Sabtu, 16 Agustus 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 13

  • BAB 5 : MASA PEMBUANGAN 3

    KARYA  : APUNG GWAP

    Dengan pedang pendeknya, Karebet menebang bambu yang banyak terdapat di sekitar Rawa Pening. Dipilihnya batang bambu yang lurus, yang besarnya hampir sama.
    Belasan bambu telah ditebang, dan dibawa ke pinggir sungai, dipotong dengan panjang yang sama dan dibersihkan dari ranting-ranting yang menempel pada batangnya.
    Mas Manca dan Jaka Wila mencari sabut kelapa untuk dibuat tali pengikat bambu.
    "Adi Jaka Wila, talinya dibuat agak besar dipilin yang kuat dan diikat ganda" kata Karebet.
    Merekapun membuat tali dari sabut kelapa yang dipilin, sehingga tali itu kuat untuk menyatukan beberapa buah bambu.
    "Mas Manca, rakitnya dibuat yang agak lebar" kata Karebet.
    Selama tiga hari mereka bekerja, dan pada hari yang keempat, ketiga pemuda itu telah menyelesaikan pekerjaannya, dan selesailah pembuatan sebuah rakit yang lebar dan kuat.
    Rakit yang telah dibuat oleh ketiga pemuda itu cukup lebar, belasan bambu yang disusun membujur, di ikat kuat dengan beberapa bambu yang disusun melintang, rangkap atas dan bawah. 

    Ikatannya menggunakan tali sabut kelapa yang dipilin ganda.

    Kemudian dicarinya empat buah bambu yang nanti akan dipergunakan untuk galah pendorong rakit. Dipilihnya bambu yang lurus ukurannya tidak begitu besar, bambu yang nyaman untuk dipegang dan digunakan sebagai galah pendorong.
    Setelah rakit sudah selesai dikerjakan, maka rakitpun dicoba dengan di masukkan ke dalam air.
    Mereka bertiga perlahan-lahan menyeret rakit, di apungkan di air sungai dan merekapun mencoba naik keatasnya.
    Ketiga pemuda itu, Karebet, Mas Manca dan Jaka Wila, puas ketika rakit buatannya terlihat kokoh dan bisa mengapung dengan baik.
    Setelah selesai dicoba diapungkan di air, maka rakitpun kembali diseret ke pinggir dan di ikat ke batang pohon supaya rakitnya tidak hilang hanyut terbawa aliran air.
    Setelah pembuatan rakit sudah selesai, maka Mas Manca pun melaporkannya kepada Ki Buyut Banyubiru.
    "Ya, apakah rakitnya sudah kau coba dimasukan di sungai ?" tanya Ki Buyut Banyubiru.
    "Sudah Ki Buyut" jawab Mas Manca.
    "Baiklah, nanti malam kita berkumpul di pendapa untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya" kata Ki Buyut Banyubiru.

    Malam harinya, Ki Buyut Banyubiru mengajak semuanya berkumpul dan membicarakan langkah-langkah yang nantinya akan dilakukan oleh Karebet, untuk mendapatkan pengampunan dari Kanjeng Sultan.
    Semuanya hadir, tiga orang tua, Ki Buyut Banyubiru, Ki Majasta dan Ki Wuragil, ditambah tiga orang pemuda, Karebet, Mas Manca dan Jaka Wila.
    "Tadi Mas Manca melaporkan kalau pembuatan rakit sudah selesai dikerjakan. Rakit itu nantinya merupakan salah satu sarana yang bisa digunakan oleh angger Karebet menuju tempat untuk mendapatkan ampunan dari Kanjeng Sultan" kata Ki Buyut Banyubiru.
    "Beberapa hari lagi, pada saat bulan purnama, Kanjeng Sultan Trenggana akan pergi berburu ke hutan Prawata" kata Ki Buyut menjelaskan.
    "Angger Karebet, pergilah angger ke perkemahan Kanjeng Sultan di hutan Prawata, nanti angger diantar oleh Ki Wuragil, Mas Manca dan Jaka Wila, tetapi sebelum sampai di perkemahan, angger Karebet harus mencari seekor kerbau liar disekitar hutan Prawata" kata Ki Buyut Banyubiru.
    Dari dalam ikat pinggangnya, Ki Buyut Banyubiru mengeluarkan sebuah kantong kecil yang terbuat dari kain.
     

    "Didalam kantong ini ada segumpal tanah liat, masukkan tanah liat ini di dalam telinga seekor kerbau liar yang angger temukan, maka kerbau liar itu akan mengamuk di gubug perkemahan yang ditempati oleh para prajurit Demak di hutan Prawata" kata Ki Buyut Banyubiru.
    "Yang harus anakmas ingat, sewaktu memasukkan tanah liat ditelinga kerbau liar, waktunya harus tepat pada saat Kanjeng Sultan berada di perkemahan" kata Ki Buyut melanjutkan arahannya.
    "Kerbau itu nantinya akan mengobrak-abrik gubug-gubug yang ada disana, kecuali gubug yang ditempati oleh Kanjeng Sulltan Trenggana dan tidak ada seorangpun dari prajurit Demak yang mampu membunuh kerbau liar itu" kata Ki Buyut selanjutnya.
    "Nah pada saat para prajurit tidak bisa mengatasi kerbau liar itu, baru angger Karebet menampakkan diri. Ingat, hanya menampakkan diri" kata Ki Buyut Banyubiru.

    "Angger Karebet bisa menampakkan diri tetapi harus memilih arah yang tepat. Pilihlah tempat yang berada dihadapan Kanjeng Sultan, tempat yang mudah dilihat Kanjeng Sultan, sehingga Kanjeng Sultan cepat mengetahui kehadiran angger Karebet" kata Ki Buyut Banyubiru.
    "Jangan sekali-kali membunuh kerbau itu kalau tidak ada perintah atau penawaran dengan imbalan pengampunan dari Kanjeng Sultan"
    "Ingat, kerbau liar itu harus angger bunuh dengan sekali pukul, tetapi jangan lupa, sebelum dibunuh, tanah liat yang ada di dalam telinga kerbau liar harus dikeluarkan terlebih dulu, karena apabila tanah ini masih ada ditelinganya, kerbau itu susah untuk dibunuh" kata Ki Buyut selanjutnya.
    Lalu Ki Buyut Banyubiru berbicara se-akan-akan kepada diri sendiri :"Aku percaya angger Karebet mampu membunuh seekor kerbau dengan sekali pukul"
    "Ini kantong yang berisi tanah liat, silahkan diterima angger Karebet" kata Ki Buyut Banyubiru.
    Karebetpun menerima kantong yang berisi segumpal tanah liat pemberian Ki Buyut Banyubiru.
    "Besok pagi berangkatlah naik rakit ke hutan Prawata, besok akan diantar oleh Ki Wuragil, Mas Manca, dan Jaka Wila"
    "Berangkatlah pagi hari, nanti Ki Majasta akan ikut sampai rumahnya di desa Majasta. 

    Setelah Ki Majasta turun, nanti rakitnya akan melewati sebuah kedung yang bernama Kedung Srengenge" kata Ki Buyut.

    "Hati-hati, kedung itu adalah sebuah kedung yang dalam, disana banyak terdapat berpuluh-puluh buaya, menurut cerita orang tua jaman dahulu, di Kedung Srengenge adalah sebuah kerajaan buaya, dan menurut cerita itu, disana ada seekor raja buaya yang ukuran badannya paling besar, yang bernama Bahureksa, sedangkan yang ukurannya badannya sedikit lebih kecil, adalah patih buaya yang bernama Jalumampang" kata Ki Buyut Banyubiru.
    Sampai larut malam, Ki Buyut Banyubiru masih memberikan beberapa arahan yang harus dilakukan oleh Karebet untuk mendapatkan ampunan dari Kanjeng Sultan.
    Keesokan harinya, ketika matahari mulai memanjat naik, Ki Buyut Banyubiru melepas mereka berlima naik rakit akan menuju ke hutan Prawata.
    Beberapa bungkusan telah dibawa mereka, yang berisi bekal makanan dan minuman, dan tidak lupa pula, didalam bungkusan terdapat pula empat buah pedang pendek.
    "Kami berangkat sekarang Ki Buyut" kata Karebet.
    "Ya, hati-hati di jalan, aku hanya bisa nyangoni slamet" kata Ki Buyut Banyubiru.
    Setelah semuanya siap maka mereka berlima, Ki Majasta, Ki Wuragil, Mas Manca, Jaka Wila dan Karebet, naik diatas rakit, dan dengan mendorong dua buah galah panjang ke arah belakang, maka rakitpun perlahan-lahan bergerak kedepan mengikuti aliran sungai.
    Dengan menggunakan masing-masing sebatang galah, Mas Manca dan Jaka Wila mengemudikan rakit agar bisa bergerak kedepan.
    "Kita sebetulnya lebih cepat kalau berjalan kaki, naik rakit seperti ini jalannya seperti siput" kata Jaka Wila sambil mendorong galah bambu ke arah belakang, sehingga rakit melaju kedepan.

    Menjelang tengah hari, rakit telah sampai disebuah tempuran sungai, dan Ki Majasta meminta rakit untuk menepi.
    "Aku turun disini, kalian tetap meneruskan perjalanan ke hutan Prawata berempat" kata Ki Majasta.
    "Jaka Wila, kau turuti segala perintah angger Karebet" kata Ki Majasta.
    "Ya ayah" kata Jaka Wila
    "Baik Ki Majasta, mudah-mudahan suatu saat kita bertemu lagi" kata Karebet.
    Merekapun kemudian berpisah, Ki Majasta turun di dekat tempuran sungai sedangkan empat orang lainnya tetap berada di atas rakit untuk melanjutkan perjalanan ke hutan Prawata.
    Rakit didorong maju, penumpang rakit tinggal empat orang, seorang tua, Ki Wuragil, dan tiga orang anak muda, Karebet, Mas Manca dan Jaka Wila.
    Rakit bergerak terus, matahari sudah sedikit condong ke barat, dan mata Karebet yang tajam melihat sesuatu yang bergerak di permukaan air jauh didepan rakit.
    "Ada sesuatu yang bergerak jauh didepan, hati-hati, kita sudah memasuki daerah Kedung Srengenge, kedung ini airnya dalam, persiapkan pedang kalian" kata Karebet.
    Mereka berempat lalu mengambil pedang pendek dari dalam bungkusan, dan menyangkutkan pada ikat pinggang mereka.
    "Mas Manca dan adi Jaka Wila, dorong rakitnya supaya jalannya tidak terlalu ketengah sungai, jalankan rakitnya agak ke pinggir, supaya kalau kita menggunakan galah, dengan satu lompatan kita sudah bisa mencapai tepi sungai"
    Mas Manca dan Jaka Wila mendorong galah ke arah kanan, maka rakit perlahan-lahan bergerak ke kiri, bergeser agak ke pinggir sungai.

    Setelah agak di pinggir, galah didorong ke belakang maka rakitpun melaju kedepan. Karebet melihat ke arah depan, dilihatnya air sedikit bergelombang, tatapan matanya yang tajam, melihat ada sesuatu yang bergerak gerak dibawah air.
    Tetapi Karebet melihat sesuatu yang bergerak didalam air bukan hanya satu, tetapi berjumlah puluhan.
    Pada saat rakit berada hanya beberapa langkah dari tengah-tengah Kedung Srengenge, tiba-tiba semua orang yang berada diatas rakit melihat, di tepi sungai di sebelah tanaman perdu, ada seorang gadis yang sedang berjalan membawa sebuah jun tempat air.
    "Aneh, ditempat yang seperti ini ada seorang gadis yang akan mengambil air di sungai" kata Ki Wuragil.
    "Hati-hati, ada sesuatu yang tidak wajar, Mas Manca dan kau Jaka Wila, jalankan rakit kearah gadis itu" kata Ki Wuragil.
    Pelan-pelan dengan penuh kewaspadaan mereka mejalankan rakit menuju ketempat gadis yang akan mengambil air.
    Mereka berempat memandang kearah gadis pembawa jun yang sedang berjalan, yang berada di samping sebuah gerumbul di tepi sungai
    Beberapa saat kemudian, rakit yang ditumpangi telah berada tepat ditengah-tengah Kedung Srengenge.
    Tetapi alangkah terkejutnya mereka berempat, ketika mereka tepat berada di tengah-tengah Kedung Srengenge, ternyata perempuan yang membawa sebuah jun, telah hilang dibalik gerumbul. 

    Gerumbul perdu yang hanya setinggi lutut dan tidak terlalu rapat, mampu menyembunyikan gadis pembawa jun.
    "Gadis itu tidak kelihatan" kata Jaka Wila.
    "Gadis itu tidak ada, aneh, ia telah menghilang" kata Mas Manca.

    Mengetahui keadaan yang tidak sewajarnya, Karebetpun segera menghimpun kekuatan aji Lembu Sekilan, untuk melindungi dirinya, dan iapun bergeser ke tengah rakit:"Semua ke tengah rakit, jangan berdiri dipinggir" kata Karebet.
    Ketika keempat orang itu telah berada di tengah rakit, terasa rakitpun terguncang hebat, dan muncullah berpuluh-puluh buaya disekeliling rakit.
    "Banyak sekali buaya disini" kata Mas Manca.
    "Ya, banyak sekali, ada berpuuh-puluh buaya disekitar rakit" kata Jaka Wila.
    Ki Wuragil memandang sekeliling rakit, "Perkiraan saya, yang sudah kelihatan sekitar empat puluh ekor buaya, ditambah dua ekor buaya yang menjadi pemimpinnya, itu belum termasuk buaya yang masih berada disarangnya"
    "Lihat, itu ditepi sungai di gerumbul perdu tempat hilangnya gadis tadi, ada dua ekor buaya yang badannya paling besar" kata Ki Wuragil ambil menujuk ke dua ekor buaya yang badannya paling besar.
    "Menurut cerita Ki Buyut Banyubiru, buaya yang paling besar adalah seekor raja buaya yang bernama Bahureksa, dan di sebelahnya adalah patihnya yang bernama Jalumampang" kata Mas Manca.
    "Baik, aku akan melawan raja buaya Bahureksa, Mas Manca kau lompatlah ke darat, lawanlah buaya Jalumampang, pukul dengan galah, Ki Wuragil dan Jaka Wila tetap berada di atas rakit" kata Karebet.
    Setelah berkata demikian, maka Karebetpun melompat ke dalam air, dengan tidak menghiraukan puluhan buaya yang berada diseliling rakit, iapun berenang cepat menuju buaya Bahureksa.
    Raja buaya Bahureksa yang berada di pinggir sungai melihat ada orang berenang ke arahnya, maka iapun segera meluncur ke air menyongsong orang yang telah berani menantangnya.
    Rakit yang sekarang berada agak ke pinggir, sedikit menguntungkan Mas Manca .

    Mas Manca sedikit mundur untuk mengambil ancang-ancang, kedua tangannya memegang ujung galah, sedangkan ujung yang lain dimasukkan kedalam sungai, dan dengan satu lompatan disusul sebuah hentakan kuat, melayanglah Mas Manca ke udara dan jatuh tepat di tepian sungai dengan masih memegang galahnya.
    Ketika Mas Manca melihat ke arah Bahureksa, dilihatnya air sungai bergolak, berputar, berbuih, sesaat terlihat kepala Karebet muncul di permukaan air, sekejap kemudian Karebet menyelam lagi.
    Setelah melihat perkelahian didalam air, Mas Manca berpikir lebih baik melakukan perkelahian diatas tanah, maka dengan cepat Mas Manca bersiap memancing Jalumampang supaya menyerangnya.
    Mas Mancapun mengacungkan galahnya ke arah Jalumampang dan Jalumampangpun segera bergerak menyerang Mas Manca.
    Dengan bersenjatakan galah, Mas Manca melawan Jalumampang yang berbadan besar.
    Di atas rakit beberapa buaya berusaha naik ke atas rakit, tetapi terpaksa turun lagi ke air karena dipukul galah oleh Jaka Wila.
    Ki Wuragil segera mengambil galah lainnya, lalu dengan cepat ia memukul mata buaya yang berani naik ke rakit, terkena pukulan matanya, buayaitu dengan ceoat bergerak turun, lalu hilang menyelam di air.
    "Pukul matanya" kata Ki Wuragil kepada Jaka Wila

    Ketika ada buaya yang besar berusaha naik ke atas rakit, maka Jaka Wilapun melompat dan dengan sekuat tenaga ia memukul buaya tepat pada matanya, akibatnya ujung galahnya menjadi pecah.
    Buaya yang dipukul dengan cepat mundur dan menyelam lagi, tetapi beberapa buaya yang lain masih berusaha menyerang Ki Wuragil dan Jaka Wila.
    Ki Wuragil melihat Mas Manca belum berhasil mengatasi Jalumampang, maka iapun berteriak :"Mas Manca !! Pukul matanya !!"
    Mas Mancapun melompat membelakangi sungai, dan iapun segera memukul Jalumampang berkali-kali tepat pada matanya.
    Jalumampang berusaha untuk masuk ke sungai tetapi terhalang oleh lawannya, sebab lawannya berdiri membelakangi sungai.
    Belum sempat Jalumampang menyerang lagi, Mas Manca sudah menghajar matanya dengan galah, sehingga ujung galah menjadi hancur.
    Dengan membelakangi sungai, Mas Manca mencegat arah jalumampang untuk melarikan diri kesungai.
    Perkelahian Mas Karebet melawan Bahureksa masih berlangsung sengit, air sungai di belakang Mas Manca bergolak tinggi, Bahureksa terlempar keluar dari permukaan air, ketika jatuh kedalam air menyebabkan air sungai tersibak tinggi.
    Diatas rakit, Ki Wuragil dan Jaka Wila masih tetap bekerja keras memukul setiap buaya yang mencoba naik ke atas rakit.
    Kedua buah galah yang digunakan untuk memukul buaya telah menjadi pendek, tetapi ketika tangan mereka menyentuh hulu pedang yang ada di ikat pinggang mereka, maka mereka tetap berharap tidak ada seekor buayapun yang mampu naik ke atas rakit.
    Di tepi sungai didekat gerumbul perdu, perkelahian Mas Manca melawan Jalumampang memasuki saat-saat terakhir.

    Kedua mata Jalumampang telah terluka karena dipukul galah terus menerus oleh Mas Manca, akibatnya ujung galah menjadi hancur, dan Jalumampang pun tidak bisa melihat dimana keberadaan lawannya.
    Merasa kesakitan dan tidak bisa melihat lawannya, Jalumampang pun mengamuk, mulutnya terbuka mencari sasaran, ekornya menyabet ke kanan dan ke kiri, akibatnya Mas Manca pun melompat menghindari amukan Jalumampang.
    Beberapa saat amukan Jalumampang masih berlangsung, tanaman perdu yang ada ditepi sungai menjadi rata, Mas Manca pun hanya bisa menunggu sampai Jalumampang menjadi lelah dan lengah.
    Semakin lama Jalumampang semakin lemah, sabetan ekor Jalumampang mereda, maka Mas Manca pun bersiap untuk mengakhiri perkelahian.
    Dengan melakukan pemusatan pikiran dan mengatur jalannya pernapasan, Mas Manca menghimpun semua kekuatan yang ada pada dirinya dan dipusatkan pada sisi telapak tangannya.
    Ketika sabetan ekor Jalumampang sudah berhenti, maka dengan berteriak nyaring, Mas Manca melompat kedepan dan menghantam kepala Jalumampang dengan sisi telapak tangannya.
    Kepala Jalumampang bergetar menerima pukulan sisi telapak tangan Mas Manca, setelah itu buaya itupun tidak mampu menggerakkan badannya, pingsan.

    Kemudian Mas Manca mengangkat kaki depan Jalumampang dan dengan sekuat tenaga perut buaya itu ditendang hingga terlentang dan dengan cepat tangannya meraba hulu pedang pendeknya, dan sekejap kemudian tangannya yang memegang pedang menusuk kulit yang paling lunak di dekat leher bagian bawah.
    Darah mengucur ketika pedang pendeknya dicabut, dan ketika sekali lagi pedang pendek Mas Manca menusuk untuk yang kedua kalinya, Jalumampang pun terdiam dengan tubuh berlumuran darah.
    Riwayat Jalumampang berakhir di dalam sarangnya sendiri di Kedung Srengenge, mati ditangan Mas Manca, anak angkat Ki Buyut Banyubiru.
    Saat itu, beberapa langkah disebelah Mas Manca, perkelahian Karebet melawan Bahureksa di tepi sungai juga hampir selesai.
    Jaka Tingkir menyeret Bahureksa yang telah lemas ke atas tanah di pinggir sungai, dan ketika Bahureksa menggerakkan ekor mau menyerang, maka Karebet menginjak kepala buaya itu dengan kakinya
    Bahureksa berusaha memberontak, Karebet yang melihat kepala buaya itu bergerak, maka injakan kakinya diperkuat, sehingga Bahureksapun tidak berdaya.
    Bahureksa tak mampu menggerakkan kepalanya, hanya matanya yang melihat kearah buaya Jalumampang yang selama ini dianggap sebagai patihnya telah mati, dan ketika Karebet melepaskan injakan kakinya, mata Bahureksa pun memandang Karebet seakan-akan menyerah memohon ampun.
    Ketika Bahureksa melihat Karebet menganggukkan kepalanya, maka buaya itupun perlahan-lahan berjalan lalu meluncur masuk ke dalam air.

    Sesaat setelah Bahureksa masuk ke dalam kedung, tak lama kemudian buaya-buaya yang menyerang rakit semuanya mundur masuk ke dalam air, dan gejolak air di sekitar rakit telah berhenti, dan suasana di Kedung Srengenge menjadi tenang kembali.
    "Buaya yang menyerang kita telah mundur semua" kata Jaka Wila.
    "Ya, mungkin mereka disuruh mundur oleh Bahureksa" kata Ki Wuragil
    Galah milik Ki Wuragil dan milik Jaka Wila telah hancur, tetapi masih tersisa satu buah galah lagi, galah milik Karebet.
    Dengan galah yang masih tersisa, Jaka Wila pun menggerakkan rakit ke pinggir, menjemput Karebet dan Mas Manca.
    Setelah rakit sampai di tepi sungai, maka Karebet dan Mas Manca pun melompat naik lagi ke atas rakit, meninggalkan bangkai buaya Jalumampang ditepi sungai.
    "Sebentar lagi matahari terbenam, mari kita tinggalkan Kedung Srengenge, jalankan rakitnya sekarang" kata Jaka Tingkir.
    Jaka Wilapun mendorong galahnya ke arah belakang, maka rakitpun bergerak kedepan, tetapi alangkah terkejutnya Jaka Wila, ketika ia merasa rakit itu telah bergerak sendiri ke depan.
    Rakit itupun bergerak perlahan ke utara, mengikuti arah aliran sungai.
    Keempat orang itupun saling berpandangan, heran menyaksikan rakit yang mereka tumpangi bisa bergerak sendirI

  • Keempat orang itupun saling berpandangan, heran menyaksikan rakit yang mereka tumpangi bisa bergerak sendiri.
    "Aku tidak tahu, apakah rakit ini bisa bergerak kedepan karena adanya aliran arus air sungai, atau dari bawah air rakit ini didorong oleh para buaya" kata Mas Manca.
    Air sungai disekitar rakit sedikit bergelombang, seperti ada sebuah kekuatan yang mampu mendorong rakit supaya bergerak maju.
    "Rakit ini didorong oleh empat puluh ekor buaya yang tadi telah menyerang kita" kata Ki Wuragil.
    "Mungkin Bahureksa yang sudah takluk telah memerintahkan para buaya mendorong rakit ini" kata Mas Manca.
    "Kelihatannya banyak buaya yang mendorongnya dari bawah rakit" kata Jaka Wila sambil melihat air yang bergejolak di sekitar rakit.
    Ketika malam menyelimuti bumi, mataharipun telah lama terbenam di kaki langit sebelah barat, bulan yang hampir bulat masih menggantung di langit, Karebetpun merasa perlu untuk beristirahat.
    "Kita beristirahat di tepi sungai, pinggirkan rakit !!" teriak Karebet.
    Sesaat kemudian, perlahan-lahan rakit bergerak sendiri ke arah kiri, lalu berhenti di tepi sungai.
    Malam semakin dalam, setelah makan bekal yang di bawa dari Banyubiru, maka mereka berempat tidur nyenyak diatas rakit.

    Bulan yang terang menjelang purnama telah sedikit bergeser ke arah barat, waktu telah lewat tengah malam, udara dingin ditepi sungai, dan diatas rakit empat orang laki-laki sedang tidur berkerudung kain panjang.
    Pada saat yang bersamaan, Ki Ageng Butuh sedang berjalan diwaktu malam ditempat yang tidak jauh dari rakit yang berada di tepi sungai.
    Dari desa Butuh, sejak kemarin Ki Ageng Butuh telah berjalan jauh, dan malam ini, iapun secara kebetulan berada tidak jauh dari sungai.
    Malam menjelang bulan purnama, meskipun bulan terlihat belum bulat, tetapi Ki Ageng Butuh mampu melihat dengan jelas.
    Kesepian malam dikejutkan oleh adanya sinar terang dilangit yang melintas diatas kepala Ki Ageng Butuh.
    "Sinar itu terang sekali, ternyata disini ada Lintang Kemukus, tetapi kenapa sinar itu dekat sekali ?" kata Ki Ageng Butuh dalam hati.
    "Bukan, itu bukan Lintang Kemukus, sinar itu tidak ada kukusnya" desis Ki Ageng Butuh.
    "Apakah itu Kemamang ? Bukan, kalau Kemamang terjadi dari api semua, itu hanya sinar terang" guman Ki Ageng Butuh.
    "Apakah sinar terang yang meluncur itu ? Apakah itu sebuah ndaru ?" kata Ki Ageng Butuh dalam hati, dan iapun berniat mengikuti arah jatuhnya sinar terang yang menyilaukan itu.
    "Ya, itu pasti sebuah ndaru" katanya dan dengan cepat Ki Ageng Butuh berlari menuju ke arah jatuhnya sinar terang itu.

    Ki Ageng Butuh dengan cepat berlari mengejar sinar yang bergerak kedepan dan dengan melompati beberapa gerumbul perdu, Ki Ageng Butuh telah berada ditepi sungai.
    Dengan berlari cepat, Ki Ageng Butuh masih sempat melihat sinar yang dikejarnya perlahan-lahan meluncur turun dan jatuh di sebuah rakit yang berada di tepi sungai.
    Ki Ageng Butuh berlari ke arah rakit, dan dilihatnya empat orang sedang tidur diatas rakit dengan berkerudung kain panjang,
    Salah seorang dari mereka, wajahnya terlihat bercahaya meskipun hanya sekejap, setelah itu cahayanya memudar dan semuanya kembali seperti semula.
    "Ternyata sinar yang bergerak dan jatuh kepada orang yang tidur diatas rakit adalah sebuah Pulung Keprabon" kata Ki Ageng Butuh.
    "Hm, Pulung Keprabon cuma satu, tidak mungkin ada matahari kembar, kalau Pulungnya sudah jatuh disini, berarti saat ini Kanjeng Sultan Trenggana sudah ditinggalkan oleh Pulung Keprabon" kata Ki Ageng Butuh dalam hati.
    "Siapakah anak muda yang beruntung ketiban ndaru mendapatkan Pulung Keprabon?" sambil berkata demikian Ki Ageng Butuh berjalan mendekat kepada seorang anak muda yang tadi sempat terlihat wajahnya bercahaya.

    Ketika jarak semakin dekat, Ki Ageng Butuh melihat dengan jelas wajah seorang anak muda yang sedang tidur diatas rakit, wajah yang tadi sempat bercahaya karena tertimpa ndaru.
    Ki Ageng Butuh terkejut ketika melihat dengan jelas wajah orang itu.
    "Itu Karebet ! Ternyata yang mendapatkan keberuntungan tertimpa ndaru, mendapatkan Pulung Keprabon adalah Karebet" dan iapun mendekat ke arah Karebet dan berniat akan membangunkannya.
    Tetapi telinga Karebet adalah telinga yang terlatih dan sangat baik, Karebet mempunyai pendengaran yang tajam, meskipun dalam keadaan tertidur ia mampu mendengar gemersik ranting kayu yang terinjak oleh kaki seseorang.
    Karebet membuka matanya dan melihat seseorang sedang berjalan ke arahnya.
    Dengan cepat Karebet berdiri, dan bersiap menghadapi segala kemungkinan, tetapi ia menarik napas dalam-dalam ketika orang yang datang itu berkata:"Nakmas Karebet"
    "Ternyata yang datang adalah Ki Ageng Butuh" kata Karebet dalam hati.
    "Ya Ki Ageng" sahut Karebet dan ketika ia menoleh ke rakit, ternyata ketiga orang temannya telah bangun dari tidurnya.
    Mereka bertigapun kemudian berdiri dan menyalami Ki Ageng Butuh
    "Ternyata adi Wuragil juga ada disini, semua selamat adi?" tanya Ki Ageng Butuh.
    "Atas pangestu kakang, semua dalam keadaan selamat" jawab Ki Wuragil.
    Kemudian Ki Wuragil memperkenalkan kedua temannya:" Ini adalah Mas Manca, anak angkat Ki Buyut Banyubiru dan ini adalah Jaka Wila, anak dari kakang Majasta"

    "Mungkin kita semua heran, aku heran kenapa kalian sampai tidur dirakit di tepi sungai, dan kalian pasti juga heran kenapa aku malam-malam juga sampai disini" kata Ki Ageng Butuh sambil tersenyum.
    "Ya, malam ini kami memang sengaja tidur di rakit" kata Ki Wuragil, kemudian Ki Wuragil pun bercerita hingga ia bersama ketiga pemuda itu sampai tidur diatas rakit.
    "Tiga pemuda perkasa, harapan masa depan" kata Ki Ageng Butuh sambil tersenyum.
    "Lalu ada keperluan apa kakang bisa sampai kemari?" tanya Ki Wuragil.
    "Aku tidak tahu" jawab Ki Ageng Butuh.
    "Ki Ageng tidak tahu?" tanya Karebet.
    "Ya aku memang tidak tahu" jawab Ki Ageng Butuh.
    "Kemarin aku keluar dari rumah dan berjalan tanpa tujuan, melangkah tak tentu arah, menurutkan kata hati, dan ternyata langkah kakiku membawaku datang kemari, datang ke rakit ini" kata Ki Ageng Butuh.
    "Ketika aku sampai ditepi sungai, aku melihat sinar terang, sebuah ndaru, sebuah Pulung Keprabon atau Pulung Ratu yang meluncur dari langit" kata Ki Ageng Butuh.
    "Kemudian aku ikuti sinar itu dan yang ketiban ndaru adalah nakmas Karebet" kata Ki Ageng Butuh.
    "Jadi yang mendapat Pulung Ratu adalah angger Karebet?" tanya Ki Wuragil.
    "Ya, beruntunglah dan bersyukurlah nakmas Karebet sudah mendapatkan Pulung Keprabon, sebuah Pulung Ratu" kata Ki Ageng Butuh.
    "Ya, Ki Ageng" kata Karebet, dan iapun mengucap syukur bahwa dirinya telah mendapatkan Pulung Keprabon.
    "Yang terjadi pada saat ini, dan kejadian besok yang ada kaitannya dengan Pulung Ratu, sebetulnya sudah pernah dikatakan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga" kata Ki Ageng.
    "Ya, mudah-mudahan nanti semuanya berjalan lancar" kata Ki Wuragil.
    "Ternyata aku termasuk orang yang beruntung, bisa menyaksikan jatuhnya Pulung Ratu" kata Ki Ageng Butuh sambil tersenyum.
    "Ya kakang, aku juga termasuk orang yang beruntung, bisa bersama-sama melakukan perjalanan dengan angger Karebet menuju ke hutan Prawata" kata Ki Wuragil.

    "Selanjutnya, kapan kalian berangkat menuju hutan Prawata?" tanya Ki Ageng Butuh.
    "Sebentar lagi, setelah fajar" kata Karebet.
    "Ya, kalau begitu kita berpisah disini, aku akan kembali ke desa Butuh" kata Ki Ageng Butuh.
    "Baik kakang, sampaikan salamku untuk kakang Ngerang" kata Ki Wuragil.
    "Baik adi, sampaikan juga hormatku buat Ki Buyut Banyubiru dan Adi Majasta" kata Ki Ageng Butuh.
    Kemudian merekapun berpisah, Ki Ageng Butuh pun berjalan ke arah selatan menuju desa Butuh.
    Beberapa saat kemudian di bang wetan terlihat semburat warna merah, semakin lama semakin terang, fajarpun terbit bersamaan dengan kicau burung liar dan kokok ayam alas.
    Beberapa saat kemudian setelah langit menjadi terang, sebuah rakit bergerak mengikuti arus air menuju ke utara.
     

    Diatas rakit yang dapat melaju tanpa menggunakan galah, berdiri Ki Wuragil bersama tiga orang pemuda.
    "Kita nanti akan lewat mana angger Karebet?" tanya Ki Wuragil.
    "Kalau kita lewat Kadilangu, jalannya terlalu jauh, memutar, kita nanti berhenti di desa Tiku, kemudian dilanjutkan dengan berjalan kaki ke timur menuju hutan Prawata" kata Karebet"
    "Kita turun di desa Tiku ? Berarti setelah tempuran sebuah sungai yang didekatnya terdapat sebuah pohon randu alas?" tanya Ki Wuragil.
    "Ya, nanti kita berhenti di tepi sebelah timur, di dekat pohon randu alas setelah melewati sebuah tempuran" kata Karebet.
    Rakit Jaka Tingkir perlahan-lahan masih tetap melaju ke arah utara.
    Keempat orang yang berada diatas rakit, telah siap untuk menempuh perjalanan jauh menuju ke hutan Prawata.
    "Udara pagi yang segar" kata Karebet.
    "Betul, pagi yang cerah " kata Jaka Wila sambil tersenyum.

    Waktu bergerak terus, matahari merayap semakin tinggi, rakitpun masih melaju mengikuti arus air ke utara.
    Ketika rakit melewati sebuah tempuran sungai, maka merekapun tahu, sebentar lagi mereka akan sampai di desa Tiku.
    Rakit terus melaju ke arah utara, semilir anginpun mengusap lembut membuat badan menjadi segar.
    Tempuran sudah dilewati, dan rakitpun masih terus bergerak ke utara.
    "Itu pohon randu alas nya, sudah kelihatan" kata Jaka Wila sambil menunjuk sebuah pohon yang berada di sebelah timur.
    "Ya, kita berhenti di dekat pohon randu alas itu" kata Karebet.
    Semakin lama rakit semakin dekat dengan pohon randu alas.
    Ketika rakit sudah dekat dengan pohon randu alas, Karebet pun berkata :"Kita berhenti disini"
    Rakitpun segera menepi dan merekapun segera naik ke tepi sungai
    Setelah mengambil bungkusan yang berisi bekal yang dibawa dari Banyubiru, mereka berempat kemudian menyeret rakit dan menaikkannya ke tepi sungai, supaya tidak hilang, hanyut terbawa arus sungai menuju ke laut.
    "Ternyata besar juga pohon randu alas ini" kata Jaka Wila.
    "Mulai dari pohon randu alas ini kita berjalan kaki menuju ke arah timur" kata Karebet.
    "Ya" sahut Jaka Wila.
    "Tidak jauh dari pohon randu alas ada sebuah belik yang airnya cukup bening, kita isi bumbung-bumbung untuk persediaan air minum kita nanti" kata Karebet.
    Kemudian merekapun berjalan ke belik yang terletak tidak jauh dari pohon randu alas, disana mereka minum dan mengisi bumbung dengan air belik.
    Tidak lama kemudian mereka berempat meneruskan perjalanan ke hutan Prawata dengan berjalan kaki.
    "Buaya yang mendorong rakit dibiarkan tinggal di sungai disekitar tempuran atau disekitar pohon randu alas ?" tanya Jaka Wila kepada Mas Manca.
    "Tidak, buaya itu pulang ke sarangnya di Kedung Srengenge" jawab Mas Manca.
    Jaka Wila menganggukkan kepalanya, sambil memandang kepada Mas Manca, tetapi ia meragukan kebenaran jawaban Mas Manca.

    Mereka berjalan terus ke arah timur, pohon randu alas sudah jauh berada di belakang.
    Disebelah timur desa Tiku, mereka melalui sebuah hutan yang tidak terlalu lebat, sebuah jalan setapak yang agak lebar, menuju arah matahari terbit.
    Waktu berjalan terus, siang itu terasa panas, matahari tepat berada di puncak langit,
    "Di pinggir jalan di sebelah selatan ada beberapa pohon kelapa, aku akan memanjat dan mengambil beberapa buah kelapa" kata Jaka Wila, dan tanpa menunggu jawaban, iapun berjalan menuju pohon kelapa dan memanjat ke atas mengambil beberapa buah kelapa.
    "Ambil yang masih muda!!" teriak Mas Manca kepada Jaka Wila yang sedang berada diatas pohon kelapa.
    Dengan tangkasnya Jaka Wila memuntir beberapa kelapa muda dan menjatuhkannya kebawah, setelah itu iapun segera turun dan mengumpulkan buah kelapa yang telah dijatuhkannya.
    Setelah membawa beberapa buah kelapa, mereka melanjutkan perjalanan, berjalan kaki ber empat, dan tidak lama kemudian didepan mereka terlihat sebuah jalan perempatan
    "Kelihatannya didepan ada sebuah perempatan" kata Mas Manca.
    "Ya, itu memang perempatan, kita beristirahat disini saja, kita berteduh dibawah pohon waru" kata Karebet.
    "Ya, kita sambil minum air kelapa muda" kata Jaka Wila.
    Mereka berempat kemudian duduk beristirahat dibawah pohon waru di dekat perempatan jalan.
    "Makanannya masih ada ?" tanya Karebet.
    "Makanan yang masih ada cuma pisang dan pepaya, ada juga ubi, ketela, kalau jagung mentah masih banyak. Nasi jagungnya sudah habis kita makan kemarin, tapi apakah kita akan buat api ?" tanya Jaka Wila.
    "Tidak usah, kita makan yang ada saja, ditambah makan daging kelapa" kata Karebet.
    "Ya, lumayan masih ada yang bisa dimakan" kata Ki Wuragil.
    "Nanti malam aku akan berburu dihutan, kita akan makan daging kijang bakar, itu kalau nanti aku dapat kijang" kata Jaka Wila.
    "Ya, tetapi kita tidak membawa panah" kata Mas Manca.
    "Aku bawa pisau belati" kata Jaka Wila sambil menunjukkan sebuah pisau belati yang disimpan di ikat pinggangnya, yang tertutup oleh bajunya.

    Jaka Wila memegang pisau belatinya, pisau yang agak tebal dan telah diberi hulu yang terbuat dari kayu, pisau yang dibuat secara khusus dan mempunyai keseimbangan yang baik, sehingga ketika pisau itu dilempar ke sasaran, yang berada di depan adalah bagian ujung pisau.
    Dengan pedang pendek, mereka melobangi buah kelapa yang telah dipetik
    "Air kelapa ini terasa segar" kata Mas Manca setelah minum air kelapa.
    Sambil minum air kelapa serta makan pisang, mas Manca berkata :"Didepan kita kelihatannya ada sebuah perempatan jalan"
    "Ya, ini adalah sebuah perempatan jalan, kalau kita berjalan lurus ke arah timur kita akan sampai di hutan Prawata lalu kalau diteruskan akan sampai di Pati, kalau kita belok kiri akan sampai di Panti Kudus tempat kediaman Sunan Kudus, sedangkan yang belok kanan menuju ke desa Tarub dan desa Sela" kata Karebet.
    "Desa Tarub tempat tinggal Ki Getas Pendawa ?" tanya Jaka Wila.
    "Ya, Ki Getas Pendawa yang rumahnya berada di desa Tarub adalah ayah dari Ki Ageng Sela, kalau desa Sela agak lebih keselatan sedikit, tetapi tidak terlalu jauh dari desa Tarub" kata Karebet.
    "Dekat dengan bledug Kuwu?" tanya Jaka Wila.
    "Ya, desa Kuwu yang ada bledug lumpurnya, berada disebelah timur desa Sela" jawab Karebet.
    "Kalau Nis dari Sela, anaknya Ki Ageng Sela juga berada di Sela?" tanya Ki Wuragil.
    "Ya, Ki Nis masih berada di desa Sela bersama seorang anaknya, kakang Pemanahan dan seorang anak angkatnya kakang Penjawi" kata Karebet.

    Teringatlah Karebet ketika sedang belajar di perguruan Sela, selain dengan Nis Sela, dia juga sering berlatih olah kanuragan bersama cucu Ki Ageng Sela, anak dari Nis Sela, yang bernama Pemanahan dan anak angkat Nis Sela yang bernama Penjawi.
    "Pemanahan dan Penjawi, dua orang dari perguruan Sela yang berilmu tinggi" kata Mas Manca.
    "Kalau Pemanahan aku dengar punya seorang anak laki2?" tanya Ki Wuragil.
    "Ya, kakang Pemanahan mempunyai seorang anak laki-laKi yang belum dewasa bernama Danang Sutawijaya, yang tekun berlatih ilmu kanuragan perguruan Sela" jawab Karebet.
    "Anaknya hanya satu?" tanya Ki Wuragil.
    "Ya, anaknya hanya satu, Danang Sutawijaya, anak laki-laki yang tekun berlatih ilmu kanuragan dan tangkas mengendarai kuda. Memang luar biasa, anak yang belum dewasa, sudah mampu berlatih bertempur naik kuda dengan sangat baik" kata Karebet, dan iapun berangan-angan, alangkah bangganya kalau mempunyai anak laki-laki setangkas Danang Sutawijaya.
    "Danang Sutawijaya memang tangkas" kata Karebet :" Dia masih anak-anak, tetapi sudah trampil menggunakan senjata sebuah pedang atau sebuah tombak pendek sambil mengendarai seekor kuda"
    (bersambung)
  • Ki Wuragil menganggukkan kepalanya, sambil membayangkan betapa tangkasnya Danang Sutawijaya yang saat ini belum menginjak dewasa sudah trampil naik diatas punggung seekor kuda sambil bermain-main dengan sebatang tombak pendek.
    "Tidak ada satupun orang dewasa di perguruan Sela yang mampu mengalahkan Danang Sutawijaya ketika mereka diadu bermain sodoran" kata Karebet.
    Mendengar cerita Karebet, Ki Wuragil semakin heran atas ketangkasan olah kanuragan Danang Sutawijaya yang selalu menang ketika bermain sodoran.
    Ki Wuragil ingat, sodoran adalah permainan ketangkasan orang dewasa, biasa dimainkan oleh para prajurit berkuda, sebuah permainan pertempuran diatas punggung kuda satu lawan satu, bersenjatakan sebuah tombak pendek, yang mempunyai ujung yang terbuat dari kayu berbentuk bulat sebesar buah manggis.
    "Hm andaikan Sutawijaya bisa menjadi anakku" kata Karebet dalam hati.
    Mereka berempat terbenam dalam pikiran masing-masing, dan merekapun melanjutkan makan dan minum air kelapa.
    Setelah dirasa cukup beristirahat, merekapun segera akan melanjutkan perjalanan ke hutan Prawata.
    "Mari kita lanjutkan pejalanan kita" kata Karebet.
    Kemudian merekapun berdiri dan mulai berjalan meneruskan perjalanannya menuju ke arah timur.
    Beberapa saat kemudian perjalanan mereka terhalang oleh sebuah sungai lebar, dan merekapun menyeberangi sungai dengan berjalan masuk ke air.
    "Ini sungai Serang" kata Karebet.
    "Untung saat ini sedang musim kemarau, jadi sungainya tidak terlalu dalam, kalau musim penghujan, air sungai menjadi agak tinggi" kata Jaka Wila.

    Kemudian merekapun melanjutkan perjalanan, hutan kecil yang tidak begitu lebat telah mereka lalui, diselingi beberapa bulak panjang, serta melewati beberapa gundukan tanah yang agak tinggi.
    Matahari sudah condong kebarat, hutan sudah mulai agak rapat, tetapi mereka berempat masih belum sampai di hutan Prawata.
    Ketika melewati sebuah sungai kecil, merekapun semuanya berhenti, dan merekapun berniat bermalam disini.
    "Malam ini bulan belum purnama, besok malam, baru bulan purnama, biasanya baru besok pagi Kanjeng Sultan berangkat dari Kraton, besok sore baru sampai di hutan Prawata, berarti kita masih punya waktu dua malam" kata Karebet.
    "Pada bulan purnama, Kanjeng Sultan pergi berburu masuk ke hutan dengan para pengawalnya, esok paginya baru Kanjeng Sultan pulang dari berburu.
    Setelah Kanjeng Sultan berada di perkemahan, baru kerbaunya kita lepas, kita masih punya waktu sehari besok untuk mencari kerbau liar di sekitar hutan ini, atau nanti di sekitar hutan Prawata" kata Karebet selanjutnya.
    "Kita membersihkan diri dulu di sungai ini, lalu mencari tempat untuk tidur malam ini" kata Karebet
    Beberapa saat kemudian ke empat orang itupun membersihkan diri di sungai.
    "Setelah ini, kita berdua masuk ke hutan mencari kijang" kata Jaka Wila kepada Mas Manca.
    "Baiklah" kata Mas Manca.
    Tidak lama kemudian, setelah selesai membersihkan badan, Mas Manca dan Jaka Wila masuk ke hutan, sedangkan Ki Wuragil dan Karebet masih berada di tempat semula sambil mencari tempat yang bisa dipakai untuk tidur.

    Matahari telah tenggelam, langit berangsur-angsur meredup, Karebetpun membuat sebuah perapian.
    Didepan perapian, Ki Wuragil dan Karebet duduk sambil membakar beberapa jagung dan ketela pohon.
    Ketika Karebet dan Ki Wiragil sedang membakar ubi kayu, terdengar suara langkah mendekat, dan sesaat kemudian munculah Jaka Wila dan Mas Manca.
    "Kami tidak bertemu dengan seekor kijangpun, hanya dapat dua ekor ayam alas, ini ayamnya sudah kami bersihkan, tinggal dibakar" kata Jaka Wila.
    "Jagung dan ubinya sudah dibakar, tinggal di makan" kata Ki Wuragil.
    Mereka berempat melingkari perapian dan membakar daging ayam hutan.
    "Perapiannya hampir padam, tambah ranting kayu lagi" kata Karebet sambil mencari ranting kayu kering disekitar perapian
    Setelah daging ayam bakar habis dimakan empat orang, maka merekapun beristirahat menyandarkan badannya pada sebatang pohon.
    Malampun semakin larut, perapian sudah lama padam, mereka berempat berkerudung kain panjang, berusaha untuk bisa tidur dan beristirahat.
    Ketika fajar telah menyingsing, semburat warna merah terlihat di sebelah timur, alampun segera menjadi riang dengan kicau burung menyambut pagi.
    Alam yang semakin terang, dan empat orang yang sedang berada di hutan, Karebet, Ki Wuragil beserta Mas Manca dan Jaka Wila, telah bangun dan membersihkan badannya di sungai.
    Setelah selesai membersihkan diri, merekapun membuat api dan membakar ubi dan jagung untuk sekedar pengisi perut.
    "Setelah dari sini kita berangkat ke hutan Prawata" kata Karebet :"Malam nanti bulan purnama penuh, biasanya Kanjeng Sultan berangkat dari Kraton pagi ini, nanti sore baru sampai di perkemahan hutan Prawata"
    "Nanti kita cari kerbau liar di pinggir hutan atau di kubangan sungai yang ada di hutan"
    Matahari sudah merayap naik di langit, mereka segera bersiap untuk meneruskan perjalanan.
    Merekapun berjalan di pinggir hutan, sambil melihat disekitarnya kalau ada yang melihat seekor kerbau liar.

    Waktu terus berjalan, sebelum tengah hari mereka sudah sampai dibibir hutan Prawata.
    "Kalian bertiga tunggu disekitar daerah ini sambil kalian mencari seekor kerbau liar, aku akan masuk ke hutan untuk melihat perkemahan Kanjeng Sultan" kata Karebet.
    "Baik, nanti kami akan mencari seekor kerbau liar" kata Ki Wuragil.
    "Siapa tahu kita juga dapat seekor kijang" kata Jaka Wila.
    "Nanti setelah aku melihat perkemahan, aku kembali ke sini" kata Karebet, kemudian iapun segera masuk kedalam hutan.
    Hutan Prawata yang tidak terlalu lebat, memudahkan Karebet untuk berjalan menerobos pepohonan ke arah utara. Dengan menggunakan pedang pendeknya, Karebet memotong sulur-sulur maupun ranting-ranting yang mengganggu perjalanannya.
    Karebet, anak muda yang telah mengenal hampir seluruh sudut wilayah Kasultanan Demak, tidak kesulitan untuk mencari arah menuju perkemahan Kanjeng Sultan Trenggana.
    Ketika ditemuinya sebuah sungai kecil, Karebet pun mengikuti alur sungai menuju ke utara , dan setelah berjalan sekian lama, maka Karebet melihat beberapa buah gubug di sebuah tanah lapang, sebuah daerah yang pernah dikenalnya.
    "Tempat ini masih seperti sewaktu aku kesini beberapa bulan yang lalu" kata Karebet dalam hati.
    Dengan hati-hati Karebet berjalan mendekati beberapa gubug yang didirikan diatas tanah lapang yang tidak terlalu luas.
    Dengan berlindung dibalik sebatang pohon, Karebet mengamati perkemahan yang nanti akan digunakan oleh Kanjeng Sultan Trenggana.
    Ketika dilihatnya dua orang mengenakan pakaian petani yang dipinggangnya terselip sebuah pedang pendek dan mereka sedang mengatur beberapa perlengkapan perkemahan, maka tahulah Karebet bahwa nanti sore Kanjeng Sultan akan tiba di perkemahan hutan Prawata.

    (bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar