- KERIS KYAI SETAN KOBER 18
BAB 7 :
BINTANG CEMERLANG 2
Karya :
Apung GWAP
Langit di
ufuk timur berbias warna merah, perlahan-lahan fajarpun terbit, kokok ayam
jantan terdengar nyaring, langit semakin lama semakin terang, Karebetpun telah
bangun dari tidurnya, dan bersiap akan mandi, iapun berencana pergi ke
Kadilangu, ketempat Kanjeng Sunan Kalijaga.
Matahari
memanjat langit semakin tinggi, ketika Karebet dan Ganjur akan melangkahkan
kakinya keluar dari rumah, terlihat didepan pintu regol Suranatan, seseorang
yang berpakaian Lurah Wira Manggala memasuki halaman dalem Suranatan dan
berjalan menuju rumah yang ditempati oleh Ganjur.
Ketika
Karebet melihat orang itu, iapun segera mengenalnya, seorang Lurah dari
kelompok prajurit Prabayasa, kelompok prajurit yang bertugas membangun dan
merawat bangunan Kraton, yang termasuk didalam kesatuan prajurit Wira Manggala.
"Ki
Lurah Wiguna" kata Karebet sambil tersenyum :"Silahkan masuk Ki
Lurah"
"Silahkan
Ki Lurah Wiguna, silahkan kalau ingin bertemu dengan Karebet, aku mau
menyelesaikan pekerjaanku yang di depan" kata Ganjur mempersilahkan dan
iapun lalu berjalan ke halaman depan.
"Silahkan
duduk Ki Lurah" kata Karebet, dan Lurah Wigunapun kemudian masuk kedalam
rumah, dan Karebetpun kini duduk berhadapan dengan Ki Lurah.
"Adi
Karebet" kata Lurah Wiguna.
"Ya
Ki Lurah" jawab Karebet sambil memperhatikan kalimat yang akan dikatakan
oleh Lurah Wiguna.
"Besok
pagi kita jadi berangkat ke Pajang, kita berangkat pagi hari, aku yang akan
memimpin rombongan dari Kraton yang berjumlah tujuh orang" kata Lurah
Wiguna
"Rombongan
dari Kraton nanti akan berangkat serentak ke empat daerah, ke daerah
Kalinyamat, ke Prawata, ke Jipang dan ke Pajang, tiap rombongan masing-masing
tujuh orang" kata Lurah Wiguna menjelaskan kegiatan untuk besok pagi.
"Ya
Ki Lurah, nanti kita berangkat dari kraton?" tanya Karebet.
"Ya,
kita berangkat pagi hari, kita kumpul di depan Sasana Sewaka, lalu kita
bersama-sama berangkat ke Pajang" jawab Lurah Wiguna.
Kemudian
Karebetpun mengutarakan keinginannya untuk mengajak pamannya Ganjur ikut
bersama rombongan sampai di Tingkir.
"Ki
Lurah, rombongan kita nantinya akan bertambah satu orang, karena nanti aku akan
mengajak paman Ganjur untuk ikut pulang ke Tingkir" maka Karebetpun menjelaskan
alasan pamannya yang ingin ikut pulang ke Tingkir.
"Apakah
nanti Ki Ganjur akan kembali ke kotaraja ?" tanya Lurah Wiguna.
"Aku
belum tahu Ki Lurah, terserah kemauan paman Ganjur saja, Ki Tumenggung Suranata
juga sudah mengatakan semuanya terserah paman Ganjur, apakah mau kembali ke
kotaraja atau akan menetap seterusnya di desa Tingkir" kata Karebet.
Lurah
Wiguna menganggukkan kepalanya, dan iapun menjawab:"Ya, tidak masalah
kalau rombongan kita bertambah satu orang, tetapi kita tidak bisa berjalan
cepat karena kita membawa tiga ekor kuda yang memuat beban"
Karebetpun
mengangguk-anggukkan kepalanya, kalau berangkat bersama rombongan dari kotaraja
ke Tingkirpun tidak bisa ditempuh dalam satu hari, apalagi kini Lurah Wiguna
membawa kuda beban, yang berjalan lambat.
Merekapun
berbincang sebentar tentang keberangkatan mereka besok pagi, dan setelah dirasa
cukup, kemudian Lurah Wiguna pun pamit untuk kembali ke Kraton.
Beberapa
saat kemudian Karebetpun melangkahkan kakinya keluar dari dalem Suranatan,
menuju ke arah selatan, ke desa Kadilangu.
Disepanjang
jalan, langit yang cerah dan udara pagi yang segar di kotaraja mengiringi
langkah Karebet yang berjalan menuju tempat Kanjeng Sunan Kalijaga.
Sambil
berjalan, angan-angan Karebet mengembara, seperti burung rajawali dari Pengging
yang terbang tinggi diangkasa menembus awan dan melampaui beberapa puncak
gunung di tanah Jawa.
Karebet
merasa, ia belum lama berada di kotaraja Demak, dan besok pagi dia sudah harus
berangkat ke Pajang bersama rombongan pekerja dari Kraton, bekerja babad alas,
sebuah hutan yang akan dibuatnya menjadi sebuah Kadipaten, dan ia adalah orang
yang akan diangkat menjadi seorang Adipati di Pajang.
"Aku
akan jadikan Pajang bukan hanya sebuah Kadipaten kecil, tetapi harus lebih
besar dari Pengging Witaradya, seperti pada saat Eyang Adipati Dayaningrat
berkuasa" kata Karebet sambil terus berjalan ke Kadilangu.
Dengan
langkah yang teratur, Karebet terus berjalan ke selatan, lalu berbelok ke arah
timur.
Lalu
angan-angan Karebetpun masih mengembara melayang-layang, menukik ke bawah,
kemudian terbang lagi menyusuri pantai.
Karebetpun
berpikir mengenai sebuah sipat kandel yang akan dimiliki Kadipaten Pajang,
sebuah keris pusaka Kyai Naga Siluman, yang merupakan sipat kandel yang pernah
dipakai oleh eyangnya sewaktu masih menjadi Adipati Pengging Witaradya.
"Kata
siwa Kebo Kanigara, keris Kyai Naga Siluman akan diwariskan kepadaku, untuk
sipat kandel Kadipaten Pajang" kata Karebet dalam hati.
"Masih
kurang, kalau sipat kandel Kadipaten Pajang hanya sebuah keris Kyai Naga
Siluman, paling tidak Kadipaten Pajang harus mempunyai tiga buah tosan aji,
yang bisa dijadikan sipat kandel tegaknya Kadipaten Pajang" guman Karebet
sambil terus melangkah menuju ke arah timur.
"Bagaimana
kalau aku ingin menjadikan Kadipaten Pajang menjadi sebuah Kasultanan yang
besar, sebesar Kasultanan Demak? Tentu Pajang nantinya bukan hanya menjadi
sebuah Kadipaten yang kecil sepanjang masa, tetapi sudah berubah menjadi
Kasultanan Pajang yang besar" kata Karebet yang masih terus
berangan-angan.
"Kalau
Kadipaten Pajang nanti bisa menjadi sebuah Kasultanan yang besar, sebesar
Kasultanan Demak, apa yang bisa aku perbuat untuk mencari beberapa pusaka
sebagai sipat kandel ?" tanya Karebet kepada diri sendiri.
"Pusaka
apa yang bisa dijadikan sipat kandel untuk Kasultanan Pajang kalau Pajang
nantinya menjadi sebesar Kasultanan Demak ?" guman Karebet hampir tak
terdengar.
"Yang
bisa menjadi sipat kandel kerajaan besar adalah pusaka dari Kraton
Majapahit" pertanyaan Karebet dijawabnya sendiri, sambil melanjutkan
angan-angan besarnya.
"Saat
itu Kerajaan Majapahit mampu menguasai Nuswantara, dan pada saat perang dengan
Kerajaan Demak yang baru berdiri, Sang Prabu Brawijaya Pamungkas kalah perang,
maka semua pusaka Majapahit di boyong ke Demak. Semua pusaka dari Majapahit
yang sekarang berada di Kasultanan Demak, besok bisa dijadikan sebagai sipat
kandel Kasultanan Pajang yang besar" kata Karebet berangan angan.
"Kyai
Nagasasra, Kyai Sabuk Inten dan Kyai Sengkelat, ketiga pusaka itu bisa menjadi
sipat kandel Kasultanan Pajang yang besar" kata Karebet sambil terus
berjalan.
"Bagaimana
caranya ketiga pusaka sipat kandel Kasultanan Demak, dipindahkan dari ruang
pusaka Kraton Demak ke Pajang ?" pertanyaan itu melingkar-lingkar di
pikiran Karebet.
Angan-angan
Karebet terputus ketika ia sampai di sungai Tuntang, dan iapun menyeberang
masuk ke dalam sungai, berjalan menuju ke arah timur, ke desa Kadilangu.
Ketika
Karebet telah sampai di Kadilangu, santri yang menyambutnya bercerita kalau
kedua sahabatnya, Pemanahan dan Penjawi telah kembali ke Sela tadi pagi
beberapa saat setelah matahari terbit.
Hari itu
Kanjeng Sunan Kalijagapun mengajar Karebet sampai menjelang siang.
Seperti
biasanya, setelah sholat dhuhur berjamaah, maka Karebetpun bekerja membantu
para santri mengerjakan beberapa pekerjaan.
Ketika
matahari sudah condong kebarat, setelah sholat Ashar berjamaah, Karebetpun
pamit kepada Kanjeng Sunan Kalijaga, karena besok pagi ia bersama rombongan
akan berangkat menuju Pajang.
Kanjeng
Sunan Kalijagapun memberi beberapa nasehat dan petunjuk untuk bekal Karebet
disaat babad alas didaerah Pajang.
"Kalau
kau ada keperluan ke kotaraja, kau bisa mampir ke Kadilangu Karebet" kata
Kanjeng Sunan Kalijaga perlahan-lahan.
"Kau
bisa bawa beberapa pikul jagung yang ada di lumbung Kadilangu untuk bekalmu
nanti" kata Kanjeng Sunan
"Terima
kasih Kanjeng Sunan, kelihatannya dari Kraton sudah membawa banyak bekal,
lagipula nanti rombongan akan mampir di Tingkir" dan Karebetpun
menjelaskan keinginan pamannya Ganjur yang ingin pergi ke Tingkir.
Kemudian
Karebetpun mohon diri, dan iapun melangkahkan kakinya keluar dari dalem
Kadilangu, menuju ke kotaraja.
Ketika
matahari semakin turun di langit barat, dan langitpun semakin redup, Nyai
Madusari yang baru saja keluar dari gerbang Kraton dan saat ini sedang bejalan
di alun-alun, melihat Karebet sedang berjalan menuju kearahnya.
"Karebet"
kata Nyai Madusari setelah Karebet berada didepannya.
"Nyai
Madusari, mau pulang ?" tanya Karebet.
"Ya,
eh Karebet, baru saja didepan Kaputren, Tumpak bicara kepadaku, besok pagi dia
akan ikut didalam rombongan dari Kraton yang akan pergi ke Pajang
bersamamu" kata Nyai Madusari sambil tersenyum manis.
"Ya,
kata Tumpak kemarin memang dia ingin ikut ke Pajang, rupanya dia sudah minta
ijin ke Tumenggung Gajah Birawa" kata Karebet.
Nyai
Menggungpun tersenyum, lalu iapun berkata :"Ya, Tumpak juga bilang
begitu"
"Nyai,
jangan lupa, pamitkan ke Gusti Putri besok pagi aku akan berangkat bersama
rombongan ke Pajang" kata Karebet.
"Ya,
Karebet, tetapi jangan lupa, kalau ada kesempatan, kau harus memberi kabar ke
Gusti Putri" pesan Nyai Madusari.
"Ya,
pasti nyai, aku tak akan lupa. Nyai, aku akan kembali ke dalem Suranatan nyai,
aku besok akan berangkat bersama paman Ganjur" kata Karebet
"Baik
Karebet" kata nyai Menggung.
Dan
merekapun berpisah, Nyai Madusari pulang ke dalem Katumenggungan, sedangkan
Karebet menuju ke dalem Suranatan.
Malam itu,
setelah selesai mandi dan makan, Karebet duduk didepan rumah, tetapi pamannya
Ganjur yang tadi terlihat sedang duduk didepan, sekarang tidak terlihat lagi.
"Pergi
kemana Paman Ganjur, biasanya dia tidak pernah pergi, kenapa sekarang
menghilang ?" Karebetpun menengok kanan dan ke kiri, tak nampak seorangpun
yang berada disana. Setelah menunggu agak lama, terlihatlah Ganjur berjalan
sambil tersenyum, Karebetpun tertawa melihat Ki Ganjur tersenyum, bukan karena
ia mengetahui penyebab pamannya tersenyum, tetapi Karebet tertawa karena
melihat pamannya yang sudah tua sedang tersenyum.
"Paman
dari mana, eh, selama ini saya jarang melihat paman tersenyum, tetapi malam ini
paman bisa tersenyum senang, kenapa ?" tanya Karebet sambil menggeser
duduknya, memberi tempat kepada pamannya.
"Aku
sudah pamit kepada Ki Tumenggung Suranata" kata pamannya, ternyata
pamannya pergi menemui Ki Tumenggung.
"Kalau
hanya pamit kepada Ki Tumenggung, itu bukan suatu hal yang luar biasa paman,
tetapi kenapa paman bisa tersenyum senang ?" tanya Karebet.
"Aku
diberi bekal uang oleh Ki Tumenggung, ini yang penting Karebet" kata
pamannya sambil tertawa.
"Ya
paman, uangnya disimpan saja, jangan sampai hilang. Paman, semua yang akan
dibawa besok pagi apakah sudah di bungkus pakai kain?"
"Sudah,
besok kita tinggal berangkat, lagipula yang akan dibungkus tidak ada, pamanmu
ini hanya mempunyai beberapa pakaian saja" kata pamannya.
"Kalau
soal pakaian, kita sama paman" kata Karebet sambil tertawa lepas
Malam
sudah sampai di saat sepi wong, keduanyapun sudah masuk ke dalam rumah,
bersiap-siap untuk beristirahat karena akan melakukan sebuah perjalanan yang
jauh.
Malam
semakin larut, saat itu sudah lingsir wengi, sudah lewat tengah malam,
terdengar suara cengkerik yang tanpa henti mengusik sepinya malam, dan
kadang-kadang masih diselingi suara serak seekor burung malam.
Fajar
memerah di bang wetan, ketika beberapa kali terdengar kokok ayam jantan
bersahut-sahutan menyambut pagi, kemudian disusul pula oleh bunyi kicau burung
liar di beberapa pohon di halaman dalem Suranatan, di kamarnya, terlihat
Karebet dan Ki Ganjur menggeliat bangun, dan mulai mempersiapkan dirinya untuk
melakukan sebuah perjalanan jauh.
Setelah
semuanya siap, terlihatlah Ki Ganjur dan Karebet yang masing-masing membawa
sebuah bungkusan, keluar dari pintu regol dalem Suranatan menuju ke Kraton.
Hari masih
pagi, ketika keduanya memasuki pintu gerbang Kraton yang dijaga oleh dua orang
prajurit Wira Braja, ternyata didepan Sasana Sewaka sudah berkumpul belasan
orang prajurit yang sudah siap berangkat ke empat daerah.
Agak di
sudut tembok dekat pintu gerbang, sudah siap belasan ekor kuda yang diberi
beban di punggung sebelah kiri dan kanannya, beban yang berisi bahan pangan dan
beberapa alat yang diperlukan untuk membangun sebuah dalem Kadipaten.
Ketika
Lurah Wiguna melihat Karebet sudah datang, maka iapun mendekati dan berkata
:"Kita menunggu Ki Patih Wanasalam"
"Ki
Lurah, apakah nanti kita perlu dilepas oleh Ki Patih ?" tanya Karebet.
"Ya,
karena nanti kita akan diberi sebuah bendera Gula Kelapa yang besar, yang akan
dikibarkan di halaman calon bangunan pendapa Sasana Sewaka Kadipaten
Pajang" jawab Ki Lurah.
"Karebet"
ada suara memanggil nama Karebet, iapun menengok, terlihatlah seorang prajurit
Wira Tamtama sedang tersenyum, ternyata dia adalah Tumpak.
"Aku
jadi ikut ke Pajang, aku sudah minta ijin kepada Ki Tumenggung Gajah
Birawa" kata Tumpak.
"Ya,
tapi nanti di Pajang kita bekerja berat, membangun sebuah dalem Kadipaten"
kata Karebet menjelaskan.
"Tidak
begitu berat, jauh lebih berat disaat aku bertempur melawan Klabang Ireng"
kata Tumpak sambil tertawa.
Karebet
juga tertawa, ternyata Tumpak masih selalu ingat akan pertempuran yang berat
ketika didekat sungapan sungai Tuntang.
Satu demi
satu prajurit yang akan berangkat mulai berdatangan, sehingga rombongan hampir
lengkap, tinggal menunggu Pangeran Arya, Pangeran Hadiri dan Arya Penangsang
yang saat itu sudah dijemput oleh prajurit Wira Tamtama.
Tak lama
kemudian, ketiganya sudah tiba didepan Sasana Sewaka, dan dari ruang dalam,
keluarlah Ki Patih Wanasalam, bersama Tumenggung Gajah Birawa, dengan dikawal
oleh seorang prajurit Wira Tamtama.
Setelah
berada di depan rombongan, maka Ki Patih Wanasalam berpesan untuk berhati-hati
dalam bekerja, lalu iapun menyerahkan sebuah bendera Gula Kelapa yang masih
terlipat rapi kepada setiap ketua rombongan.
Lurah
Wiguna maju kedepan dan menerima bendera gula Kelapa, bersama tiga orang Lurah
dari kelompok Prabayasa, kelompok yang akan membangun dalem Kadipaten dan
pesanggrahan.
Setelah
semuanya selesai, maka Patih Wanasalampun kembali masuk kedalam ruang dalam
bersama Tumenggung Gajah Birawa dan seorang prajurit Wira Tamtama.
Beberapa
saat kemudian, Lurah Wigunapun mengajak rombongan untuk berangkat, dan
rombongan yang terdiri dari tiga orang prajurit kelompok Prabayasa, dua orang
tukang adang, seorang prajurit Wira Tamtama dan seorang prajurit Wira Manggala,
ditambah Karebet dan Ki Ganjur, mereka semua segera berjalan menuju pintu
gerbang kraton.
Ki Lurah
Wiguna lalu menuju ke tempat kuda beban yang menungu didekat pintu gerbang,
lalu iapun menyuruh tiga orang dari rombongannya untuk menuntun tiga ekor kuda
yang membawa beban, yang akan dibawa ke Pajang.
Ketika
Karebet bersama rombongan berjalan keluar dari pintu gerbang kraton, terlihat
ada beberapa ekor kuda yang berada di halaman luar.
"Kuda
siapakah ini ? Rombongan siapakah yang akan naik kuda ?" tanya Karebet
dalam hati.
Beberapa
kuda yang berada di halaman luar, diantaranya tampak seekor kuda gagah berwarna
hitam, Gagak Rimang, yang sedang dijaga oleh seseorang yang sudah pernah
dilihatnya, Lurah Pasar Pon.
"Sembilan
ekor kuda, termasuk kuda hitam Gagak Rimang milik Penangsang, berarti Ki Lurah
Pasar Pon juga ikut pergi ke Jipang" kata Karebet dalam hati, sambil
menghitung jumlah kuda yang berada diluar pintu gerbang.
Melihat
Karebet sedang memperhatikan kuda Gagak Rimang, Ki Lurah Wigunapun mendekatinya
dan berkata:"Kemarin Raden Penangsang telah membeli beberapa ekor kuda,
jadi hanya rombongan menuju Jipang yang berangkat naik kuda, sedangkan tiga
rombongan lainnya berjalan kaki"
"Ya"
kata Karebet sambil terus berjalan ke arah selatan.
"Ternyata
perhitungan siwa Kebo Kanigara tepat sekali, aku memang butuh kuda untuk para
prajurit Pajang, demikian juga dengan Penangsang, diapun butuh puluhan kuda
untuk para prajurit Jipang" kata Karebet dalam hati, sambil memuji jalan
pikiran Penangsang.
Pada saat
itu, empat buah rombongan kecil, secara bersamaan sedang melakukan perjalanan,
berangkat ke Kalinyamat, Prawata, Jipang dan Pajang.
Pangeran
Hadiri beserta rombongannya berjalan menuju ke arah utara, menuju daerah
Kalinyamat:"Kalinyamat tidak begitu jauh, tidak sampai satu hari sudah
sampai disana. Letaknya disebelah selatan Bandar Jepara"
"Membuat
sebuah bangunan Pesanggrahan hanya butuh waktu sebentar saja, tidak seperti
membuat Kadipaten yang harus ada bangunan Sasana Sewaka" kata Pangeran
Hadiri yang senang mendapat bagian daerah Kalinyamat :"untuk selanjutnya
aku akan tinggal di Kalinyamat"
Rombongan
Pangeran Arya adalah rombongan yang paling belakang, berjalan kaki ke arah
timur dibelakang rombongan ke Jipang.
"Daerah
Prawata sudah semakin ramai" kata Pangeran Arya, yang juga bernama Bagus
Mukmin.
"Daerah
Prawata, berada didekat hutan, mudah-mudahan bisa menjadi pesanggrahan yang
nyaman, aku akan menetap di Prawata" kata Pangeran Arya sambil terus
berjalan ke arah timur.
Rombongan
Penangsang adalah satu-satunya rombongan yang naik kuda, semuanya berjumlah dua
belas ekor kuda, termasuk tiga ekor kuda milik Kraton yang dipergunakan sebagai
kuda beban.
Melalui
Lurah Pasar Pon, Penangsang memang membeli delapan ekor kuda sekaligus,
kuda-kuda yang tegar, nanti akan diperuntukkan bagi keperluan prajurit Jipang.
Didepan
sendiri, diatas punggung Gagak Rimang, duduk seorang bertubuh sedang, kokoh
kuat, berkumis melintang, itulah Penangsang yang sedang berpikir untuk
membesarkan Kadipaten Jipang. "Untuk masa yang akan datang, Kadipaten
Jipang harus menjadi sebuah kadipaten yang besar" kata Penangsang dalam
hati.
"'Kita
singgah di Panti Kudus" kata Arya Penangsang kepada Lurah Kerta, pemimpin
rombongannya, seorang Lurah dari kelompok Prabayasa, yang termasuk dalam
kesatuan prajurit Wira Manggala.
"Ke
tempat Kanjeng Sunan Kudus?" tanya Ki Lurah Kerta sambil mendekatkan
kudanya ke arah Gagak Rimang.
"Ya"
jawab Arya Penangsang:"Kita sebentar saja di singgah di Kudus"
"Baik
raden" kata lurah Kerta.
Setelah
melewati sungai Tuntang, rombongan Arya Penangsang yang menuju Jipang berjalan
agak lambat karena adanya tiga ekor kuda beban. "Lambat sekali" kata
Arya Penangsang, dia tidak sabar ketika melihat ketiga ekor kuda beban yang
berjalan sangat lambat:"Ki Lurah Kerta, tiga ekor kuda beban itu berjalan
seperti siput, kau lepas tiga orangmu untuk menggandeng tiga ekor kuda beban,
kita mendahului menuju Panti Kudus, nanti sebelum matahari terbenam kita bisa
bertemu lagi"
"Baik
Raden" kata Ki Lurah Kerta, dan iapun kemudian memilih tiga orang, dan
tiap orang akan naik di punggung kuda dengan menggandeng seekor kuda yang
membawa beban.
Dua orang
juru adang dan seorang prajurit Wira Manggala, ditugaskan untuk membawa
masing-masing seekor kuda beban, sedangkan yang enam lainnya akan memacu
kudanya menuju Panti Kudus.
"Kalian
bertiga membawa tiga ekor kuda beban itu, nanti sore sebelum matahari terbenam
kita bertemu di wit growong di sebelah selatan hutan Prawata, yang dekat dengan
sebuah ara ara. kalian tahu tempat wit growong ?" tanya Arya Penangsang
kepada ketiganya.
"Saya
tahu tempatnya, Raden" kata salah seorang dari mereka;"Sebuah pohon
yang ukurannya besar sekali yang batangnya berlubang, berada didekat sebuah
ara-ara, letaknya berada disebelah selatan hutan Prawata"
"Ya,
kalau kau tidak bisa menemukan tempatnya, kau bisa tidur di manapun"
"Baik
Raden" jawab prajurit Wira Manggala.
"Kalau
kau bisa menemukan wit growong dan aku belum datang, kau bisa menginap disana,
pagi harinya, kau tinggalkan saja aku, lanjutkan perjalanan menuju rumahku di
Jipang" kata Penangsang.
"Sekitar
tengah hari kau akan sampai di Jipang, dan kalau aku belum datang juga,
temuilah orang tua yang tinggal di rumah itu, dia adalah penjaga rumahku di
Jipang, namanya paman Matahun, bilang saja kepadanya, kalau kau adalah
utusanku" kata Arya Penangsang.
"Baik
Raden, saya akan menemui ki Matahun" jawab prajurit itu.
"Kalau
begitu Ki Lurah Kerta, kita bisa lebih cepat sekarang" ajak Penangsang.
"Baik
Raden" jawab Ki Lurah.
Kaki
Penangsangpun kemudian menyentuh perut Gagak Rimang, dan kuda berwarna hitam
itu cepat melompat kedepan, diikuti oleh kuda Lurah Pasar Pon, Lurah Kerta dan
tiga orang lainnya.
Gagak
Rimang melompat gembira, berlari kedepan dengan cepat dan tidak bisa dikejar
oleh kuda-kuda lainnya.
Matahari
memanjat langit sudah agak tinggi, ketika rombongan Penangsang terhenti di tepi
barat sungai Serang.
Gagak
Rimang adalah seekor kuda pilihan, yang tidak takut melihat air, maka dengan
tangkasnya, Penangsang mengajaknya turun, masuk ke dalam sungai Serang,
berjalan memotong arus sungai, setelah itu baru diikuti oleh kuda-kuda yang
lain.
"Kita
hampir sampai" kata Penangsang kepada Lurah Kerta ketika berada di
seberang sungai, dan kembali merekapun menjalankan kudanya dengan ceoat menuju
Panti Kudus.
Beberapa
saat kemudian, rombongan berkuda Arya Penangsang memasuki halaman Panti Kudus,
terlihat beberapa santri yang berada di halaman segera berlari menghampiri
rombongan berkuda.
Setelah
semua tamu turun dari kuda, para santripun kemudian memegang kendali kuda, dan
membawa kudanya kehalaman belakang untuk diberi minum.
Beberapa
orang santri mempersilahkan para tamu untuk duduk di pendapa, hanya Penangsang
yang berjalan menuju keruang dalam.
Salah
seorang santri segera mencari Kanjeng Sunan Kudus, memberi tahukan kalau ada
tamu.
Kanjeng
Sunan Kudus pun kemudian bergegas ke ruang dalam, dan dilihatnya salah seorang
tamunya telah duduk di ruang dalam.
"'Kau
Penangsang" kata Kanjeng Sunan Kudus menyapa tamunya, tampak senyum di
bibirnya, melihat murid yang dikasihinya.
Penangsangpun
berdiri dan mencium tangan Kanjeng Sunan Kudus, dan Kanjeng Sunan Kuduspun
memeluknya.
"Kau
selamat Penangsang ?" tanya Kanjeng Sunan Kudus
"Atas
pengestu Kanjeng Sunan, saya tak kurang suatu apapun" jawab Penangsang.
"Kau
bersama rombongan ?" tanya Sunan Kudus.
"Ya
Kanjeng Sunan, sebuah rombongan resmi dari Kraton, akan pergi ke Jipang"
kata Penangsang.
"Kau cerita
nanti saja Penangsang, kau istirahat dan minum saja dulu" kata Kanjeng
Sunan Kudus dan dipanggilnya salah seorang santrinya untuk mengambilkan minum
untuk para tamu.
Tak lama
kemudian, ada seorang santri masuk kedalam ruangan, dengan membawa kelapa muda
yang sudah diratakan sabutnya dan disuguhkan kepada Arya Penangsang, sedangkan
beberapa santri yang lainnya sedang membawakan minuman untuk para tamu yang ada
di pendapa.
Setelah
beberapa saat beristirahat dan minum air kelapa muda, maka dihadapan Kanjeng
Sunan Kudus, Penangsang bercerita tentang titah Kanjeng Sultan Trenggana yang
akan mengangkatnya menjadi Adipati Jipang.
Selain itu
Penangsangpun juga bercerita tentang pengangkatan Karebet sebagai Adipati di
Pajang dan pembuatan pesanggrahan di daerah Kalinyamat untuk Pangeran Hadiri
dan di daerah Prawata untuk Pangeran Arya.
"Bapa
Sunan, rombongan ini dipimpin oleh Ki Lurah Kerta, seorang prajurit dari
kelompok Prabayasa yang termasuk dalam kesatuan Wira Manggala" kata Arya
Penangsang menjelaskan.
"Bagus
sekali Penangsang, kalau pamanmu Sultan Trenggana mau memikirkan masa depanmu,
dan kaupun akan diangkat menjadi seorang Adipati di Jipang" kata Sunan
Kudus.
"Ya
Bapa Sunan, nanti saya akan dibuatkan sebuah dalem Kadipaten di Jipang"
jawab Penangsang.
"Selain
kau Penangsang, Pangeran Arya dan Pangeran Hadiri, juga mendapat pesanggrahan
di Prawata dan Kalinyamat ?" tanya Kanjeng Sunan.
"Betul
Bapa Sunan" jawab Penangsang.
"Kau
bilang Karebet juga akan menjadi Adipati Pajang?" tanya Kanjeng Sunan
Kudus.
"Ya
bapa Sunan" jawab Penangsang.
Kanjeng
Sunan Kudus terdiam sejenak, tapi kemudian Kanjeng Sunan Kuduspun bertanya lagi
:"Berapa orang yang berangkat dari Kraton, Penangsang ?"
"Dari
Kraton berangkat tujuh orang, bapa Sunan" kata Arya Penangsang :"Ditambah
saya dan seorang lagi, Lurah Pasar Pon, beserta tiga ekor kuda beban yang
berisi bahan makanan dan beberapa alat untuk mendirikan bangunan."
"Ketika
berangkat dari Kraton semuanya berjumlah sembilan orang ?" tanya Kanjeng
Sunan Kudus :"Kenapa yang datang ke Panti Kudus hanya enam orang?"
"Saya
bersama lima orang berangkat lebih dulu, yang tiga orang prajurit saya tinggal
dibelakang, bapa Sunan, saya suruh mereka berjalan sendiri sambil membawa tiga
ekor kuda beban, mereka langsung ke Jipang, tidak singgah di Panti Kudus, tiga
ekor kuda beban itu jalannya seperti siput, lambat sekali" kata
Penangsang.
"Penangsang"
kata Sunan Kudus sareh :"Kau harus lebih bersabar lagi, lebih sabar
Penangsang, tidak seharusnya kau tinggalkan tiga orang berjalan sendiri menggandeng
tiga ekor kuda beban"
Arya
Penangsang mendengarkan semua nasehat Kanjeng Sunan Kudus, dan iapun
menundukkan kepalanya.
"Kalau
tiga orang itu bertemu dengan beberapa orang perampok, maka pekerjaan tiga
orang prajurit itu sangat berat, mempertahankan enam ekor kuda beserta semua
barang yg dibawanya" kata Sunan Kudus.
"Ya
bapa Sunan" jawab Penangsang sambil menundukkan kepalanya.
"Kalau
ada yang berani merampok, akan aku kejar perampoknya meskipun harus sampai
diujung tanah Jawa" kata Arya Penangsang di dalam hatinya.
"Penangsang,
Kau sudah mempersiapkan warangka praja Kadipaten Jipang ?" tanya gurunya.
"Belum
bapa Sunan, saya belum mencari orang yang akan menjadi patih dan beberapa
jabatan keprajuritan Jipang" jawab Penangsang.
"Kau
bisa mencari orang yang setia kepada keluargamu, yang sudah terbukti taat
kepadamu" kata Kanjeng Sunan Kudus.
"Baik
bapa Sunan" kata Penangsang.
"Dari
tujuh orang yang berangkat dari Kraton, ada berapa tukang kayu yang ikut serta
?" tanya Kanjeng Sunan Kudus
Penangsangpun
menjelaskan :"Ada tiga orang tukang kayu Kanjeng Sunan, yang dua orang
adalah tukang adang, sedangkan yang seorang adalah prajurit Wira Tamtama yang
mengawal bendera Gula Kelapa dan seorang lagi prajurit Wira Manggala yang akan
membacakan titah Kanjeng Sultan"
"Kau
malam ini sebaiknya menginap di Kudus, Penangsang, disamping kau bisa mengaji
lagi, nanti akan aku carikan tambahan tiga orang tukang kayu dari Kudus, mereka
besok akan ikut bersamamu membangun dalem Kadipaten di Jipang" kata
gurunya.
"Besok
mereka akan berangkat naik kuda bersamamu, dan setelah selesai, kudanya
ditinggal saja di Jipang, biar kuda itu menjadi milikmu, dan dapat kau gunakan
untuk kepentingan Kadipaten Jipang" kata Sunan Kudus
"Terima
Kasih Kanjeng Sunan, biarlah malam nanti rombongan akan tidur disini"
jawab Penangsang, dan iapun beberapa saat kemudian masih berbincang dengan
Kanjeng Sunan Kudus, sampai terdengar suara kentongan tanda sudah masuk waktu
dhuhur, maka Kanjeng Sunan Kuduspun mengajak para tamu untuk sholat berjamaah
bersama para santri, setelah itu merekapun dijamu makan siang di Panti Kudus.
Sementara
itu, rombongan yang menuju Pajang telah menyeberangi sungai Tuntang dan setelah
sampai di seberang, merekapun beristirahat di bawah pohon di tepi sungai
Tuntang. Merekapun membuka bekal nasi yang dibawanya, ikan asin, dan sayur
terong, dan sambal lombok ijo.
"Nasinya
paman Ganjur, silahkan tambah lagi" kata Karebet kepada pamannya.
"Ada
ikan asin beserta sambelnya Ki Ganjur" Lurah Wigunapun menawarkan lauk
kepada Ganjur
"Ya,
nanti aku ambil sendiri" kata Ganjur.
"Paman
Ganjur jarang melakukan perjalanan jauh, apakah badan paman terasa lelah
?" tanya Karebet kepada pamannya yang tampak kelelahan.
"Sedikit
lelah Karebet" kata pamannya.
"Adi
Karebet, kita terpaksa berjalan agak lambat, karena kita harus menuntun tiga
ekor kuda beban" kata Lurah Wiguna sambil mengambil air minum.
"Tidak
apa-apa Ki Lurah, hanya terpaut sedikit, tidak seberapa, malam ini kita tetap
menginap di jalan, baru besok kita sampai di desa Tingkir" kata Karebet.
"Ya,
besok kita menginap di desa Tingkir, baru lusa kita berangkat ke Pajang"
kata Ki Lurah.
"Ya,
mudah-mudahan lusa sebelum sore hari kita sudah sampai di Pajang" kata
Karebet sambil menyelesaikan makan siangnya.
"Tapi
Adi, apakah adi Karebet tahu daerah mana di Pajang yang akan kita bangun
menjadi sebuah Kadipaten ?" tanya Ki Lurah.
"Aku
tahu di daerah Pajang, ada sebuah daerah yang berupa sebuah bulak yang luas,
sebaiknya disitu nanti yang akan kita bangun menjadi sebuah Kadipaten"
kata Karebet..
Lurah
Wigunapun menjawab :"Itu bagus adi, kalau sudah berupa lapangan, akan
memudahkan para tukang yang akan bekerja"
"Ya,
kita tinggal menebang pohon untuk mencari kayu jati dan membuat ompak dari batu
yang banyak terdapat di kaki gunung Merapi" jawab Karebet.
"Mudah-mudahan
pekerjaan kita bisa lancar" guman Ki Lurah.
Waktupun
berjalan terus, matahari merayap dilangit sebelah barat, rombongan Karebet yang
menuju Pajang sudah meneruskan perjalanannya kembali.
Ketika
senja menjelang, langit menjadi redup, sebentar lagi angkasa menjadi gelap,
Lurah Wigunapun mencari tempat untuk bermalam.
"Kita
hampir sampai di daerah Sima, besok tengah hari, mudah-mudahan bisa sampai di
desa Tingkir" kata Lurah Wiguna.
"Kita
bermalam disini, tidak jauh dari sungai kecil" kata Lurah Wiguna dan
kemudian memerintahkan rombongannya untuk berhenti.
"Kita
buat perapian" kata ki Lurah Wiguna.
Ketika
perapian sudah menyala, merekapun segera berjongkok mengelilingi api, dan
terasa betapa nyala api bisa menghangatkan udara yang terasa agak dingin.
"Ki
Lurah" kata salah seorang juru adang kepada Lurah Wiguna :"Malam ini
kita menanak nasi atau membakar ubi dan jagung?"
"Nasi
yang tadi pagi masih ada, tetapi tinggal sedikit. Untuk kekurangannya kita bisa
membakar jagung dan ubi saja, begitu adi Karebet ?" tanya Lurah Wiguna
"Ya,
tidak apa apa, saya akan makan jagung bakar saja" kata Karebet sambil
mengambil sebuah jagung muda dan dimasukkannya kedalam perapian.
"Malam
ini kenapa nyamuknya banyak sekali ?" Ki Ganjur menggeremang sendiri di
dekat sebuah batu besar.
"Agak
mendekat ke perapian paman, disini tidak ada nyamuk" kata Karebet sambil
makan jagung bakar.
Malam
semakin larut, bukan hanya rombongan yang akan ke Pajang saja yang
beristirahat, rombongan yang lainnyapun semuanya juga telah beristirahat,
Pangeran Hadiri beserta rombongannya telah beristirahat disebuah bulak di
daerah Kalinyamat. Dengan membentangkan beberapa kain panjang, maka jatuhnya
embun malam dapat dikurangi.
Rombongan
Pangeran Arya juga beristirahat di gubug hutan Prawata yang biasanya dipakai
untuk berkemah Kanjeng Sultan Trenggana.
Suasana
terasa gelap didalam hutan, kemudian seorang prajurit membuat sebuah obor yang
menyala sampai akhirnya setelah melewati tengah malam, obor itupun padam.
Ditempat
lainnya, rombongan tiga orang prajurit yang membawa tiga ekor kuda beban telah
beristirahat di dekat Wit Growong di sebelah selatan hutan Prawata.
"Ternyata
Raden Penangsang malam ini tidak menginap di dekat Wit Growong, berarti besok
pagi kita langsung menuju rumah Raden Penangsang di Jipang, menemui Ki
Matahun" kata prajurit Wira Manggala kepada dua orang tukang adang.
"Kita
berangkat setelah fajar" katanya sekali lagi.
"Ya"
jawab salah seorang tukang adang:"Malam ini Raden Penangsang, Ki Lurah dan
lainnya tidur dimana?"
Sementara
itu di rombongan Arya Penangsang, Lurah Kerta dan empat orang temannya, malam
ini tidur di tempat yang tidak jauh dari kaki gunung Muria sebelah selatan,
tidur lelap berkerudung kain panjang di pendapa Panti Kudus, sedangkan Arya
Penangsang tidur di ruang dalam.
Malampun
segera berlalu, matahari telah naik di langit semakin tinggi, langitpun
berwarna biru cerah, sebentuk awan putih tertiup angin berjalan ke arah barat.
Pagi yang
cerah, di daerah Kalinyamat, Pangeran Hadiri bersama sorang lurah dari
Prabayasa, Lurah Truna, sedang berkeliling mencari tempat yang dianggap tepat
untuk didirikan sebuah pesanggrahan.
"Ki
Lurah Truna, kelihatannya di tempat inilah yang paling tepat untuk didirikan
sebuah bangunan, tempat yang nyaman dan tidak begitu panas" kata Pangeran
Hadiri
"Baik
Pangeran, kita akan bangun pesanggrahan disini, dan untuk saat ini kita buat
dulu beberapa gubug untuk tempat tinggal kita" kata Ki Lurah Truna, lalu
iapun memerintahkan prajuritnya untuk mencari bambu untuk dibuat beberapa gubug
untuk tempat berteduh dan bermalam.
"Esok
lusa, baru kita bacakan titah dari Kanjeng Sultan kepada rakyat
Kalinyamat" kata Lurah Truna.
Sementara
itu, di daerah Prawata, Pangeran Arya tertarik dengan sebuah daerah yang dekat
dengan sebuah sungai kecil.
"Aku
senang mendengar suara air mengalir, Ki Lurah Semi, aku pilih tempat ini, dan
untuk seterusnya aku akan tinggal di tempat ini, rasanya kalau tinggal di
daerah ini, hati akan terasa nyaman" kata Bagus Mukmin.
"Baik
Pangeran, akan saya bangun pesanggrahan di daerah ini" kata Lurah Semi,
pemimpin rombongan dari Kraton.
Pada saat
yang sama, rombongan berkuda Arya Penangsang berderap menuju Jipang. Mereka
berkuda telah jauh meninggalkan Kudus.
Jumlah
rombongan Arya Penangsang ternyata menjadi sembilan orang, bertambah tiga orang
tukang kayu dari Kudus, bantuan dari gurunya, Kanjeng Sunan Kudus.
"Ki
Lurah Kerta" panggil Penangsang kepada Lurah Kerta, pemimpin rombongannya.
"Ya
Raden" Lurah Kerta pun mendekatkan kudanya berjejer dengan Gagak Rimang.
"Kita
tidak usah berhenti di Wit Growong, kita terus saja berjalan ke selatan menuju
Jipang, supaya selisih kita dengan tiga orang yang membawa tiga ekor kuda beban
tidak terlalu jauh" kata Penangsang.
"Baik
Raden" kata ki Lurah Kerta, yang kemudian bersama Penangsang menambah
kecepatan laju kudanya.
Derap kuda
rombongan Arya Penangsang meninggalkan debu yang berhamburan di sebelah
menyebelah jalan yang dilaluinya.
Matahari
terus bergerak naik ke atas, dan setelah melewati puncak langit, Wit Growong
sudah jauh dibelakang,
"Sebentar
lagi kita sampai disebuah sungai, kita istirahat sambil memberi minum kuda
kita" kata Penangsang sambil memperlambat kuda hitamnya.
Beberapa
saat kemudian merekapun beistirahat, sambil makan bekal pemberian dari Sunan
Kudus.
"Semua
kuda-kuda juga diberi minum" kata Ki Lurah Kerta setelah semuanya telah
selesai makan.
"Kita
masih agak jauh, setelah hari menjadi gelap, kita baru sampai di Jipang"
kata Penangsang, dan setelah itu iapun mengajak meneruskan perjalanan.
Matahari
terlalu cepat turun kebawah, malampun sudah lama menyelimuti Jipang, ketika
rombongan Arya Penangsang memasuki daerah Jipang dengan membawa beberapa buah
obor.
Penangsangpun
memperlambat kudanya, ketika dilihatnya dua orang Jipang membungkuk hormat
padanya.
Perlahan-lahan
kuda-kuda itu berjalan menuju sebuah rumah yang paling besar di Jipang, rumah
Penangsang peninggalan kakeknya Sunan Ngudung, seorang Senapati Perang dari
Kasultanan Demak yang gugur sewaktu berperang melawan Majapahit.
Kuda
Penangsangpun dibelokkan memasuki sebuah regol, dan ketika Gagak Rimang
berhenti, maka semua penumpang kuda yang datang ke Jipang, semuanya turun.
Dari dalam
rumah keluarlah seorang yang sudah tua, rambut dan jenggotnya telah memutih,
tetapi badannya yang terlatih olah kanuragan menjadikannya tetap segar.
"Paman
Matahun" sapa Arya Penangsang kepada orang tua itu.
"Ya,
anakmas Penangsang" kata Ki Matahun.
(bersambung)
Buat versi e book nya... Menarik..
BalasHapus