepat sembuh" tanya Kanjeng Prameswari.
"Ya Ratu, nanti akan kupanggilkan dukun Kraton, Nyai Tamba, untuk membuatkan jamu untuknya" kata Kanjeng Sultan.
Setelah itu Kanjeng Sultanpun menuju keluar dan memanggil seorang prajurit Wira Tamtama yang sedang bertugas :" Prajurit, panggil Nyai Tamba untuk menghadapku sekarang juga"
"Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Tumpak, prajurit Wira Tamtama yang sedang bertugas di ruang dalam, dan iapun segera berjalan menuju rumah Nyai Tamba.
 

Tidak jauh dari Kraton, di sebuah rumah yang terletak disebelah barat Kraton, terlihat seorang laki-laki tua bertelanjang dada, wajahnya bersih, rambut nya sudah memutih, sedang menjemur bahan jamu, daun sambilata, kayu secang, bratawali, tapak liman, temu ireng dan beberapa bahan jamu yang lain.
Ketika orang tua itu melihat seorang prajurit Wira Tamtama menuju ke rumahnya, maka iapun segera mempersilahkan untuk masuk ke rumahnya.
"Kau Tumpak, mari masuklah ke rumah dulu" katanya ramah mempersilahkan Tumpak untuk masuk ke rumah.
Setelah prajurit Wira Tamtama itu duduk, maka bertanyalah orang tua itu kepadanya :" Ada perlu apakah kau menemuiku, apakah Kanjeng Sultan memanggilku?"
"Yang dipanggil bukan Ki Tamba, tetapi Nyai Tamba yang diperintahkan untuk menghadap Kanjeng Sultan sekarang juga" kata prajurit itu.
"Baik, tunggu sebentar" kata Ki Tamba, kemudian iapun masuk kedalam rumah dan berkata kepada istrinya.
"Nyai, kau dipanggil menghadap Kanjeng Sultan sekarang" kata Ki Tamba.
"Ya Ki." Kata Nyai Tamba.
Kemudian dari dalam rumah keluar seorang perempuan tua, meskipun rambut sudah memutih, tetapi masih terlihat sehat.
"Kau Tumpak" kata Nyai Tamba.
"Ya Nyai, Nyai dipanggil Kanjeng Sultan, sekarang juga" kata Tumpak.
"Ya" kata Nyai Tamba.
Tidak lama kemudian terlihat dua orang sedang berjalan meninggalkan rumah Ki Tamba menuju Kraton.
Setelah memasuki pintu gerbang Kraton, mereka berdua sampai di halaman Kraton, segera Nyai Tamba berjalan menuju ke ruang dalam, dan Kanjeng Sultanpun memerintahkan Nyai Tamba untuk segera masuk ke dalam ruangan.
"Nyai Tamba" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba yang duduk bersimpuh di depan Kanjeng Sutlan.
"Kau kupanggil ke Kraton, karena saat ini putriku, Sekar Kedaton, sudah beberapa hari ini menderita sakit, coba kau periksa dan kau buatkan jamu untuknya" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba.
"Nanti kau akan diantar ke kaputren oleh emban prameswari, kau tunggu diluar dulu" kata Kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan. Lalu Nyai Tambapun menyembah dan bergeser kearah pintu, dan keluar menunggu didepan pintu.
 

Tak lama kemudian seorang emban prameswari keluar dari ruang dalam dan berjalan menuju ke arah Nyai Tamba.
"Nyai Tamba" panggil emban yang baru keluar dari ruang dalam :""Mari aku antar Nyai ke Kaputren"
"Ya emban" jawab Nyai Tamba.
Setelah itu emban prameswari bersama Nyai Tamba berjalan berdua menuju ke Kaputren.
Di Kaputren, Nyai Tamba masuk ke kamar Sekar Kedaton, terlihat Sekar Kedaton terbaring lemah.
"Maaf Gusti Putri, saya diperintahkan kesini oleh Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba.
Nyai Tambapun duduk disampingnya dan iapun menempelkan punggung telapak tangannya di dahi Sekar Kedaton.
"Agak hangat" kata Nyai Tamba.
"Aku tidak sakit Nyai" kata Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka.
Setelah itu Nyai Tambapun meraba kaki dan tangan Sekar Kedaton, dan semua bagian tubuh Sekar Kedaton yang dipegang Nyai Tamba terasa hangat, ternyata Sekar Kedaton sedang menderita demam.
"Hangatnya merata, emban, kalau badan Gusti Putri terasa demam, sediakan kain basah, setelah kainnya diperas, lalu tempelkan ke dahi atau bagian tubuh lainnya yang terasa panas" kata Nyai Tamba kepada emban Kaputren yang duduk di dekat kaki Sekar Kedaton.
"Ya Nyai" kata emban Kaputren.
"Coba kau ambil dulu sepotong kain berukuran kecil, dan sediakan juga sebuah cawan berisi air" kata Nyai Tamba.
Embanpun segera mengambil sepotong kain berukuran kecil dan sebuah cawan yang berisi air, kemudian diberikannya cawan dan kain itu kepada Nyai Tamba.
Nyai Tamba lalu menyelupkan kain kecil itu didalam air, setelah diperas, lalu di tempelkan didahi Sekar Kedaton.
"Emban, kau lakukan seperti ini kalau Gusti Putri demam" kata Nyai Tamba.
"Ya,Nyai" jawab emban Kaputren.
"Kau harus perhatikan waktunya makan Gusti Putri, jangan sampai Gusti Putri terlambat makan bubur" kata Nyai Tamba.
"Ya Nyai"
"Saya akan pulang dulu Gusti Putri, biar emban yang melanjutkan menempelkan kain basah ini. Dirumah nanti saya akan merebus jamu, setelah jamu sudah siap, nanti akan saya bawa kesini" kata Nyai Tamba kepada Sekar Kedaton.
"Ya Nyai" kata Gusti Putri.
 

Nyai Tamba lalu pamit kepada Sekar Kedaton, lalu iapun keluar ruangan berdua dengan emban prameswari, lalu iapun berjalan pulang sendiri ke rumahnya yang terletak disebelah barat Kraton.
Dirumahnya, Nyai Tamba lalu memilih beberapa bahan jamu, kemudian bahan-bahan jamu itu direbus menjadi satu didalam sebuah tempat yang terbuat dari gerabah,
Tak lama kemudian, setelah jamu sudah siap, terlihat Nyai Tamba berjalan kembali menuju ke Kaputren sambil membawa sebuah tempat kecil berisi ramuan jamu yang telah direbus.
"Nyai Tamba berjalan ke Kaputren sendiri ? Tidak diantar emban ?" tanya prajurit penjaga Kaputren.
"Ya, sekarang aku sendiri, tadi sudah diantar emban prameswari, aku kesini besok sehari dua kali, pagi dan sore" kata Nyai Tamba.
Lalu Nyai Tambapun masuk ke kamar Sekar Kedaton, dan memberikan jamu tersebut kepada emban yang sedang menunggu Gusti Putri Mas Cempaka.
Emban Kaputren lalu menuangkan sedikit jamu itu kedalam sebuah cawan kecil, dan iapun minum sedikit, mencicipi jamu yang nantinya akan diberikan kepada Sekar Kedaton.
Beberapa saat kemudian setelah emban kaputren minum jamu dari Nyai Tamba, tidak terjadi apapun juga, maka Sekar Kedatonpun minum jamu yang telah dibuat oleh Nyai Tamba. "Mudah-mudahan demamnya cepat sembuh" kata Nyai Tamba.
Keesokan harinya, Nyai Tambapun masih membuatkan jamu untuk Sekar Kedaton.
Setelah Sekar Kedaton minum jamu, badannya terasa tidak demam lagi, tetapi tidak lama kemudian terasa badan Sekar Kedaton kembali menjadi demam, dan itu sudah terjadi selama tiga hari sejak Gusti Putri Mas Cempaka minum jamu dari Nyai Tamba.
 

Nyai Tambapun menjadi heran, pengalamannya yang hampir sepanjang hidupnya merawat orang sakit, membuat dirinya mengambil kesimpulan bahwa ada sesuatu yang dipikirkan oleh Sekar Kedaton.
Nyai Tambapun kemudian menemui prajurit yang berjaga di ruang dalam, mohon diperkenankan menghadap Kanjeng Sultan, untuk menyampaikan hasil perawatannya selama beberapa hari.
Tak lama kemudian Nyai Tamba diperintahkan masuk kedalam ruang, disana telah menunggu Kanjeng Sultan Trenggana bersama Kanjeng Prameswari.
Setelah menyembah, maka Nyai Tambapun duduk bersimpuh dihadapan Kanjeng Sultan.
"Nyai Tamba" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" kata Nyai Tamba.
"Bagaimana hasil usahamu merawat putriku Sekar Kedaton yang sedang sakit ?" tanya Kanjeng Sultan.
"Mohon maaf Kanjeng Sultan dan Kanjeng Ratu, sudah tiga hari hamba merawat, mengamati dan memberi jamu kepada Gusti Sekar Kedaton, ketika Gusti Putri minum jamu, demamnya bisa sembuh, tetapi tidak lama kemudian badan Gusti Sekar Kedaton demam lagi" kata Nyai Tamba.
"Lalu apa kesimpulanmu tentang sakitnya Sekar Kedaton?" tanya Kanjeng Sultan.
"Ada sesuatu yang sedang dipikirkan oleh Gusti Sekar Kedaton, sesuatu masalah yang berat, masalah yang dimasukkan didalam hati terlalu dalam, sesuatu yang hamba tidak tahu, kalau sesuatu itu ketemu, dan bisa memberi rasa nyaman kepada Gusti Putri, maka Gusti Putri akan sembuh" kata Nyai Tamba.
Kanjeng Sultan berpikir sejenak sambil mengangguk-anggukkan kepalanya, dan kemudian Kanjeng Sultanpun berkata :"Baiklah Nyai Tamba, kau boleh pulang dulu, tetapi kau tetap datang ke Kaputren, tetap merawat Sekar Kedaton, nanti aku yang akan mencari penyebab sakitnya Sekar Kedaton"
"Kasinggihan dawuh Kanjeng Sultan, hamba mohon pamit" kata Nyai Tamba, lalu iapun menyembah, kemudian bergeser kepintu dan keluar dari ruang dalam.
Sesaat kemudian Kanjeng Sultan keluar ruangan dan memanggil seorang prajurit :" Prajurit, kau cari seorang emban, bilang kepadanya disuruh memanggil Nyai Madusari sekarang juga"
Prajurit yang saat itu sedang bertugas, Soma, berjalan ke dalam, dan disana terlihat ada emban yang bertubuh gemuk, sedang duduk mengantuk didepan pintu, lalu prajurit itupun mengatakan perintah dari Kanjeng Sultan:"Emban, kau pergilah ke Kaputren, Nyai Madusari diperintahkan menghadap Kanjeng Sultan"
"Sekarang ?" tanya emban prameswari.
"Tidak, selapan hari lagi" kata Soma. Emban yang gemuk mengangguk, tetapi iapun terkejut sampai hampir terlonjak, ketika Soma berbicara agak keras :"Ya sekarang !!"
 

"Soma, kau senangnya memang menganggu orang yang sedang mengantuk, kau tidak senang kalau melihat orang sedang santai" kata emban yang bertubuh gemuk sambil bersungut-sungut, dan dengan susah payah iapun berdiri dan berjalan menuju ke Kaputren.
Emban yang bertubuh gemuk, yang hatinya sedang kesal karena kantuknya terganggu, semakin bertambah kesal ketika prajurit yang bertugas menjaga Kaputren menyapanya :"Mau kemana kau ndut, jangan cemberut saja, nanti bisa berkurang manisnya"
"Sekali lagi kau panggil aku dengan sebutan itu, aku tidak mau lagi mencucikan pakaianmu" kata emban prameswari dan iapun segera masuk ke Kaputren dan berjalan memasuki ruangan Sekar Kedaton.
Didalam ruangan Sekar Kedaton, emban prameswari berbicara dengan Nyai Madusari dan memintanya untuk menghadap Kanjeng Sultan sekarang juga.
Mendengar perintah dari Kanjeng Sultan, degup jantung Nyai Madusari bertambah cepat.
"Aku disuruh menghadap Kanjeng Sultan sekarang ?" tanya Nyai Madusari.
"Ya, cepat, kau ditunggu Kanjeng Sultan" kata emban prameswari.
"Waduh celaka, Kanjeng Sultan pasti bertanya tentang sakitnya Gusti Putri" kata Nyai Madusari dalam hati, lalu iapun pamit ke Sekar Kedaton untuk ke menghadap Kanjeng Sultan di ruang dalam.
Nyai Madusari berjalan selangkah demi selangkah, betapa kakinya telah berubah menjadi bertambah berat, sehingga susah sekali kalau dipakai untuk melangkah menghadap Kanjeng Sultan.
"Ayo Nyai Menggung, cepat sedikit, kenapa jalannya lambat seperti keong begitu" kata emban prameswari.
"Iya iya, ini jalannya juga sudah cepat" kata Nyai Madusari.
(bersambung)

Senin, 21 Juli 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 9

BAB 4 : LURAH WIRA TAMTAMA 1

Ditulis oleh : Apung GWAP

"Apa yang aneh paman?" tanya Karebet.
"Kau, cepat sekali naik pangkat, baru kemarin kau menjadi seorang prajurit, sekarang kau sudah menjadi seorang Lurah Wira Tamtama" kata Ganjur.
"Semua itu atas kemurahan Kanjeng Sultan Trenggana" kata Karebet.
"Karebet, kau sekarang sudah menjadi seorang Lurah Wira Tamtama, kau harus berhati-hati dalam menjalankan tugasmu, jangan melanggar peraturan yang ada di Kasultanan Demak" kata Ganjur.
"Ya paman" jawab Karebet. "Kalau kau lapar Karebet, didalam masih ada nasi, makanlah" kata pamannya.
"Terima kasih paman, aku mendapat jatah makan di dalem lor, sayang jatah nasinya kalau tidak dimakan" jawab Karebet.

Setelah berbicara beberapa saat, maka Karebetpun berpamitan kepada pamannya, Ganjur.
"Kalau kau ada waktu, kau tengok pamanmu yang semakin tua ini" kata pamannya.
"Ya paman" kata Karebet, dan iapun berjalan meninggalkan dalem Suranatan kembali menuju ke dalem lor.
Malam itu semua tertidur nyenyak, suara kentonganpun tidak mampu mengusir dinginnya udara malam dan suara binatang malam terdengar bersahutan mengisi sepinya malam.
Setelah lingsir wengi, makin sering terdengar suara kokok ayam bersahut-sahutan.
Pagi harinya, Karebet bertugas berjaga didepan pintu Kaputren, ketika tiba saat melakukan tugas nganglang, maka Karebetpun bersama seorang prajurit berjalan mengitari bangunan Kraton.
Mereka berdua nganglang berkeliling, mulai dari kaputren berjalan ke arah pintu gerbang, melewati depan Sasana Sewaka lalu menuju Kesatrian, berjalan memutar melewati gedung pusaka, setelah itu baru kembali ke Kaputren lagi.
 Lurah Karebet berjalan terus dan ketika sampai di pohon mangga dipojok Kaputren, terlihat Nyai Madusari keluar dari Kaputren, dan ketika berpapasan dengan Karebet Nyai Madusaripun berbisik :"Ki Lurah Karebet, kau ditanyakan Gusti Putri"
Lurah Karebet tersenyum, iapun merasa bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Betapa sulitnya, meskipun hanya ingin bertemu saja dengan putri Sekar Kedaton" kata Karebet

Beberapa hari kemudian, disuatu pagi, matahari sudah semakin tinggi, ketika Lurah Karebet bertugas jaga berdua dengan seorang prajurit di depan ruang dalam, seorang emban yang sudah tua keluar dari ruang dalam dan Lurah Karebetpun bertanya kepadanya ;" Mau kemana biyung emban?"
"Oh Ki Lurah Karebet, saya mau ke kaputren, Gusti Putri Sekar Kedaton dipanggil ibunda Gusti Kanjeng Prameswari" kata emban Prameswari.
"Silahkan biyung emban" kata Lurah Karebet, dan embanpun segera berjalan menuju kaputren.
"Hm sebentar lagi Gusti Sekar Kedaton akan melewati pintu ini" kata Karebet dalam hati.
Didepan kaputren, biyung emban masih ditanya lagi oleh prajurit Wira Tamtama yang menjaga kaputren, sebuah peranyaan yang sama.
"Mau kemana biyung emban?" tanya prajurit Wira Tamtama.
"Mau ke kaputren, Gusti Putri Sekar Kedaton dipanggil Gusti Kanjeng Prameswari" jawab biyung emban.

Embanpun mengetuk pintu kaputren, dan tak lama kemudian pintupun dibuka oleh seorang emban kaputren, dan sesaat kemudian emban prameswaripun masuk kedalamnya dan berjalan ke ruangan Putri Sekar Kedaton.
"Siapa prajurit yang sekarang bertugas di ruang dalam, biyung emban?" tanya Putri Sekar Kedaton.
"Yang bertugas prajurit Soma dan Ki Lurah Karebet Gusti Putri" jawab emban prameswari.
 Sekejap terlihat sebuah senyum dan pandangan Sekar Kedaton yang berbinar-binar mendengar yang berjaga di ruang dalam adalah Lurah Karebet.
"Biyung emban, kau berjalanlah dulu ke Kanjeng ibu, katakan aku segera menghadap Kanjeng ibu, nanti diantar oleh Nyai Madusari" kata putri Sekar Kedaton.
"Sendika Gusti Putri" kata emban dan iapun segera keluar dari kaputren menuju ruangan dalam kraton.
"Nyai, saat ini yang berjaga diruang dalam, kakang Karebet dan kakang Soma" kata Sekar Kedaton.
"Ah itu mudah Gusti Putri" kata Nyai Madusari.
"Mudah bagaimana Nyai" tanya Gusti Putri Mas Cempaka.
"Serahkan ke saya Gusti Putri, yang penting nanti Gusti Putri bisa berbicara dengan Ki Lurah Karebet" kata Nyai Madusari.
"Awas nanti kalau nanti aku sampai tidak bisa berbicara dengan kakang Karebet" kata Sekar Kedaton.
"Pasti bisa Gusti Putri" jawab Nyai Madusari.
Putri Mas Cempaka dan Nyai Madusari segera berkemas dan berjalan keluar kaputren untuk menghadap Kanjeng Prameswari.

Didepan ruang dalam, prajurit Wira Tamtama yang sedang bertugas menjaga, Lurah Karebet dan Soma, melihat Sekar Kedaton dan Nyai Madusari berjalan menuju pintu ruang dalam yang mereka jaga.
Soma melihat Nyai Madusari tersenyum kepadanya.
"Aneh" kata Soma dalam hati :"Biasanya Nyai Madusari tersenyum kepada ki Lurah Karebet, sekarang dia tersenyum kepadaku, senyumnya memang menawan hati, Nyai Madusari memang seorang yang cantik "
"Soma, hari ini kau bertugas menjaga disini?" tanya Nyai Madusari.
"Ya Nyai Menggung" jawab Soma.
"Hari ini kau terlihat segar Soma" kata Nyai Menggung.
"Ah Nyai, aku merasa biasa saja" jawab Soma.
"Berapa umurmu Soma" kata Nyai Menggung.
"Lima windu Nyai" jawab Soma.
"Usia yang matang, ternyata kau awet muda, usiamu seperti baru empat windu" kata Nyai Madusari.
"Ah Nyai terlalu memuji" kata Soma.
"Anakmu sudah berapa Soma" tanya Nyai Madusari.
"Anak saya lima Nyai" kata Soma.
"Kau berasal dari kotaraja Demak?"
"Tidak Nyai, aku berasal dari Banyubiru" jawab Soma.
"Banyubiru dekat Rawa Pening itu?" kata Nyai Madusari.
"Ya Nyai" jawab Soma.
"Jauh sekali" kata Nyai Menggung

Soma dan Nyai Madusaripun berbicara panjang lebar, dan tidak memperhatikan Gusti Sekar Kedaton dan Karebet juga sedang berbicara berdua.
"Kakang Karebet, kau telah membuat aku menjadi tak bisa tidur" kata Gusti Mas Cempaka.
"Gusti Putri harus berusaha supaya bisa tidur, kalau tidak nanti Gusti Putri bisa sakit" kata Lurah Karebet.
"Aku memang sedang sakit kakang" kata Sekar Kedaton.
"Sakit apa Gusti Putri" tanya Lurah Karebet.
"Kakang Karebet pasti bisa menebak aku sakit apa sekarang, aku ingin selalu bisa dekat denganmu kakang" kata sang Bunga Cempaka.
"Ya Gusti Putri" kata Lurah Karebet.
"Bagaimana menurut pendapat kakang, kalau aku ingin bertemu denganmu kakang Karebet, aku yang akan ke dalem lor, atau kakang Karebet yang masuk ke Kaputren" kata Sang Putri pelan.
Lurah Karebet terkejut ketika mendengar kemauan Sekar kedaton, dan dengan hati-hati ia menjawab :"Dua-duanya jangan dilakukan Gusti Putri, berbahaya, Kanjeng Sultan akan murka kalau Gusti Putri keluar dari kaputren, tetapi kalau aku yang masuk kaputren, aku takut dengan Kanjeng Sultan" jawab Lurah Karebet.
"Semuanya terserah kakang Karebet, sudah kakang, aku mau menghadap Kanjeng ibu dulu" kata Sekar Kedaton.
"Ya Gusti Putri" kata Lurah Karebet.
"Nyai Madusari, ayo kita masuk kedalam menemui Kanjeng ibu" kata Sang Putri Bunga Cempaka.

Sesaat kemudian keduanyapun masuk keruang dalam, dan Nyai Madusari tersenyum manis kepada Soma.
"Ki Lurah Karebet" kata Soma.
"Ada apa kakang Soma" jawab Lurah Karebet.
"Sejak ditinggal mati Ki Tumenggung, sampai sekarang Nyai Madusari belum punya suami lagi" kata Soma.
Lurah Karebet tidak menjawab, pikirannya masih terngiang kata-kata dari Sekar Kedaton Kasultanan Demak, putri Kanjeng Sultan Trenggana.
"Kanjeng Sultan begitu baik terhadapku, tapi bagaimana nanti kalau Sekar Kedaton ingin bertemu denganku,... ah aku jadi bingung" kata Lurah Karebet hampir tidak terdengar.
"Hm perhatian Gusti Putri kepadaku ternyata besar sekali, apakah demi cinta aku harus melangkahi tembok kaputren? Dipojok kaputren ada sebuah pohon mangga, sekali lompat aku bisa masuk ke dalam kaputren, tetapi.........." kata Lurah Karebet dalam hati.

Lurah Karebet dan Soma, dua orang prajurit Wira Tamtama yang berjaga di ruang dalam, terdiam, mereka tenggelam dalam bayangan angan-angannya masing-masing.
Setelah agak lama, terlihat Putri Sekar Kedaton diikuti oleh Nyai Menggung, keluar dari ruang dalam, dan dengan senyum manisnya, Nyai Madusari menghampiri Soma.
"Soma, nanti kalau pohon belimbing di rumahku sudah masak, tolong ambilkan buahnya ya" kata Nyai Madusari.
"Ya Nyai" kata Soma.
Disebelahnya, Sekar Kedaton berbicara perlahan-lahan kepada Lurah Karebet
"Bagaimana kakang?" tanya Putri Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri" jawab Lurah Karebet.
"Terima kasih, sekarang aku akan kembali ke kaputren kakang" kata Sekar Kedaton sambil tersenyum

Lurah Karebetpun mengangguk sambil memandang mereka berdua berjalan menuju Kaputren.
Hari berganti hari, karebet masih tetap bertugas menjaga ruangan Kraton.
Suatu saat ketika Lurah Karebet lewat di pohon mangga dipojok kaputren, dia memandang dahannya yang kuat.
"Kalau aku naik ke dahan itu, sekali lompat pasti sampai didalam kaputren, tapi bagaimana kalau ketahuan prajurit Wira Tamtama ?" kata Lurah Karebet dalam hati.
Waktu terus merambat maju, siang berganti malam, malampun telah berlalu berganti pagi, pagipun kembali lagi menjadi malam, hingga pada suatu malam, pada saat wayah sepi wong, sebuah bayangan hitam bersembunyi dibalik pohon mangga dipojok kaputren, beberapa saat kemudian bayangan itu telah berada diatas dahan pohon mangga, dalam sekejap bayangan itupun telah lenyap ditelan kegelapan malam di balik tembok kaputren.

Beberapa saat sudah berlalu, sebuah bayangan yang mengenakan pakaian hitam, bersama bayangan yang lain, yang mengenakan sebuah kerudung hitam, duduk dibawah bayangan sebuah pohon didalam Kaputren.
"Kau akan terus kesini kakangmas......" ucap sebuah bayangan lirih.
"Ssssttt jangan sebut nama diajeng" desis bayangan yang satunya.
"Ya, kau akan terus kesini kakangmas?" ucapnya pelan.
"Ya, tetapi ini taruhannya adalah nyawa diajeng" kata bayangan itu.
"Ya kakang, aku tahu" jawab bayangan yang berkerudung,
"Apalah artinya aku diajeng, orang kleyang kabur kanginan, di kotaraja, rumahpun aku tak punya" kata bayangan hitam berbisik pelan di telinga bayangan yang berkerudung.
"Kakangmas, kalau aku mau, aku bisa mendapatkan suami seorang bupati atau adipati, tetapi yang kucari bukan itu kakang, aku merasa tenang didekatmu" bisik bayangan berkerudung hitam.
"Ya diajeng...... sudah terlalu lama aku disini, aku pulang dulu diajeng" katanya lirih sekali.
"Ya kakangmas, sepasar lagi kesini ya kakangmas" bisik bayangan berkerudung hitam.
"Ya diajeng." Lalu bayangan hitam itu berjongkok, dan tanpa suara dia bergeser kesebuah pohon, dan berlindung dibawah bayangannya, kemudian dalam sekejap bayangan itupun telah menghilang dikegelapan.

Waktu terus berjalan, matahari masih tetap menyinari bumi, terbit dari arah timur dan tenggelam di arah barat, bulanpun masih setia menempel diatas langit mengeluarkan cahaya yang redup, bintang juga tidak merasa lelah setiap saat berkedip di angkasa, dan tak terasa waktu sudah berjalan dua-tiga candra.
Dalam waktu dekat, di kesatuan Wira Tamtama, ada beberapa prajurit yang akan purnawira, dan berhembus kabar bahwa di Kasultanan Demak, tidak lama lagi akan diadakan sebuah pendadaran bagi para pemuda yang akan menjadi calon prajurit Wira Tamtama.
Beberapa prajurit dari kesatuan Wira Manggala telah disebar untuk menyampaikan wara-wara pendadaran ini keseluruh wilayah Kasultanan Demak, yang dekat dengan kotaraja maupun yang jauh.
Belasan Prajurit Wira Manggala disebar dan telah diberangkatkan menuju ke beberapa daerah, ada yang menuju daerah barat, Asem Arang, Tegalarang, menuju ke sebelah utara, Jepara, ada juga yang menuju ke timur dan selatan, Kudus, Pati, Tuban, Jipang, Trowulan, Sela, Kuwu, Sima, Banyubiru, Pingit, Sarapadan, Tingkir, Pengging, Pajang, Butuh, Wedi, Gunung Kidul bahkan menyeberang ke sebelah barat sungai Progo di daerah Kulon Progo, daerah Pegunungan Menoreh, Bagelen, sampai di kaki Gunung Slamet.
Selapan hari setelah adanya wara-wara pendadaran untuk mejadi calon prajurit, di dalam Kraton, bertempat di ruangan Wira Tamtama, Tumenggung Gajah Birawa mengumpulkan lima orang Lurah Wira Tamtama termasuk Lurah Karebet dan Lurah Wirya.

"Wara-wara adanya pendadaran untuk menjadi calon prajurit baru telah disebar, dan para prajurit Wira Manggala yang bertugas menyebarkan wara-wara ke seluruh wilayah Kasultanan Demak, semuanya telah kembali ke kotaraja" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Pendadaran untuk menjadi calon prajurit nanti akan diadakan di alun-alun.
Peserta pendadaran, nantinya akan diadu dengan seekor kerbau liar tanpa menggunakan senjata apapun. Nanti akan dapat dilihat apakah orang itu pantas diterima menjadi seorang prajurit Wira Tamtama atau tidak" kata Ki Tumenggung.
"Kalian nanti yang akan dapat mengusulkan ke Tumenggung Suranata, apakah peserta yang ikut menjalani pendadaran dapat diterima menjadi prajurit Wira Tamtama" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Kalian berlima nanti akan diatur tugasnya, paling tidak ada tiga orang dari kalian yang tidak sedang bertugas di dalam Kraton, dapat mengawasi dan mengatur jalannya pendadaran di alun-alun" kata Ki Tumenggung.
"Besok pagi belasan kerbau-kerbau liar yang baru ditangkap dari hutan akan datang dan nantinya akan dikandangkan di dekat alun-alun, kalau ternyata kerbaunya kurang, masih ada belasan kerbau liar yang disimpan didalam hutan, siap dibawa ke Demak"

"Pendadaran itu cukup setengah hari saja, tidak perlu sampai sore hari, yang belum mendapat kesempatan, bisa mengikuti pendadaran keesokan harinya" kata Ki Tumenggung.
"Pendadaran akan dimulai pada hari Radite Kasih, dua hari lagi, besok dimulai pembuatan blabar kawat, bambu pembatas sudah disiapkan, tinggal besok dipasang oleh para prajurit".
"Nanti akan ditentukan siapa yang bertugas pada hari Radite Kasih, Soma Manis, Anggara Jenar, Buda Palguna, Respati Cemani dan seterusnya." kata Ki Tumenggung.
"Akan disiagakan juga beberapa orang dukun yang bisa merawat luka sobek akibat terkena tanduk kerbau, dan beberapa dukun sangkal putung yang bisa merawat tulang yang terkilir atau patah" kata Ki Tumenggung.
"Yang akan mengikuti pendadaran calon prajurit cukup banyak, yang sudah dicatat ada lima puluh orang lebih dari bebagai daerah, nantinya sehari bisa enam orang yang ikut menjalani pendadaran"
"Nah kalau kalian sudah mengerti, silahkan kembali ke tugas masing2" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Selesailah pertemuan itu, dan para Lurah Wira Tamtama kembali bertugas ditempatnya semula.

Keesokan harinya di alun-alun terlihat adanya kesibukan pembuatan arena untuk pendadaran penerimaan prajurit baru.
Pagar bambu telah dipasang, belasan kandang kerbau juga telah diisi, di setiap kandang diisi seekor kerbau liar, sebuah panggung para Lurah Wira Tamtama yang akan menilai pendadaran telah siap.
Pada hari pertama pendadaran, hari Radite Kasih, yang sedang bertugas adalah tiga orang Lurah yang telah ditunjuk oleh Tumenggung Suranata, sedangkan Lurah Karebet saat itu sedang bertugas menjaga gedung pusaka.
"Tugasku besok pagi bersama Ki Lurah Wirya, pada hari Soma Manis" kata Lurah Karebet dalam hati.
Siang harinya, ketika ada prajurit yang nganglang berjalan mengelilingi Kraton, Lurah Karebetpun bertanya:
"Bagaimana kabar pendadaran hari ini?"
"Kata prajurit penjaga pintu gerbang, empat orang berhasil lulus, satu orang menyerah karena tidak melanjutkan pendadaran, satu orang lagi gagal karena terkena tanduk sehingga terluka di pahanya, dua ekor kerbau mati, dua ekor kerbau lainnya pingsan" kata prajurit yang sedang nganglang.
"Terima kasih" kata Lurah Karebet, dan prajurit itupun meneruskan tugasnya, nganglang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lurah Karebet sudah bangun, hari ini dia bertugas mengawasi jalannya pendadaran.
"Hari ini aku yang mengawasi pendadaran, bersama Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada" kata Lurah Karebet.
Pagi itu, di hari Soma Manis, hari kedua pendadaran, dengan memakai sabuk kain cinde berwarna merah, pakaian Lurah Wira Tamtama, Lurah Karebet berangkat ke alun-alun untuk bertugas mengawasi pendadaran calon prajurit Wira Tamtama.
Bersama dua orang Lurah Wira Tamtama lainnya, Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada, Lurah Karebet duduk di panggung, dan disebelah panggung duduk diatas lincak bambu, enam orang pemuda yang hari ini akan mengikuti pendadaran.
Di luar pagar arena, di beberapa tempat telah bersiap beberapa prajurit bersenjata tombak berlandeyan panjang untuk berjaga-jaga apabila ada seekor kerbau yang mengamuk dan merusak pagar dan keluar dari arena.

Beberapa prajurit berada di beberapa tempat di sekeliling arena, tugas mereka adalah menolong peserta pendadaran yang terluka.
Kandang kerbau liar berada di sebelah timur, sedangkan di sebelah barat ada sebuah pintu yang bagian luarnya dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata tombak, dan dipinggangnya tergantung pula sebilah pedang panjang.
Pintu sebelah barat adalah pintu untuk menyelamatkan diri bagi para calon prajurit yang ingin menghentikan pertarungan, kalau peserta merasa tidak mampu mengalahkan seekor kerbau liar.
Rakyat yang tinggal di kotaraja Demak dan sekitarnya sudah banyak yang datang ke alun-alun untuk melihat jalannya pendadaran calon prajurit Wira Tamtama,

Ketika semua prajurit dan peserta sudah siap, maka seorang prajurit berdiri dan memanggil nama peserta :"Peserta pendadaran pertama, Sora"
Di sebelah panggung, seorang yang bertubuh tinggi besar, yang akan mengikuti pendadaran, berdiri dan berjalan menuju ke tempat prajurit yang telah memanggilnya.
"Kau Sora?" tanya prajurit yang bertugas.
"Ya" jawab jawab orang itu.
"Sora, kau berasal darimana ?
"Saya berasal dari Sarapadan" jawab Sora.
"Sora dari Sarapadan, tanpa membawa senjata, kau berani melawan seekor kerbau liar?" tanya prajurit yang bertugas.
"Berani" jawab Sora.
"Ya kalau kau berani silahkan kau turun di arena, kalau kau merasa tidak mampu melawan atau ingin mengakhiri pendadaran, kau bisa lari keluar melalui pintu sebelah barat" kata prajurit tersebut sambil tangannya menunjuk ke pintu sebelah barat .
"Kerbau sudah siap dan berada di kandang sebelah timur" kata Prajurit. Sora melihat kearah kandang sebelah timur, tampak seekor kerbau liar siap dilepaskan ke arena.
Sora dari Sarapadan berjalan ke arena, lalu membungkuk hormat ke arah Lurah Wira Tamtama maupun ke arah para penonton, dan setelah Sora terlihat siap maka sebuah pintu kandang yang berada disebelah timur, dibuka, dan seekor kerbau liar berjalan cepat menuju Sora yang terlihat seperti menantangnya, dan ketika hampir menyentuh Sora, maka kerbau itupun menanduknya.

Ketika kerbau liar itu menanduknya, secara cepat Sora menghindar kesamping, lalu iapun melompat disebelah sisi kepala kerbau.
Kerbau liar yg merasa tanduknya tidak mengenai sasaran, cepat berbalik, tepat pada saat itu Sora yang bertubuh tinggi besar dengan cepat menangkap tanduk kerbau.
Terjadi adu kekuatan antara Sora dengan seekor kerbau liar.
Tangan Sora dengan kuatnya memegang kedua tanduk kerbau, berusaha untuk memuntir leher kerbau supaya patah, tetapi kerbau liar adalah kerbau yang kuat, dengan sekali menghentakkan tanduk, ternyata kekuatan Sora berada dibawah kekuatan seekor kerbau liar.
Sora terkejut, ketika dirinya terlontar keatas dan jatuh disamping kerbau, dan ketika dirinya jatuh ketanah, posisi kaki yang tidak tepat, menyebabkan Sora tidak dapat bangun lagi.
Mengetahui Sora jatuh dan tidak dapat berdiri, maka para prajurit berlarian kedalam arena, dan kerbaupun tanpa menghiraukan Sora, mengejar prajurit yang mengganggunya, sedangkan prajurit yang lainnya berkesempatan untuk menolong Sora.
Sora diangkat oleh kelompok prajurit penolong, lalu dibawa keluar melalui pintu barat, dan disana Sora dirawat oleh seorang dukun sangkal putung.
Setelah mengetahui Sora sudah dapat diselamatkan, maka semua prajurit yang berada di arena kemudian melompat keluar arena, meninggalkan kerbau liar yang berdiri gagah ditengah lapangan menunggu lawannya.

Di panggung, prajurit memanggil peserta pendadaran selanjutnya.
"Peserta pendadaran kedua, Sukra" Seorang yang duduk disebelah panggung berdiri dan berjalan menuju ke tempat prajurit yang telah memanggilnya.
"Sukra, kau berasal darimana ? "Saya berasal dari Sela" jawab Sukra.
"Sukra dari Sela, tanpa membawa senjata, kau berani melawan seekor kerbau liar?" tanya prajurit yang bertugas.
"Ya, aku berani melawan kerbau liar"
"Ya kalau kau berani silahkan kau turun di arena, taklukkan kerbau itu, kalau kau merasa tidak mampu melawan atau ingin mengakhiri pendadaran, kau bisa lari keluar melalui pintu sebelah barat" kata prajurit tersebut sambil tangannya menunjuk ke pintu sebelah barat .
Sukra dari Sela membungkuk hormat ke Lurah Wira Tamtama maupun ke arah para penonton, lalu berjalan menuju ke arena yang ditengahnya masih ada kerbau liar yang telah mampu melempar peserta sebelumnya, Sora.

Kerbau liar, ketika melihat ada orang berjalan menghampirinya, maka kerbau itupun berlari menyerang kearah lawannya.
Sukra waspada melihat seekor kerbau siap menanduk kearahnya, dan ketika tanduk kerbau liar itu hampir menyentuhnya, dengan cepat dia menghindar kesebelah kiri, sehingga kerbau itu terdorong maju kedepan beberapa langkah.
Merasa tandukannya tidak mengena, kerbau liarpun berbalik dan menyerang kembali dengan menanduk kearah Sukra.
Sukra hanya menggeser sedikit badannya kearah kanan, secara cepat badannya berputar dan dengan tangan kanannya Sukra memukul belakang kepala kerbau dengan sekuat tenaganya, kerbaupun jatuh terduduk, tetapi sesaat kemudian kerbau itu bisa bangun dan berlari kembali menyerang orang yang berdiri didepannya.
Untuk kedua kalinya Sukra dari Sela menghindar kekanan, dan melakukan sebuah gerakan yang sama seperti gerakan yang sudah dilakukan, dengan cepat Sukra berputar dan untuk kedua kalinya memukul kepala kerbau dari samping dengan sisi telapak tangannya, dan kerbaupun terjerembab jatuh ketanah, pingsan.

Sorak dan tepuk tangan penonton mbata rubuh mengiringi kemenangan Sukra ketika mengalahkan seekor kerbau liar.
Belasan orang prajurit masuk ke arena dan menyeret kerbau yang masih pingsan, lalu dimasukkan ke dalam kandang.
Setelah memberi hormat ke panggung dan ke penonton, Sukrapun segera kembali ke tempatnya semula,
"Sukra dari Sela kemampuannya sudah cukup baik" kata Ki Lurah Mada, orang yang duduk disebelah Karebet.
"Ya, meskipun tangannya belum mampu memecahkan kepala seekor kerbau liar, tapi sudah mampu untuk membuatnya pingsan" jawab Ki Lurah Wirya.
"Ya sudah bagus, nanti kita bicarakan dulu sebelum kita laporkan ke Tumenggung Suranata" kata Ki Lurah Karebet.
Prajurit petugas segera berdiri dan mengumumkan peserta selanjutnya. "Peserta pendadaran ketiga, Bena"

Seorang yang bertubuh agak kurus, yang duduk disebelah panggung, berdiri, mulutnya komat kamit membaca beberapa mantra seperti yang diajarkan oleh gurunya, lalu kaki kanannya dihentakkan ke bumi tiga kali, setelah itu sambil mulutnya masih komat kamit membaca mantra menundukkan kerbau liar, ia berjalan menuju ke tempat prajurit yang telah memanggilnya.
"Saya yang bernama Bena" kata Bena. "Bena, kau berasal darimana ? tanya prajurit yang memangginya.
"Saya berasal dari Asem Arang, dari perguruan Gunung Brintik" jawab Bena yang bertubuh agak kurus.
"Bena dari Asem Arang, tanpa membawa senjata, kau berani melawan seekor kerbau liar?" tanya prajurit yang bertugas.
"Ya, aku berani" jawab Bena yang bertubuh agak kurus.
"Ya kalau kau berani silahkan turun di arena, kalahkan kerbau itu, kalau kau merasa tidak mampu melawan dan ingin mengakhiri pendadaran, kau bisa lari keluar melalui pintu sebelah barat" kata prajurit tersebut sambil tangannya menunjuk ke pintu sebelah barat .
"Kerbau yang akan kau lawan masih di kandang sebelah timur dan sudah disiapkan oleh para prajurit" kata prajurit yang bertugas sambil menunjuk ke arah kerbau yang masih berada di kandang, dan sudah siap dilepas ke arena.

Bena melihat ke arah timur, terlihat seekor kerbau liar yang badannya besar, berusaha untuk keluar dari kandang.
"Sial betul aku hari ini, yang lain hanya melawan seekor kerbau yang badannya kecil, giliran aku yang maju, harus melawan kerbau yang badannya paling besar" kata Bena yang berasal dari Asem Arang hampir tak kedengaran.
"Waduh, kerbaunya kelihatan galak, tanduknya besar dan panjang, pasti ujungnya runcing" kata Bena yang bertubuh agak kurus didalam hatinya.
"Hm semua ini gara-gara Nyai Sumi, randa wulanjar yang masih kinyis-kinyis itu, yang rumahnya wetan kali, dia yang menyuruhku mengikuti pendadaran ini" kata Bena didalam hatinya.
"Randa kembang itu ingin menjadi istri seorang prajurit Wira Tamtama"
Sekali lagi Bena melihat ke calon lawannya, seekor kerbau yang badannya paling besar, lalu terbayang tentang kecantikan Nyai Sumi yang berkulit kuning nemu giring, kemudian dikuatkan niatnya, dibulatkan tekadnya, diperbesar semangat dan keberaniannya, maju di pendadaran untuk menjadi seorang calon prajurit Wira Tamtama.

Bena merasa beruntung menjadi peserta pendadaran yang ke tiga, sehingga bisa melihat bagaimana Sora dilempar keatas oleh seekor kerbau liar, diapun bisa melihat jurus yang diperagakan Sukra sehingga mampu membuat kerbau liar menjadi pingsan.
"Tadi Sora memegang tanduknya, lalu dia terlempar ke atas, kalau Sukra lain lagi, ketika kerbau menanduk, dia menghindar kesamping, lalu dia pukul kepalanya" kata Bena dalam hati.
Bena dari Asem Arang, membungkukkan badannya, memberi hormat kepada para Lurah Wira Tamtama maupun ke arah para penonton, setelah itu diapun berjalan menuju ke lapangan pendadaran.
Ketika Bena sudah siap, maka pendadaranpun dimulai, pintu kandangpun dibuka, kerbaupun dilepas ke arena.
Ketika kerbau liar itu melihat ada orang berdiri didepannya, maka kerbau itupun menyerang kearah lawannya.

Bena waspada melihat seekor kerbau yang berjalan cepat dan siap menanduk kearahnya, dan ketika tanduk kerbau liar itu hampir menyentuh perutnya, dengan cepat dia menghindar kesamping, sehingga kerbau itu agak maju kedepan beberapa langkah.
Merasa tandukannya mengenai tempat kosong, kerbau liarpun berputar, ketika kepalanya menengok, datang pukulan dari tangan Bena mengenai kepala kerbau, tetapi kerbau liar itu adalah kerbau yang besar sehingga pukulan Bena tidak terasa.
Kembali kerbau liar menjadi marah dan menyerang Bena, dan Bena hanya menggeser sedikit badannya kesampang kanan, secara cepat badannya berputar dan dengan tangan kanannya, untuk kedua kalinya Bena memukul kepala kerbau, tetapi kerbau yang bertubuh besar itu tidak merasakan apapun juga, dan kembali menyerang orang yang berdiri didepannya.

Untuk ketiga kalinya Bena dari Asem Arang menghindar kekanan, dan melakukan sebuah gerakan yang sama seperti gerakan yang sudah pernah dilakukannya, berputar setengah lingkaran dan untuk ketiga kalinya Bena memukul kepala kerbau dari samping dengan sisi telapak tangannya, tapi kerbau itu hanya berhenti sesaat, kemudian kerbau itupun semakin marah dan menyerang Bena kembali.
Sudah tiga kali tangan Bena mengenai kepala kerbau liar, tetapi daya tahan kerbau liar itu memang luar biasa, dengan cepat dia menyerang kembali ke arah Bena.
Bena terkejut melihat tanduk kerbau hampir mengenai perutnya, tidak ada jalan lain terpaksa dia memegang tanduk kerbau liar yang besar, dan sesaat kemudian diapun terlempar keatas melayang melewati punggung kerbau dan jatuh dengan kakinya terlebih dulu, jatuh disamping kerbau liar.
Begitu menyentuh tanah, dengan cepat kakinya menendang perut kerbau dengan kerasnya, kerbaupun kaget dan bersamaan ketika kepala kerbau itu menengok, Benapun melompat memukul kepala kerbau itu dengan kepalan tangannya.

Empat kali kepala kerbau itu menerima pukulan tangan Bena, tapi ternyata kerbau itu sangat kuat dan terlihat kerbau itu menjadi semakin marah.
"Aku harus memukulnya sekuat tenaga pada pukulan yang kelima" kata Bena dalam hati.
Yang ditunggupun tiba, ketika datang serangan tandukan kerbau, diapun mundur selangkah lalu menggeser kesamping dan ketika kepala kerbau itu bersiap menanduk, dengan mengumpulkan segenap kekuatannya, tangan Bena memukul kepala kerbau dengan sisi telapak tangannya, dan terjadilah sebuah benturan yang keras, tangan Bena membentur kepala kerbau yang keras, akibatnya kerbau terdiam dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Akibat benturan itu, bukan hanya kerbau saja yang merasa kesakitan, tetapi Bena merasa tangannya tidak bisa digerakkan, dan Benapun merasa kesakitan pada jari tangannya.
Bena yang merasa tangannya cedera dan terasa sakit sekali, bergerak mundur beberapa langkah, dan ketika Bena melihat kerbau liar itu masih terlihat berdiam saja, maka dia mengambil keputusan yang tepat, digeserkan badannya ke arah barat, dan sekuat tenaga dia berlari keluar arena melalui pintu sebelah barat,

Melihat lawannya lari menjauh, maka kerbau liar itupun segera lari mengejar kearah lawannya.
Sorak sorai penonton terdengar disertai suara huuuu yang panjang, tetapi Bena sudah selamat sampai diluar pagar sebelah barat dan prajurit yang bertugaspun telah menutup pintunya kembali, sehingga kerbau liar tidak mampu mengejarnya, karena terhalang pagar pembatas.
Sampai diluar pagar, Bena dirawat oleh seorang dukun sangkal putung.
"Tanganmu terkilir" kata dukun tersebut dan tangan Bena segera dibetulkan olehnya.
Bena masih berdesis menahan sakit, ketika seorang anak muda mendekati Bena yang tangannya masih di rawat oleh dukun sangkal putung.
"Tanganmu cedera kakang" kata pemuda terebut.
"Tidak apa-apa, tanganku terkilir, hanya cedera ringan" jawab Bena. "Lalu nanti selanjutnya bagaimana kakang" kata adiknya.
"Kau pulanglah dulu ke Asem Arang bilang pada Nyai Sumi, aku akan mengembara mencari guru ilmu kanuragan, warsa depan kalau ada pendadaran, aku akan ikut lagi" kata Bena kepada adiknya.
"Mungkin nanti aku akan pergi berguru ke perguruan Sela, disana ada Ki Ageng Sela yang mampu menangkap petir" kata Bena pelan.

Setelah Bena menghentikan pertarungannya, maka prajurit yang bertugaspun segera memanggil peserta ke empat yang mengikuti pendadaran, untuk memasuki blabar kawat, melawan seekor kerbau liar yang telah menunggu di tengah lapangan.
Demikianlah, di hari itu Lurah Karebet bersama Lurah Wirya dan Lurah Mada sampai lewat tengah hari telah dapat menyelesaikan pendadaran enam orang calon prajurit Wira Tamtama.
"Dari sini kita bersama-sama menuju dalem lor, nanti disana kita bisa susun laporan kepada Ki Tumenggung Suranata tentang hasil pendadaran hari ini" kata Lurah Wirya.
"Ya, dari sini kita langsung ke dalem lor" kata Lurah Karebet.
Beberapa saat kemudian, disebuah ruangan di dalem lor yang merupakan rumah khusus prajurit Wira Tamtama, tiga orang lurah sedang duduk di amben besar, membicarakan hasil pendadaran tadi pagi.
"Yang kita bicarakan sekarang adalah hasil pendadaran hari ini untuk enam orang calon prajurit Wira Tamtama.
"Kita mulai dari hasil pendadaran yang pertama, Sora dari Sarapadan, dia gagal karena terkilir kakinya, bagaimana pendapat Ki Lurah Mada dan Ki Lurah Karebet" kata Lurah Wirya.
"Ya, apa boleh buat dia memang gagal" kata lurah Mada, dan Lurah Karebetpun menganggukkan kepalanya.
"Lalu hasil pendadaran yang kedua, Sukra dari Sela, ternyata pukulan Sukra tidak menyebabkan kerbaunya mati, hanya pingsan saja, bagai mana pendapat Ki Lurah berdua?" tanya Ki Lurah Wirya.
"Ya, Sukra berhasil mengalahkan kerbau liar" kata Lurah Karebet.
"Ya, meskipun kerbau itu cuma pingsan, Sukra sudah menang, itu sudah cukup bagi seorang prajurit" kata Lurah Mada.
"Hasil pendadaran yang ketiga, Bena dari Asem Arang, tangannya terkilir, dan Benapun menghentikan jalannya pendadaran dengan keluar melalui pintu barat" kata Lurah Wirya.

Belum sempat mereka menyelesaikan pembicaraan tersebut, seorang prajurit masuk ke ruangan dan berbicara dengan Lurah Karebet.
"Ada orang yang mencari Ki Lurah Karebet" kata prajurit Wira Tamtama.
"Mencari aku? Suruh tunggu diluar dulu, kami sedang membicarakan hal yang penting" kata Lurah Karebet.
"Dia tidak mau menunggu, orang itu memaksa masuk ke ruangan ini" kata prajurit tersebut.
Lurah Karebet belum sempat menjawab, seorang yang berbadan tinggi besar masuk kedalam ruangan, langsung menuju tempat Lurah Karebet.
"Siapa diantara kalian bertiga yang bernama Ki Lurah Karebet" kata orang yang baru masuk ke ruangan.
"Aku" kata Lurah Karebet.
"Wuaaah, saya kira orang yang bernama Ki Lurah Karebet adalah orang yang tinggi besar seperti saya, ternyata tubuhnya cuma kecil saja, hanya namanya saja yang membikin sakit telingaku ini" kata orang yang bertubuh tinggi besar itu.

"He siapa kau, tanpa tata krama berani masuk ruangan ini" kata Lurah Mada.
"Kau bertanya kepadaku he Ki Lurah? Baik, namaku adalah Dadung Awuk dari Pingit" kata orang yang bertubuh tinggi besar itu.
"Ada perlu apa kau masuk ke ruang ini Dadung Awuk?" tanya Ki Lurah Mada.
"Jauh-jauh dari Pingit aku datang ke kotaraja Demak, karena aku mendengar akan diadakannya pendadaran calon prajurit Wira Tamtama, dan aku ingin ikut pendadaran itu, apakah aku bisa diterima Ki Lurah Karebet?" kata Dadung Awuk yang bertubuh tinggi besar.
"Dadung Awuk, kalau kau mau ikut pendadaran, ada aturannya, ada syaratnya, pendadaran untuk calon prajurit Wira Tamtama telah diadakan di alun-alun, dan sekarang sudah memasuki hari kedua, calon prajurit akan di adu dengan seekor kerbau liar, kau harus bisa mengalahkan kerbau liar itu" kata Ki Lurah Karebet.
"Ki Lurah Karebet, peserta pendadaran akan diadu dengan seekor kerbau liar? Ki Lurah, Jangankan cuma seekor, dua ekor kerbau liar suruh maju ber-sama2, akan aku bunuh dua ekor kerbau itu sekaligus" kata Dadung Awuk.

Tanpa menunggu jawaban, Dadung Awuk mengambil dingklik tempat duduk yang ada di pojok ruangan dan diapun duduk disitu.
"Sudah saya katakan, semua ada aturannya, setiap hari ada enam peserta yang ikut pendadaran, kau adalah peserta yang terakhir, dan kalau kau mau ikut, kau akan menjalani pendadaran kira-kira enam atau tujuh hari lagi" kata Lurah Karebet.
"Tidak bisa Ki Lurah, tujuh hari terlalu lama, aku minta pendadaran untukku adalah besok pagi, kau dengar he Ki Lurah Karebet" kata Dadung Awuk.
Mendengar perkataan Dadung Awuk, Lurah Mada berdiri, tetapi Lurah Karebet memberi isyarat untuk duduk kembali.
Dadung Awukpun memandang ke Lurah Mada. "Ya Ki Lurah, betul Ki Lurah Karebet, sebaiknya kau tetap duduk saja" kata Dadung Awuk.
Lurah Mada menarik napas panjang, meredakan dadanya yang bergejolak.
"Bagaimana Ki Lurah Karebet, aku harus bisa ikut pendadaran untuk besok pagi, aku tidak mau menunggu tujuh hari" kata Dadung Awuk.

"Tidak bisa Dadung Awuk, nama-nama peserta pendadaran sudah diumumkan. Kalau kau ikut pendadaran besok pagi, berarti ada satu orang yang digeser waktu pendadarannya, tidak bisa begitu, kau baru saja datang, berarti nanti pelaksanaan pendadarannya juga mendapat bagian yang terakhir" kata Lurah Karebet.
"Tidak apa apa, hanya satu orang yang digeser pada hari berikutnya, tidak masalah, kalau orang itu marah, suruh dia berhadapan dengan aku, akan aku patahkan batang lehernya, kau dengar ini Ki Lurah, nah, sebaiknya kau memasukkan namaku untuk ikut pendadaran besok pagi Ki Lurah" kata Dadung Awuk.
"Tidak bisa Dadung Awuk, itu namanya tidak adil" kata Lurah Karebet.
"Adil atau tidak itu bukan urusanku, tugas Ki Lurah Karebet tinggal menulis namaku untuk ikut pendadaran besok pagi, selesai, mudah kan" kata orang tinggi besar itu.
"Tidak bisa Dadung Awuk!!!" kata Lurah Wirya dengan suara keras.
"Aku berbicara dengan Ki Lurah Karebet Ki Lurah, bukan bicara dengan kau!!" jawab Dadung Awuk dengan suara keras sambil tangannya menuding Lurah Wirya.

Lurah Wirya berdiri, tetapi ia duduk kembali setelah Karebet memberi isyarat untuk duduk lagi.
"Biar aku saja yang menyelesaikan persoalan ini" kata Lurah Karebet kepada dua orang lurah lainnya.
"Dadung Awuk" kata Ki Lurah Karebet :"Baiklah usulmu akan kami bicarakan dulu dengan dua orang lurah yang lain, karena disini ada lima orang lurah yang punya wewenang untuk mengawasi pendadaran"
"Wuah, itu terlalu bertele-tele, terlalu lama, aku tidak suka, he Ki Lurah bertiga, dengar, aku mau cerita" kata Dadung Awuk.
"Dengarlah, didaerahku, didaerah Pingit, tidak ada yang berani melawan aku, bahkan sampai di daerah Banyubiru dan Sumawana. He Ki Lurah, kau tahu daerah Banyubiru? Kalau belum tahu, dengarkan, Banyubiru ada didekat Rawa Pening. Kau tahu daerah Sumawana? Itu daerah yang dekat dengan candi Gedong Sanga, di kaki gunung Ungaran" kata Dadung Awuk.
"Aku berlatih sendiri, tanpa guru, kalau bertarung aku tidak penah kalah, aku selalu menang, aku berlatih di sebuah goa yang wingit, di bawah pohon yang angker, dan selama ini tidak ada yang bisa mengalahkan aku. Di daerah Pingit, aku pernah dikeroyok lima orang, tetapi semuanya bisa aku kalahkan" kata Dadung Awuk.
"Aku pernah membunuh seekor harimau kumbang, he kalian pernah melihat seekor harimau kumbang?
 Seekor harimau hitam yang bisa naik ke pohon. Harimau kumbang itupun telah aku bunuh, ketahuilah, selama ini aku telah banyak berjasa kepada Kasultanan Demak, kemarin, dalam perjalanan ke kotaraja ini, di daerah Rawa Pening, aku di cegat oleh dua orang perampok dan keduanya sudah aku kalahkan, nah itu berarti aku sudah berjasa kepada Kasultanan Demak" kata Dadung Awuk.

"Beberapa pasar yang lalu, aku ke Sarapadan, yang tidak jauh dari Pingit. disana aku menantang siapa saja yang berani melawan aku, kau tahu Ki Lurah, tidak ada satu orangpun yang berani melayani tantanganku, semua pintu tertutup. Pengecut semua, tidak ada satu orangpun yang berani keluar. Sarapadan menjadi sepi sekali, semua takut kepada Dadung Awuk" teriak Dadung Awuk.
"Aku adalah orang yang kebal, tidak ada senjata yang bisa melukai aku, kalian boleh memukul badanku, silahkan pilih mana bagian yang paling empuk, tubuhku ini boleh kalian pukul beramai-ramai" kata Dadung Awuk.
"Apalagi cuma tangan kalian he Ki Lurah bertiga, ditusuk pisaupun, jangankan luka, badanku tergorespun tidak" kata Dadung Awuk meneruskan.
"Nah Ki Lurah bertiga, kalian telah mendengar ceritaku, apakah besok pagi aku tetap tidak boleh ikut pendadaran? Apakah kalian berani menolak permintaanku?" tanya Dadung Awuk.
Lurah Mada dan Lurah Wirya berdiri, tetapi Lurah Karebet memberi isyarat untuk duduk dan berkata :" Duduklah Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada, dia tadi mencari aku, biar aku yang menyelesaikan persoalan ini.
"Dadung Awuk, permintaanmu tetap akan kami bicarakan dulu dengan dua orang lurah yang lain, kau tunggulah diluar, kami saat ini sedang membicarakan hal yang penting!!" kata Lurah Karebet dengan suara keras.

"Nada bicaramu keras sekali Ki Lurah Karebet, aku pernah mendengar cerita, kata orang kau berasal dari Pengging" kata Dadung Awuk.
"Ya, aku berasal dari Pengging, Dadung Awuk, ada apa dengan Pengging ?" tanya Lurah Karebet, yang nadanya semakin pelan dan dalam.
"He pantas, pantas, aku sudah mendengar cerita tentang Pengging ha" kata Dadung Awuk sambil tertawa.
"Apa yang akan kau katakan tentang Pengging, Dadung Awuk" kata Karebet sambil berdiri dari tempat duduknya.
Melihat Ki Lurah Karebet berdiri, maka Dadung Awukpun juga berdiri sambil tertawa terbahak-bahak.
"Wuah wuah, Ki Lurah Karebet ternyata sudah berani berdiri, tadi saya kira Ki Lurah tidak berani, bagus, bagus, ternyata kau memang ayam jantan dari Pengging, ayo keluarkan semua aji ajimu, ucapkan semua japa mantramu, pilihlah dagingku yang paling empuk, pukullah dadaku, pukullah sesuka hatimu Ki Lurah Karebet" kata Dadung Awuk.
Lurah Karebet lalu mengambil selembar daun sirih yang ada di tempat penyimpanan penginangan.
"Dadung Awuk, kau tahu apa yang kupegang ?" kata Ki Lurah Karebet sambil menggulung daun sirih dan sedikit menggigit ujungnya.
Dadung Awuk tertawa ketika melihat daun sirih yang digulung ditangan Lurah Karebet
"Wuah wuah, itu sadak kinang, ternyata ayam jantan dari Pengging takut melihat darah, tidak berani memegang pedang, yang dipegang adalah sadak kinang ha ha ha" kata Dadung Awuk sambil tertawa terbahak-bahak.

(bersambung)

Kamis, 17 Juli 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 8

BAB 3 : BUNGA CEMPAKA 2

Ditulis oleh : Apung GWAP

Agak jauh disebelahnya, beberapa orang prajurit sedang bekerja membersihkan dua buah tandu joli jempana, yang nantinya akan digunakan oleh Kanjeng Prameswari dan putri Sekar Kedaton.
Joli jempana milik Kasultanan Demak, yang terbuat dari kayu jati yang kokoh, beratap limasan, yang masing2 joli jempana hanya dapat memuat satu orang didalamnya.
Beberapa prajurit menggunakan sepotong kain yang telah dicelup air, untuk membersihkan ukiran yang terdapat pada hiasan joli jempana. Sebuah ukiran halus hiasan sulur-suluran.
Beberapa saat kemudian, pembersihan perahu dan joli jempana sudah bersih, pekerjaannya sudah selesai. Perahu akan dibawa ke sungai Tuntang, sedangkan joli jempana akan dibawa ke Kraton.
Beberapa tali sudah dipasang, disebelah kanan dan kiri perahu Kyai Garuda, dan perahupun telah siap untuk ditarik ke sungai Tuntang.
Demikian juga dengan dua buah perahu lainnya, juga sudah siap dan sudah dipasang tali, siap ditarik ke sungai.

Rangga Pideksa memerintahkan beberapa prajurit untuk mengalirkan air lewat saluran kecil yang terhubung ke sungai. Saluran itu dibendung dengan memasang beberapa buah kayu dan diisi dengan tanah, sehingga air tidak bisa mengalir ke tempat penyimpanan perahu.
Beberapa orang prajurit mengambil kayu yang dipergunakan untuk membendung air selokan sehingga airpun dapat mengalir ke tempat perahu.
Tidak lama kemudian airpun telah mengalir deras ke sungai kecil tempat penyimpanan perahu.
Saluran tempat perahu yang tadinya kering, sekarang menjadi penuh air, sehingga perahupun bisa terangkat dan terapung.
Rangga Pideksa bersama dengan beberapa orang prajurit, perlahan-lahan menarik perahu Kyai Garuda disebelah kanan dan kirinya, masuk ke anak sungai yang terhubung dengan sungai Tuntang.
Perlahan-lahan perahu Kyai Garuda bergerak maju sedikit demi sedikit, ditarik oleh sepuluh orang prajurit melalui darat, dengan memakai beberapa tali yang besar.
Dibelakang perahu Kyai Garuda, menyusul dua buah perahu lainnya yang juga ditarik oleh beberapa orang prajurit.,

Perahu Kyai Garuda telah sampai di sungai Tuntang, lalu perahu ditarik ketempat tambatan perahu, dibawah pohon ditepi sungai yang landai.
Ketika perahu Kyai Garuda telah sampai ditempatnya, maka tali penariknya dilepas, diganti dengan tali untuk ditambatkan ke sebuah batang pohon, serta dijaga oleh dua orang prajurit.
Matahari sudah condong kebarat, ketika pekerjaan menyiapkan perahu sudah selesai dikerjakan, dan dua buah joli jempanapun telah dibawa ke dalam Kraton.
Malam harinya, bulan hanya mengintip dibalik awan yang tipis, ada sebuah hati yang merenda harapan, betapa bulan terlihat malas bergerak, dia ingin malam segera berlalu.
"Malam ini kenapa terasa lama sekali, aku ingin malam cepat berganti pagi" kata Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka dalam hati.
"Kenapa aku sulit sekali tidur, atau karena besok pagi aku ketemu dengan Karebet ?" kata Sang Putri menganyam angan-angan.

Pada saat yang sama, Karebet hanya bisa gelisah di atas amben, harapannya hanya satu, besok pagi bisa dekat dengan Sang Bunga Cempaka di Kraton Demak.
Suara kentongan yang dipukul dengan irama dara muluk telah terdengar di seluruh kotaraja Demak, menandakan telah memasuki waktu tengah malam, dan dua hati yang sedang berbunga telah melayang ke alam mimpi.

Di ufuk timur terlihat semburat warna merah, semakin lama semakin terang, pertanda matahari sudah menampakkan dirinya, seiring dengan terdengarnya suara burung yang berkicau menyambut datangnya pagi. Dari dalem lor, langkah kaki Karebet begitu ringan ketika berjalan menuju Kraton, untuk menjalankan tugasnya sebagai prajurit Wira Tamtama.
Setelah melewati pintu gerbang Kraton, Karebet tiba di halaman didepan Sasana Sewaka, disana sudah ada beberapa prajurit, belum semuanya telah datang, masih menunggu Tumenggung Gajah Biirawa yang menjadi Manggala Yudha Wira Tamtama.
Beberapa kuda sedang diatur, yang mengendarai kuda hanya Kanjeng Sultan dan kerabat raja, joli jempana yang berjumlah dua buah sudah siap dihalaman, untuk Kanjeng Prameswari dan Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, sedangkan pengusung tiap tandu adalah empat orang abdi dalem yang bertubuh kuat.
Setelah Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Gagak Anabrang dan Tumenggung Suranata telah datang, maka diaturlah tugas masing-masing prajurit.

Karebet mendapat tugas mengawal joli jempana yang berisi Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, sedangkan nanti pada saat berada di perahu, bersama prajurit yang lain Karebet mendapat tugas mendayung perahu Kyai Garuda. Ketika bende ditabuh untuk pertama kali, maka semua prajurit dan abdi dalem bersiap, kudapun juga sudah dipersiapkan, bendera Wira Tamtama, bendera Wira Braja dan bendera yang paling besar, bendera Gula Kelapa juga sudah berkibar.
Tak lama kemudian Tumenggung Gajah Birawa berjalan menuju ruang dalam menjemput Kanjeng Sultan dan Kanjeng Prameswari bersama sentana dalem.
Sesaat kemudian Kanjeng Sultan keluar ruangan diikuti Kanjeng Prameswari dan Gusti Mas Cempaka. Dibelakang Kanjeng Sultan, ada seorang prajurit yang membawa songsong, payung kerajaan, dibelakang songsong berjalan beberapa kerabat Sultan, diikuti oleh dua orang emban.
Diantara sentana dalem yang akan diajak ikut ke pantai, ada seorang yang sudah dikenal oleh Karebet, yaitu putra Pangeran Sekar Seda Lepen, Arya Penangsang.

Tumenggung Gagak Anabrang menyambut Kanjeng Sultan dan mempersilahkan naik ke punggung kuda, sedangkan Tumenggung Suranata mempersilahkan Kanjeng Prameswari untuk naik ke atas joli jempana.
Putri Sekar Kedaton, Gusti Mas Cempaka diantar oleh Tumenggung Gajah Birawa menuju ke joli jempana yang dijaga oleh seorang prajurit Wira Tamtama, Karebet.
Gusti Putri Mas Cempaka bersama Nyai Madusari, berjalan perlahan-lahan menuju tandu yang dijaga oleh Karebet.
Baru kali ini Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka merasa hatinya deg-deg-an melihat Karebet yang berpakaian prajurit Wira Tamtama yang terlihat menjemputnya.
Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka bergetar senang ketika Karebet mempersilahkan naik ke joli jempana dan berkata:"Silahkan Gusti Putri"
"Terima kasih kakang Karebet" kata Sang Putri..

Perlahan-lahan Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka naik keatas tandu, dan pandangan Sang bunga Kraton tak lepas dari prajurit yang berdiri di sebelah tandu dan bersiap mengawalnya, Karebet.
Ketika semuanya sudah siap, suara bende terdengar untuk yang kedua kalinya, tandupun diangkat oleh empat orang abdi dalem yang bertubuh kuat, dan semua rombongan telah bersiap untuk berangkat.
Ketika penabuh bende telah menabuh untuk yang ke tiga kalinya maka mulailah rombongan Kanjeng Sultan bergerak maju.
Didepan sendiri, Tumenggung Suranata berjalan kaki sebagai cucuk lampah, lalu ada sebuah Bendera Gula Kelapa yang berkibar megah, dibelakangnya Kanjeng Sultan naik kuda dikelilingi oleh prajurit yang berjalan kaki, prajurit Wira Tamtama bersama Tumenggung Gajah Birawa.
Dibelakang Kanjeng Sultan, berjalan seorang prajurit yang membawa songsong kerajaan dan seorang prajurit membawa sebuah bende.

Kemudian disusul oleh prajurit yang membawa bendera Wira Tamtama, dibelakangnya sebuah joli jempana berisi Kanjeng Prameswari, yang diangkat oleh empat orang abdi dalem, didampingi oleh dua orang emban yang berjalan kaki, dibelakangnya ada lagi joli jempana berisi Sekar Kedaton, Gusti Putri Mas Cempaka, yang diangkat oleh empat orang abdi dalem dan didampingi oleh prajurit Wira Tamtama, Karebet.
Dibelakang tandu, berjalan Nyai Madusari yang diajak oleh Gusti Mas Cempaka untuk ikut berwisata ke pantai.

Dibelakang Karebet, ada Arya Penangsang yang duduk diatas punggung kuda hitam Gagak Rimang, sedangkan disebelahnya, berkuda pula dua orang kerabat Sultan, dibelakangnya ada pula prajurit yang membawa bendera Wira Braja, disampingnya berjalan Tumenggung Gagak Anabrang beserta prajurit Wira Braja
Rombongan bergerak ke timur, diatas joli jempana, Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka melihat dengan hati berdebar, seorang prajurit Wira Tamtama yang mengawalnya, Karebet. "Kakang Karebet" kata Sekar Kedaton perlahan dari atas joli jempana.

Karebet yang berjalan kaki disebelah joli jempana terkejut, dia menoleh ke arah tandu, dan Karebetpun tersenyum:"Ya Gusti Putri"
"Kau jangan jauh dariku" kata Sang Putri.
Karebet tidak menjawab, hanya tersenyum, dan itu sudah cukup membuat hati Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, menjadi deg deg pyur.
Dibelakang Karebet, ada sepasang mata yang tajam mengamati gerak gerik Karebet dari atas punggung seekor kuda hitam.
Arya Penangsang yang merasakan ada sesuatu yang telah terjadi pada Karebet maupun Gusti Mas Cempaka, sesuatu yang tidak terlihat, tetapi mudah ditebak.
"Hm selama ini Nimas Sekar Kedaton tidak pernah berbicara dengan seorang laki-laki, tetapi ternyata saat ini Nimas Cempaka sedang terpesona kepada Karebet" kata Penangsang dalam hati sambil terus mengawasi dengan cermat segala sesuatu yang dilakukan oleh Sekar Kedaton serta Karebet yang berjalan kaki didepan kudanya Gagak Rimang.

Ketika sekali lagi dilihatnya Karebet berbicara dengan wajah menghadap joli jempana yang didalamnya berisi Sekar Kedaton Putri Mas Cempaka, maka Arya Penangsangpun menjadi acuh tak acuh, terserah kepada keduanya, terserah kepada ayah Sekar Kedaton, Sultan Trenggana.
"Biar saja Nimas Sekar Kedaton jatuh cinta pada Karebet, itu haknya, dan itu bukan urusanku" katanya dalam hati, dan tanpa menghiraukan keduanya, Penangsang lalu mengelus-elus leher kuda hitam kesayangannya, Gagak Rimang.
Rombongan Sultan Trenggana bergerak terus, berjalan perlahan ke arah timur menuju sungai Tuntang, dan Arya Penangsangpun menepuk-nepuk leher Gagak Rimang, yang seperti tidak sabar ingin berlari kencang kedepan.

Arya Penangsangpun tidak menghiraukan ketika Sekar Kedaton berbicara pelan kepada Karebet, takut kalau ada yang mengetahuinya.
"Kakang Karebet" kata Sekar Kedaton.
"Ya, Gusti Putri" kata Karebet.
"Kau berasal dari mana kakang ?" tanya Gusti Mas Cempaka.
"Saya berasal dari Pengging Gusti Putri" jawab Karebet.
"Jangan bohong kakang, aku tahu kakang berasal dari Tingkir, kakang Karebet sering dipanggil dengan nama Jaka Tingkir" kata Sang Bunga Cempaka.
"Gusti Putri tahu dari mana?" tanya Karebet.
"Dari Nyai Madusari, dia bertanya ke paman Ganjur di dalem Suronatan" kata Sekar Kedaton.

Karebet tersenyum, dan senyumnya telah membuat hati Sekar Kedaton Mas Cempaka menjadi berbunga-bunga.
"Gusti Putri, sejak kecil saya diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir, tetapi sebenarnya saya berasal dari Pengging" kata Karebet.
"Kau berasal dari Pengging kakang ?" tanya Putri Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri, Ki Ageng Pengging adalah ayah saya" jawab Karebet.
"Saya pernah mendengar nama Ki Ageng Pengging, Ayahanda Sultan pernah menyebutnya" kata Sang Putri Bunga Cempaka.
Rombongan Kanjeng Sultan berjalan terus, dan angan-angan Sekar Kedaton masih terus menghubungkan silsilah keluarga antara dirinya dengan Karebet.
"Kakang Karebet, kalau kakang putra Ki Ageng Pengging, berarti kakang adalah cucu dari eyang Asmayawati istri dari eyang Adipati Dayaningrat ? Eyang Asmayawati adalah adik dari eyang Patah" kata Sang Putri.
"Betul Gusti Putri, kita berdua adalah cucu buyut dari Sang Prabu Brawijaya" kata Karebet

Mendengar kata Karebet, betapa senangnya hati Sekar Kedaton Mas Cempaka ketika mengetahui Karebet masih mempunyai hubungan persaudaraan dengannya.
"Hm Karebet ternyata bukan dari keturunan pidak pedarakan yang tidak diketahui asal-usulnya, ternyata dia sama seperti diriku, keturunan dari Raja Majapahit eyang buyut Brawijaya, mudah-mudahan nanti ayahanda Sultan mengetahuinya, apakah besok calon menantu ayahanda Sultan juga harus jelas perhitungan bibit- bebet- bobot nya ?" kata Gusti Putri Mas Cempaka dalam hati.
Rombongan Sultan Trenggana hampir sampai di Sungai Tuntang dan Sekar Kedatonpun berkata :" Kakang Karebet, berjanjilah kau tidak akan jauh dariku"
"Ya Gusti Putri" kata Karebet sambil tersenyum kepada Sekar Kedaton Mas Cempaka.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka ke tempat penambatan perahu di sungai Tuntang.
Rombongan Kanjeng Sultan berhenti, Kanjeng Sultan pun turun dari kuda, diikuti Kanjeng Prameswari dan Gusti Mas Cempaka turun dari joli jempana,

Arya Penangsang juga turun dari punggung kuda Gagak Rimang, dan ternyata disana sudah ada sahabatnya Lurah Pasar Pon yang akan mengurusi kudanya selama Arya Penangsang berada bersama Kanjeng Sultan.
Sedangkan kuda Kanjeng Sultan diurus oleh seorang abdi dalem gamel, demikian pula dengan Joli Jempana, dipinggirkan dan dijaga oleh beberapa orang prajurit.
Di tepi sungai Tuntang, terlihat perahu kerajaan yang canthik perahunya berupa kepala burung dengan paruh yang melengkung dan mata yang menatap tajam kedepan, Kyai Garuda, dengan bendera Gula Kelapa berkibar di atap perahu,
Disamping perahu Kyai Garuda, ada dua buah perahu untuk kerabat Kraton dan empat buah perahu yang ditumpangi oleh pasukan Wira Tamtama dan Wira Braja. Perahu untuk para prajurit ukurannya lebih kecil, dua buah perahu memakai bendera kesatuan Wira Tamtama dan dua lagi memakai bendera kesatuan Wira Braja, dan didalam perahu tersebut sudah tersedia perlengkapan serta bekal untuk makan siang di pantai

Dari tepi sungai menuju perahu Kyai Garuda telah dibuatkan jembatan yang dibuat dari beberapa buah bambu yang dijejer dan diikat rapi.
Enam orang prajurit termasuk Karebet, berjalan melalui jembatan bambu, naik ke perahu Kyai Garuda, mereka bertugas sebagai pendayung, ditambah dua orang prajurit yang membawa dua buah galah bambu panjang yang digunakan sebagai pendorong perahu.
Dua orang emban naik ke perahu, disusul oleh Nyai Madusari yang diperbolehkan ikut di perahu Kyai Garuda.
Setelah semuanya naik, Sekar Kedaton berjalan meniti jembatan bambu dengan hati-hati, dijaga oleh Tumenggung Suranata.
Di belakang Sekar Kedaton, menyusul Kanjeng Prameswari, lalu Kanjeng Sultanpun meniti jembatan bambu, dan diikuti oleh Tumenggung Gajah Birawa.

Yang terakhir naik ke perahu adalah seorang prajurit dengan membawa songsong, payung kerajaan yang menandakan keberadaan Sultan Demak didalam perahu Kyai Garuda, Songsongpun segera dimasukkan kedalam ploncon yang memang sudah ada diperahu, supaya tiang payungnya bisa berdiri tegak.
Setelah semuanya naik ke perahu, maka bambu yang digunakan sebagai jembatan ke perahu, segera diambil, dan semua prajurit dan sentana dalem, semua naik ke perahu.
Dua buah perahu sejajar paling depan, perahu paling kiri penumpangnya Ki Rangga Pideksa beserta Tumpak dan beberapa prajurit Wira Tamtama sedangkan perahu sebelah kanan adalah perahu yang berisi para prajurit Wira Braja.
Dibelakang perahu Kyai Garuda, ada dua buah perahu berisi kerabat Sultan termasuk putra Pangeran Sekar Seda Lepen, Arya Penangsang.

Paling belakang adalah dua buah perahu, yang sebelah kiri berisi prajurit Wira Braja bersama Tumenggung Gagak Anabrang, sedangkan perahu yang sebelah kanan berpenumpang para prajurit Wira Tamtama,
Dua buah perahu yang didepan, yang berisi prajurit Wira Tamtama dan prajurit Wira Braja perlahan-lahan mulai bergerak maju dan perahu Kyai Garuda juga mulai di dayung.
Karebet bersama lima orang prajurit lainnya, mendayung perahu Kyai Garuda, dibantu oleh dua orang prajurit yang membawa dua buah galah bambu panjang untuk mendorong perahu.
Dua buah galah bambu sudah dimasukkan kedalam air dan didorong sehingga perlahan-lahan perahu itupun bergerak maju.
Dibelakangnya dua buah perahu yang berisi kerabat Kraton bergerak pelan didayung oleh dua orang prajurit, disusul oleh dua buah perahu berpenumpang prajurit Wira Braja dan Wira Tamtama.
Tujuh buah perahu, bergerak perlahan-lahan menuju arah utara, angin yang berhembus, menambah segarnya udara di sungai Tuntang.

Putri Sekar Kedaton berwajah ceria menikmati perjalanan ini, disamping jenuh karena setiap hari terkurung di kaputren, saat ini di perahu yang sama terdapat seorang prajurit yang tampan bernama Karebet.
Perahu sudah hampir sampai di muara, angin telah berhembus semilir, Arya Penangsang yang berada di belakang perahu Kyai Garuda melihat sesuatu yang mencurigakan.
Arya Penangsang yang mempunyai pandangan yang tajam, melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak dibawah perahu Kyai Garuda.
Kanjeng Sultan dan Kanjeng Prameswari beserta Sekar Kedaton, dan semua orang yang berada di perahu Kyai Garuda, kaget ketika merasakan perahu membentur sesuatu, dan terasa perahu Kyai Garuda terguncang.
Arya Penangsang yang duduk di perahu yang berada dibelakang perahu Kyai Garuda, melihat air bergolak disisi perahu, akibatnya perahu Kyai Garuda oleng bersamaan dengan jerit Kanjeng Prameswari dan Putri Sekar Kedaton.

Semua orang yang berada diatas perahu Kyai Garuda terkejut, mereka khawatir kalau perahu terguling, Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata saling berpandangan, keduanya bersiap untuk terjun ke dalam air.
Meskipun jarak Arya Penangsang dengan perahu Kyai Garuda agak jauh, namun ia segera berdiri dan akan berniat melompat berenang ke air yang bergolak.
Baru saja Arya Penangsang berdiri akan melompat, dia terkejut ketika melihat di atas perahu Kyai Garuda, ada seorang prajurit dengan berani melompat terjun ke dalam air, tepat di tengah air yang bergolak.
Arya Penangsang melihat air dibawah perahu Kyai Garuda, masih terlihat air yang bergejolak, prajurit yang terjun ke air sudah tidak kelihatan lagi, menyelam didalam air sungai Tuntang, dan yang terlihat hanyalah pusaran air disertai beberapa gelembung udara,
"Prajurit yang terjun ke sungai pasti Karebet. Tidak ada prajurit yang berani terjun ke dalam pusaran air yang bergejolak, kecuali Karebet" kata Arya Penangsang dalam hati, dan matanya yang tajam melihat adanya sebuah pertarungan didalam air.
"Karebet saat ini sedang bertarung melawan seekor binatang di dalam air" kata Penangsang pelan kepada diri sendiri ;"Ternyata Karebet berani menyelam di pusaran air sungai yang bergejolak"

Perkiraan Arya Penangsang tidak salah, Sultan Trenggana beserta semua yang ada di perahu Kyai Garuda terkejut, ketika perahu menjadi oleng, dan mereka melihat Karebet melompat terjun ke air yang bergejolak, untuk mencari penyebab perahu menjadi oleng.
Perahu Kyai Garuda masih sedikit oleng, Kanjeng Prameswari dan para emban maupun Nyai Madusari masih ketakutan,
Apalagi Putri Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, wajahnya pucat ketika perahu oleng serta menjerit ketakutan ketika dilihatnya Karebet dengan beraninya melompat terjun ke sungai.
Tidak beberapa lama, pusaran air dibawah perahu telah berkurang, tetapi air masih bergejolak dan Karebetpun belum terlihat keluar, dia masih menyelam didalam air.
Suasana menjadi tegang, menunggu kemunculan Karebet yang masih berada didalam air yang bergejolak.
Sesaat kemudian kepala Karebet muncul dipermukaan air untuk menghirup udara, dan sekejap kemudian Karebet menyelam lagi ke dalam air.
Gejolak dan pusaran air menjadi semakin kecil tinggal beberapa gelembung-gelembung saja yang muncul di permukaan air.

Tidak lama kemudian, agak bergeser ke tepi sungai, muncul lagi kepala Karebet ke permukaan air untuk bernapas, hanya sesaat, setelah itu Karebet tidak terlihat, ia menyelam lagi.
Setelah itu, ditepian sungai munculah Karebet yang berjalan ke arah daratan di pinggir sungai, tangannya menyeret seekor buaya yang telah lemas. Buaya yang besar, yang panjangnya lebih dari empat depa, dipegang ekornya dan diseret ke arah semak-semak dipingir kali.
Mengetahui Karebet telah bertarung didalam air dan mengalahkan seekor buaya besar, perahu yang berisi beberapa prajurit Wira Tamtama yang dipimpin oleh Rangga Pideksa kemudian merapat ke pinggir sungai untuk membantu Karebet menyeret seekor buaya yang telah lemas.
Bersama Karebet, Tumpak dan beberapa prajurit Wira Tamtama, mereka menyeret buaya ke tempat yang agak jauh.
Buaya muara yang ganas, yang telah lemas dan diseret ekornya ternyata belum menyerah, mulutnya masih berusaha untuk menyerang seorang prajurit yang membawanya.
Karebet terkejut ketika kepala buaya bergerak dengan mulut dan giginya yang tajam menyerang seorang prajurit, lalu dengan cepat Karebet memukul kepala buaya dengan telapak tangannya, sehingga buaya itu menjadi pingsan.
"Mari kita bawa buaya ini ke semak-semak, kita tidak usah khawatir, buaya ini akan tidur disini sampai besok pagi" kata Karebet kepada Tumpak dan para prajurit Wira Tamtama.
"Mari kita seret buaya itu ke tempat yang dekat dengan gerumbul perdu, supaya tidak membuat takut Kanjeng Prameswari" kata Karebet.

"Semuanya pegang buaya di ekornya" kata Ki Rangga Pideksa dan para prajurit beramai-ramai memegang ekor buaya dan menyeretnya agak jauh ke gerumbul perdu di tepi sungai.
"Kita letakkan disini, biar dia tidur sampai besok pagi" kata Karebet.
Setelah selesai membawa buaya yang pingsan menjauh, maka Karebetpun kembali naik perahu yang berisi prajurit Wira Tamtama, lalu diantar naik ke perahu Kyai Garuda.
Semua yang telah terjadi tidak lepas dari pandangan tajam Arya Penangsang yang berada di atas perahu dibelakang perahu Kyai Garuda.
"Ilmu kanuragan Karebet ternyata memang perlu diperhitungkan, tetapi kalau hanya melawan seekor buaya sebesar itu didalam air, akupun tidak takut" kata Arya Penangsang dalam hati.
Di atas perahu Kyai Garuda, mata Putri Sekar Kedaton berbinar-binar kagum dan gembira, melihat Karebet telah mengalahkan seekor buaya yang berukuran besar dalam sebuah pertarungan dibawah air.
"Kakang Karebet mampu mengalahkan seekor buaya besar" kata Sang Putri dalam hati.
"Karebet" kata Kanjeng Sultan Trenggana setelah Karebet berada diatas perahu.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Karebet yang duduk bersila di perahu Kyai Garuda dihadapan Sultan Trenggana.

"Buayanya sudah mati?" tanya Kanjeng Sultan. "Mohon ampun Kanjeng Sultan, buayanya hanya pingsan sampai besok pagi" jawab Karebet.
"Tumenggung Gajah Birawa" kata Kanjeng Sultan Trenggana. "Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Mulai besok pagi, Karebet aku naikkan pangkatnya menjadi Lurah Wira Tamtama" kata Kanjeng Sultan. "Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Karebet, kau lelah ? Beristirahatlah" kata Kanjeng Sultan. "Mohon ampun Kanjeng Sultan, hamba tidak lelah, ijinkan hamba mendayung lagi" kata Karebet yang masih ingin berada di perahu Kyai Garuda supaya dekat dengan bunga istana, Gusti Mas Cempaka.
-Tapi pakaianmu basah- kata-kata yg hampir keluar dari mulut mungil Sekar Kedaton terpaksa ditelan kembali, ia sadar betapa ayahanda Sultan akan malu dan marah kalau mengetahui ia berbicara dengan seorang laki-laki. "Tumenggung Gajah Birawa" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.

"Perintahkan semua perahu supaya melanjutkan perjalanan ke pantai" kata kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh kanjeng Sultan" kata Ki Tumenggung.
Tumenggung Gajah Birawa melambaikan tangannya kepada para prajurit, kemudian dua perahu yang diidepan mulai berjalan kembali perlahan-lahan diikuti oleh perahu Kyai Garuda.
Enam orang prajurit masih mendayung perahu Kyai Garuda, Karebetpun masih mendayung sambil sekali-sekali matanya melirik ke arah Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka.
Sungai Tuntang menjadi semakin lebar, perahu Kyai Garuda sudah mulai masuk di daerah muara, sebentar lagi perahu sudah sampai di pantai.
Angin laut bertiup agak kencang, laut sudah semakin dekat, baju yang dipakai Karebet sudah agak kering, dan mereka berenam masih mendayung perahu Kyai Garuda.
Muara sungai Tuntang terlihat semakin lebar, jarak tepi sungai sebelah kiri dan tepi sebelah kanan menjadi semakin panjang.

Perahu Kyai Garuda masih terus bergerak meninggalkan muara sungai, dan perlahan-lahan menyusuri pantai dan debur ombak di pantai utara mampu sedikit menggoyang perahu Kyai Garuda.
Ketika terlihat beberapa pohon di tepi pantai, Kanjeng Sultanpun ingin beristirahat ditempat itu, lalu perahu Kyai Garuda segera didayung ke tepi, dua orang prajurit yang menggunakan galah bambu, mendorong perahu kepinggir.
Beberapa buah perahu yang mengiringi perahu kyai Garuda, yang berisi para prajurit beserta para sentana dalem segera menepi, dan semua penumpangnya turun ke tepi pantai.
Perahu-perahu tersebut kemudian ditambatkan pada sebuah kayu yang ditancapkan di pasir tepi pantai.
Setelah menurunkan para prajurit, sebuah perahu kecil segera di dorong dan ditempelkan pada perahu Kyai Garuda, untuk mengantar Kanjeng Sultan turun ketepi pantai, karena perahu Kyai Garuda tidak bisa sampai di tepi daratan.

Sebuah tangga kayu yang dibuat secara khusus telah dipasang menempel di dua perahu, untuk memudahkan perpindahan dari perahu Kyai Garuda turun ke perahu kecil.
Tumenggung Suranata turun ke perahu kecil, disusul oleh Kanjeng Sultan, kemudian diikuti oleh Kanjeng Prameswari, Sekar Kedaton dan Nyai Madusari dan dua orang emban, dan terakhir yang turun ke perahu kecil adalah Tumenggung Gajah Birawa.
Sesaat kemudian perahu itupun didorong ke arah daratan dan Kanjeng Sultanpun turun ke pasir pantai dan berjalan menuju kesebuah pohon di tepi pantai, diikuti oleh Kanjeng Prameswari dan Putri Sekar Kedaton.
Para prajurit pendayung perahu Kyai Garuda beserta pembawa songsong kerajaan, terpaksa turun terkena air laut yang dalamnya setinggi paha dan merekapun berjalan menuju pantai.
"Ini pakaianku yang baru, terpaksa jadi basah terkena air laut" kata seorang prajurit Wira Tamtama kepada Karebet yang berada disebelahnya.
"Pakaianku yang kupakai dari rumah dalam keadaan kering, lalu menjadi basah, baru saja kering, sekarang menjadi basah lagi " kata Karebet.
Lalu merekapun menuju tepian pantai, kemudian bersama-sama duduk berkelompok dibawah pohon.

Beberapa orang prajurit mendirikan empat buah bambu yang hanya saling berjarak tiga langkah, bagian atas bambu saling dihubungkan dengan bambu yang mendatar, lalu ditutup kain dan diikat dengan tali, maka jadilah sebuah bilik kecil.
Bilik yang tingginya sak-pengawe, dan didalam bilik kemudian digantungkan beberapa bumbung yang berisi air bersih.
Dibawah pohon, seorang prajurit menggelar tiga buah tikar yang terbuat dari anyaman tanaman sejenis pandan, serta meletakkan beberapa buah-buahan dalam sebuah mangkuk gerabah.
Diatas salah satu tikar yang digelar dibawah pohon, Kanjeng Sultan duduk bersama Kanjeng Prameswari, beserta Putri Sekar Kedaton, mereka menghirup udara laut yng segar dan menikmati debur ombak pantai utara, sedangkan disekeliling tempat itu, bertebaran para prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga, dan ditempat yang agak jauh berjaga pula para Prajurit Wira Braja.

Dua orang emban melayani segala kebutuhan Sultan Trenggana dan Kanjeng Prameswari, sedangkan keperluan Sekar Kedaton dilayani oleh Nyai Madusari.
Waktu berjalan terus, di langit, matahari merayap perlahan kearah barat, dan saat ini sudah menjelang tengah hari.
Ditepi pantai, tertambat enam buah perahu, dan sebuah perahu yang memakai songsong kerajaan dan mempunyai bendera Gula Kepala, Kyai Garuda yang canthiknya berukir kepala sebuah burung Garuda.
Duduk diatas tikar, Gusti Mas Cempaka sedang termenung, angan-angannya tidak bisa lepas dari seorang prajurit Wira Tamtama.
"Mau makan buah pepaya Ajeng?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Tadi sudah makan pisang Kanjeng ibu" jawab Sekar Kedaton.
"Air kelapa mudanya diminum dulu, cah Ayu" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya kanjeng ibu" kata Mas Cempaka.

Angin laut yang berhembus agak kencang, membuat kain bilik kecil sedikit bergoyang.
"Karebet berada dibawah pohon di samping perahu Wira Tamtama, dia pasti kelelahan setelah bertarung melawan buaya dan mendayung perahu dari kotaraja Demak sampai di sini, sekarang perutnya pasti sudah lapar" kata Sekar Kedaton dalam hati.
"Ajeng, kau mau makan sekarang cah ayu ? Kau sudah lapar ?" tanya Kanjeng Prameswari kepada Sekar Kedaton.
"Sudah, eh belum, eh sudah lapar Kanjeng ibu" jawab Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka.
"Kau melamun Ajeng ? Melamun apa ?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Anu Kanjeng ibu, kalau bandar Jepara dari daerah ini masih jauh ?" kata gusti Mas Cempaka.
"Ah kau, tumben bertanya tentang letak bandar Jepara" kata Kanjeng Prameswari.
Sekar Kedaton Putri Mas Cempaka terdiam, seperti kebingungan ketika harus menjawab pertanyaan dari Kanjeng Prameswari.
Sultan Trenggana lalu memerintahkan kepada Tumenggung Gajah Birawa untuk mempersiapkan bekal makan siang yang telah dibawa dari Demak dan diletakkan di salah satu perahu.
Ki Tumenggung lalu berjalan menuju perahu dan memerintahkan kepada prajurit untuk membawa makanan ke tempat Kanjeng Prameswari.

Beberapa makanan diletakkan diatas tikar, nasi dan beberapa ayam panggang, adapula beberapa tusuk burung belibis panggang, beberapa buah tomat dan ketimun.
"Emban, kau buat sambal lombok hijau" kata Kanjeng Prameswari. "Sendika Gusti" kata emban yang betubuh gemuk.
Embanpun lalu membuat sambal lombok ijo sambil matanya melirik le burung belibis panggang yang berada didalam piring gerabah yang diletakkan diatas tikar.
"Hm kelihatannya burung belibis panggang enak sekali kalau dimakan dengan sambal lombok ijo" kata emban yang bertubuh gemuk itu dalam hati, sambil sekuat tenaga menahan keinginannya yang bisa mengakibatkan air liurnya menetes.
"Kalau sampai menetes aku pasti dihukum berat, mungkin aku disuruh mendayung perahu sampai kotaraja Demak" kata emban yang bertubuh gemuk.
"Besok dirumah aku akan memasak burung belibis panggang dan membuat sambal lombok ijo, serta makan nasi yang masih hangat" katanya dalam hati.

Setelah semua makanan sudah siap, maka Tumenggung Gajah Birawa mencicipi semua makanan yang ada, ditunggu sesaat, setelah tidak ada reaksi apapun, maka Kanjeng Sultan, Kanjeng Prameswari dan Sekar Kedaton mulai menyantap makanannya.
"Emban, sambel lombok ijo buatanmu enak sekali" kata Kanjeng Prameswari memuji.
"Kasinggihan dawuh Gusti" jawab emban yang bertubuh agak gemuk sedikit berbangga, tetapi pandangannya tak lepas dari burung belibis panggang.
Sultan Trenggana sangat menikmati makanan yang disajikan, dan dilayani oleh Kanjeng Prameswari, sedangkan Gusti Sekar Kedaton, meskipun kelihatan sedang mengunyah makanan, pikirannya melayang pada seorang prajurit Wira Tamtama yang telah menawan hatinya.
Setelah Kanjeng Sultan selesai makan, maka tiba giliran Nyai Madusari dan para emban, serta para prajurit yang secara bergantian makan bekal yang memang sudah disiapkan untuk mereka.
"Ternyata jatahku makan siang hari ini memang bukan burung belibis panggang" kata emban yang bertubuh gemuk dalam hatinya.

"Tidak apa-apa, yang penting ada sambalnya" katanya sambil menyeka keringat di dahinya
"Ternyata kalau aku kalau sedang makan, tubuhku bisa berkeringat, tetapi kalau lagi kerja malah tidak keluar keringat" kata emban yang bertubuh gemuk kepada temannya.
Beberapa saat kemudian makan siangpun telah selesai, dan tubuh embanpun dihembus semilir angin laut, sehingga emban yang bertubuh gemukpun terkantuk-kantuk.
"Aneh, aku jadi heran, setiap selesai makan, aku pasti merasa mengantuk" kata emban itu kepada temannya.
"Tidurlah, kau akan ditinggal sendiri disini, paling temanmu nantinya hanya seekor burung bangau tong-tong" kata emban temannya.
Yang terlihat gelisah adalah Sang Putri Sekar Kedaton Mas Cempaka yang merasa tikar tempat duduknya terlalu jauh dari prajurit Wira Tamtama yang telah membikin dirinya mabuk kepayang.
Sekali-sekali ujung matanya masih mencari keberadaan Karebet diantara beberapa orang prajurit Wira Tamtama.

Ketika sekali lagi Putri Sekar Kedaton melihat debur ombak di pantai utara disertai hembusan angin laut, timbul keinginan Sang Bunga Cempaka untuk berlari menyusuri tepi pantai, berdua bersama Karebet.
"Pantai disini semuanya landai, betapa nikmatnya kalau bisa berlarian kesana kemari di pasir pantai bersama Karebet, lalu kaki kita direndam dan diusap alun ombak dari laut" kata Sekar Kedaton dalam hati.
Sang Surya sudah sedikit condong ke arah barat, debur ombak laut tak kenal lelah berkejaran ke arah daratan, Sultan Trengganapun memerintahkan segera kembali ke kotaraja Demak.
Beberapa prajurit segera membereskan beberapa peralatan makan dan melipat kain penutup ruang bilik, dan membawanya ke salah satu perahu.

Perahu-perahu sudah disiapkan, dan para prajurit sudah berada di dalam perahu masing-masing, kecuali perahu kecil yang akan dipakai oleh Kanjeng Sultan untuk mendekat dan naik ke perahu Kyai Garuda.
Ketika semua sudah naik ke perahu, senyum Sang Bunga Cempaka telah mengembang, karena melihat Karebet sudah berada dekat dengannya, dengan memegang sebuah dayung.
Tumenggung Gajah Birawa memerintahkan kepada prajurit untuk segera mendayung, dan perlahan-lahan perahu Wira Tamtama dan perahu Wira Braja bergerak maju, disusul dibelakangnya perahu Kyai Garuda pelan-pelan memasuki muara sungai Tuntang.
Tidak seperti pada saat berangkat, sekarang perahu Kyai Garuda bergerak kearah selatan, perlahan-lahan dan berkelok menyusuri sungai Tuntang.
Meskipun perlahan, waktu merayap terus, perahu sudah hampir sampai di kotaraja Demak. "Duh sudah sampai kotaraja, cepat sekali, aku ingin lebih lama di perahu" kata Putri Sekar Kedaton didalam hatinya.

Matahari sudah hampir tenggelam ketika perahu merapat ke tepi sungai, dijalan yang menuju Kraton.
Setelah perahu merapat ke tepi sungai, semuanya turun dari perahu dan berkumpul di jalan yang menuju Kraton, dan semuanya membentuk sebuah barisan kembali, sama seperti waktu berangkat.
Arya Penangsangpun sudah berada dibelakang Karebet, duduk diatas punggung kuda hitamnya, Gagak Rimang.
Didepan sendiri telah bersiap Tumenggung Suranata, dan ketika terdengar suara bende dipukul, maka berjalanlah Tumenggung Suranata sebagai cucuk lampah barisan.
Karebetpun masih berjalan disebelah joli jempana putri Kanjeng Sultan.

"Kakang Karebet" kata Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri" kata Karebet.
"Kau lelah kakang" kata Sang Putri.
"Sedikit Gusti Putri" jawab Karebet.
"Kakang Karebet, bagaimana caranya supaya kita bisa sering bertemu?" tanya Mas Cempaka perlahan takut kedengaran yang lain.
"Aku tidak tahu Gusti Putri" kata Karebet.
Mereka berdua terdiam dan keduanya tidak menemukan jawaban yang bisa membuatnya merasa puas.
"Kapan kakang Karebet tugas berjaga didepan Kaputren?" tanya Sekar Kedaton Putri Mas Cempaka.
"Saya tidak tahu Gusti Putri" jawab Karebet.

Rombongan berjalan terus, sudah terlihat pintu gerbang Kraton sebentar lagi akan masuk ke dalam halaman Kraton.
"Duh cepat sekali, rasanya belum puas bisa berbicara dengan kakang Karebet" kata Putri Bunga Cempaka Kraton Demak.
Karebet hanya tersenyum kepada Sekar Kedaton, dan senyum itu yang telah membuat Sang Putri menjadi tidak bisa tidur.
Rombongan telah memasuki halaman Kraton dan berhenti didepan Sasana Sewaka, Kanjeng Sultan telah turun dari kudanya, Kanjeng Prameswari dan Sekar Kedaton juga telah turun dari joli jempana, dan Tumenggung Gajah Birawa mengantar Kanjeng Sultan memasuki ruang dalam Kraton.
Beberapa saat kemudian Tumenggung Gajah Birawa keluar dari ruang dalam dan membubarkan para prajurit, sedangkan tandu dan perahu dikembalikan ke tempat penyimpanan oleh beberapa prajurit yang tidak ikut ke pantai..

Karebetpun lalu pulang ke dalem lor, untuk beristirahat, mandi dan tidur nyenyak setelah sehari penuh melaksanakan tugasnya sebagai seorang prajurit Wira Tamtama.
Malam itu bintang-bintang diangkasapun masih setia berkedip, dan di kotaraja Demak, banyak prajurit yang tertidur pulas hingga tidak mendengar suara kentongan yang ditabuh dengan nada dara muluk yang terdengar sampai diseluruh wilayah kotaraja Demak.

Malam sudah sampai pada ujungnya, Sang Surya mengintip dibalik cakrawala bang wetan, menggantikan tugas Sang Candra yang tanpa merasa lelah telah menyinarkan sinarnya yang redup ke seluruh pelosok bumi.
Burungpun berkicau bersahutan menyambut datangnya pagi.
Karebet, sebagai seorang prajurit Wira Tamtama yang bertugas mengawal raja dan keluarganya, berjalan menuju tempatnya bertugas, Kraton Demak.
Langkahnya ringan karena atas limpahan kasih Kanjeng Sultan, hari ini dia telah dinaikkan pangkatnya menjadi seorang lurah Wira Tamtama.
Di ruangan Wira Tamtama yang terletak didalam Kraton, Tumenggung Gajah Birawa telah memberikan kepada Karebet, selembar selendang cinde yang berwarna merah untuk dipakai sebagai rangkapan sabuk bagian dalam, sebagai tanda kelengkapan pakaian seorang lurah Wira Tamtama.

Malam harinya, di dalem Suranatan, paman Karebet, Ganjur, sedang beristirahat didepan rumah, setelah sehari penuh bekerja membersihkan halaman dalem Suronatan.
Ganjur duduk disebuah lincak bambu, bertelanjang dada, menikmati angin semilir di malam hari.
"Sudah agak lama Karebet tidak menengok pamannya yang telah tua ini" kata Ganjur seorang diri:
"Mudah-mudahan Karebet menjadi senang setelah tercapai keinginannya menjadi seorang Prajurit Wira Tamtama" kata Ganjur didlam hati
Pada saat yang bersamaan, di pintu gerbang dalem Suranatan, seseorang yang berpakaian lurah Wira Tamtama sedang berjalan menuju tempat tinggal Ganjur, dan ketika dia melihat pamannya sedang duduk termenung, maka langkahnya dibuat supaya tidak bersuara, berlindung dibawah bayangan pohon, perlahan-lahan dan hati-hati dia menuju tempat pamannya yang sedang duduk di depan rumahnya.
"Kalau Karebet mendapat kesempatan pulang ke Tingkir, aku mau ikut pulang ke desa" kata Ganjur dalam hati.

Tetapi tiba-tiba Ganjur terloncat hampir terjatuh, ketika didepannya secara tiba-tiba tanpa diketahui dari mana datangnya, telah berdiri seorang berpakaian lurah Wira Tamtama.
"Kau..." kata Ganjur dengan suara seperti orang yang hampir tercekik. "Ya paman, aku Karebet" kata Karebet.
"Kau Karebet, kau masih senang membuat pamanmu menjadi kaget, ayo masuk dulu" kata Ganjur.
Setelah keduanya masuk kedalam ruangan, baru terlihat jelas pakaian yang dipakai Karebet sekarang tidak seperti yang biasanya dipakai.
"Sabuk itu, kain cinde itu...."kata Ganjur terbata-bata.
"Ada apa dengan sabukku paman?" tanya Karebet.
"Kau memakai kain cinde berwarna merah" kata Ganjur.
"Ya paman, ada apa dengan kain cinde berwarna merah yang sekarang kupakai?" tanya Karebet.
"Kau telah menjadi seorang Lurah Wira Tamtama?" tanya Ganjur
"Ya paman"
"Aneh, kenapa bisa jadi begini? Cepat sekali" kata Ganjur seperti kepada diri sendiri.
(bersambung)