- KERIS KYAI SETAN KOBER 20
BAB 8 :
BABAT ALAS 1
Karya :
Apung GWAP
Ketika
Karebet melihat keempat orang yang turun dari punggung kuda, senyumnya
mengembang, hatinya senang dengan kedatangan mereka.
"Selamat
datang orang-orang pinunjul dari Banyubiru, selamat datang di Pajang" kata
Karebet sambil maju kedepan, lalu keempat orang itupun dipersilahkan masuk
kedalam gubug. Lalu Karebetpun memperkenalkan keempat orang yang baru datang
itu kepada Lurah Wiguna.
Keempat
orang itu, Wuragil, Majasta, Mas Manca dan Jaka Wila, datang ke Pajang, setelah
di beri tahu oleh Suta dan Naya yang berkunjung ke Banyubiru, untuk segera
membantu pembuatan dalem Kadipaten Pajang.
Setelah
Karebet memperkenalkan nama ke empat orang dari Banyubiru, maka Lurah Wigunapun
juga memperkenalkan dirinya.
"Selamat
datang di Pajang, saya Lurah Wiguna dari kesatuan Wira Manggala" kata
Lurah Wiguna, lalu iapun memperkenalkan semua rombongan dari yang berada
digubug tersebut.
"Angger
Karebet" kata Majasta :"Beberapa hari yang lalu, Suta dan Naya, telah
berkunjung ke Banyubiru, memberitahu angger Karebet sudah berangkat ke Pajang
membangun dalem Kadipaten, maka kami berempat menyusul ke sini"
"Saat
ini Ki Buyut Banyubiru belum bisa ikut kesini, tetapi besok pagi dari Banyubiru
akan menyusul berangkat dua orang tukang kayu dari Banyubiru yang membawa dua
ekor kuda beban dan diperkirakan besok lusa akan sampai di Pajang. Empat ekor
kuda ini biar disini untuk memperkuat pajurit Pajang, ditambah dua ekor kuda
beban yang datang besok lusa, semuanya biar disini untuk kepentingan
Pajang" kata Majasta.
"Terima
kasih Ki Majasta" sahut Karebet yang tersenyum senang karena mendapat
tambahan enam ekor kuda dan dua orang tenaga tukang dari Banyubiru.
Ketika
matahari telah tenggelam di langit sebelah barat, lima orang yang mendapat
tugas mencari pohon yang akan di tebang telah kembali ke gubug.
Mereka
telah menemukan hutan jati tidak jauh dari daerah Pajang. Puluhan batang pohon
telah ditandai, sehingga besok pagi tinggal memotong saja
Ketika
mereka telah memasuki gubug, maka Wigunapun memperkenalkan mereka dengan
orang-orang dari Banyubiru.
Ketika
semua orang yang berada di gubug sudah membersihkan dirinya di sungai, maka
juru adangpun mempersiapkan makan malam, nasi jagung beserta sayur kluwih.
"Silahkan
dimakan, adanya cuma ini, nasi jagung" kata juru adang mempesilahkan.
Setelah
makan, sambil menghangatkan badan didepan perapian, Lurah Wiguna berbicara
dengan Karebet beserta empat orang dari Banyubiru.
"Adi
Karebet, salah satu pekerjaan yang akan dilakukan besok pagi adalah pembuatan
ompak" kata Lurah Wiguna.
"Berapa
buah ompak yang akan dibutuhkan Ki Lurah?"
"Untuk
dalem Kadipaten dan ruang paseban masing-masing butuh ompak sebanyak enam
belas, jadi kita butuh tiga puluh dua buah ompak"
"Di
daerah Pengging ada dua orang yang pekerjaannya membuat ompak" kata
Karebet.
"Nah
kita berbagi tugas, siapa yang akan membantu membuat ompak?" tanya Karebet
kepada Ki Majasta dan Ki Wuragil.
"
Biar aku yang membuat ompak beserta Jaka Wila" kata Wuragil menyanggupi
untuk membantu membuat ompak.
"Nah
kalau begitu, besok pagi Ki Wuragil bersama adi Jaka Wila berangkat ke Pengging
menemui pembuat ompak yang bernama Ki Truna Ompak beserta anaknya yang juga
pembuat ompak" kata Karebet.
"Baik,
besok aku akan ke pergi Penging, akan aku mencari letak rumah Ki Truna
Ompak" jawab Wuragil.
Karebet
menganggukkan kepalanya, lalu iapun berkata :"Ki Wuragil dan adi Jaka Wila
kalau pergi ke Pengging, sebaiknya berkuda, supaya bisa cepat kalau akan pergi
kesana kemari"
"Baik,
besok aku akan pergi berkuda" kata Wuragil, lalu merekapun berbicara
mengenai rencana untuk membangun dalem Kadipaten sampai wayah sepi bocah.
Ternyata
kesibukan mengumpulkan para bebahu beserta rakyatnya tidak hanya dilakukan di
Pajang, tetapi juga dilakukan di Kalinyamat, Prawata dan di Jipang,
Pangeran
Hadiri dan Pangeran Arya memperkenalkan dirinya sebagai penghuni pesanggrahan
yang akan dibangun di Kalinyamat maupun di Prawata, sedangkan Penangsang yang
sudah dikenal di Jipang memperkenalkan dirinya sebagai seorang calon Adipati
Jipang.
Malam itu
kegelapan menyelimuti bumi Kalinyamat, Prawata, Jipang maupun Pajang, dan
malampun terus berjalan sampai ke ujungnya, setelah itu mataharipun muncul di ufuk
timur, semua orang yang berada di sebuah gubug di daerah bulak amba Pajang,
telah terbangun dan mulai melakukan berbagai kegiatan
Juru adang
sudah mulai menanak nasi, untuk bekal makan siang bagi para penebang kayu yang
berjumlah lima orang, dan bekal untuk Wuragil dan Jaka Wila yang akan pergi ke
Pengging.
Ketika
matahari mulai memanjat naik di langit sebelah timur, maka orang-orang yang
dikirim oleh para bebahu di seluruh Pajang sudah mulai berdatangan.
Semakin
lama orang yang datang menjadi semakin banyak sehingga ketika hari sudah
semakin terang, yang berkumpul sudah hampir memenuhi tempat didepan gubug.
Mereka
datang dengan membawa bermacam-macam alat, ada beberapa orang yang membawa
cangkul, parang, dan ada yang membawa keranjang.
"Lebih
dari lima puluh orang" kata Lurah Wiguna, setelah menghitung semua orang
yang datang di depan gubug.
Ki Lurah
Wigunapun kemudian bertanya kepada orang-orang yang sudah berkumpul di depan
gubug :"Siapakah diantara kalian yang bisa membuat ompak?"
Tiga orang
mengangkat tangannya, lalu Lurah Wigunapun menyuruh mereka untuk maju kedepan.
"Kau
bisa membuat ompak ?" tanya Lurah Wiguna.
"Bisa
Ki Lurah" kata mereka bertiga bersamaan.
"Baik
hari ini kalian akan bekerja membuat ompak bersama kami, kalian tunggu disini
dulu" kata Ki Lurah.
Lurah
Wigunapun memanggil Wuragil, lalu Wuragilpun menemui ketiga orang pembuat ompak
dari Pajang.
Ki
Wuragilpun berkata kepada ketiga orang dari Pajang yang mengaku bisa membuat
ompak :"Namaku Wuragil, ini Jaka Wila, kita akan bersama-sama naik kuda ke
Pengging, kalian bisa mengendarai kuda?"
"Bisa
Ki" kata salah seorang dari mereka.
Sementara
itu, Lurah Wiguna berkata lagi kepada rakyat Pajang yang berkumpul di bulak
amba, yang akan bergotong royong mendirikan dalem Kadipaten :"Apakah diantara
kalian ada yang bisa memotong pohon, maupun memotong kayu ?"
Ada
sepuluh orang mengangkat tangannya, beberapa orang diantaranya ada yang membawa
kapak untuk memotong pohon.
Sesaat
kemudian, Lurah Wigunapun menyuruh mereka maju dan berkumpul menjadi satu
dengan para tukang kayu yang akan berangkat memotong pohon di hutan jati.
Setelah
itu Lurah Wigunapun berkata lagi :"Apakah diantara kalian ada yang bisa
membuat batu bata?"
Ternyata
tidak ada satupun rakyat Pajang yang mengangkat tangannya.
"Baik,
kalau tidak ada yang bisa mencetak batu bata, silahkan maju sepuluh orang,
nanti kalian akan dibimbing dan diajari cara membuat batu bata" kata Ki
Lurah.
Lalu
beberapa orang maju kedepan dan Lurah Wigunapun menunggu sampai ada sepuluh
orang, lalu merekapun dikumpulkan tersendiri..
Disudut
gubug, seorang tukang kayu dari Tingkir berbisik kepada Banu yang berpakaian
prajurit Wira Manggala :" Buat apa mencetak batu bata banyak sekali
?"
"Nanti
batu bata yang sudah dibakar akan diatur berjejer untuk lantai dalem Kadipaten
maupun untuk lantai Sasana Sewaka ruang Paseban, seperti yang ada di ruangan
Kraton Demak" jawab Banu.
"Lantai
dari bata akan terlihat bersih, jadi kalau kita duduk bersila menghadap Kanjeng
Sultan, pakaian kita tidak kotor terkena tanah" kata Banu menerangkan.
Mendengar
penjelasan prajurit Wira Manggala, tukang kayu dari Tingkirpun menganggukkan
kepalanya.
Didepan
gubug, orang-orang yang masih menunggu perintah, ternyata lebih dari tiga puluh
orang dan oleh Lurah Wiguna, mereka kemudian diajak bekerja bergotong royong
meratakan tanah di bulak amba.
Di lokasi
yang akan dibangun dalem Kadipaten maupun ruang paseban, akan diurug dengan
tanah, supaya nanti letaknya bisa agak lebih tinggi dari tanah disekitarnya.
Lurah
Wigunapun mendekati Ki Majasta dan iapun berkata :"Ki Majasta, nanti
orang-orang ini diarahkan dulu untuk mengurug lokasi calon dalem Kadipaten,
sementara saya akan mengajari beberapa orang untuk mencetak bata, dan untuk
pengawasannya, nanti saya akan mengajak Mas Manca untuk bekerja bersama
mereka."
"Baik
Lurah" sahut Ki Majasta.
"Kita
punya enam buah keranjang dan enam buah cangkul, ditambah beberapa cangkul dan
keranjang yang telah dibawa orang-orang itu, kemungkinan pekerjaan pengurugan
bisa lancar" kata Ki Lurah.
Maka
mulailah Lurah Wiguna, Majasta bersama rakyat Pajang meratakan tanah di bulak
amba, tanah yang tadinya bergelombang tak beraturan, dicangkul dan diratakan,
sedangkan sisa tanahnyapun diangkut dengan keranjang dan diurugkan ke lokasi
dalem Kadipaten.
Beberapa
gundukan tanah yang tidak terlalu tinggi juga diratakan dengan cangkul yang
dibawanya.
"Ini
yang namanya membuat siti inggil" kata salah seorang pekerja kepada
temannya.
Di gubug,
dua orang juru adang telah memberikan bekal makanan dan air kepada belasan
orang yang akan berangkat memotong pohon jati. Beberapa orang dari mereka
membawa beberapa kapak, pethel maupun pedang pendek.
Setelah
menerima bekal makanan yang cukup, kemudian belasan orang itu berjalan
beriringan menuju ke hutan jati yang berada disebelah barat Pajang.
Setelah
memberikan bekal makanan kepada pekerja yang akan memotong pohon, dua orang
juru adang kembali memberikan bekal kepada Wuragil dan Jaka Wila yang akan
pergi ke desa Pengging menemui Truna Ompak.
Wuragil,
Jaka Wila dan tiga orang Pajang yang akan membuat ompak, menuju ke belakang
gubug, memeriksa kesiapan beberapa kuda yang akan membawa mereka ke Pengging.
"Ki
Wuragil nanti kita akan lewat didepan rumahku, nanti aku akan berhenti sebentar
mengambil beberapa alat-alat untuk membuat ompak" kata salah seorang dari
mereka.
"Baik,
nanti kalau lewat depan rumahmu, kita berhenti sebentar" kata Wuragil
sambil naik keatas punggung kuda, diikuti oleh Jaka Wila serta tiga orang
lainnya.
Sejenak
kemudian terdengar derap beberapa ekor kuda meninggalkan Pajang menuju
Pengging.
Lurah
Wiguna menghampiri Ki Majasta yang sedang mengatur gugur gunung meratakan
tanah, mengatakan bahwa ia akan pergi bersama sepuluh orang yang akan membuat
bata.
"Ki
Majasta, tolong diawasi perataan tanah bulak dan pengurugan tanah" kata Ki
Lurah.
"Baik
Ki Lurah" kata Ki Majasta.
Setelah
berbicara dengan Majasta, maka Lurah Wiguna kembali memasuki gubug, menemui
Karebet. "Adi Karebet, aku akan mengajari sepuluh orang untuk membuat
bata" kata Lurah Wiguna sambil mengambil enam buah cetakan bata yang
terbuat dari kayu yang dibawanya dari Demak.
"Silahkan
Ki Lurah, nanti saya juga akan berkuda berkeliling ketempat para pekerja"
kata Karebet, lalu keduanyapun keluar dari gubug.
Didepan,
dilihatnya Mas Manca sedang membawa keranjang berisi tanah.
"Mas
Manca, kita berangkat sekarang"
"Baik
Ki Lurah" kata Mas Manca, kemudian iapun memberikan keranjangnya kepada
salah seorang dari mereka, dan Mas Mancapun mengikuti Lurah Wiguna dari
belakang.
Ki Lurah
Wiguna lalu pergi ke samping gubug, menghampiri sepuluh orang yang akan membuat
bata. "Ini adalah cetakan batu bata, cetakan ini aku bawa dari Demak, coba
kalian bawa cetakan ini" kata Ki Lurah sambil menyerahkan enam buah
cetakan batu bata.
"Kalian
tahu, di daerah mana yang banyak terdapat tanah liat?" tanya Ki Lurah
Wiguna.
"Ada
Ki Lurah, di daerah wetan kali" kata salah seorang dari mereka.
Lalu
merekapun berjalan menuju wetan kali, yang banyak terdapat tanah yang bercampur
dengan tanah liat.
Mas
Mancapun mengambil beberapa genggam tanah, lalu dengan menggunakan tangan,
tanah liat itupun di campur, dan diaduk berkali-kali, melihat itu, Ki Lurah
Wigunapun merasa puas.
"Tanah
liat disini cukup baik untuk dibuat batu bata" kata Ki Lurah.
Lalu
merekapun berjalan menuju wetan kali, yang banyak terdapat tanah yang bercampur
dengan tanah liat.
Mas
Mancapun mengambil beberapa genggam tanah liat dan tanah biasa, lalu dengan
menggunakan kedua tangannya, tanah liat itupun di campur dengan tanah, dan
diaduk berkali-kali, melihat itu, Lurah Wigunapun merasa puas.
"Tanah
liat disini cukup baik untuk dibuat batu bata" kata Lurah Wiguna.
"Saya
akan mengaduk tanah liat yang agak banyak" kata Lurah Wiguna sambil
meminjam sebuah cangkul yang dibawa oleh salah seorang yang ikut gugur gunung.
Ki Lurah
kemudian mencangkul tanah liat beberapa kali, setelah tanah liat terkumpul agak
banyak, lalu dicampur dengan sedikit tanah, dan diberi air yang diambilkan dari
sungai didekatnya dengan menggunakan bumbung yang dibawanya, setelah itu hasil
campuran itupun diinjak injak untuk mendapatkan kekentalan yang cukup.
"Campuran
tanah liat ini diberi sedikit air, jangan terlalu encer, jangan pula terlalu
padat, sebaiknya dibuat lunak seperti ini, lalu diaduk dan diinjak-injak,
setelah itu tanah liat yang sudah diaduk, dimasukkan kedalam cetakan bata"
kata Ki Lurah.
Mas
Mancapun kemudian ikut menginjak-injak tanah liat bersama Ki Lurah Wiguna,
sampai tanah liatnya siap untuk dimasukkan kedalam alat pencetak bata.
Kemudian
Ki Lurah Wigunapun mengajari mereka mencetak tanah liat dengan menggunakan
beberapa cetakan bata yang dibawanya dari Demak
"Setelah
dilepas dari cetakan, bata mentah kemudian dijemur dibawah sinar matahari
sampai kering, setelah kering bata yang masih mentah itu kemudian dibakar"
kata Ki Lurah Wiguna menjelaskan.
"Untung
saja saat ini adalah musim kemarau, sehingga tanah liat yang dijemur cepat
menjadi kering, kalau dimusim penghujan, kita pasti kesulitan menjemurnya"
Jaka
Wilapun kemudian mencangkul tanah liat, dan bersama beberapa orang merekapun
menginjak-injak tanah liat, lalu menyiramnya dengan sedikit air supaya tanah
liat itu tidak terlalu padat.
Sementara
itu, ditempat yang lain, kuda-kuda Wuragil dan Jaka Wila beserta tiga orang
temannya telah memasuki desa Pengging, setelah singgah sejenak di rumah salah
seorang dari mereka, mengambil beberapa alat untuk membuat ompak.
Ketika Ki
Wuragil melihat seseorang sedang berjalan, maka Wuragilpun menghentikan kudanya
dan bertanya :" Ki Sanak, dimanakah rumah Ki Truna Ompak, yang rumahnya di
daerah Pengging?"
"Ki
Sanak lurus saja, nanti sebelum umbul Pengging, ada rumah yang halamannya
banyak terdapat batu, nah itulah rumah Truna Ompak" kata orang tersebut
sambil tangannya menunjuk ke arah umbul Pengging.
"Terima
Kasih Ki Sanak" lalu Wuragilpun melanjutkan perjalanannya ke arah umbul
Pengging.
Kaki-kaki
kudapun berderap kembali menuju rumah Truna Ompak yang sudah semakin dekat.
Ketika
laju kuda hampir sampai di Umbul Pengging, terlihat sebuah rumah ditepi jalan
yang di sudut halamannya terdapat beberapa batu yang berserakan, maka Wuragil
dan rombongannya membelokkan kudanya memasuki halaman rumah itu.
Disudut
halaman, dibawah sebatang pohon, ada seorang yang sedang duduk, bekerja memukul
dan meratakan sebuah batu. Ketika dilihatnya serombongan orang berkuda masuk ke
halaman rumahnya dan turun dari kudanya, maka iapun berdiri dan menyambutnya.
"Selamat datang Ki Sanak, aku
Truna Ompak, silahkan masuk dan silahkan duduk dulu
di pendapa" kata Truna Ompak
mempersilahkan.
Kemudian
Wuragilpun duduk dipendapa, berhadapan dengan Ki Truna Ompak, sedangkan keempat
orang yang lain berada dibelakang Ki Wuragil.
"Nama
saya Wuragil, saya kesini diutus untuk menemui Ki Truna Ompak dan ini semua ada
hubungannya dengan Titah Kanjeng Sultan Trenggana" lalu Wuragilpun
menerangkan tentang pembuatan dalem Kadipaten Pajang yang sekarang sedang
dikerjakan.
"Jadi
nanti Karebet yang akan menjadi Adipati Pajang ?" tanya Ki Truna Ompak
sambil tersenyum, betapa bangganya dia, seorang anak muda kelahiran Pengging
bisa menjadi seorang Adipati di Pajang.
"Ya,
titah dalem Kanjeng Sultan Demak memang begitu, putra Ki Ageng Pengging yang
akan diangkat menjadi seorang Adipati" kata Wuragil menjelaskan.
"Ya,
aku sangat bangga nanti yang menjadi Adipati Pajang adalah Karebet, lalu apa
yang bisa saya kerjakan ?" tanya Truna Ompak.
"Di
Pajang, saat ini kami sedang membangun dalem Kadipaten dan ruang paseban, nah
kami butuh tiga puluh dua ompak yang akan kami pasang di dalem Kadipaten Pajang
dan ruang Paseban" kata Wuragil.
"Baik,
berarti untuk menopang tiang saka, masing-masing butuh ompak empat buah,
sehingga kita butuh ompak yang berukuran besar adalah delapan, sedangkan yang
berukuran sedang, kita butuh dua puluh empat buah" jawab Truna Ompak.
"Ki
Truna Ompak, disini sudah ada tersedia ompak berapa buah ?" tanya Wuragil.
"Ki Wuragil,
yang sudah jadi ompak, kami hanya punya beberapa buah, tetapi kami mempunyai
batu banyak sekali, yang bisa segera dibuat menjadi ompak, nanti kalau
persediaan batunya habis, kita bisa mencari batu bekas muntahan gunung
Merapi" kata Truna Ompak.
"Ya,
nanti ki Truna Ompak akan dibantu oleh beberapa pemuda ini, mereka sudah
membawa alat-alatnya sendiri" kata Wuragil sambil menunjuk kepada pemuda
yang ikut bersamanya.
"Nanti
akan aku buatkan dulu contoh ompak yang ukuran besar dan ukuran tanggung, nanti
kalian tinggal menyontoh ukurannya. Nanti, pembuatan ompak disesuaikan dengan
ukuran tiangnya, lalu tiang saka yang berjumlah empat buah itu seberapa
ukurannya ?" tanya Truna Ompak.
"Ah"
kata Ki Wuragil menyadari kesalahannya :"Nanti aku tanyakan kepada Ki
Lurah seberapa ukuran kayu saka yang akan dipakai untuk dalem Kadipaten"
"Baik,
biasanya kayu saka yang dipakai adalah sebesar sepelukan orang" kata Truna
Ompak menjelaskan.
"Ya,
mungkin ukurannya seelukan orang" kata Wuragil sambil menganggukkan kepalanya.
"Marilah
kita mulai membuat ompak, saya punya beberapa alat untuk membuat ompak, nanti
Ki Wuragil bisa menggunakan alat-alat yang ada disini" ajak Truna Ompak.
Merekapun
kemudian keluar menuju halaman dan mulai bekerja membentuk batu menjadi sebuah
ompak.
Sementara
itu, Karebet yang berada di gubugpun kemudian ikut bekerja bersama orang-orang
Pajang, menimbun tanah di lokasi dalem Kadipaten.
Ketika
matahari sudah agak tinggi, maka Karebetpun kemudian kembali ke gubug,
mengambil seekor kuda, lalu berkata kepada Tumpak :"Aku akan berkeliling
ke tempat yang lain"
Lalu
kepada Banupun ia berkata :"Selama Ki Lurah masih berada ditempat
pembuatan bata, tolong awasi yang sedang bekerja mengurug tanah" kata
Karebet sambil naik ke punggung kuda.
"Ya"
sahut Tumpak dan Banu, merekapun melihat Karebet menjalankan kudanyan berlari
meninggalkan gubug mereka.
Karebet
yang telah mengetahui lekuk liku daerah Pajang, menjalankan kudanya tidak
terlalu cepat menuju kearah barat, menuju hutan jati.
Beberapa
saat kemudian kuda yang berlari meninggalkan bulak amba berhenti karena tali
kekangnya ditarik.
Penunggang
kuda itu, Karebet, sesaat kemudian berdiam diri, mendongakkan kepalanya, untuk
mendengarkan suara pohon yang ditebang. Suara kapak yang menghantam batang
pohon terdengar berkali-kali.
"Disana"
katanya didalam hati, lalu iapun memajukan kudanya beberapa langkah, lalu
Karebetpun turun dari punggung kudanya.
Ditambatkannya
tali kendali kudanya pada sebatang pohon, lalu Karebetppun berjalan memasuki
hutan.
Ketika
Karebet masuk kehutan semakin dalam maka suara pohon yang terkena kapak menjadi
semakin jelas, dan tak lama kemudian tampak beberapa orang sedang sibuk
mengerjakan beberapa pekerjaan, ada beberapa orang yang menebang pohon, ada
juga yang memotong beberapa dahan pohon yang sudah roboh.
Di atas
tanah, tergeletak tiga batang kayu yang sudah dirobohkan berukuran hampir
sebesar sepelukan orang.
Batang-batang
kayu sedang dipotong, dibuat panjang yang sama.
"Ini
untuk saka, dalem Kadipaten butuh empat buah tiang, sedangkan untuk ruang
paseban butuh empat tiang juga" kata orang yang memotong kayu kepada
Karebet.
Ketika
Karebet melihat ada seseorang sedang duduk kelelahan setelah menebang sebuah
pohon, dan sebuah kapak tergeletak disampingnya, maka Karebetpun menghampirinya
dan meminjam kapaknya.
Dengan
sebuah kapak ditangan, Karebetpun ikut memotong cabang-cabang pohon yang masih
terdapat di batang pohon yang tergeletak di atas tanah.
Mataharipun
merayap naik hampir mencapai puncak langit, tetapi Karebet masih berada di hutan
jati, bekerja memotong pohon bersama belasan orang lainnya.
Kesibukan
ternyata tidak hanya terjadi di Pajang saja, tetapi juga terjadi di daerah
Kalinyamat, Prawata maupun Jipang.
Di Jipang,
Lurah Kerta sibuk memimpin beberapa orang yang sedang memotong pohon jati yang
tumbuh tidak jauh dari tepi Bengawan Sore.
Arya
Penangsang, di pagi hari itu dengan naik kuda yang gagah berwarna hitam, Gagak
Rimang, mengunjungi puluhan orang yang memotong pohon jati.
Matahun,
orang yang setia kepada Penangsang, meskipun sudah berusia lanjut, ternyata
tenaganya masih kuat dan tangannya masih trampil memotong pohon jati dengan
menggunakan kapak.
Ketika
Penangsang melihat rakyat Jipang gugur gunung membangun dalem Kadipaten, maka
iapun turun dari punggung kudanya dan menyingsingkan lengan bajunya, ikut
bekerja memotong pohon bersama puluhan rakyat Jipang.
Ketika
dilihatnya Arya Penangsang ikut bekerja memotong kayu bersama rakyat Jipang,
maka Matahunpun perlahan-lahan mendekati Penangsang.
"Raden"
kata Ki Matahun perlahan-lahan.
Penangsangpun
menoleh :"Ada apa paman Matahun"
"Raden,
apakah tidak sebaiknya, ketika kita semua sibuk bekerja begini, Raden
Penangsang bisa memanggil adik Raden untuk membantu" kata Matahun
"Adikku?
Arya Mataram? Ah dia adalah seorang yang penakut" kata Penangsang sambil
tetap bekerja memotong dahan.
"Itu
dulu Raden, sekarang raden Arya Mataram sudah berbeda dengan yang dulu, dia
adalah seorang pemuda pemberani" kata Matahun
"Kenapa
aku disini sudah dua tiga hari dia tidak muncul kerumah ?" tanya
Penangsang
"Sampai
saat ini Raden Arya Mataram belum tahu kalau raden berada di Jipang" kata
Ki Matahun.
"Dimana
dia sekarang?"
"Dia
berlatih aji jaya kawijayan di hutan sebelah timur, di seberang Bengawan Sore,
kalau Raden Arya Mataram berada disini, paling tidak tenaganya dapat digunakan
untuk membantu kita" kata Ki Matahun memberi pertimbangan.
"Rangkud
!!" panggil Arya Penangsang dengan keras.
Rangkudpun
yang sedang bekerja bersama belasan orang-orang Jipang yang berada tidak jauh
darinya, berlari-lari kecil menuju ke tempat Arya Penangsang.
"Rangkud,
setelah pekerjaanmu selesai kau pergilah ke tempat adikku berlatih, Arya
Mataram, bilang kepadanya supaya membantu pekerjaanku di Jipang" kata
Penangsang memerintah orang kepercayaannya.
"Baik
raden" kata Rangkud menyanggupi.
Penangsangpun
kemudian melanjutkan pekerjaannya, tanpa kenal lelah Penangsangpun ikut
menebang pohon memakai kapak.
Tenaga
Penangsang yang kuat membuatnya tidak memerlukan waktu yang lama untuk merobohkan
sebatang pohon sebesar sepelukan orang.
Matahun
yang melihat Arya Penangsang bekerja keras merasa bahwa tenaga yang membangun
Jipang perlu ditambah beberapa orang lagi.
"Nanti
akan aku carikan tambahan tenaga" kata Matahun dalam hati.
Tak terasa
matahari telah condong kebarat, sementara itu di Pajang, Karebet telah selesai
membantu penebangan pohon di hutan sebelah barat Pajang,
Alat-alat
sudah dikumpulkan, dan orang-orangpun bersiap kembali ke gubug di bulak amba.
Karebetpun
kemudian berkuda mendahului pulang ke gubug terlebih dulu.
Di bulak
amba, pengurugan tanah sudah selesai, Majasta pun telah beristirahat bersama
puluhan orang lainnya.
Ketika
dilihatnya Karebet datang berkuda mendekati gubug, maka Majastapun berdiri
menyambutnya.
"Bagaimana
Ki Majasta, apakah pengurugannya mengalami kesulitan?" kata Karebet sambil
turun dari punggung kudanya.
"Tidak
angger Karebet, semuanya lancar, sekarang sudah selesai, lalu rencana gugur
gunung besok pagi bagaimana ?" tanya Majasta
"Besok
puluhan orang itu bisa menyeret kayu yang sudah selesai ditebang, tetapi nanti
kita tunggu perintah dari Ki Lurah Wiguna" kata Karebet.
Ketika
matahari sudah hampir tenggelam di cakrawala barat, gubugpun sepi, orang-orang
yang bekerja sudah pulang semua, Ki Lurah Wiguna dan Mas Manca telah kembali
dari mencetak bata, Ki Wuragil dan Jaka Wilapun telah pulang dari membuat
ompak.
Ketika
Karebet sedang berbincang dengan Ki Lurah Wiguna, telinganya yang tajam
mendengar derap beberapa ekor kuda mendatangi gubug di bulak amba.
"Siapakah
yang berkuda menuju kemari?" tanya Karebet lirih.
Karebet
segera berdiri dan melangkah keluar dari gubug bersama Lurah Wiguna,
dibelakangnya menyusul Majasta, Wuragil, Mas Manca dan Jaka Wila.
Ketika mereka
tiba diluar gubug, terlihat enam orang sedang turun dari kudanya, lima orang
laki laki dan seorang anak muda yang belum dewasa, memegang sebatang tombak
yang mempunyai landeyan berukuran satu setengah depa.
Ketika
Karebet melihat mereka, maka dengan gembira iapun menyambutnya:"Selamat
datang kakang Pemanahan, kakang Penjawi, kakang Juru Martani dan kau Danang
Sutawijaya, selamat datang di Pajang"
"Maaf,
kami agak terlambat adi, ada beberapa pekerjaan di Sela yang harus aku
selesaikan terlebih dulu" kata Pemanahan sambil melangkah maju
"Adi
Karebet, aku bersama dua orang tukang kayu dari Sela yang akan membantu
pembuatan dalem Kadipaten Pajang" kata Penjawi menambahkan.
"Selamat
datang Ki Sanak berdua" kata Karebet, lalu kedua orang itupun mengangguk hormat.
Lalu oleh
Karebet, mereka semuanya diperkenalkan dengan Lurah Wiguna, lalu kepada
Majasta, Wuragil, Mas Manca dan Jaka Wila.
Beberapa
orang kemudian memberi makan dan minum kuda-kuda yang baru saja datang dari
Sela.
Beberapa
saat kemudian, di keremangan senja, merekapun membersihkan dirinya di sungai
kecil di sebelah gubug di bulak amba.
Malam itu,
Karebet, Lurah Wiguna, Majasta, Wuragil dan beberapa orang lainnya mengelilingi
perapian yang dinyalakan didepan gubug, mereka menghangatkan badan sambil
membakar ubi dan jagung,
"Danang,
kau sudah besar sekarang" kata Karebet kepada Danang Sutawijaya.
Sutawijayapun
tersenyum mendengar perkataan Karebet :"Ya pamanda Karebet"
"Sebaiknya
kau memang sering pergi ke berbagai daerah, supaya pengalaman dan pengetahuanmu
bisa bertambah banyak" kata Karebet.
"Sutawijaya
biar belajar membantu disini sekitar empat lima pasar, setelah itu dia akan
pulang ke Sela diantar kakang Juru Martani" kata Ki Pemanahan sambil
membalik jagung bakarnya.
Mendengar
perkataan Pemanahan, Karebetpun tersenyum senang.
"Jebeng,
kau membantu bekerja disini, turuti semua perintah pamanmu Karebet" kata
Pemanahan, dan Sutawijayapun menganggukkan kepalanya.
"Kau
membawa tombak dari Sela, Danang?" tanya Karebet kepada Danang Sutawijaya.
"Ya pamanda,
saya membawa sebatang tombak pendek" jawab Sutawijaya.
"Kau
taruh dimana tombak itu?"
"Di
dalam gubug paman" jawab Sutawijaya sambil tangannya menunjuk gubug
didepannya.
"Disini
tidak ada ploncon, untuk meletakkan tombakmu, besok kau buat sebuah bumbung
yang ditancapkan di tanah, nanti pangkal tombak yang kau bawa itu bisa kau
masukkan di lubang bumbung yang ditanam itu, sehingga tombakmu bisa kau simpan
dengan baik" kata Karebet.
Karebetpun
kemudian bertanya kepada Pemanahan :"Kakang Pemanahan, apakah tombak yang
dibawa Danang itu tombak Kyai Pleret ?"
"Bukan
adi, tombak pusaka Kyai Plered masih berada di Sela, tombak yang dibawa Jebeng
adalah tombak yang bernama Kyai Penatas, yang juga merupakan pusaka dari Sela.
Kyai Penatas memang sengaja diberi landeyan pendek, yang terbuat dari kayu
Walikukun sepanjang satu setengah depa" kata Pemanahan menjelaskan.
"Memang
sengaja aku ijinkan Jebeng Sutawijaya membawa tombak Kyai Penatas untuk
berjaga-jaga, kalau di perjalanan nanti bertemu dengan perampok, biar dia bisa
melindungi dirinya sendiri" kata Pemanahan
"Meskipun
tombak pusaka Kyai Penatas belum setingkat dengan tombak pusaka Kyai Pleret,
namun tombak Kyai Penatas juga merupakan salah satu pusaka Sela warisan dari
Kraton Majapahit" kata Pemanahan sambil mengambil jagung yang dibakarnya.
Melihat
banyaknya sahabat-sahabat yang berdatangan membantu pembuatan dalem Kadipaten,
Lurah Wigunapun se akan-akan berbicara kepada diri sendiri :"Tiga buah
gubug yang sudah kita bangun, ternyata masih kurang, besok aku akan membuat
tambahan satu gubug lagi".
Kemudian
merekapun mengambil jagung atau ubi yang telah matang dari perapian, dan
menikmati makanan hangat ditengah dinginnya udara di bulak amba.
Sementara
itu di Jipang, seorang abdi yang setia, Matahun memberanikan dirinya menghadap
Arya Penangsang di ruang dalam.
"Ada
apa paman Matahun ?" tanya Penangsang ketika mengetahui Ki Matahun
menghadapnya.
"Raden,
kelihatannya kita kekurangan tenaga untuk membangun dalem Kadipaten, saya
khawatir, kalau nanti pada waktu raden diwisuda menjadi Adipati, dalem yang
kita bangun ternyata belum jadi".
"Biar
saja paman, kalau nanti diperlukan untuk paseban, kita bisa menggunakan rumahku
ini, dan untuk tidurpun akupun biasa tidur dirumah ini" jawab Penangsang.
"Ya
raden, tetapi jangan sampai terlambat, kita malu apabila pembangunan dalem
Kadipaten jipang dikalahkan oleh anak Pengging, Karebet yang membangun dalem
Kadipaten Pajang" kata Matahun yang rambutnya telah memutih.
"Lalu
apa maumu paman Matahun" tanya Penangsang.
"Bagaimana
kalau kita minta bantuan dari kakak seperguruan saya yang berada di Gunung Lawu
?" kata Matahun.
"Kakak
seperguruanmu? Panembahan Sekar Jagad dari Gunung Lawu ?" tanya
Penangsang.
"Ya
raden, Panembahan Sekar Jagad yang ilmunya tak terukur, kita bisa minta bantuan
murid-murid padepokannya yang berjumlah puluhan orang untuk ikut mempercepat
pembangunan dalem Kadipaten" saran Matahun.
Penangsangpun
mengangguk, lalu iapun berkata :"Lalu siapa nanti yang akan pergi ke Gunung
Lawu?"
"Biar
nanti Rangkud yang akan kesana raden" kata Matahun.
"Dimana
Rangkud sekarang ?" tanya Penangsang.
Belum
sempat Matahun menjawab, terlihat dua orang sedang berjalan memasuki pendapa,
dan salah seorang dari mereka bergegas menuju tempat Arya Penangsang.
"Kakangmas"
kata pemuda itu memanggil Penangsang.
"Kau
Mataram, dari mana saja kau ini ?" tanya Penangsang.
"Dari
hutan sebelah timur Bengawan Sore, sudah lama Kakangmas pulang di Jipang?"
tanya Arya Mataram, adik dari Arya Penangsang.
"Ya,
kau disusul oleh Rangkud ?" tanya Penangsang tda menghiraukan pertanyaan
dari Arya Mataram.
"Ya
kakangmas, Rangkud yang menyusul saya, meminta saya pulang, dan tadi Rangkudpun
sudah bercerita semuanya" jawab Arya Mataram.
"Baik,
besok kau bantu aku membangun dalem Kadipaten" minta Penangsang kepada
Arya Mataram.
"Baik
kakangmas" kata Arya Mataram, dan iapun berjalan ke belakang rumah.
Setelah
itu Penangsangpun memanggil abdi setianya :"Rangkud"
Rangkudpun
kemudian menghadap kepada Arya Penangsang.
"Rangkud
kau besok pergi ke gunung Lawu, naik kuda" perintah Penangsang
"Baik
Raden" jawab Rangkud
"Kau
pergi ke padepokan Sekar Jagad, menemui Panembahan Sekar Jagad, bilang aku
memerlukan bantuannya untuk menyelesaikan pekerjaan ini" perintah
Penangsang.
"Baik
raden" jawab Rangkud.
Matahunpun
menambahkan:"Rangkud, kau ceritakan semuanya kepada Panembahan Sekar Jagad
kalau raden Penangsang akan diangkat menjadi Adipati, dan bilang kepada
Panembahan, aku minta bantuan dua puluh lima atau tiga puluh orang
muridnya"
"Baik
paman Matahun"
"Kau
berangkat pagi hari setelah matahari terbit" kata Penangsang menambahkan.
"Baik
raden" jawab Rangkud, lalu iapun bergeser kebelakang.
Perlahan-lahan
Rangkudpun keluar dari ruang dalam, dibelakangnya menyusul Matahun.
Malam
semakin larut, kegelapanpun menyelimuti di seluruh bumi Demak, hanya sesekali
terdengar suara binatang malam.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar