Senin, 22 September 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 21

KERIS KYAI SETAN KOBER 21

BAB 8 : BABAT ALAS 2

Karya : Apung GWAP

Lintang panjer rina masih bersinar cemerlang, mengalahkan ribuan bintang lainnya, tak lama kemudian langit telah semburat berwarna merah, fajarpun menyingsing di langit sebelah timur.
Langit semakin lama menjadi semakin terang, ketika seekor kuda berlari keluar dari desa Jipang menuju ke arah selatan.
Penunggang kuda itu, Rangkud, seorang abdi setia Arya Penangsang, berkuda menuju lereng gunung Lawu, langit yang semakin terang dan udara yang masih dingin, membuatnya melarikan kudanya tidak begitu cepat,
"Dingin" kata Rangkud dalam hati.
"Mudah-mudahan nanti sore sudah bisa sampai di padepokan Sekar Jagad di lereng gunung Lawu. Panembahan Sekar Jagad memang orang yang pilih tanding, ilmunya tak terlawan. Kakak seperguruan paman Matahun itu mempunyai banyak murid yang setiap hari dilatih olah kanuragan" kata Rangkud dalam hati.

Rangkudpun masih berangan-angan :"Alangkah kuatnya Kadipaten Jipang, kalau Ki Matahun nanti bisa menarik Panembahan Sekar Jagad ke pihak Jipang. Bagaimanapun juga Raden Penangsang adalah putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen, andaikan Pangeran Sekar dahulu tidak dibunuh orang, tentu sekarang Raden Penangsang sudah menjadi Sultan Demak. Hm pangeran Sekar Seda Lepen, Pangeran Sekar yang meninggal ditepi sungai, ........." dan angan-angan Rangkudpun melambung tinggi

"Kanjeng Sultan Trenggana adalah orang yang berilmu tinggi. Di seluruh bumi Demak, susah untuk mencari orang yang mampu mengimbangi ilmu Kanjeng Sultan Trenggana. Andaikan setelah Sultan Trenggana meninggal, lalu yang menjadi Sultan adalah dari trah Sekar Seda Lepen, tentu Raden Penangsang yang akan menjadi Sultan Demak. Jalan masih panjang bagiku untuk menjadi seorang Tumenggung" kata Rangkud sambil tersenyum di dalam hati.
Rangkudpun masih menjalankan kudanya tidak begitu cepat, menembus dinginnya udara pagi menuju arah selatan, ke lereng gunung Lawu.

Sementara itu, di bulak amba Pajang, sejak fajar menyingsing, sudah ada kegiatan. Dua orang juru adang sudah menanak nasi, untuk bekal puluhan orang yang bekerja di beberapa tempat.
Didepan gubug, Lurah Wiguna sudah mulai mengatur untuk mengerjakan pekerjaan hari ini.
"Pengurugan tanah calon dalem Kadipaten dan ruang Paseban kemarin sudah selesai, hari ini kita akan membangun sebuah gubug lagi. Nanti tiga orang akan bekerja disini membuat gubug, sedangkan sepuluh orang akan tetap bekerja mencetak bata mentah dipimpin oleh Mas Manca, sedangkan Ki Wuragil dan Jaka Wila masih tetap membuat ompak di Pengging" kata Lurah Wiguna mengatur orang-orang yang akan bekerja.

Wuragilpun mendekat kepada Lurah Wiguna dan bertanya :"Ki Lurah, nanti kayu jati yang akan dibuat saka, kira-kira ukurannya sebesar apa?"
"Kayu saka nya kita tebang yang sebesar sepelukan orang, nanti kita haluskan, jadi bisa agak lebih kecil sedikit" jawab Lurah Wiguna menerangkan.
Mendengar penjelasan Ki Lurah, Wuragilpun menganggukkan kepalanya :"Sepelukan orang"
"Orang-orang yang kemarin ikut mengurug, nanti semuanya ke hutan jati, nanti ada yang membuat tali dan membuat kayu pengungkit, kalau kayunya sudah bisa keluar dari hutan, akan lebih mudah membawanya, karena bisa dengan cara diungkit" kata Ki Lurah.
"Kalau jalannya dari hutan ke arah bulak amba sudah rata, mengungkit kayu bisa menjadi lebih mudah dan cepat, apalagi kita mempunyai tenaga yang banyak" kata Lurah Wiguna..

Ketika langit sudah benar-benar terang, semakin banyak rakyat Pajang yang akan ikut gugur gunung.
Merekapun banyak yang datang dengan membawa alat-alat yang mereka miliki.
Juru Martani memotong sebuah bambu sepanjang satu depa, lalu ditancapkan di lantai gubug, setelah itu landeyan tombak Kyai Penatas dimasukkan didalam bumbung, sehingga tombak itupun bisa tersimpan dalam keadaan berdiri.
Ketika bekal makanan yang untuk puluhan orang yang bekerja di hutan sudah siap, maka makananpun diletakkan diatas dua buah tandu dari bambu yang masing-masing dipikul oleh empat orang.
Sesaat kemudian puluhan orang berangkat ke hutan disebelah barat Pajang, termasuk Pemanahan dan Penjawi yang ternyata sudah membawa kapak yang berukuran besar, sedangkan di belakangnya berjalan Sutawijaya bersama pamomongnya, Juru Martani.

Mas Manca bersama sepuluh orang lainnya, setelah menerima bekal makanan dari juru adang, segera berangkat ke wetan kali untuk melanjutkan pekerjaan mencetak bata. Kemudian Wuragilpun mempersiapkan lima ekor kuda, yang akan membawanya ke rumah Truna Ompak di Pengging.
Sesaat kemudian setelah menerima bekal, maka berderaplah beberapa ekor kuda meninggalkan bulak amba Pajang menuju Pengging.
Di depan gubug, tiga orang yang ditunjuk oleh Ki Lurah untuk membuat gubug baru juga mulai bekerja, mereka memotong beberapa bambu dan mencari daun-daun kelapa untuk dijadikan atap gubug.
Karebetpun mendekati Tumpak dan Banu, yang membantu memotong bambu untuk tiang gubug.
"Tumpak dan Banu, kalian masih lama berada disini ?" tanya Karebet ketika sudah berada disebelah Tumpak.
"Tergantung Ki Lurah Wiguna, kalau Ki Lurah memerintahkan kami pulang, maka kamipun segera pulang, tetapi selama ini para bebahu di Pajang tidak ada yang mbalela terhadap titah Kanjeng Sultan, sehingga kamipun disini tidak punya kerjaan" kata prajurit Wira Manggala, Banu, sambil tersenyum.

Karebetpun juga tersenyum mendengar canda Banu, sedangkan Tumpakpun tertawa perlahan.
"Kalau ada yang mbalela, yang bertempur paling terakhir adalah saya" kata Tumpak.
Mendengar kata Tumpak, Banupun terlihat tersenyum.
Karebetpun membantu pembuatan gubug, iapun berjalan ke rumpun bambu, dengan pedang pendeknya, Karebet memotong bambu beberapa buah, lalu bambu itupun dibawanya ke dekat gubug.
Matahari terus naik hampir mencapai puncak langit, beberapa orang masih bekerja membuat atap dari daun kelapa yang dijepit dengan potongan bambu tipis.
Ketika Karebet bersama beberapa orang sedang bekerja, terlihat dua orang menuntun dua ekor kuda yang di kanan kiri punggungnya terdapat beban yang besar mendekati gubug di bulak amba.
Karebetpun kemudian berjalan menyambut kedua orang berkuda yang baru saja datang.
"Kami dari Banyubiru, diutus oleh Ki Buyut Banyubiru" kata salah seorang dari mereka.
"Ya Ki Sanak, silahkan masuk, silahkan istirahat dulu di dalam gubug, atau kalau mau membersihkan diri, di sebelah gubug ada sungai kecil" kata Karebet, dan kepada Banu, iapun berkata :"Banu, bantu aku menurunkan beban ini dari punggung kuda"
Banupun bergegas, berdua dengan Karebet iapun menurunkan beban yang bergelantungan di punggung kuda.

Setelah menurunkan beban dari punggung kuda, maka Banupun kemudian membantu memberi minum kuda-kuda yang kelelahan.
Beberapa saat kemudian Karebetpun bersiap untuk melihat pekerjaan lainnya.
"Tumpak, aku akan pergi bekeliling dulu" kata Karebet, lalu iapun menuntun kudanya ke depan gubug.
"Ya, silahkan" jawab Tumpak :"Disini masih ada aku dan Banu, ada pula tukang adang yang berada di gubug sebelah"
"Tumpak, di dalam gubug ada sebuah tombak pusaka milik Ki Pemanahan, tolong dijaga, jangan sampai hilang" kata Karebet.
"Baik" kata Tumpak menyanggupi.
"Sekarang aku akan menengok orang-orang yang sedang bekerja mencetak bata" kata Karebet, lalu setelah itupun ia naik ke punggung kuda, dan melarikan kudanya ke wetan kali.

Karebet melarikan kudanya tidak begitu kencang, udara yang panas disiang hari pada musim kemarau, membuat udara menjadi kering.
Kaki-kaki kuda terus menapak di jalanan dan beberapa saat kemudian sampailah Karebet di wetan kali, dilihatnya Mas Manca dan beberapa orang lainnya sedang mencetak bata.
Di dekatnya, berjejer ratusan tanah liat yang sudah dicetak menjadi bata mentah, yang sedang dijemur di bawah terik matahari.
Mengetahui yang datang kepadanya adalah Karebet, maka Mas Mancapun kemudian menghentikan pekerjaannya dan berdiri menunggu Karebet.
"Tadi di gubug datang dua orang yang diutus oleh Ki Buyut Banyubiru" kata Karebet setelah ia berada didekat Mas Manca.
"Ya" kata Mas Manca:" Mereka membawa beras dan jagung, dua orang yang menuntun kuda yang membawa beban adalah tukang kayu dari Banyubiru"
"Hari ini mereka biar istirahat dulu, besok saja mereka bekerja memotong pohon"
"Ya" kata Mas Manca.
"Aku akan ikut bekerja mencetak bata" kata Karebet sambil tersenyum.
"Silahkan" kata Mas Manca
 Sesaat kemudian Karebetpun ikut bekerja menginjak-injak tanah liat, setelah itu iapun tanpa kenal lelah ikut mencetak tanah liat dan menjemur bata mentah, iapun terus bekerja sampai matahari sudah mulai condong ke barat.

Sementara itu, sinar matahari yang telah condong kebarat menerobos diantara daun-daun pepohonan di lereng gunung Lawu.
Seorang penunggang kuda dengan susah payah berjalan mendaki lereng gunung Lawu, menuju padepokan Sekar Jagad.
Penunggang kuda itu, Rangkud, mendongakkan kepalanya, pandangannya tertuju kepada sinar matahari yang semakin rendah .
"Sebentar lagi aku akan sampai di poadepokan Sekar Jagad, mudah-mudahan matahari belum tenggelam" kata Rangkud dala hati.
Rangkudpun masih menjalankan kudanya, mendaki dijalan yang terjal, sempit dan berbelok tajam.
"Untung saja saat ini musim kemarau, kalau saat ini musim penghujan, jalan terjal ini pasti licin sekali. Hm kelihatannya hampir sampai, tempat padepokan berada dibawah telaga, di lereng gunung Lawu" kata Rangkud sambil terus menjalankan kudanya.
Beberapa saat kemudian kudanyapun memasuki gerbang halaman padepokan Sekar Jagad, kemudian Rangkudpun turun dari kudanya, lalu kudanya dituntun masuk ke dalam padepokan.
Ketika baru berjalan beberapa langkah, dilihatnya seorang pemuda sedang membawa sebuah bumbung besar yang berisi air.

Ketika melihat Rangkud, pemuda itupun berhenti dan kemudian berjalan mendekati Rangkud.
"Ki Sanak, cantrik disini ?" tanya Rangkud setelah berhadapan dengan pemuda itu.
"Ya" jawab cantrik itu sambil memandang Rangkud.
"Ki Sanak, Panembahan Sekar Jagad ada di pedepokan?" tanya Rangkud
"Ada, Panembahan sedang di sanggar, Ki Sanak berasal dari mana ?" tanya cantrik itu.
"Tolong sampaikan kepada Panembahan Sekar Jagad, saya bernama Rangkud, berasal dari Jipang, ada pesan dari Ki Matahun untuk Panembahan sekar Jagad" kata Rangkud,
"Baik, akan saya sampaikan kepada Panembahan, Ki Rangkud menunggu didepan saja" kata cantrik itu sambil meletakkan bumbungnya, lalu iapun berjalan menuju sebuah rumah yang berada diatas tanah yang tinggi.

Matahari semakin turun ke cakrawala barat, langitpun semakin redup, ketika cantrik itu keluar dan menghampiri ke arah Rangkud
"Ki Rangkud, dipersilahkan membersihkan diri dulu, setelah itu silahkan menemui Panembahan Sekar Jagad di ruang dalam, kudanya nanti biar saya yang merawat" kata cantrik, lalu iapun meminta tali kendali kuda dan menuntunnya, lalu mengikatnya di sebuah pohon.
"Ki Sanak, padepokan ini seperti kelihatan sepi, berapa orang murid perguruan Sekar Jagad?"
"Murid perguruan Sekar Jagad lebih dari lima puluh orang, sekarang mereka semuanya sedang berlatih di hutan di sebelah telaga" kata cantrik itu.
Mereka berdua menuju ke sebuah bangunan, dan cantrik itupun menunjukkan kepada Rangkud, tempat untuk membersihkan diri.
"Sumurnya dibelakang" kata cantrik, tangannya lalu menunjuk ke arah sumur di belakang bangunan.
Agak lama Rangkud membersihkan dirinya, gelap menyelimuti lereng gunung Lawu, udara dingin terasa menusuk tulang, Rangkudpun berjalan menuju kesebuah ruangan yang diterangi oleh sebuah lampu minyak.
Ketika Rangkud berada di depan pintu, terdengar suara dari dalam ruangan :"Masuklah Rangkud"
Rangkudpun kemudian memasuki ruangan dan didalam ruangan ada seorang laki-laki yang duduk disebuah amben.

Seorang laki-laki yang sudah tua, sorot matanya tajam, berambut putih, panjang hingga menyentuh pundak, berjenggot panjang berwarna putih, memakai pakaian berwarna gelap, memakai ikat kepala berwarna hitam.
"Duduklah Rangkud" kata Panembahan Sekar Jagad, suaranya masih keras.
Rangkudpun duduk, lalu terdengar suara Panembahan :"Bagaimana kabarmu Rangkud, selamat?"
"Atas doa restu Panembahan, saya selamat" jawab Rangkud.
"Bagaimana kabar anakmas Penangsang dan adikku Matahun"
"Semua baik Panembahan" jawab Rangkud.
"Kabar apa yang kau bawa dari Jipang, Rangkud ?" tanya Panembahan Sekar Jagad.
"Panembahan, sebentar lagi Raden Penangsang akan diwisuda menjadi Adipati Jipang" kata Rangkud, lalu iapun bercerita tentang pembangunan dalem Kadipaten dan ruang Paseban yang saat ini sedang kekurangan tenaga.
"Lalu apa pesan Matahun kepadaku ?" tanya Panembahan Sekar Jagad.
"Paman Matahun dan raden Penangsang mohon bantuan Panembahan Sekar Jagad, untuk mengirim murid-murid perguruan Sekar Jagad sebanyak tiga puluh orang untuk ikut membantu pembangunan dalem Kadipaten Jipang" kata Rangkud.
"Tiga puluh orang?" tanya Panembahan Sekar Jagad.
"Ya panembahan, tiga puluh orang"
"Baik Rangkud, silahkan kau istirahat di ruangan yang telah disediakan cantrik, malam ini permintaan Raden Penangsang akan aku pertimbangkan, besok pagi kita lanjutkan pembicaraan ini" kata Panembahan Sekar Jagad.
"Terima kasih Panembahan" lalu Rangkudpun keluar menuju ruang yang telah disediakan untuknya.

Malam itu lereng gunung lawu diselimuti kabut, udara terasa dingin menusuk tulang, diluar padepokan, seluruh hutan terlihat gelap, tidak terlihat adanya sinar, hanya kerlip bintang yang kadang-kadang terlihat menerobos di sela daun-daun pepohonan.
Keesokan harinya, suasana Padepokan menjadi ramai, murid-murid perguruan Sekar Jagad, baru saja kembali dari berlatih ilmu kanuragan di dalam hutan dekat sebuah telaga di lereng gunung Lawu.
Setelah Rangkud membersihkan dirinya, seorang cantrik datang kepadanya, menyuruhnya menghadap Panembahan diruang dalam.
Rangkudpun kemudian berjalan menuju ruang dalam, tempat Panembahan Sekar Jagad menerimanya tadi malam, dan ketika Rangkud tiba didepan ruangan Panembahan, maka diapun disuruh masuk oleh Panembahan.
Ketika Rangkud masuk ke ruangan, suasana masih seperti kemarin, didalam ruangan, Panembahan Sekar Jagad sedang duduk disebuah amben, Panembahan tua berambut putih yang panjangnya sebahu dibiarkan terurai, berjenggot putih, berpakaian dan memakai ikat kepala warna gelap.
"Duduklah Rangkud" kata Panembahan.
Rangkudpun kemudian mengambil sebuah dingklik yang berada di sudut ruangan, dan iapun duduk disitu.
"Cantrik !" panggil Panembahan kepada seorang cantrik yang menunggu diluar.

Seorang cantrik masuk keruangan, lalu Panembahanpun berkata :"Panggil Soreng Rana, suruh dia datang kemari sekarang"
Cantrik itupun berjalan keluar ruangan, dan tak lama kemudian masuklah seorang murid utama Panembahan Sekar Jagad yang sudah dianggap sebagai pemimpin dari murid-murid perguruan di lereng gunung Lawu itu.
"Kau Soreng Rana, duduklah" kata Panembahan mempersilahkan Soreng Rana duduk di dingklik.
"Soreng Rana, tadi malam Rangkud baru datang dari Jipang, ada permintaan dari Raden Penangsang dan adik seperguruanku, Ki Mantahun, supaya kita mengirim tiga puluh orang untuk membantu pembangunan dalem kadipaten, dan setelah semalam saya pertimbangkan, permintaan Raden Penangsang akan aku penuhi, tetapi dengan sebuah syarat".
"Apa syaratnya Panembahan" tanya Soreng Rana.
"Kita akan mengirim tiga puluh orang, tetapi orang-orang dari perguruan Sekar Jagad semuanya harus diangkat menjadi prajurit Jipang tanpa melalui pendadaran" kata Panembahan Sekar Jagad. "Kalau semua murid-murid perguruan Sekar Jagad berangkat ke Jipang, lalu bagaimana dengan Padepokan ini Panembahan?" tanya Soreng Rana yang mengkhawatirkan padepokannya menjadi sepi.
"Kalau sebagian besar murid-murid perguruan Sekar Jagad nanti menjadi prajurit Jipang, maka nanti akan ada lagi yang pemuda-pemuda yang datang ke padepokan ini, yang ingin menjadi murid perguruan Sekar Jagad" kata Panembahan Sekar Jagad.

"Nah Rangkud, kau berangkatlah ke Jipang terlebih dulu, mumpung masih pagi, besok sebanyak tiga puluh orang murid-murid perguruan Sekar Jagad akan berangkat ke Jipang dipimpin oleh Soreng Rana, jangan lupa kau bilang kepada Raden Penangsang, tiga puluh orang itu supaya diangkat menjadi prajurit Kadipaten Jipang" kata Sang Panembahan.
"Baik Panembahan" jawab Rangkud.
"Masa depan Jipang kelihatannya cerah, siapa tahu nanti ada beberapa murid perguruan Sekar Jagad yang diangkat menjadi Tumenggung di Jipang" kata Panembahan.
Mendengar perkataan Panembahan Sekar Jagad, Rangkudpun mengangkat mukanya sambil berguman:" Di dalam sebuah kerajaan, pangkat Tumenggung bisa saja ada enam atau tujuh orang"
"Saya mohon pamit Panembahan"kata Rangkud :'Setelah ini saya akan terus pulang ke Jipang".
Rangkudpun kemudian pamit untuk keruangannya semula, bersiap-siap untuk melakukan perjalanan lagi, pulang ke Jipang.
"Cantrik !"panggil Panembahan Sekar Jagad.
Cantrikpun masuk kedalam ruangan, menanti perintah Panembahan.
"Kau urus semua keperluan Rangkud yang mau pulang ke Jipang" kata Panembahan.
"Baik Panembahan" jawab cantrik,dan iapun berjalan menuju ruangan tempat Rangkut tidur tadi malam.
Lalu kepada Soreng Rana, Panembahan Sekar Jagad memerintahkan :"Nanti sore kumpulkan semua murid perguruan Sekar Jagad, aku akan berbicara kepada mereka".
"Baik Panembahan" lalu Soreng Ranapun berjalan keluar dari ruangan Panembahan Sekar Jagad.

Matahari terus memanjat naik di langit sebelah timur, seekor kuda perlahan-lahan menuruni jalan berbatu yang berada di lereng gunung Lawu, menuju arah utara.
Penunggangnya, Rangkud, saat ini dalam perjalanan pulang ke Jipang, setelah permintaan yang disampaikannya disanggupi oleh Panembahan Sekar Jagad.
"Hm kenapa Panembahan mau mengirim murid-muridnya untuk membantu Jipang, tetapi mengajukan sebuah syarat ?" kata Rangkud dalam hati.
"Ah, biarlah, itu urusan Raden Penangsang dan Ki Matahun" kata Rangkud dalam hati.
Matahari terus memanjat naik, semakin lama semakin tinggi, ketika Rangkud sudah keluar dari daerah gunung Lawu.

Sementara itu di Pajang, pekerjaan babat alas masih terus dilakukan, mereka meneruskan pekerjaan yang dilakukan kemarin.
"Tumpak, hari ini aku akan menengok pembuatan ompak di Pengging" kata Karebet kepada Tumpak ketika mereka berbincang didepan gubug.
"Silahkan" kata Tumpak, beberapa saat kemudian seekor kuda berlari dari bulak amba menuju Pengging.
Matahari semakin tinggi, ketika seekor kuda yang berlari menuju Pengging telah meninggalkan Pajang jauh di belakang, penunggang kuda itu, Karebet, memang tidak tergesa-gesa, apalagi jarak dari Pajang ke Pengging tidak begitu jauh.
Ketika kuda itu memasuki desa Pengging, desa kelahirannya, maka Karebetpun memperlambat lari kudanya, dan ketika sampai dijalan bercabang, maka Karebetpun mengambil jalan yang menuju kerumahnya, bukan jalan yang menuju rumah Truna Ompak, didekat jalan yang menuju umbul Pengging.
Perlahan-lahan, kuda Karebet berjalan menuju rumahnya, rumah ayahnya, Kebo Kenanga yang disebut juga Ki Ageng Pengging, rumah yang saat ini hanya ditunggu oleh seorang laki-laki tua, pembantu ayahnya yang setia Ki Purwa.

Di desa Pengging, rumah Ki Ageng Pengging adalah termasuk rumah yang berukuran cukup besar, rumah itu jarang ditengok oleh Karebet maupun oleh siwanya, Kebo Kanigara yang tidak diketahui dimana tempat tinggalnya sekarang.
Kuda Karebet berjalan memasuki halaman rumahnya, halaman yang luas, sesuai dengan rumah peninggalan ayahnya yang besar.
Di depan pendapa, Karebet berhenti, belum juga Karebet turun dari kuda, maka dari samping rumah keluar orang tua yang menjaga rumah, menyambutnya dengan suara bergetar :"Aku dengar kau akan diangkat menjadi Adipati Pajang ngger Karebet"
Karebetpun segera turun dari kudanya, dan sambil tersenyum iapun menjawab :"Siwa mendengar dari mana?"
"Kabar ini sudah menyebar, setiap orang Pengging sudah tahu kalau angger akan menjadi Adipati Pajang, kemarin Truna Ompak wara-wara ke semua penduduk Pengging" kata Ki Purwa.
Karebet menganggukkan kepalanya:"Ya wa, memang aku akan diangkat sebagai Adipati Pajang"
"Berarti yang dikatakan Truna Ompak itu benar" kata Ki Purwa.
"Ya" kata Karebet, lalu iapun melanjutkan:"Kalau siwa Kebo Kanigara kapan terakhir datang kemari ?"
"Beberapa saat setelah angger pergi dari Pengging beberapa candra yang lalu, anakmas Kanigara memang pernah kemari, tetapi sampai sekarang tidak pernah kemari lagi" kata Ki Purwa bercerita.

Karebetpun naik ke pendapa diikuti oleh ki Purwa, pembantu ayahnya yang setia :"Aku ambilkan air ngger"
"Tidak usah wa, aku cuma sebentar, nanti aku akan ke rumah Truna Ompak" kata Karebet sambil duduk di pendapa diiikuti oleh pembantu ayahnya.
"Ya, Truna Ompak bilang kalau ia membuat banyak ompak untuk dalem Kadipaten di Pajang" kata pembantunya.
"Ia membuat ompak bersama dengan beberapa orang dari Pajang" kata Karebet, lalu selama beberapa saat mereka berdua berbincang di pendapa, sampai akhirnya Karebetpun pamit akan kerumah Truna Ompak.
Setelah berpamitan, Karebet segera berada di punggung kudanya dan menjalankannya menuju rumah Truna Ompak didekat umbul Pengging.
Karebet yang sudah tahu letak rumah Truna Ompak, menjalankan kudanya berbelok di suatu halaman yang banyak terdapat batu-batu tergeletak di sudut halaman, yang akan dibuat menjadi ompak.
Di halaman dsamping rumah, terdapat beberapa kuda yang di ikat di beberapa tonggak yang tertanam rapi.
Di bawah pohon, Truna Ompak bekerja menatah batu menjadi ompak, dibantu Wuragil, Jaka Wila dan beberapa orang Pajang yang sudah trampil membuat ompak.
Truna Ompak, Wuragil, dan Jaka Wila yang melihat Karebet mendatanginya, lalu merekapun berdiri menyambutnya.

Karebetpun segera turun dari kudanya, lalu kendali kudanya diminta oleh Jaka Wila untuk ditambatkan bersama kuda-kuda yang lain.
"Selamat datang calon Adipati Pajang" kata Truna Ompak sambil tertawa.
Karebetpun tertawa, lalu merekapun duduk bersama di bawah pohon di halaman depan.
"Sudah ada beberapa ompak yang sudah jadi" kata Karebet ketika melihat beberapa ompak yang sudah jadi.
"Ya" kata Truna Ompak :"Tiga empat pasar lagi semua ompak yang dibuat, sudah selesai dikerjakan"
"Kalau semuanya sudah selesai dikerjakan, ompaknya bisa di angkut ke Pajang dengan menggunakan pedati, nanti pedatinya bisa mengangkut ulang tiga empat kali" kata Karebet.
"Masih agak lama, tiga empat pasar lagi" kata Truna Ompak sambil neneruskan pekerjaannya.
Karebetpun kemudian ikut bekerja membuat ompak, dipinjamnya tatah batu milik Truna Ompak, lalu Karebetpun ikut menatah batu yang berasal dari muntahan gunung Merapi ketika meletus.

Matahari bergerak terus kebarat, dihalaman rumah Truna Ompak, beberapa orang masih sibuk membuat ompak.
Sementara itu, disebelah utara gunung Lawu, seekor kuda berderap ke arah utara, meninggalkan debu-debu di belakang kakinya, gunung Lawu sudah jauh ditinggalkan di belakangnya.
"Setelah hari menjadi gelap, aku baru sampai di Jipang" kata penunggangnya, Rangkud, abdi setia dari Arya Penangsang.
Senja telah menjelang, perlahan-lahan Rangkudpun semakin mendekati Jipang.
Gelap telah menyelimuti bumi Jipang, ketika seorang pembantu di rumah Penangsang meyalakan api ditempat gerabah kecil, yang diisi dengan minyak lemak binatang.
Nyala api yang lemah, menggapai, sinarnya menyentuh wajah tiga orang yang sedang duduk di ruang dalam.
"Paman Matahun dan kau Mataram" kata Penangsang kepada dua orang yang sedang duduk didepannya, Ki Matahun dan adiknya Arya Mataram.
Ki Matahun dan Arya Mataram menundukkan kepalanya, mereka siap mendengarkan perkataan calon Adipati Jipang, Arya Penangsang.
"Ternyata kita memang kekurangan tenaga, kalau kita hanya mengandalkan tenaga dari Ki Kerta dan kawan-kawannya meskipun dibantu oleh puluhan rakyat Jipang yang gugur gunung, kelihatannya enam candra kita baru selesai membuat dua buah bangunan itu" kata Arya Penangsang.
"Ya Raden" kata Ki Matahun.
"Aku sangat mengharapkan bantuan dari Panembahan Sekar Jagad, untuk mengirim orangnya kemari" kata Penangsang.
"Ya raden, kalau ada tiga puluh orang lagi, maka pembuatan dalem Kadipaten dan ruang Paseban bisa selesai tepat waktu" kata Ki Matahun.

Setelah berkata demikian, telinga Ki Matahun dan Arya Penangsang yang tajam, mendengar derap kuda yang berlari mendekat ke rumahnya.
"Mataram" kata Penangsang:"Coba kau lihat siapa yang berkuda menuju kemari".
Arya Matarampun kemudian bangkit, berjalan keluar ruangan, lalu iapun turun dari pendapa dan berdiri di halaman rumah, menunggu penunggang kuda yang sedang menuju ke rumahnya.
Seekor kuda dengan penunggang yang sudah dikenalnya memasuki halaman rumah, lalu penunggangnya itupun turun dan mengikat kudanya pada tonggak yang ada di samping rumah.
"Rangkud, kau sudah ditunggu kakangmas Arya Penangsang" kata Arya Mataram kepada penunggang kuda itu.
"Ya Raden" kata Rangkud dan setelah mencuci kakinya, mereka berduapun naik ke pendapa lalu berjalan menuju ruang dalam.
"Rangkud, duduklah" kata Penangsang ketika Rangkud sudah berada di ruangan.
Rangkudpun kemudian duduk didepan Penangsang.
"Bagaimana hasil dari perjalananmu ke gunung Lawu ?" tanya Arya Penangsang.
"Ya raden, saya telah bertemu dengan Panembahan Sekar Jagad, dan sang Panembahanpun telah menyetujui permintaan raden" kata Rangkud.
"Bagus" kata Penangsang.
"Panembahan mau membantu Jipang, tetapi ada syaratnya" kata Rangkud.
"Memakai syarat?" tanya Penangsang.

Kemudian Rangkudpun bercerita tentang pertemuannya dengan Panembahan Sekar Jagad di lereng Gunung Lawu.
"Jadi Panembahan Sekar Jagad mau membantu kalau aku mengabulkan permintaannya ?" tanya Penangsang dengan suara bergetar.
"Ya Raden" jawab Rangkud sambil menundukkan kepala.
"Jadi aku disuruh menuruti kemauan Panembahan Sekar Jagad untuk menerima tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad sebagai prajurit Jipang tanpa pendadaran ?" kata Penangsang dengan keras.
Matahun lalu mengangkat mukanya, iapun terkejut, ketika dilihatnya wajah Penangsang merah membara, tangannya bergetar.
"Rangkud !!!" teriak Penangsang keras, dengan suara bergetar.
Rangkud yang berada di depannya terkejut sehingga diapun hampir terloncat dari tempat duduknya.
"Rangkud !!,, Kalau aku menolak syarat dari Panembahan Sekar Jagad, dia mau apa ?" kata Penangsang dengan suara yang bergetar.
Rangkudpun tidak berani menjawab, dia hanya bisa menundukkan kepalanya.
"Sabar raden" kata Matahun.
"Sabar kakangmas" kata Arya Mataram.
"Sabar raden, kita harus bisa berpikir jernih, permintaan Panembahan Sekar Jagad supaya murid-murid perguruan Sekar Jagad dijadikan sebagai prajurit adalah sangat menguntungkan bagi Jipang" kata Matahun menyabarkan Penangsang.

Arya Penangsang diam saja, mukanya masih bersemu merah, dan iapun membiarkan Matahun berbicara terus.
"Tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad akan menjadi prajurit pilihan Kadipaten Jipang, alangkah kuatnya. Murid-murid yang mempunyai ilmu kanuragan yang tinggi, terutama Soreng Rana, Soreng Pati, Soreng Yuda dan beberapa Soreng-Soreng yang lain, bersedia berada dibawah perintah raden Penangsang" kata Matahun.
"Kalau sekarang dengan kekuatan tiga puluh orang prajurit Jipang, kita menyerang Kalinyamat atau menyerang Prawata, maka kedua daerah itu akan jatuh ketangan kita" kata Matahun menjelaskan.
Perlahan-lahan wajah merah Penangsang telah memudar, kemarahannya sedikit demi sedikit telah reda, setelah mendengar beberapa pertimbangan yang telah diberikan oleh abdi setianya, Matahun.
"Pangeran Hadiri ataupun Pangeran Arya, bahkan Karebet yang sekarang berada di Pajang tak akan mampu mengimbangi kekuatan prajurit pilihan Jipang" kata Matahun menjelaskan.
"Dengan tambahan tiga puluh orang prajurit pilihan, Jipanglah yang terunggul dalam perbandingan jumlah dan kemampuan prajurit"

"Tiga puluh orang itu nanti akan menjadi prajurit yang waktunya bersamaan dengan terbentuknya Kadipaten Jipang, maka kalau nanti kita mengadakan pendadaran prajurit Jipang, merekalah yang akan bertugas melatih para prajurit baru" kata Matahun.
Raut muka Penangsangpun telah kembali seperti semua, warna merah diwajahnya sudah hilang, kemarahannya bagai awan hitam yang tertiup angin, hilang tak berbekas.
"Tiga puluh prajurit pilihan Jipang yang mempunyai kemampuan kanuragan yang tinggi, nanti akan berada dibawah perintah raden Penangsang" kata Matahun.
Arya Penangsangpun menganggukkan kepalanya, diapun bisa menerima saran dari abdi setianya, Matahun.
"Ya paman Matahun, kau benar, aku terima tiga puluh orang murid perguruan Sekar Jagad sebagai prajurit Jipang" kata Penangsang yang akhirnya menuruti saran dari Matahun.
"Ya raden, memang itulah keputusan yang terbaik" jawab Matahun yang tersenyum senang karena sarannya diterima junjungannya.
"Untuk melatih dan meningkatkan kemampuan para prajurit pilihan Jipang Panolan adalah tugasmu paman Matahun" perintah Arya Penangsang kepada abdi setianya yang mempunyai kemampuan olah kanuragan yang tinggi.
"Ya raden, meskipun mereka saat ini adalah murid perguruan Sekar Jagad, tetapi nanti kalau mereka telah menjadi seorang prajurit, mereka masih perlu mendapat bimbingan ketrampilan ke prajuritan" kata Matahun.

"Rangkud !" kata Penangsang.
"Ya Raden" kata Rangkud.
"Kapan tigapuluh orang murid perguruan Sekar Jagad akan berangkat dari gunung Lawu?" tanya Penangsang.
"Besok pagi, setelah fajar" kata Rangkud.
"Sekitar menjelang tengah malam mereka akan sampai di Jipang, Rangkud, kau persiapkan segala sesuatu untuk menyambut mereka, keperluan untuk tidur dan makan mereka" perintah Penangsang.
"Baik raden" jawab Rangkud.
Arya Penangsang menganggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Nah kau sekarang boleh istirahat dulu"
"Baik raden" kata Rangkud, dan diapun segera keluar dari ruangan dalam, meninggalkan Penangsang, Matahun dan Arya Mataram yang masih berbincang.

Sementara itu, ditempat lain, di sekeliling perapian yang menyala didepan gubug di bulak amba Pajang,
Karebet sedang berbincang dengan Majasta, Wuragil serta dua orang tua yang baru datang ke Pajang sore tadi.
Dua orang tua itu datang dengan menuntun dua ekor kuda yang membawa beban yang berisi beberapa bahan pangan.
"Anakmas Karebet, nanti malam kami akan langsung pulang ke Butuh dan Ngerang" kata salah seorang dari orang tua itu.
"Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, kenapa begitu cepat pulang" kata Karebet.
"Kami tidak bisa banyak membantu, tenaga kami sudah tua" kata Ki Ageng Ngerang sambil tertawa.
Karebetpun ikut tertawa, dan Majastapun menjawab :"Akupun sudah tua, disinipun aku cuma ikut makan saja"
Semuanya tersenyum mendengar canda dari Majasta.
Sesaat kemudian tukang adangpun datang dan mempersilakan mereka untuk makan malam.
Dengan menggunakan sebuah pincuk, maka merekapun makan nasi dengan ikan asin, ditambah sambel lombok ijo.
"Nikmat sekali makan didepan perapian" kata Wuragil.
Menjelang wayah sepi wong, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang pamit akan pulang ke rumahnya.
"Terima kasih ki ageng berdua, terima kasih atas bantuan bahan makanannya kepada Pajang" kata Karebet.
"Ya, dua ekor kuda itu biar disini saja, bisa untuk keperluan Kadipaten Pajang" kata Ki Ageng Butuh.
"Terima kasih" kata Karebet kepada kedua orang saudara seperguruan sekaligus sedulur sinarawedi ayahnya, Ki Ageng Pengging.

Setelah pamit kepada semua orang yang ada di gubug, maka Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerangpun kemudian melangkah meninggalkan bulak amba, kembali ke desa Butuh dan Ngerang.
Malam itu gelap menyelimuti bumi Pajang, kotaraja Demak, Kalinyamat, Prawata, dan Jipang, hanya suara binatang-binatang malam yang terdengar nyaring tanpa henti.
Hampir semua penghuninya telah dibuai mimpi, lelah setelah seharian bekerja keras. Bulanpun masih terlihat dilangit bersama ribuan bintang-bintang.

(bersambung)

7 komentar:

  1. Alangkah senangnya bila segera terbit sambungan ceritanya. Semoga kebaikan untuk penulis. Aamiin.

    BalasHapus
  2. Sangat bagus n sebaiknya segera diterbitkan bukunya agar generasi penerus mencintai sejarah karena disekolah sudah tsk kenal sejarah lagi

    BalasHapus
  3. Terimakasih pak Apung GWAP dijelaskan sejarah kerajaan jawa pasca majapahit runtuh

    BalasHapus
  4. Terimakasih pak Apung GWAP dijelaskan sejarah kerajaan jawa pasca majapahit runtuh

    BalasHapus
  5. Matur nuwun p. Apung n sugeng makarya sejarah tanah jawi mugi tansah paring tambahing ilmu nguri-uri pusaka leluhur.

    BalasHapus
  6. Terima kasih pak Apung.
    Apabila cerita kiyai setan kober selesai. Mohon diteruskan cerita Nogo Sosro sabuk inten.

    BalasHapus
  7. Cerita yg menarik trtm bg generasi muda yg sedang belajar sejarah

    BalasHapus