KERIS KYAI SETAN KOBER 26
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 10 : KANJENG ADIPATI 1
BAB 10 : KANJENG ADIPATI 1
"Bagaimana keadaanmu Karebet,
kau selamat ?" tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Atas pangestu Kanjeng Sunan
Kalijaga saya dalam keadaan selamat" jawab Karebet.
"Kau juga selamat Pemanahan dan
Penjawi ?, Dan kau dua orang pemuda yang duduk paling belakang, kau juga
selamat ?" tanya Kanjeng Sunan.
"Ya Kanjeng Sunan, kami semua
selamat" kata Pemanahan.
"Kanjeng Sunan, perkenalkan
sahabat saya yang sejak awal telah membantu berdirinya Kadipaten Pajang, yang
duduk dibelakang sebelah kiri adalah Mas Manca dan yang duduk disebelah kanan
adalah Jaka Wila, keduanya dari Banyubiru, Kanjeng Sunan" kata Karebet
memperkenalkan keduanya.
Mas Manca dan Jaka Wilapun
mengangguk hormat kepada Kanjeng Sunan Kalijaga, dan Kanjeng Sunanpun membalas
hormatnya.
"Karebet, bagaimana persiapanmu
untuk pelantikan pada pisowanan agung besok ?" tanya Kanjeng Sunan
Kalijaga.
"Saya sudah siap Kanjeng Sunan,
nanti saya akan berada didalam Sasana Sewaka bersama kakang Pemanahan dan
kakang Penjawi, sedangkan Mas Manca dan Jaka Wila akan menunggu diluar
Kraton" kata Karebet.
"Ya, besok kita akan berangkat
ke Kraton bersama-sama dari Kadilangu pagi hari, kita berangkat berjalan kaki,
nanti kudamu ditinggal disini saja." kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Baik Kanjeng Sunan" kata
Karebet.
Tidak lama kemudian terdengar suara
kentongan yang ditabuh sebagai tanda telah memasuki waktu sholat Dhuhur.
"Sudah masuk waktu Dhuhur, mari
kita mengerjakan sholat berjamaah disini" ajak Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kemudian merekapun keluar menuju
tempat wudhu, dan setelah itu merekapun menuju kesebuah ruangan yang akan
dibuat sebagai tempat sholat, untuk bersama-sama mengerjakan sholat dhuhur
berjamaah .
Tak beberapa lama Kanjeng Sunan
Kalijaga telah tiba, dan berdiri didepan sebagai imam sholat dhuhur di
Kadilangu.
Hari itu, Karebet, Pemanahan dan
Penjawi, sebagai murid Kanjeng Sunan Kalijaga, diberi kesempatan untuk mengaji,
sedangkan Mas Manca dan Jaka Wila, membantu beberapa santri yang sedang
membelah kayu bakar.
Matahari berjalan terus, seakan-akan
jatuh perlahan-lahan dari langit sebelah barat dan tak lama kemudian lembayung
senjapun menghiasi langit bang kulon.
Diujung senja, perlahan-lahan malam
segera menggantikan siang, kabut kegelapan menyelimuti bumi Demak.
Malam itu, setelah sholat isya, di
pesantren Kadilangu, Kanjeng Sunan Kalijaga secara bergantian melanjutkan
mengajar mengaji tiga orang muridnya.
Menjelang wayah sepi wong, kelima
tamu dari Pajang sudah berada didalam kamar, beristirahat, untuk persiapan
menghadiri pisowanan agung besok pagi.
Keesokan harinya, di hari Anggara
Kasih, ketika matahari sudah menampakkan dirinya, kelima tamu dari Pajang
beserta Kanjeng Sunan Kalijaga bersiap menuju kraton, tak ketinggalan Kanjeng
Sunan Kalijaga juga mengajak dua orang santrinya, ikut ke kraton.
"Kalian berdua nanti menunggu
diluar bersama dua orang tamu dari Pajang".
"Baik Kanjeng Sunan" kata
salah seorang santrinya.
Karebet mengenakan pakaian terbaik
yang dimillikinya, dipinggangnya terselip keris pusaka yang pernah dipakai
sebagai sipat kandel Kadipaten Pengging Witaradya yang sekarang menjadi pusaka
sipat kandel Kadipaten Pajang, keris Kyai Naga Siluman.
Merekapun sudah siap, delapan orang
akan segera berangkat ke kotaraja dengan berjalan kaki..
Sesaat kemudian merekapun keluar
dari pintu Kadilangu, berjalan menuju arah barat.
Meskipun Kanjeng Sunan Kalijaga
umurnya sudah sangat sepuh, gerak tubuhnya masih tangkas, tidak jauh berbeda
dengan beberapa tahun yang lalu ketika masih belum menetap di daerah Kadilangu.
Sudah sejak puluhan warsa yang lalu,
Kanjeng Sunan Kalijaga mulai menjelajahi tanah jawa untuk menyebarkan agama,
njajah desa milang kori, naik gunung menuruni lembah, masuk di hutan gung
liwang-liwung, keluar masuk disetiap desa,
Kadang-kadang Kanjeng Sunan Kalijaga
juga mengadakan pertunjukan, memainkan wayang kulit, dan Kanjeng Sunanpun
menyamar sebagai dalang dengan nama dalang Sida Brangti.
Dalang Sida Brangti mendalang bukan
hanya diseputar daerah gunung Merapi dan gunung Merbabu saja, tetapi juga
sampai di ujung pegunungan Menoreh bahkan sampai di daerah gunung Slamet, dan
selain itu juga menjelajah di sepanjang pesisir segara kidul.
Menjelajah tanah Jawa, dilakukan
secara terus menerus oleh Kanjeng Sunan Kalijaga selama puluhan warsa, hingga
akhirnya Kanjeng Sultan Trenggana menawari untuk tinggal dimanapun, di dalam
bumi Demak, terserah Kanjeng Sunan Kalijaga sendiri, dan akhirnya Kanjeng Sunan
memilih daerah Kadilangu, yang sekarang dijadikan tanah perdikan Kadilangu
untuk menjadi tempat menetapnya Kanjeng Sunan Kalijaga beserta para santrinya.
Sekarang, Kanjeng Sunan Kalijaga
sedang berjalan menuju ke kraton untuk menghadiri pisowanan agung di Sasana
Sewaka.
Kanjeng Sunan berpakaian rapi,
berpakaian serba wulung, sebagai ciri khas pakaian dari Kanjeng Sunan Kalijaga.
Ada rasa cemas membayang diwajah
Karebet, melihat Kanjeng Sunan Kalijaga dengan tangkasnya berjalan kearah
barat.
"Kakang Pemanahan, dan kakang
Penjawi, kenapa Kanjeng Sunan tidak mengambil jalan yang menuju ke arah utara
?" tanya Karebet kepada Pemanahan.
"Ya, aku juga mencemaskan Kanjeng
Sunan Kalijaga" kata Pemanahan sambil memandang pakaian Kanjeng Sunan yang
berwarna wulung.
"Aku juga khawatir" kata
Penjawi:"Apa boleh buat, kita hanya bisa mengikuti langkah Kanjeng Sunan,
dan kita hanya bisa melihat apa yang akan terjadi nanti ditepi sungai",
Delapan orang itupun masih terus
berjalan kaki menuju ke arah barat, sebentar lagi mereka akan tiba di sungai
Tuntang.
Menyeberang sungai Tuntang, itulah
sebetulnya yang di khawatirkan oleh Karebet beserta Ki Pemanahan dan Ki
Penjawi. Bagaimana mungkin seorang yang sudah sangat sepuh seperti Kanjeng
Sunan Kalijaga harus menyeberangi sungai Tuntang dengan memakai pakaian seorang
ulama yang berwarna wulung. Dan Kanjeng Sunan Kalijaga adalah salah seorang
Walisanga yang sangat dihormati diseluruh wilayah Kasultanan Demak.
Bagaimana mungkin Kanjeng Sunan
Kalijaga datang di Sasana Sewaka mengikuti jalannya pisowanan agung dengan
pakaian basah kuyup karena menyeberangi sungai Tuntang.
Memang sebaiknya Kanjeng Sunan
Kalijaga berjalan sedikit memutar ke arah utara, lewat jalan lintas yang menuju
ke Kudus, disana ada sebuah rakit yang biasanya dipakai oleh Kanjeng Sultan
Trenggana apabila pergi berburu di hutan Prawata, rakit itu dipakai untuk
menyeberangi sungai Tuntang.
Merekapun terus berjalan, dan tak
lama kemudian, tepi sungaipun telah terlihat oleh mereka.
"Kita menyeberang lewat mana
Kanjeng Sunan ?" tanya Karebet dengan cemas.
"Kita menyeberang lewat jalan
yang biasa kau lewati, sewaktu kau menyeberang dari kotaraja ke Kadilangu,
Karebet" kata Kanjeng Sunan sambil terus berjalan
Ketika mereka tiba ditepi sungai,
betapa herannya Karebet, ketika mereka melihat ditepi sungai yang biasa
dilewatinya, tertambat sebuah rakit, lengkap dengan dua buah galah dari bambu.
Karebetpun saling berpandangan
dengan Pemanahan dan Penjawi, lalu Karebetpun berbisik kepada Pemanahan :"
Darimana datangnya rakit ini, siapa yang telah membuatnya ?"
"Rakit ini kelihatannya masih
baru, bambu-bambunya baru saja ditebang, mungkin para santri yang telah
membuatnya kemarin" kata Ki Penjawi.
"Apakah rakit ini yang membuat
para santri Kadilangu ?" tanya Ki Pemanahan kepada dua orang santri
Kadilangu.
"Tidak, kami tidak pernah
membuat rakit, kalau kami menyeberangi sungai, kami masuk ke dalam air atau
menyeberang dengan berenang" jawan santri Kadilangu.
"Mungkin rakit ini dibuat oleh
para penduduk disekitar Kadilangu" kata Karebet, tetapi ia sendiri
ragu-ragu atas perkataannya sendiri.
Sesaat kemudian Kanjeng Sunan
Kalijaga turun ke tepi sungai, kemudian naik ke atas rakit yang tertambat
dipinggir sungai.
Setelah Kanjeng Sunan berada diatas
rakit, Karebet beserta para sahabatnyapun kemudian juga naik diatas rakit, dan
yang terakhir naik adalah dua orang santri Kadilangu.
Dua orang santri itu lalu mengambil dua
buah galah yang tertancap di tepi sungai, lalu dipergunakan untuk menjalankan
rakit menyeberangi sungai Tuntang menuju ke tepi sebelah barat.
Ketika dua orang santri mendorong
dua buah galah yang mereka masukkan ke air, maka perlahan-lahan rakit itupun
perlahan-lahan bergerak ke samping
Air yang tenang memudahkan dua orang
santri Kadilangu untuk mendorong rakit itu. Galahpun berkali-kali dimasukkan
kedalam air dan didorong ke arah timur, maka rakitpun bergerak tenang ke arah
barat.
"Saat ini air sungai Tuntang
terlihat sangat tenang, padahal biasanya air sungai ini bergerak mengalir ke
arah utara" kata Karebet didalam hatinya.
Diatas rakit, Karebet menarik napas
dalam-dalam, yang dicemaskan ternyata tidak terjadi, Kanjeng Sunan Kalijaga
tidak perlu menyeberangi sungai Tuntang dengan masuk dan berjalan di dalam air
sungai sehingga bisa mengakibatkan pakaiannya yang berwarna wulung menjadi
basah kuyup.
Karebet tidak mengira kalau
dipinggir sungai telah tertambat sebuah rakit yang dapat membawa mereka ke seberang.
"Aku telah berkali-kali menyeberang disini, tetapi rakit ini tidak pernah
ada" kata Karebet dalam hati.
Rakit yang ditumpanginya masih terus
bergerak, dan tak lama kemudian ujung rakitpun menyentuh tepi sungai sebelah
barat, lalu satu persatu penumpangnyapun turun ke darat.
Kanjeng Sunan Kalijaga turun ke tepi
sungai, diikuti okeh Karebet beserta empat orang sahabatnya, sedangkan kedua
orang santri Kadilangu segera menancapkan galah bambu ditepi sungai, sehingga
rakitpun tidak bisa hanyut ke arah muara,
Dari tepi sungai, mereka lalu
berjalan ke barat, beberapa saat kemudian, merekapun berbelok ke utara, jalan
lurus menuju Kraton.
Jarak yang dekat menyebabkan mereka
tidak terlalu lama berada diperjalanan.
Ketika sampai di alun-alun, maka
Kanjeng Sunan Kalijaga berkata kepada dua orang santrinya :"Kau tunggu
diluar kraton bersama dua oang tamu kita dari Pajang"
"Baik Kanjeng Sunan" kata
salah seorang santri Kadilangu.
"Ya" kata
Karebet:"Mas Manca dan Jaka Wila, kalian juga tunggu disini bersama sama
dengan kedua orang santri dari Kadilangu.
Kemudian empat orang memisahkan
diri, hanya Kanjeng Sunan beserta Karebet, Pemanahan dan Penjawi yang berjalan
menuju ke Kraton.
Tidak lama kemudian merekapun sudah
berada dipintu gerbang, dua orang prajurit penjaga pintu gerbang mengangguk
hormat kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kanjeng Sunan Kalijaga berjalan
menuju Sasana Sewaka, dan ketika melewati dua orang prajurit Wira Tamtama
penjaga pintu, maka salah seorang prajurit menghampiri Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Kanjeng Sunan Kalijaga
ditunggu Kanjeng Sultan bersama Kanjeng Sunan Kudus di ruangan dalam" kata
prajurit itu.
"Baik aku akan kesana
sekarang" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Karebet, kau terus ke Sasana
Sewaka, aku akan menemui Kanjeng Sultan Trenggana" kata Sunan Kalijaga.
"Baik Kanjeng Sunan" jawab
Karebet.
Kanjeng Sunan Kalijaga berjalan
masuk ke ruang dalam, menemui Kanjeng Sultan Trenggana beserta Sunan Kudus yang
telah menunggunya.
Ketika Kanjeng Sunan Kaljaga sudah
tidak terlihat, Karebet, Pemanahan dan Penjawi kemudian meneruskan berjalan
menuju Sasana Sewaka.
Beberapa kali mereka berpapasan
dengan beberapa orang prajurit Wira Braja yang sedang bertugas.
Sambil berjalan, mereka melihat,
disebelah ruang Wira Tamtama, ada sebuah ruangan besar yang penuh berisi bahan
pangan dan hasil bumi dari asok hulu bekti para nayaka praja serta para bebahu
di seluruh Kasultanan Demak.
"Banyak juga para bebahu yang
asok hulu bekti glondong pengareng-areng untuk Kanjeng Sultan Trenggana"
kata Penjawi.
"Ya, semua Demang, Kepala Tanah
Perdikan, Bupati, Adipati, Ki Ageng, ditambah semua, Tumenggung, Panji, Rangga,
Lurah dan keluarga kraton semua ikut dalam acara Pisowanan Agung di Sasana
Sewaka" kata Pemanahan.
Mereka terus berjalan dan ketika
langkah kaki mereka semakin mendekati Sasana Sewaka, penjagaan prajurit Wira
Tamtama maupun Wira Braja semakin ketat.
Didepan Sasana Sewaka terlihat
seorang perwira Wira Tamtama, Rangga Pideksa sedang berbincang dengan beberapa
prajurit dari kesatuan Wira Tamtama dan Wira Manggala.
Ketika mereka melihat Karebet
beserta kedua orang pengikutnya, maka Rangga Pideksa berjalan menyongsong
Karebet.
"Hormat saya untuk Ki Rangga
Pideksa" kata Karebet sambil membungkuk homat, demikan juga dengan
Pemanahan dan Penjawi, juga membungkuk hormat.
"Ya Karebet, kau selamat"
kata Ki Rangga Pideksa.
"Atas pangestu Ki Rangga saya
selamat" kata Karebet
Karebetpun memperkenalkan kedua
pengikutnya, Pemanahan dan Penjawi kepada Tumenggung Surapati
Pemanahan dan Penjawi mengangguk
hormat kepada Rangga Pideksa, dan Ranggapun membalas hormatnya.
"Kapan kau berangkat dari
Pajang Karebet" tanya Rangga Pideksa.
"Dua hari yang lalu Ki
Rangga" jawab Karebet.
"Karebet, mari kuantar masuk
kedalam Sasana Sewaka, mari Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, kita masuk
kedalam" kata Rangga Pideksa sambil berjalan masuk ke Sasana Sewaka, lalu
Karebet beserta Pemanahan dan Penjawipun berjalan mengikuti dari belakang.
Di dalam Sasana Sewaka, saat itu
hampir penuh dengan orang yang ikut Pisowanan Agung yang dilaksanakan pada hari
Anggara Kasih ini, orang-orang yan hadir, semuanya duduk bersila menghadap
kedepan.
Rangga Pideksa berjalan kedepan,
melewati beberapa orang yang ikut Pisowanan Agung, diikuti oleh Karebet,
Pemanahan dan Penjawi.
Di depan terlihat sebuah kursi
kosong yang nanti akan dipergunakan oleh Kanjeng Sultan Trenggana, dan diujung
ruangan ada beberapa kursi lain yang terlihat masih kosong.
Di lantai ruangan, didepan kursi
untuk Sultan, di deretan depan sebelah kiri, terlihat duduk bersila Tumenggung
Gagak Anabrang dari kesatuan Wirabraja, disebelahnya duduk Tumenggung Siung
Laut dari kesatuan tempur laut Jala Pati, Tumenggung Ranapati dari kesatuan
Wira Radya, Tumenggung Surapati dari kesatuan Wira Manggala, Tumenggung Palang
Nagara dari kesatuan Wira Yudha, dan Tumenggung Jaya Santika dari kesatuan
Patang Puluhan.
Dibelakang deretan para Tumenggung,
duduk beberapa orang Panji dan beberapa orang Rangga, yang semuanya duduk
bersila menghadap kedepan.
Di deretan depan sebelah tengah
duduk beberapa keluarga Sultan, paling ujung duduk Arya Penangsang,
disebelahnya duduk Pangeran Hadiri atau Pangeran Kalinyamat, lalu disebelahnya
duduk Sunan Prawata, lalu disebelahnya lagi duduk pula Pangeran Timur, putra
bungsu Kanjeng Sultan Trenggana yang masih anak-anak.
Rangga Pideksa lalu mempersilahkan
Karebet duduk bersebelahan dengan Pangeran Timur yang berusia masih sangat
muda, yang selalu dijaga oleh kakaknya, putra sulung Sultan Trenggana, Sunan
Prawata.
Karebetpun mengangguk hormat kepada
para Pangeran dan para Tumenggung yang hadir, lalu iapun kemudian duduk bersila
dilantai, duduk disebelah Pangeran Timur.
Pemanahan dan Penjawipun kemudian
duduk bersila dibelakang Karebet, menghadap kedepan.
Rangga Pideksa, setelah mengantar
Karebet ke tempatnya, kemudian berjalan keluar ruangan Sasana Sewaka, kembali
ke depan untuk menanti para tamu berikutnya.
Dibelakang Karebet, Pemanahan dan
Penjawi mengedarkan pandangannya, dilihatnya calon Adipati Jipang, Arya
Penangsang duduk di ujung, sorot matanya lurus kedepan, dan dibelakangnya,
disebelah kiri, duduk adiknya, putra Pangeran Sekar Seda Lepen yang muda, Arya
Mataram.
Pemanahan dan Penjawi melihat kepada
orang yang duduk di belakang Arya Penangsang, disebelah Arya Mataram, duduklah
seorang tua yang rambutnya sudah putih semua.
Pemanahan terkejut ketika dia
melihat ke orang tua itu, besamaan dengan orang tua yang berambut putih itupun
sedang melihatnya.
"Hm itu orang Jipang, Ki
Matahun, kemampuannya tidak bisa dianggap ringan" kata Ki Pemanahan dalam
hati.
Matahunpun memalingkan pandangannya
dari Pemanahan, dan berkata di dalam hatinya :"Pemanahan dan Penjawi,
orang Sela itu sekarang telah bergabung ke Pajang"
Sambil memandang kepada dirinya
sendiri, Matahunpun berkata perlahan-lahan :" Seimbang"
Matahunpun menundukkan kepalanya,
tetapi sebenarnya ia sedang menakar perbandingan kekuatan Kadipaten Jipang
dengan Kadipaten Pajang, lalu ia juga menimbang pula kekuatan Sunan Prawata
maupun Pangeran Kalinyamat.
"Kalau kekuatan Prawata maupun
Kalinyamat tidak masuk dalam hitunganku, tidak usah Raden Penangsang turun
tangan, aku bersama Rangkud dan tiga puluh orang prajurit Jipang yang berasal
dari padepokan Sekar Jagad mampu menggulung mereka dalam satu hari" kata
Matahun dalam hati.
"Perbandingan kekuatan
Kadipaten Pajang dengan Kadipaten Jipang kelihatannya seimbang, ilmu jaya
kawijayan Karebet dan Raden Penangsang kelihatannya juga seimbang, aku dan
Pemanahan maupun Penjawipun juga setingkat, tetapi selain kedua orang Sela itu,
aku khawatir kalau ada orang lain yang akan bergabung ke Kadipaten Pajang"
kata Matahun dalam hati.
"Kadipaten Jipang tidak perlu
kalah, di Jipang ada kakak seperguruanku, Panembahan Sekar Jagad dari lereng
gunung Lawu" katanya hampir tak terdengar.
"Tetapi apakah Panembahan Sekar
jagad mau membantu Jipang ?" kata Matahun didalam hatinya, dan pertanyaan
itupun telah dijawabnya sendiri : "Pasti mau, Panembahan Sekar Jagad pasti
mau membantu Jipang, tigapuluh orang muridnyapun telah diperintahkan untuk
menjadi prajurit Jipang"
Matahun tersadar dari
angan-angannya, ketika didengarnya suara Panji Danapati yang bertindak sebagai
pranatacara, mengatakan Kanjeng Sultan akan segera memasuki Sasana Sewaka.
Semua orang yang berada di Sasana
Sewaka kemudian berjongkok dengan kepala menunduk, menanti kedatangan Kanjeng
Sultan Trenggana beserta pengikutnya.
Dari ruang dalam kraton, keluarlah
sebuah rombongan, yang berjalan paling depan, dua orang Tumenggung Wira
Tamtama, yang berjalan disebelah kanan, Tumenggung Gajah Birawa, sedangkan yang
berjalan disebelah kiri, Tumenggung Suranata.
Mereka berjalan mengapit Kanjeng
Sultan Trenggana yang saat itu berjalan dengan memakai pakaian Keprabon,
dibelakangnya berjalan seorang abdi dalem yang membawa sebuah songsong
Kasultanan Demak yang berwarna kuning, yang terus menerus memayungi Kanjeng
Sultan.
Dibelakang pembawa payung kerajaan,
berjalan Patih Kasultanan Demak, Patih Wanasalam.
Setelah itu, dibelakangnya, berjalan
dua orang ulama, dua orang dari Walisanga yang sudah sangat sepuh, Kanjeng
Sunan Kalijaga beserta Kanjeng Sunan Kudus.
Kanjeng Sunan Kudus berpakaian
seorang ulama, baju panjang berwarna putih, sedangkan Kanjeng Sunan Kalijaga
berpakaian berwarna wulung.
Setelah itu baru dibelakangnya,
berjalan Kanjeng Prameswari beserta Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka.
Dibelakang Kanjeng Prameswari,
disebelah kiri, berjalan putri Kanjeng Sultan yang sekarang berdiam di
pesanggrahan Kalinyamat, istri dari Pangeran Hadiri, Kanjeng Ratu Kalinyamat,
sedangkan yang disebelah kanannya, menantu Kanjeng Sultan, istri dari Sunan
Prawata, Kanjeng Ratu Prawata.
Dibelakang sendiri berjalan seorang
emban, menggendong seorang anak kecil, Raden Arya Pangiri, satu-satunya cucu
laki-laki Kanjeng Sultan yang masih terhitung pewaris tahta Kasultanan Demak,
putra dari Sunan Prawata..
Sesaat kemudian rombongan Kanjeng
Sultan telah memasuki Sasana Sewaka, Tumenggung Gajah Birawa yang berjalan
didepan bersama Tumenggung Suranata, berjalan perlahan-lahan menuju kursi
khusus yang berada didepan, yang disediakan untuk Kanjeng Sultan.
Semua yang hadir di Sasana Sewaka
menunduk dan menyembah ketika Kanjeng Sultan Trenggana lewat didepannya.
Ketika Tumenggung Gajah Birawa dan
Tumenggung Suranata sudah sampai di depan, maka kedua Tumenggung itupun
mempersilahkan Kanjeng Sultan untuk duduk di kursi yang telah disediakan,
mempersilahkan kanjeng Sulktan duduk di sebuah dampar denta, sebuah singgasana
yang berukuran agak besar, terbuat dari kayu jati yang diukir halus.
Kanjeng Sultanpun segera duduk di
singgasananya, lalu agak dibelakang singgasana ditancapkan pada sebuah jagrak,
payung kebesaran Kasultanan Demak yang dibawa oleh seorang abdi dalem yang
berjalan dibelakang Kanjeng Sultan.
Kanjeng Sunan Kalijaga beserta
Kanjeng Sunan Kudus lalu duduk di dua buah kursi yang berjejer, yang terletak
agak jauh di sebelah kanan Kanjeng Sultan
Kanjeng Prameswaripun kemudian juga
duduk di kursi agak dibelakang, sebelah kiri Kanjeng Sultan.
Ratu Kalinyamat, Ratu Prawata beserta
Sekar Kedaton Mas Cempaka, duduk agak kebelakang, duduk bersimpuh disebelah
kiri Kanjeng Prameswari, dibelakangnya juga duduk bersimpuh emban yang
menggendong Raden Arya Pangiri yang umurnya baru sewarsa.
Patih Wanasalam segera duduk
bersila, disebelah kanan, agak jauh dari Kanjeng Sultan, sedangkan Tumenggung
Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata duduk bersila disebelah kanan dan kiri,
mengapit Kanjeng Sultan yang duduk di singgasana.
Gusti Putri Sekar Kedaton yang duduk
bersimpuh didekat Kanjeng Prameswari, mengedarkan pandangannya, agak jauh
didepannya, dilihatnya Karebet yang duduk bersila disebelah Pangeran Timur.
Ketika Karebet melihat sekilas Gusti
Putri Sekar Kedaton tersenyum padanya, maka iapun membalas juga dengan
senyumnya, setelah itu Sekar Kedatonpun menundukkan kepalanya. Didalam
Pasewakan Agung, Gusti Putri Sekar Kedaton harus bisa menempatkan diri, ia
tidak mau Kanjeng Prameswari menjadi marah kepadanya karena ia menuruti perasaannya
sampai melupakan suba sita.
Sesaat kemudian terdengar suara
Panji Danapati yang mengatakan acara Pisowanan Agung segera dimulai.
Panji Danapati kemudian
mempersilakan semua yang hadir untuk kembali duduk bersila, setelah itu Panji
Danapatipun kemudian juga duduk bersila, bersiap mendengarkan titah Kanjeng
Sultan.
Setelah semuanya duduk bersila maka
Kanjeng Sultanpun berbicara dihadapan semua yang hadir di Pisowanan Agung,
hanya singkat, Kanjeng Sultan mengucapkan terima kasih atas kesetiaan mereka terhadap
Kasultanan Demak, dan berterima kasih pula atas pemberian asok hulu bekti
terhadap Kraton Demak.
Setelah itu tibalah saat yang
dinanti-nanti oleh banyak orang di Pasewakan Agung, Gusti Putri Sekar
Kedatonpun berdebar-debar karena Karebet, orang yang dicintainya, akan
disengkak-ake ing ngaluhur menjadi seorang Adipati.
Sambil duduk bersila, Ki Panji
Danapati mempersilahkan Arya Penangsang dan Karebet untuk maju kehadapan
Kanjeng Sultan.
Dengan laku dodok, keduanyapun
kemudian berjongkok maju kedepan, tepat dihadapan Kanjeng Sultan yang duduk di
dampar keprabon, merekapun berhenti, menyembah lalu keduanya duduk bersila
sambil menundukkan kepalanya.
Patih Wanasalam segera memberikan
dua buah gulungan Layang Kekancingan kepada Kanjeng Sultan Trenggana.
Kanjeng Sultanpun kemudian berdiri
lalu menerima Layang Kekancingan dari Patih Wanasalam, dua buah Surat Keputusan
yang telah ditulisnya sendiri, yang terbuat dari kulit binatang.
Dua buah Layang Kekancingan yang
dalam keadaan tergulung, merupakan keputusan Kanjeng Sultan untuk mengangkat
Arya Penangsang dan Karebet menjadi Adipati.
Satu demi satu, Layang Kekancingan
itupun diberikan kepada mereka berdua, berurutan, yang pertama kali menerima
adalah Arya Penangsang.
Setelah menyembah, dengan kedua
tangannya, Arya Penangsang menerima gulungan Layang Kekancingan, disusul
Karebet yang juga menerima Layang Kekancingan dari Kanjeng Sultan dengan kedua
tangannya.
Setelah kedua orang itu menerima
Layang Kekancingan, maka Kanjeng Sultan Trenggana berkata :"Penangsang dan
Karebet, silakan kalian kembali ketempatmu"
Penangsang dan Karebetpun menyembah,
kemudian keduanya mundur, perlahan-lahan Arya Penangsang kembali ketempatnya
semula, Karebetpun kembali duduk bersila disebelah Pangeran Timur, setelah itu
Kanjeng Sultanpun kemudian juga duduk kembali di dampar keprabon Kasultanan
Demak.
Untuk yang kedua kalinya Kanjeng
Sultan berbicara dihadapan para hadirin di Sasana Sewaka, tentang tugas dan
pengangkatan Penangsang sebagai Adipati Jipang dan Karebet sebagai Adipati Pajang.
Disamping mengucapkan selamat atas
pengangkatan mereka sebagai seorang Adipati, Kanjeng Sultan mengingatkan tugas
dan tanggung jawab mereka yang berat, yaitu melindungi dan menyejahterakan
seluruh rakyat Jipang dan seluruh rakyat Pajang.
Dikatakan oleh Kanjeng Sultan,
sebelum Kadipaten Jipang dan Kadipaten Pajang mampu mempunyai prajurit sendiri,
maka untuk sementara akan ada lima belas orang prajurit dari kesatuan Wira
Manggala Demak yang diperbantukan di Kadipaten jipang dan lima belas orang lainnya
juga akan diperbantukan di Kadipaten Pajang.
"Sesuai dengan yang tertulis di
Layang Kekancingan, maka mulai hari ini Arya Penangsang resmi sebagai Adipati
di Kadipaten Jipang dengan nama Adipati Arya Penangsang, sedangkan Karebet
resmi menjadi Adipati di Kadipaten Pajang dengan nama Adipati Hadiwijaya"
kata Kanjeng Sultan Trenggana.
Mendengan titah ayahandanya Kanjeng
Sultan Trenggana, mata Gusti Putri Sekar Kedaton berkaca-kaca, hampir menangis
bahagia mendengar pemuda yang dicintainya telah menjadi seorang Adipati.
"Hadiwijaya, namanya sekarang
Kanjeng Adipati Hadiwijaya" kata Sekar Kedaton perlahan.
Setelah Kanjeng Sultan selesai
menyampaikan titahnya, maka doapun segera dibaca oleh Kanjeng Sunan Kalijaga
Tak lama kemudian, setelah pembacaan
doa selesai, maka Pisowanan Agung telah dinyatakan selesai, Panji Danapati
mempersilahkan Kanjeng Sultan untuk berdiri dan kembali ke ruang dalam.
Setelah mendengar Kanjeng Sultan
akan kembali ke ruang dalam, semua yang hadir di Sasana Sewaka segera
berjongkok bersiap menyembah Kanjeng Sultan ketika lewat di depannya.
Abdi dalem yang membawa songsong
segera berdiri, mencabut songsong Kasultanan dan segera dipakai untuk memayungi
Kanjeng Sultan.
Tumenggung Gajah Birawa dan
Tumenggung Suranata juga segera berdiri mengapit Kanjeng Sultan yang bersiap
untuk berjalan ke ruang dalam.
Lalu berjalanlah Kanjeng Sultan
diiringi oleh Patih Wanasalam, lalu diikuti oleh Kanjeng Sunan Kudus dan
Kanjeng Sunan Kalijaga, dibelakangnya berjalan Kanjeng Prameswari bersama Sekar
Kedaton, kemudian Ratu Kalinyamat dan Ratu Prawata yang terakhir seorang emban
menggendong Raden Arya Pangiri.
Para hadirin di Sasana Sewakapun
membubarkan diri, beberapa orang menyalami Adipati Arya Penangsang dan Adipati
Hadiwijaya, tetapi sesaat kemudian Arya Penangsangpun bergegas keluar dari
Sasana Sewaka, dan dibelakangnya berjalan adiknya, Arya Mataram bersama
Matahun.
Ki Pemanahan pun segera mendekat
Adipati Hadiwijaya dan berkata :"Kanjeng Adipati, kita segera keluar dari
Sasana Sewaka"
"Ya, kakang Pemanahan, kita
keluar sekarang, ayo kakang Penjawi,kita keluar" kata Adipati Hadiwijaya.
"Baik, Kanjeng Adipati"
kata Penjawi.
Adipati Hadiwijaya segera melangkah
keluar, tetapi langkahnya terhenti ketika seorang berpakaian Tumenggung
menghadang langkahnya dan tepat berdiri didepan Adipati Hadiwijaya.
(bersambung)
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
BalasHapussedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau
Saya senang dgn karya bpk Apung Swarna.
BalasHapus