KERIS KYAI
SETAN KOBER 27
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 10 :
KANJENG ADIPATI 2
Orang yang
berdiri dihadapan Adipati Hadiwijaya memakai pakaian seorang Tumenggung dari
kesatuan Wira Braja, orang itu adalah Tumenggung Gagak Anabrang.
Tumenggung
Gagak Anabrang tersenyum, kakinya maju selangkah, lalu kedua tangannya
diulurkan kedepan menyalami Adipati Hadiwijaya.
"Selamat
Kanjeng Adipati, saya ikut senang" kata Tumenggung Gagak Anabrang.
Adipati
Hadiwijaya menyambut uluran tangan Tumenggung Gagak Anabrang dengan hangat
:"Terima kasih Ki Tumenggung Gagak Anabrang"
Dibelakang
Tumenggung Gagak Anabrang, ternyata ada Tumenggung Surapati, Tumenggung Siung
Laut dan beberapa Tumenggung yang lain.
Dibelakang
para Tumenggung, ada Rangga Pideksa dan beberapa orang yang berpangkat Panji,
mereka semuanya memberi ucapan selamat kepada Adipati Hadiwijaya.
Setelah
para Tumenggung, Panji dan Rangga telah selesai memberikan ucapan selamat, maka
Adipati Hadiwijaya keluar dari Sasana Sewaka, dibelakangnya berjalan Pemanahan
dan Penjawi.
Didepan
Sasana Sewaka, ketika Adipati Hadiwijaya sedang berjalan, terdengar suara
memanggil namanya perlahan :"Kanjeng Adipati Hadiwijaya"
Adipati
Hadiwijaya menoleh, dilihatnya empat orang berpakaian Wira Tamtama sedang berdiri
didekatnya, dengan tangan ngapurancang, lalu keempat orang itupun membungkuk
hormat.
"Ternyata
Ki Lurah Wirya, Ki Lurah Mada, Tumpak dan kau Soma" kata Hadiwijaya.
"Ya
Kanjeng Adipati, selamat, saya ikut senang Kanjeng Adipati" kata Lurah
Wirya.
"Terima
kasih Ki Lurah Wirya" kata Adipati Hadiwijaya.
"Selamat
Kanjeng Adipati" kata Tumpak.
"Ya
Tumpak, kau tidak termasuk lima belas orang prajurit yang akan diperbantukan ke
Pajang ?" tanya Sang Adipati.
"Tidak
Kanjeng Adipati, yang diperbantukan adalah prajurit dari kesatuan Wira
Manggala, bukan dari kesatuan Wira Tamtama" jawab Tumpak.
"Ya,
kapan prajurit Wira Manggala berangkat ke Pajang" tanya Adipati
Hadiwijaya.
"Besok
pagi Kanjeng Adipati, lima belas orang prajurit Wira Manggala besok pagi akan
berangkat ke empat lokasi, Jipang, Pajang, Kalinyamat dan Prawata" kata
Lurah Wirya
"Kalinyamat
dan Prawata juga mendapat bantuan prajurit Wira Manggala?" tanya Adipati
Hadiwijaya.
"Ya
Kanjeng Adipati, setiap daerah mendapat bantuan lima belas orang prajurit Wira
Manggala" kata Lurah Mada.
Belum
selesai mereka berbicara, terdengar suara seorang yang berkata :"Kanjeng
Adipati Hadiwijaya"
Adipati
Hadiwijaya menoleh, dilihatnya Nyai Madusari sedang membungkukkan badannya.
"Ya
Nyai" kata Adipati Hadiwijaya
"Kanjeng
Adipati hari ini akan langsung kembali ke Pajang ? Kuda Kanjeng Adipati
ditinggal dimana?" tanya Nyai Madusari
"Ya
nyai, aku akan kembali ke Pajang hari ini, tetapi aku akan singgah dulu di
Kadilangu, kudaku ada disana" kata Adipati Hadiwijaya.
Nyai Madusari
seperti teringat sesuatu, lalu iapun menelangkupkan kedua tangannya, dan
berkata :"Mohon maaf Kanjeng Adipati, saya lupa tata krama, saya lupa
dengan siapa saya berbicara"
"Tidak
apa apa nyai" kata Adipati Hadiwijaya.
Sementara
itu, pada saat yang sama dari ruang dalam keluar Kanjeng Sunan Kalijaga bersama
dengan Kanjeng Sunan Kudus, dibelakangnya juga berjalan Tumenggung Gajah Birawa
dan Tumenggung Suranata.
Adipati
Hadiwijaya ketika melihat Kanjeng Sunan Kalijaga bersama beberapa orang keluar
dari ruang dalam, maka iapun berkata :"Nyai Madusari, tolong bilang pada
Gusti Putri, aku meninggalkan kraton bersama Kanjeng Sunan Kalijaga ke
Kadilangu, setelah dari Kadilangu aku akan segera pulang ke Pajang"
"Baik
Kanjeng Adipati" kata nyai Madusari.
"Ki
Lurah Wirya, Ki Lurah Mada, Tumpak, Soma dan kau Nyai Madusari, aku tinggal
dulu, aku akan menemui Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Kanjeng Adipati.
"Silakan
Kanjeng Adipati" kata mereka hampir bersamaan.
Adipati
Hadiwijaya kemudian berjalan menuju ke pintu ruang dalam, dibelakangnya
menyusul Pemanahan dan Penjawi.
Kanjeng
Sunan Kalijaga melihat Adipati Hadiwijaya berjalan menuju ke arahnya, maka
Kanjeng Sunanpun mendekati Adipati Hadiwijaya dan mengulurkan kedua tangannya,
mengucapkan selamat kepadanya.
"Terima
kasih Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya mengulurkan kedua tangannya
menyambut tangan Sunan Kalijaga.
Setelah
itu berturut-turut Kanjeng Sunan Kudus mengucapkan selamat, disusul Tumenggung
Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata.
"Nakmas
Hadiwijaya, kau lihat dimana anakku Penangsang?" tanya Kanjeng Sunan
Kudus.
"Saya
tidak tahu Kanjeng Sunan,ketika kami berada didalam, Adipati Arya Penangsang
sudah keluar dari Sasana Sewaka bersama Raden Arya Mataram dan Ki Matahun"
jawab Adipati Hadiwijaya.
"Baik,
aku akan mencari mereka" kata Kanjeng Sunan Kudus, setelah itu Sunan
Kuduspun pamit kepada Kanjeng Sunan Kalijaga.
Kanjeng
Sunan Kuduspun mengucap salam lalu Kanjeng Sunan Kalijaga bersama yang lain
menjawab salamnya.
Kanjeng
Sunan Kuduspun kemudian pergi berjalan mencari muridnya, Adipati Arya
Penangsang.
Setelah
Kanjeng Sunan Kudus tidak terlihat lagi, maka Sunan Kalijaga mengajak
Hadiwijaya, Pemanahan dan Penjawi pulang Ke Kadilangu.
Kemudian
merekapun berpamitan kepada Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata,
lalu keempat orang itupun kemudian berjalan menuju pintu gerbang kraton.
"Nakmas
Hadiwijaya" sambil berjalan Kanjeng Sunan Kalijaga berbicara kepada
Adipati Hadiwijaya.
"Ya
Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya.
"Ada
beberapa pesan dari Kanjeng Sultan Trenggana mengenai anakmas yang telah
disampaikan kepadaku, nanti saja akan kita bicarakan setelah sampai di
Kadilangu" kata Sunan Kaijaga.
"Baik
Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya.
"Nakmas
jangan langsung pulang ke Pajang, tunggu nanti setelah sholat dhuhur di
Kadilangu" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Baik
Kanjeng Sunan" kata Adipati Hadiwijaya.
Dua orang
penjaga pintu gerbang membungkuk hormat ketika Hadiwijaya bersama Kanjeng Sunan
Kalijaga melewati pintu gerbang.
Merekapun
terus berjalan, ketika mereka keluar dari pintu gerbang kraton, disana sudah
menunggu Mas Manca dan Jaka Wila serta dua orang santri dari Kadilangu.
Keempat
orang tersebut lalu mendekati Adipati Hadiwijaya dan dengan membungkukkan badan
serta tangan bersikap ngapurancang mereka mengucapkan selamat kepada Adipati
Hadiwijaya.
"Terima
kasih" kata Adipati Hadiwijaya.
Matahari
sudah tinggi meskipun belum mencapai puncak langit, ketika delapan orang itu
berjalan ke arah selatan, kembali menuju Kadilangu.
Mereka
berjalan terus, tak lama kemudian merekapun berbelok ke arah timur, beberapa
langkah mereka berjalan, sampailah rombongan Kanjeng Sunan Kalijaga di tepi
sungai Tuntang.
Rakit yang
tadi pagi dipakai untuk menyeberang ke barat masih tertambat di tepi sungai,
Mereka
kemudian naik keatas rakit, kedua santri lalu memasukkan galah ke dalam air
sungai dan mendorongnya ke arah barat maka perlahan-lahan rakitpun bergerak ke
timur, air sungai Tuntang yang tenang, membuat laju rakit menjadi lancar.
Beberapa
saat kemudian ujung rakit telah menyentuh tepi sungai sebelah timur lalu semua
penumpangnya naik ke tepi sungai serta melanjutkan perjalanan yang hanya
tinggal beberapa langkah lagi.
Ketika
memasuki gerbang pesantren Kadilangu, merekapun mengucap salam, dan dari dalam
terdengar suara seorang santri yang membalas salamnya.
"Nakmas
Hadiwijaya, silahkan kalau mau ke pakiwan atau mau ganti pakaian dulu, setelah
itu kita berbicara didalam" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Baik
Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya, lalu, ia bersama Pemanahan, Penjawi, Mas
Manca dan Jaka Wila, berjalan ke sumur dibelakang rumah, membersihkan diri dan
berganti pakaian.
Matahari
semakin meninggi, udarapun semakin panas, namun di ruang dalam pesantren
Kadilangu, Kanjeng Sunan Kalijaga duduk bersila, berhadapan dengan Adipati
Pajang Hadiwijaya, dan dibelakangnya duduk Pemanahan, Penjawi, Mas Manca dan
Jaka Wila.
"Nakmas
Hadiwijaya, ada hal yang penting dibicarakan oleh Kanjeng Sultan Trenggana
mengenai nakmas Hadiwijaya" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Mengenai
saya Kanjeng Sunan ?" tanya Adipati Hadiwijaya.
"Ya,
mengenai pernikahan nakmas dengan Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka"
kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
Hadiwijaya
menggeser duduknya maju sejengkal, berusaha mendengarkan kata-kata Kanjeng
Sunan Kalijaga dengan lebih jelas.
"Sebetulnya
Kanjeng Sultan ingin berbicara langsung kepada kedua orang tua pihak laki-laki,
tetapi karena kedua orang tuamu Ki Ageng Pengging dan Nyai Ageng Pengging telah
meninggal dunia, dan Ki Kebo Kanigara sebagai uwamu tidak diketahui tempat
tinggalnya, maka aku sebagai gurumu memberanikan diri mewakili kedua orang
tuamu, nakmas tidak keberatan ?" tanya Kanjeng Sunan Kaijaga.
"Tidak
Kanjeng Sunan, sama sekali tidak berkeberatan" kata Hadiwijaya.
"Nah
tadi ketika aku berada diruang dalam kraton, secara singkat Kanjeng Sultan
ingin agar lamaran dari pihak laki-laki dilaksanakan secepatnya, tiga pasar
setelah pelantikan nakmas Hadiwijaya sebagai Adipati Pajang" kata Kanjeng
Sunan.
"Begitu
cepatnya" kata Hadiwijaya lirih.
"Ya,
memang begitu rencana dari Kanjeng Sultan Trenggana, setelah acara lamaran,
besoknya dilanjutkan dengan upacara pahargyan pengantin secara sederhana, tidak
perlu mengundang raja-raja manca negara, hanya petinggi nayaka praja Kasultanan
Demak saja, lalu sepasar kemudian Sekar Kedaton bisa nakmas boyong ke
Pajang" kata Kanjeng Sunan Kalijaga menjelaskan rencana Kanjeng Sultan
Trenggana.
Hadiwijaya
mendengarkan dengan cermat semua kalimat dari Kanjeng Sultan lewat gurunya
Kanjeng Sunan Kalijaga.
Semakin
jelas bagi Hadiwijaya, ternyata sikap Kanjeng Sultan hampir seperti perkiraan
uwanya Kebo Kanigara, bahwa Demak dalam persiapan perang.
"Kanjeng
Sultan sedemikian tergesa-gesa menikahkan Sekar Kedaton, secara sederhana,
tidak mengundang raja-raja manca negara karena segera akan mempersiapkan sebuah
pasukan penggempur yang kuat dan akan menyerang ke salah satu daerah di bang
wetan atau bang kulon" kata Kanjeng Adipati didalam hatinya.
Adipati
Hadiwijaya terlihat sedang menundukkan kepala, tetapi pikirannya sedang
memperkirakan apa yang akan terjadi dalam waktu dekat ini.
"Besok
akan berangkat lima belas orang prajurit Wira Manggala dari Demak ke Pajang,
dan kalau betul Kanjeng Sultan akan mempersiapkan pasukan penggempur, tidak
lama lagi lima belas orang prajurit itupun pasti akan ditarik ke kotaraja
Demak, dan keadaan Kadipaten Pajang saat itu tidak mempunyai prajurit
seorangpun" kata Hadiwijaya dalam hati.
"Sebelum
prajurit Wira Manggala ditarik ke Demak, prajurit Pajang harus sudah terbentuk,
paling tidak prajurit Pajang bisa melindungi dirinya sendiri menghadapi
serangan dari luar Pajang. Aku harus bergerak cepat, sepasar lagi aku akan
mengadakan pasewakan para bebahu Kadipaten Pajang, lalu dalam waktu sepasar
selanjutnya prajurit Pajang harus sudah diresmikan" desis Kanjeng Adipati.
Adipati
Hadiwijayapun mengangguk-anggukkan kepalanya, tetapi iapun terkejut ketika
Kanjeng Sunan Kalijaga berkata :"Nakmas Hadiwijaya, apakah saat ini Ki
Kebo Kanigara sudah tahu rencana pernikahan nakmas dengan Sekar Kedaton ?"
Angan-angan
Adipati Hadiwijaya tentang keinginannya membentuk sebuah kesatuan prajurit
Pajang yang harus terlaksana dalam waktu dua pasar menjadi buyar, ketika
Kanjeng Sunan Kalijaga bertanya kepadanya tentang masalah pernikahannya yang
belum tuntas mereka bicarakan.
"Kalau
rencana pernikahan saya, siwa Kebo Kanigara sudah mengetahui Kanjeng Sunan,
hanya kapan acara pernikahannya dilaksanakan, siwa Kebo Kanigara belum
mengetahuinya" kata Adipati Hadiwijaya.
"Aku
masih mengharapkan Ki Kebo Kanigara mau mendampingimu pada saat lamaran dan
pada saat pahargyan pengantin nanti" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Ya
Kanjeng Sunan, saya sudah minta kepada siwa Kebo Kanigara untuk ikut ke
kotaraja Demak, tetapi siwa masih mempertimbangkannya" kata Sang Adipati,
"Aku
bisa mengerti jalan pikiran Ki Kebo Kanigara, tapi masalah Pengging adalah
persoalan masa lalu, yang sudah berjalan lebih dari dua puluh warsa, yang
sebetulnya masalahnya sudah selesai" kata. Kanjeng Sunan.
"Ya
Kanjeng Sunan, menurut Kanjeng Sultan Trenggana, sebetulnya masalah Pengging
memang sudah selesai" kata Adipati Hadiwijaya.
"Lebih
dari dua puluh warsa Ki Kebo Kanigara menarik diri dari pergaulan dan
pertemanan, meninggalkan rumah yang bertahun-tahun ditempatinya, menyendiri
tanpa ada yang tahu dimana tempat tinggalnya" kata Sunan Kalijaga.
"Ya
Kanjeng Sunan"
"Mudah-mudahan
Ki Kebo Kanigara bisa mendampingi nakmas di acara lamaran dan upacara pahargyan
pengantin, sebab bagaimanapun nakmas adalah satu-satunya orang yang bisa
mengangkat nama keturunan Pengging"
"Ya
Kanjeng Sunan" jawab Sang Adipati.
"Besok
pada waktu nakmas Hadiwijaya melamar Sekar Kedaton, kita berangkat dari
Kadilangu, seperti tadi pagi" kata Sunan Kalijaga.
"Ya
Kanjeng Sunan"
"Nakmas
datang ke Kadilangu sehari dua hari sebelumnya, sehingga kita cukup waktu
menyiapkan segala uba rampe lamarannya"
"Apa
saja yang diperlukan untuk uba rampe acara lamarannya Kanjeng Sunan ?"
tanya Adipati Pajang.
"Kanjeng
Sultan merencanakan, acara lamaran dan pahargyan pengantin memang dibuat sederhana,
beberapa hasil bumi nanti bisa kita pakai sebagai uba rampe acara lamarannya,
selain itu ada beberapa perhiasan untuk diberikan kepada Sekar Kedaton sebagai
mas kawin, nakmas Hadiwijaya masih punya beberapa perhiasan untuk wanita
?" tanya Sunan Kalijaga.
"Ya
Kanjeng Sunan, dirumah ada beberapa perhiasan peninggalan eyang Asmayawati,
istri dari eyang Adipati Pengging Witaradya, eyang Handayaningrat, nanti saya
akan minta ijin siwa Kebo Kanigara, beberapa perhiasan apakah bisa diberikan
sebagai mas kawin untuk diajeng Sekar Kedaton" kata Hadiwijaya.
"Nah,
nanti nakmas bawa saja perhiasan untuk Sekar Kedaton, sedangkan urusan jodang
berisi hasil bumi maupun makanan, biar diurus para santri dari Kadilangu"
kata Kanjeng Sunan.
"Terima
kasih Kanjeng Sunan"
"Selain
perhiasan, apakah masih ada beberapa kain milik eyangmu yang masih nakmas
simpan?"
"Ya
Kanjeng Sunan, di Pengging masih tersimpan beberapa kain peninggalan eyang
Asmayawati, kainnya saat ini masih dalam keadaan baik" jawab Sang Adipati.
"Ya,
kainnya pasti masih baik, itu adalah kain peninggalan dari kraton Majapahit,
bawalah sekalian untuk diberikan kepada Sekar kedaton"
"Baik
Kanjeng Sunan"
"Nanti
anakmas bisa mengajak beberapa orang tua untuk ikut dalam acara lamaran
nanti"
"Ya
Kanjeng Sunan, ada beberapa orang tua yang bisa ikut ke kotaraja, nanti saya
yang akan minta untuk menemani saya waktu lamaran dan pahargyan pengantin"
kata Adipati Pajang.
"Siapa
saja orang tua yang nanti ikut ke kotaraja?"
"Saya
akan minta kepada beberapa orang tua untuk ikut ke kotaraja, Ki Buyut
Banyubiru, Ki Majasta, Ki Wuragil, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang, dan siwa
Kebo Kanigara" jawab Adipati Hadiwijaya.
"Bagus,
cukup banyak, nanti mereka bisa menginap di Kadilangu, sehingga kita bisa
berangkat bersama-sama ke kraton"
Mereka
masih berbicara beberapa hal, dan mataharipun terus bergerak sampai di puncak
langit, sesaat kemudian terdengarlah suara kentongan, menandakan telah tiba
waktu untuk sholat dhuhur.
"Mari
kita bersama-sama menunaikan sholat dhuhur dulu" kata Kanjeng Sunan
Kalijaga.
Merekapun
segera keluar dari ruang dalam, lalu mengambil air wudhu, lalu melaksanakan
sholat dhuhur berjamaah bersama Kanjeng Sunan Kalijaga beserta segenap santri
Kadilangu.
Beberapa
saat setelah selesai sholat dhuhur, merekapun mohon pamit pulang ke Pajang.
"Nakmas
tidak makan siang dulu?" tanya Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Tadi
sudah makan Kanjeng Sunan, diruang belakang, bersama para santri" kata
Hadiwijaya.
"Baiklah
nakmas, hati-hati dijalan, aku hanya bisa nyangoni slamet" kata Kanjeng
Sunan Kalijaga.
"Terima
kasih Kanjeng Sunan" kata Hadiwijaya, sementara Pemanahan, Penjawi, Mas
Manca dan Jaka Wila juga mohon diri.
"Hat-hati
dijalan" kata Kanjeng Sunan.
Setelah
mengucap salam dan Kanjeng Sunanpun menjawab salamnya, maka Hadiwijaya kemudian
naik kuda keluar dari pintu gerbang Kadilangu, diikuti oleh keempat sahabatnya.
Lima ekor
kuda yang di pelananya tergantung masing-masing satu bungkusan berisi pakaian
dan bekal makanan, berlari meninggalkan pesantren Kadilangu menuju arah selatan.
Adipati
Hadiwijaya berkuda paling depan, keris pusaka Pengging yang sekarang menjadi
sipat kandel Kadipaten Pajang, Kyai Naga Siluman, dipakai dengan cara nyote,
terselip di depan, dilambung sebelah kiri, bukan diselipkan dibelakang, karena
saat ini Adipati Hadiwijaya sedang menunggang seekor kuda.
Debu
berhamburan di belakang kaki kuda yang mereka tumpangi, dan mataharipun tanpa
henti terus bergerak kearah barat
Sekali dua
kali mereka berhenti untuk memberi minum kuda-kuda mereka, lalu merekapun melanjutan
perjalanannya, duduk diatas punggung kuda yang sedang berlari.
Matahari
telah condong kebarat, ketika mereka sampai disuatu jalan pertigaan, terlihat
Adipati Hadiwijaya menghentikan kudanya dan berkata :"Kita berhenti dulu
disini, ada hal penting yang akan kita bicarakan"
Mereka
berlima kemudian berhenti lalu duduk dibawah pohon, membiarkan kudanya makan
rumput yang tumbuh disekitar tempat itu.
Adipati
Hadiwijaya duduk beralaskan rumput, sedangkan empat orang sahabatnya duduk
bersila dihadapannya.
"Kakang
Pemanahan, kakang Penjawi, Mas Manca dan kau Jaka Wila" kata Adipati
Hadiwijaya.
"Dawuh
dalem Kanjeng Adipati" kata mereka berempat hampir bersamaan.
"Didepan
kita, setelah jalan yang kita lewati dari Kadilangu ini, ada sebuah pertigaan,
jalan simpang bercabang dua, jalan yang lurus dan jalan yang berbelok ke kiri.
"Jalan
didepan yang lurus, yang biasa kita lewati adalah jalan yang menuju ke Sima
atau ke Banyubiru, sedangkan yang belok ke timur ini kelihatannya menuju ke
Sela, betul begitu kakang Pemanahan ?" tanya Kanjeng Adipati Hadiwijaya.
"Betul
Kanjeng Adipati, jalan ini menuju Sela, kalau dari Kadilangu pulang ke Sela,
saya juga melalui jalan ini" kata Pemanahan.
"Besok
pagi lima belas orang prajurit Wira Manggala akan berangkat dari kotaraja ke
Pajang, mereka akan menjaga keamanan Kadipaten Pajang sebelum Pajang bisa
menjaga dirinya sendiri" kata Adipati Hadiwijaya.
"Aku
rencanakan, sepasar setelah ini, Kadipaten Pajang mengadakan pasewakan para
bebahu yang pertama, setelah itu aku inginkan, sepasar selanjutnya, Pajang
sudah resmi mempunyai prajurit sendiri, jadi apabila setiap saat semua prajurit
Wira Manggala yang berada di Pajang ditarik ke kotaraja, Pajang sudah bisa
menjaga dirinya sendiri" kata Sang Adipati.
'Banyak
yang harus kita kerjakan, kakang Pemanahan, di Sela, berapa ratus orang laskar
Sela yang ada sekarang?" tanya Hadiwijaya.
"Laskar
Sela saat ini sekitar empat ratus orang Kanjeng Adipati" jawab Pemanahan.
"Ada
berapa orang pande besi di Sela kakang Pemanahan ?" tanya Kanjeng Adipati.
"Ada
dua orang, Kanjeng Adipati" jawab Pemanahan.
"Apakah
kedua orang pande besi itu bisa membuat seratus pedang pendek dalam waktu dua
pasar?" tanya Kanjeng Adipati.
"Tidak
bisa Kanjeng Adipati, waktunya paling tidak dua tiga candra"
"Bagaimana
caranya supaya pada waktu peresmian prajurit Pajang sudah bisa mempunyai pedang
pendek paling sedikit seratus buah ?"
Pemanahan
berpikir sejenak, seteah itu Pemanahanpun berkata :"Kanjeng Adipati,
ijinkan saya saat ini kembali ke Sela, nanti akan saya bawa seratus buah pedang
pendek dan dua puluh bilah tombak ke Pajang, persenjataan laskar Sela berkurang
seperempatnya, tidak akan banyak pengaruhnya, nanti pande besi Sela dengan cepat
bisa membuatkan gantinya" kata Pemanahan.
"Bagus
kakang Pemanahan, nanti kekurangan senjata untuk prajurit Pajang bisa dibuat
oleh pande besi di Butuh" kata Kanjeng Adipati.
"Mohon
maaf Kanjeng Adipati, di Banyubiru juga ada dua orang pande besi" kata
Jaka Wila.
"Ya,
nanti Jaka Wila langsung menuju ke Banyubiru, tidak usah bersama rombongan yang
ke Pajang, nanti disamping pesan lima puluh buah pedang pendek dan tigapuluh
bilah tombak, atas namaku, kau juga mohon kepada Ki Buyut Banyubiru dan Ki
Majasta untuk ikut dalam acara lamaran dan pahargyan pengantin tiga pasar lagi,
nanti Ki Buyut Banyubiru dan Ki Majasta menginap di Kadilangu" kata
Adipati Pajang.
"Sendika
dawuh Kanjeng Adipati" kata Jaka Wila.
"Baik,
mari kita sekarang meneruskan perjalanan sampai matahari terbenam nanti, kakang
Pemanahan belok ke arah timur menuju Sela, kita akan berkuda lurus mengikuti
sungai Tuntang ini"
Kemudian
merekapun bangkit berdiri, menghampiri kuda mereka, dan ketika mereka sudah
berada dipunggung kuda, Pemanahanpun berkata :"Kanjeng Adipati, saya belok
ke timur"
"Baik
kakang Pemanahan, hati-hati dijalan" kata Adipati Hadiwijaya.
Kemudian
kuda yang ditunggangi Pemanahanpun berlari ke timur menuju Sela.
Sesaat
kemudian keempat orang itupun juga menjalankan kudanya menyusuri sungai
Tuntang.
Mataharipun
terus berjalan menuju cakrawala, empat ekor kuda itupun masih tetap berlari
hingga lembayung senja membayang di langit sebelah barat.
Adipati
Hadiwijaya menghentikan kudanya, diikuti oleh ketiga orang lainnya, dan ketika
semua kuda telah berhenti kelelahan, penunggangnyapun turun, mencari tempat
untuk membersihkan diri.
Jaka Wila
membawa kuda-kuda itu ketepi sungai, lalu ditambatkannya pada sebatang pohon
yang tumbuh tidak jauh dari sungai Tuntang.
Hadiwijaya
kemudian masuk ke dalam air sungai, membersihkan dirinya, sedangkan ditempat
terpisah agak jauh dari tempat itu, Penjawi, Mas Manca dan Jaka Wila juga
membersihkan dirinya.
Malam itu,
setelah makan bekal pemberian para santri Kadilangu, seorang adipati dan tiga
orang pengikutnya beristirahat di tepi sungai Tuntang, tidur beratap langit
serta bersandarkan pada sebatang pohon.
Malam yang
dihiasi ribuan bintang terasa sangat indah, namun ke empat orang itupun tidak
sempat menikmati keindahannya, karena mereka semua telah berkerudung kain
panjang, terbuai dialam mimpi,
Malampun
telah sampai ke ujungnya, semburat merah diufuk timur, bersaing dengan lintang
panjer rina yang bersinar cemerlang, bintang timur, seakan-akan memancarkan
kedip cahaya sekuat tenaganya, sebelum akhirnya redup terkalahkan oleh
terangnya sinar matahari pagi.
Adipati
Hadiwijaya beserta tiga orang pengikutnya segera membersihkan dirinya di sungai
Tuntang dan bersiap meneruskan perjalanannya, dan beberapa saat kemudian, empat
ekor kuda berlari menyusuri sungai Tuntang ke arah hulu, ke arah Rawa Pening.
Matahari
telah merayap semakin tinggi, ketika mereka sampai dipertigaan yang menuju
Sima.
Kuda
Adipati Hadiwijaya berhenti diikuti oleh pengikutnya, lalu terlihat Jaka Wila
mendekatkan kudanya ke Hadiwijaya.
"Bagaimana
Kanjeng Adipati ?" tanya Jaka Wila.
"Ini
Jalan simpang, yang ke kiri menuju Sima, sedangkan yang lurus menuju Rawa
Pening, kau lewat yang lurus menuju Banyubiru, sedangkan aku bersama kakang
Penjawi dan Mas Manca belok kekiri lewat Sima menuju Pajang" kata Adipati
Pajang.
"Baik
Kanjeng Adipati, saya sekarang akan berjalan lurus, menuju Banyubiru" kata
Jaka Wila.
"Hati-hati
Jaka Wila"
Jaka
Wilapun menjalankan kudanya, lurus menuju Banyubiru, sedangkan Adipati
Hadiwijaya bersama Penjawi dan Mas Manca membelokkan kudanya ke arah Sima.
Ketika
memasuki hutan didekat Sima, kuda mereka tidak bisa lari cepat, terpaksa mereka
menjalankan kudanya perlahan-lahan, bahkan kadang-kadang merekapun menuntunnya
apabila melewati batang pohon yang roboh ditengah jalan.
Matahari
telah condong ke barat, sebentar lagi akan menghilang di cakrawala, setelah
beberapa kali beristirahat, sampailah Adipati Hadiwijaya di bumi Pajang.
Kuda-kuda
masih berlari menuju ke arah bulak amba yang sekarang telah menjadi pusat
pemerintahan Kadipaten Pajang.
Wuragil
dan Wenang berdiri menyambut kedatangan Adipati Hadiwijaya, mereka berdua
berdiri didepan dalem kadipaten,
Kuda yang
ditumpangi Hadiwijaya kemudian berhenti di depan dalem kadipaten, disusul oleh
dua ekor kuda yang lain, kemudian Wuragil dan Wenang menghampiri Adipati
Hadiwijaya yang telah turun dari kudanya.
Setelah
berhadapan dengan Hadiwijaya, keduanya lalu mengucapkan selamat atas
pegangkatannya sebagai Adipati Pajang,
"Terima
kasih" kata Hadiwijaya.
Wenangpun
maju memegang tali kendali kuda Hadiwijaya, lalu di bawanya kebelakang, setelah
itu kuda-kuda yang lainpun juga dibawa kebelakang.
Malam itu,
setelah membersihkan dirinya, Adipati Hadiwijaya beristirahat, baru keesokan
harinya, Hadiwijaya mengumpulkan para sahabatnya di pendapa kadipaten,
"Ki
Wuragil, kakang Penjawi, Mas Manca, dan kau Wenang" kata Hadiwijaya.
"Dawuh
dalem Kanjeng Adipati" kata Wuragil.
"Diperjalanan
kemarin, aku sudah berbicara dengan kakang Penjawi dan Mas Manca tentang
rencana kedepan, tetapi aku belum membicarakan dengan Ki Wuragil dan
Wenang" kata Adipati Hadiwijaya.
Semua yang
hadir bersiap mendengarkan, terutama Wuragil dan Wenang yang tidak ikut ke
kotaraja Demak.
"Ki
Wuragil dan Wenang, setelah aku di wisuda menjadi Adipati Pajang dan mendapat
layang kekancingan dari Kanjeng Sultan Trenggana, namaku sekarang adalah
Hadiwijaya, dan aku merencanakan, empat hari lagi di Sasana Sewaka kadipaten
Pajang ini, supaya diadakan pasewakan yang pertama bagi para bebahu diseluruh
bumi Pajang" kata Adipati Pajang.
"Kemarin
pagi, telah berangkat ke Pajang, lima belas orang prajurit dari kesatuan Wira
Manggala, mereka akan membantu disini selama kita belum mempunyai prajurit
sendiri, dan mereka akan tiba ditempat kita, kira-kira nanti sore" kata
Adipati Hadiwijaya.
Setelah
terdiam sejenak, maka Adipati Hadiwijaya melanjutkan :"Aku inginkan,
sepasar setelah pasewakan para bebahu, Pajang sudah bisa mempunyai prajurit
sendiri, dan untuk kepentingan para prajurit, maka kakang Pemanahan pulang
sebentar ke Sela untuk mengambil seratus buah pedang pendek dan dua puluh bilah
tombak yang akan digunakan untuk perlengkapan prajurit Pajang"
"Kekurangannya
masih banyak, tetapi sebagian sudah dipesankan oleh Jaka Wila ke Banyubiru, dan
aku harapkan Jaka Wila nanti sore sudah bisa kembali ke Pajang. Tetapi senjata
yang dipesankan oleh Jaka Wila kepada pande besi Banyubiru ternyata juga masih
kurang, dan untuk kekurangannya, ini adalah tugas dari Wenang" kata
Hadiwijya selanjutnya.
Wenang
mengangkat wajahnya, bersiap menjalankan perintah Adipati Hadiwijaya.
"Wenang,
hari ini kau pergilah ke Butuh, pesankan ke pande besi di Butuh, untuk membuat
lima puluh bilah pedang pendek beserta dua puluh bilah tombak, katakan kepada
pande besi, pesanan ini supaya diselesaikan secepatnya" kata Kanjeng
Adipati.
"Sendika
dawuh Kanjeng Adipati" jawab Wenang.
"Selain
itu, dalam rangka lamaran dan pahargyan pengantin diajeng Sekar Kedaton, tolong
sampaikan kepada Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, agar supaya mereka bisa
ikut mendampingiku ke kotaraja Demak, tiga pasar setelah pisowanan agung
kemarin"
"Ki
Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang aku harapkan bisa hadir sehari sebelum acara
lamaran, dan nanti menginap di pesantren Kadilangu, Ki Ageng berdua sudah
ditunggu oleh Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Adipati Hadiwijaya.
"Sendika
dawuh Kanjeng Adipati" kata Wenang menyanggupi perintah Sang Adipati.
(bersambung)
Assalamualaikum Salam sejahtera untuk kita semua, Sengaja ingin menulis
BalasHapussedikit kesaksian untuk berbagi, barangkali ada teman-teman yang sedang
kesulitan masalah keuangan, Awal mula saya mengamalkan Pesugihan Tanpa
Tumbal karena usaha saya bangkrut dan saya menanggung hutang sebesar
1M saya sters hampir bunuh diri tidak tau harus bagaimana agar bisa
melunasi hutang saya, saya coba buka-buka internet dan saya bertemu
dengan KYAI SOLEH PATI, awalnya saya ragu dan tidak percaya tapi selama 3 hari
saya berpikir, saya akhirnya bergabung dan menghubungi KYAI SOLEH PATI
kata Pak.kyai pesugihan yang cocok untuk saya adalah pesugihan
penarikan uang gaib 4Milyar dengan tumbal hewan, Semua petunjuk saya ikuti
dan hanya 1 hari Astagfirullahallazim, Alhamdulilah akhirnya 4M yang saya
minta benar benar ada di tangan saya semua hutang saya lunas dan sisanya
buat modal usaha. sekarang rumah sudah punya dan mobil pun sudah ada.
Maka dari itu, setiap kali ada teman saya yang mengeluhkan nasibnya, saya
sering menyarankan untuk menghubungi KYAI SOLEH PATI Di Tlp 0852-2589-0869
agar di berikan arahan. Supaya tidak langsung datang ke jawa timur,
saya sendiri dulu hanya berkonsultasi jarak jauh. Alhamdulillah, hasilnya sangat baik,
jika ingin seperti saya coba hubungi KYAI SOLEH PATI pasti akan di bantu Oleh Beliau