Minggu, 24 Agustus 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 15

KERIS KYAI SETAN KOBER 15

BAB 6 : PENGAMPUNAN 2

Karya : Apung GWAP

Dengan cepat Ganjur masuk kedalam rumah, dan dilihatnya seorang anak muda sedang makan nasi dengan lauk belut bakar beserta sambalnya.
"Karebet, kau Karebet, kapan kau pulang?" tanya Ganjur.
Yang ditanya tidak menjawab, mulutnya masih mengunyah nasi dan tangannya masih memegang belut bakarnya, dia hanya menengok sebentar ke arah pamannya Ganjur.
Tiba-tiba Ganjur tersadar, dengan cepat ia menuju kedepan kemudian menutup pintunya, lalu iapun berjalan kembali menuju ketempat Karebet.
"Karebet, bagaimana kau bisa masuk ke dalem Suranatan ini ? Kau tidak terlihat oleh para prajurit Wira Tamtama ?" tanya Ganjur khawatir.
Yang ditanya tidak menjawab, hanya menunjukkan cething yang sudah kosong.
"Habis paman, nasinya sudah saya habiskan" kata Karebet.
"Karebet, kalau kau terlihat prajurit Wira Tamtama, kau bisa ditangkap" kata Ganjur.
Karebet tidak menjawab, ia minum air beberapa teguk, lalu iapun membereskan cething dan peralatan makan lainnya, dan dibawanya kebelakang.

Pamannya mengikuti dari belakang sambil berkata :"Kau bisa ditangkap Karebet, dan kalau Kanjeng Sultan tahu kau disini, kau bisa dihukum dengan hukuman yang lebih berat lagi"
"Paman, sebetulnya aku sudah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Dari dulu kau memang senang bercanda Karebet" kata pamannya.
"Tidak paman, aku tidak bercanda, Kanjeng Sultan Trenggana memang memberi pengampunan kepadaku, besok lusa aku sudah bisa bertugas lagi sebagai Lurah Wira Tamtama " kata Karebet.
"Cepat sekali" kata Ki Ganjur.
"Ya paman, memang cepat" kata Karebet.
"Syukurlah kalau begitu, besok lagi supaya kau harus lebih berhati-hati, jangan mudah membunuh orang" kata Ki Ganjur.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Besok sore katanya Kanjeng Sultan baru pulang dari hutan Prawata" kata pamannya.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Kau akan tidur disini ?" tanya Ganjur.
"Ya paman, tadi sewaktu di depan regol, aku sudah bertemu dengan Ki Tumenggung Suranata, dan sudah minta ijin untuk tidur disini, nanti aku tidur disini dua malam paman, lalu untuk seterusnya aku tidur di dalem lor"
"Ya, lalu besok sehari kau akan dirumah saja?" tanya Ki Ganjur.
"Tidak paman, aku besok akan pergi ke Kadilangu, ke tempat Kanjeng Sunan Kalijaga" jawab Karebet.
"Ya, kau pasti lelah, istirahatlah" kata pamannya.
"Nanti sajalah paman, aku akan mandi dulu" jawab Karebet.

Pamannyapun kemudian meninggalkan Karebet dan kembali duduk didepan rumah.
Malam itu bulan kelihatan terang, Karebet dan pamannya  Ganjur duduk berdua di teras rumah.
"Selama kau menjalani hukuman, kau kemana saja Karebet ?" tanya Ganjur.
Karebet memandang ke pamannya, lalu iapun menjawab :"Aku pulang ke Pengging paman"
Ganjurpun masih bertanya lagi :"Kau pulang ke Tingkir juga?"
"Tidak paman, aku khawatir biyung menjadi sedih" jawab Karebet.
Mendengar kata-kata kemenakannya, Ganjurpun menganggukkan kepalanya :"Ya, biyungmu tidak usah mengetahui kalau kau pernah dihukum"
"Sekarang, setelah aku mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan, aku berani pulang ke Tingkir paman, dan tak akan membuat biyung bersedih" kata Karebet.
"Karebet, aku sudah pikun, aku tidak berani berjalan sendiri, kalau kau pulang ke Tingkir, aku ikut bersamamu" kata Ganjur.

Karebet melihat pamannya Ganjur yang memang terlihat semakin tua, tubuhnya semakin renta.
"Ya paman, aku berjanji, nanti kalau aku akan pulang ke Tingkir, paman akan aku ajak menemui biyung, nanti kalau paman ingin kembali ke kotaraja lagi bisa diantar paman Suta dan paman Naya, tetapi kalau paman sudah tidak ingin bekerja lagi, ingin beristirahat menikmati hari tua di Tingkir, paman bisa tinggal disana berdua dengan biyung" kata Karebet.
"Ya Karebet" kata Ki Ganjur.
Beberapa saat kemudian, Ganjurpun berkata :"Sudah malam, aku akan tidur dulu"
"Ya paman" jawab Karebet.
Ki Ganjurpun masuk kedalam rumah untuk beristirahat sedangkan Karebet masih berada diluar.
Ketika malam semakin larut, Karebetpun masuk kedalam rumah untuk beristirahat, setelah sehari penuh ia berlari dan berjalan cepat dari hutan Prawata ke kotaraja Demak.
Di langit bulan bersinar terang, Karebetpun tidur nyenyak di dalem Suranatan.
Fajar menyingsing di ufuk timur, suara kokok ayam jantan terdengar di sela-sela udara pagi yang dingin di kotaraja Demak.

Pagi itu, setelah matahari semakin tinggi, terlihat seorang pemuda sedang berjalan, keluar dari pintu gerbang dalem Suranatan.
Pemuda itu berjalan dengan langkah yang tidak tergesa-gesa, dan ia akan pergi menuju desa Kadilangu.
Ketika sedang berjalan sambil menganyam angan-angan, terdengar suara seorang perempuan memanggilnya :"Karebet !"
Karebet menengok kebelakang, dilihatnya seorang perempuan cantik setengah baya sedang berjalan dibelakangnya.
Karebetpun memperlambat langkahnya, lalu iapun berhenti menunggu perempuan cantik itu.
"Karebet" kata perempuan itu.

"Ya Nyai Madusari" Jawab Karebet kepada perempuan itu.
Setelah berada disebelah Karebet, Nyai Madusari pun berhenti.
"Kemarin nyai sudah cerita ke Gusti Putri tentang kepulanganku di kotaraja ? Bagaimana tanggapan Gusti Putri, nyai ?" tanya Karebet.
"Yaaah Gusti Putri senang sekali Karebet, nanti kalau kau tugas berjaga di Kaputren atau di ruang dalam, Gusti Putri akan menghadap Kanjeng Prameswari, supaya bisa bertemu denganmu" kata Nyai Madusari.
"Ya, besok akupun akan ke Kraton, menghadap Ki Tumenggung Gajah Birawa" kata Karebet.
"Besok kau sudah menjadi Lurah prajurit lagi ?" tanya Nyai Madusari.
"Ya nyai" jawab Karebet.
"Sekarang kau akan kemana Karebet ?" tanya Nyai Menggung.
"Aku akan ke Kadilangu" jawab Karebet.
"Ke tempat Kanjeng Sunan Kalijaga?" tanya Nyai Madusari.
"Ya nyai" sahut Karebet.
"Ya sudah, Karebet, aku akan ke kaputren dulu" kata Nyai Madusari.
"Ya nyai" jawab Karebet, dan merekapun berpisah, Nyai Madusari berjalan ke Kraton, sedangkan Karebet meneruskan pejalanannya ke Kadilangu.

Karebet berjalan kearah selatan, berjalan dengan langkah yang teratur, tidak tergesa-gesa.
"Daerah sekitar kotaraja Demak adalah daerah yang kering, musim kemarau ini daerah kotaraja sudah agak sulit mencari air"
"Kalau di daerah Tingkir atau Pengging air banyak sekali, apalagi didaerah Pengging, disana ada sebuah umbul yang besar" kata Karebet dalam hati.
Beberapa saat kemudian Karebet berbelok ke timur menuju tepi barat sungai Tuntang.
Saat itu musim kemarau, air sungai menjadi tidak terlalu tinggi, Karebetpun sudah mengetahui bagian sungai yang agak dangkal, sehingga Karebetpun menyeberang sungai tidak perlu dengan berenang, tetapi cukup hanya dengan berjalan kaki.
Tak lama kemudian setelah menyebeangi sungai, Karebetpun telah tiba diseberang, di tepi sebelah timur sungai Tuntang.
"Inilah desa Kadilangu, memang dekat, tidak terlalu jauh dari kotaraja" kata Karebet dalam hati.
Karebet berjalan beberapa langkah ke arah timur, kemudian ketika dilihatnya sebuah rumah, maka Karebetpun berbelok menuju rumah tersebut.

Dari pintu depan, Karebet berjalan menuju ke halaman, dilihatnya beberapa santri membawa air untuk mengisi padasan maupun mengisi kolam tempat wudhu, sedangkan di depan pintu, dilihatnya seorang santri yang sudah agak tua, menyambutnya dengan ramah.
Karebetpun mengucapkan salam, dan orang itupun menjawab salamnya.
"Silahkan masuk anakmas Karebet, anakmas sudah ditunggu Kanjeng Sunan Kalijaga diruang dalam" kata orang itu.
"Ternyata Kanjeng Sunan Kalijaga sudah tahu kalau aku mau datang kemari" kata Karebet dalam hati.
"Silahkan anakmas, silahkan masuk" kata santri itu.
"Terima kasih, maaf, apakah Kanjeng Sunan Kalijaga saat ini sedang menerima tamu ?" tanya Karebet.
"Tidak, sekarang Kanjeng Sunan memang sedang menunggu nakmas Karebet, kalau kemarin memang ada dua orang tamu yang belajar disini beberapa hari, mungkin nakmas Karebet sudah pernah bertemu dengan orang itu" kata orang itu.
"Siapa namanya ?" tanya Karebet.
"Ki Pemanahan dan Ki Penjawi, mereka sekarang menjadi murid Kanjeng Sunan Kalijaga, disini sudah beberapa hari, baru kemarin mereka berdua pulang ke Sela" kata santri itu menjelaskan.
Karebet mengangguk-anggukkan kepalanya, dan iapun berkata :"Baik, aku mau menghadap Kanjeng Sunan, di ruang manakah saya bisa menemui Kanjeng Sunan ?"
"Silahkan, mari saya antar ke ruang dalam" kata santri itu.

Santri itupun kemudian mengantarnya ke sebuah ruangan di dalam, lalu iapun mempersilahkan Karebet untuk masuk ke ruangan.
Karebet berdiri di depan pintu mengucapkan salam, dan dari dalam ruangan terdengar ada suara yang menjawab salamnya.
"Silahkan masuk Karebet" kata orang yang berada didalam.
Karebetpun kemudian masuk kedalam ruangan, dilihatnya seorang tua memakai pakaian serba wulung memegang sebuah tasbih, berwajah teduh, bermata tajam, bibir tersenyum, duduk bersila diatas sebuah amben kayu yang pendek tetapi agak lebar.
"Duduklah Karebet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Terima kasih Kanjeng Sunan" kata Karebet
Wajah Kanjeng Sunan Kalijaga tidak banyak berubah sejak ia melihatnya di desa Tingkir, ketika ia sedang menunggu padi gaga didalam sebuah gubug di sawah.
"Kau selamat Karebet" kata Sunan Kalijaga.
"Atas pangestu Kanjeng Sunan, saya baik-baik saja" jawab Karebet.
"Dari tubuhmu terlihat sebuah teja yang memancar sebesar sada lanang, kau sudah semakin dekat dengan kamukten Karebet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Terma kasih Kanjeng Sunan" jawab Karebet.
"Kau sudah kembali lagi ke kotaraja ?" tanya Kanjeng Sunan.
"Sudah Kanjeng Sunan, kesalahan saya sudah diampuni oleh Kanjeng Sultan Trenggana" jawab Karebet.
"Ya, syukurlah, lalu apa maksudmu menemui aku Karebet" tanya Kanjeng Sunan.
"Saya ingin belajar, saya ingin menjadi murid Kanjeng Sunan Kalijaga" jawab Karebet.

"Bagus Karebet" kata Kanjeng Sunan Kalijaga sambil meng-angguk2-kan kepalanya :"Bagus kalau kau mau belajar di Kadilangu. Beberapa hari yang lalu cucu Ki Ageng Sela juga datang kemari. Kau pasti sudah tahu orangnya, anak dari Nis yang bernama Pemanahan dan anak angkatnya yang bernama Penjawi" kata Sunan Kalijaga.
"Kakang Pemanahan dan kakang Penjawi adalah saudara seperguruan, sewaktu kami bersama-sama belajar olah kanuragan di perguruan Sela, Kanjeng Sunan" kata Karebet.
"Ya, nantinya kau akan sering bertemu, mereka juga belajar disini" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
"Ya Kanjeng Sunan" jawab Karebet.
"Karebet, setiap ada waktu luang, kau bisa pergi ke Kadilangu, kau bisa belajar disini, meskipun kau tidak menginap disini"
"Ya, Kanjeng Sunan" kata Kanjeng Sunan Kalijaga.
Mulai saat itu Karebet mulai belajar kepada Kanjeng Sunan Kalijaga, salah seorang Wali Sanga yang mumpuni ilmu lahir batin.
Matahari bergerak terus ke arah barat, dan setelah matahari sampai di puncak langit, seorang santri membunyikan sebuah kentongan, sebagai tanda telah tiba waktunya untuk menunaikan sholat dhuhur.
"Hari ini cukup sekian dulu Karebet, saat ini telah tiba waktunya untuk sholat dhuhur" kata Kanjeng Sunan Kalijjaga.

Kanjeng Sunan Kalijaga lalu mengajak semua santrinya untuk menjalankan sholat dhuhur berjamaah.
Setelah sholat dhuhur, Karebetpun diajak makan bersama para santri disebuah ruangan, makan nasi jagung dan sayur kacang panjang.
"Kami menanam jagung dan padi di sawah tadah hujan" kata salah seorang santri.
"Sekarang musim kemarau" kata Karebet.
" Ya, tetapi kami masih punya persediaan padi" kata santri itu.
"Setelah ini apa yang di kerjakan para santri?"
"Ada yang mencari air, ada juga yang membelah kayu bakar, ada yang membuka ladang baru" kata Santri itu.
"Baiklah, nanti aku yang akan bantu membelah kayu bakar, dimana kayu yang akan dibelah ?" kata Karebet
"Ada disamping rumah, parang dan kapaknya diletakkan di dinding dalam" kata Santri itu.
Setelah beristirahat, tak lama kemudian Karebetpun membantu para santri membelah kayu bakar untuk keperluan memasak para santri di Kadilangu.
Dengan tenaganya yang kuat, Karebetpun bekerja tanpa henti sampai terdengar kentongan yang ditabuh seorang santri sebagai tanda telah tiba waktu untuk sholat ashar.
Waktupun bergerak terus, matahari terlihat merayap turun di langit sebelah barat, setelah selesai melaksanakan sholat ashar berjamaah, terlihat Karebet berjalan keluar dari Kadilangu, dan akan pulang ke dalem Suranatan.

Karebet berjalan ke arah barat, tak berapa lama iapun sudah sampai di tepi timur sungai tuntang.
Setelah menyeberangi sungai Tuntang, maka Karebetpun tiba ditepi barat, lalu iapun berbelok ke utara.
Karebet berjalan dijalan yang biasa dilewatinya, jalan yang sudah ramai, jauh didepan sudah terlihat beberapa rumah di kotaraja.
Ketika Karebet sedang berjalan, tidak jauh dari jalan yang akan dilaluinya, terlihat ada seseorang yang memakai caping, sedang duduk dibawah sebuah pohon.
Tidak biasanya ada orang yang duduk dI tepi jalan dengan memakai caping.
"Siapa orang itu ?" kata Karebet di dalam hatinya, dan iapun berjalan mendekat ke arah orang yang memakai caping.
Orang itupun mengetahui kalau Karebet berjalan ke arahnya, maka orang itupun berdiri dan berjalan mejauh ke arah barat.
Ketika Karebet mengetahui orang itu berjalan menjauh maka iapun segera berjalan mengikuti dari belakang.
"Siapa orang itu ?" kata Karebet dalam hati.
"Hei Ki Sanak, berhenti dulu, kita berbicara sebentar" kata Karebet.

Orang itu terus berjalan ke arah barat, ketika ia menengok kebelakang dan mengetahui ada orang yang mengikutinya, maka orang itupun kemudian berlari berbelok ke arah selatan, menjauhi kotaraja.
Melihat orang bercaping berlari ke selatan, Karebet yang tak pernah mengenal rasa takut, berlari mengejarnya.
Disore hari matahari sudah condong kebarat, terlihat dua orang berlari cepat, Karebet mengejar orang bercaping yang lari ke arah selatan. Karebet mengeluarkan semua kekuatannya untuk mengejar orang yang mencurigakan.
"Hei berhenti dulu Ki Sanak" teriak Karebet.
Meskipun Karebet mengejar sekuat tenaga, jarak ke orang bercaping tidak bertambah dekat, tetapi jarak itu tetap seperti semula.
Ketika melewati beberapa rumpun pohon bambu, Karebet terkejut karena orang bercaping yang dikejarnya telah lenyap.
Karebetpun melihat keadaan sekelilingnya, tetapi orang bercaping itu tetap tidak kelihatan.
"Orang bercaping itu telah menghilang disini, ternyata aku telah dipancing untuk mengikutinya sampai disini, siapakah dia ?" kata Karebet dalam hati :"Orang itu berilmu tinggi, aku tak mampu mengejarnya"
"Siapa orang itu yang telah memancingku supaya datang kemari ? Saat ini Kanjeng Sultan masih dalam perjalanan pulang dari hutan Prawata beserta kedua Tumenggungnya, lalu siapa ? Tumenggung Suranata ? Tumenggung Surapati ? Atau Ki Patih Wanasalam ? Tidak mungkin kalau orang itu seorang Tumenggung, rata-rata ilmu seorang Tumenggung belum setinggi orang bercaping itu, atau mungkinkah dia Arya Penangsang ?" kata Karebet dalam hati.

Karebet berpikir, kalau orang itu Penangsang tidak mungkin dia mampu menghilang di hadapannya, kalaupun ada persoalan, Penangsang pasti akan datang beradu dada, tidak harus ber-putar-putar seperti ini.
"Orang itu bukan Penangsang, tetapi siapa orang yang memakai caping itu ? Atau orang dari luar Kraton ?" kata Karebet dalam hati.
Mengetahui yang dikejarnya adalah orang yang berilmu tinggi, maka Karebet kemudian mengumpulkan semua kekuatan yang tersimpan didalam dirinya, ia segera mateg aji miliknya yang ngedab-edabi, aji Lembu Sekilan.
Karebet maju beberapa langkah kedepan, pandangannya melihat berkeliling mencari orang bercaping yang lenyap ketika sedang dikejarnya.
Karebetpun terkejut, ketika ia menengok ke belakang, terlihat di dekat rumpun bambu, seorang yang memakai caping sedang duduk di atas sebatang pohon yang roboh.
Karebet memutar badannya, dengan penuh kewaspadaan dia maju mendekati orang itu, aji Lembu Sekilanpun masih manjing di dalam dirinya.
"Orang ini berilmu tinggi, siapa dia, wajahnya tertutup caping yang dipakainya"" kata Karebet dalam hati.

"Ilmunya beberapa lapis diatasku, beberapa gerakannya tidak dapat aku ketahui, langkah-langkahnya luput dari pengamatanku" kata Karebet tak bersuara, tidak ada jalan lain, Karebetpun mempersiapkan aji Hasta Dahana pada serangan pertama.
Ketika jarak antara dirinya dengan orang bercaping hanya tinggal empat lima langkah, Karebetpun bertanya :"Ki Sanak, apa maksudmu memancing aku kemari, siapakah kau ini sebenarnya?"
Karebet terkejut ketika orang bercaping itu menjawab :"Duduklah Karebet"
Meskipun Karebet tidak bisa melihat orang bercaping karena wajah orang itu tertutup caping yang dipakainya, tetapi Karebet sudah hafal dengan nada suaranya,
"Duduklah Karebet" kata orang itu sekali lagi.
Karebet maju kedepan, dilihatnya orang itu, seorang yang berumur menjelang setengah abad, bertubuh sedang, berpakaian sederhana, memakai caping, dan berwajah tenang.
Ketika Karebet sudah dekat sekali, maka orang itupun membuka capingnya dan tersenyum kepada Karebet.
"Ternyata siwa yang memancingku datang kemari" kata Karebet sambil melangkah maju, diciumnya tangan orang itu.
Orang itu tersenyum :"Karebet, kau dari Kadilangu ?"
"Ya wa, sekarang saya telah menjadi murid Kanjeng Sunan Kalijaga, siwa Kebo Kanigara mau kemana ?" tanya Karebet.

Karebetpun duduk disamping orang telah melepas capingnya, yang ternyata adalah uwa nya, Kebo Kanigara, kakak dari ayahnya, Kebo Kenanga.
"Aku memang mencarimu, beberapa waktu yang lalu aku mampir di Pengging, ternyata kau baru saja datang ke sana, lalu pergi lagi" kata uwanya.
"Ya wa" sahut Karebet.
"Aku dengar kau diusir dari kotaraja" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, saya bersalah membunuh Dadung Awuk, lalu Kanjeng Sultan menghukum saya, dan sayapun di usir dari kotaraja dan diberhentikan sebagai prajurit Wira Tamtama" kata Karebet.
"Sekarang kau sudah diperbolehkan kembali di kotaraja lagi ?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, kemarin saya sudah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan, dan besok saya sudah bertugas sebagai Lurah Wira Tamtama lagi" kata Karebet.
"Setelah kau bertemu aku di alas Roban beberapa waktu yang lalu, lalu kau pergi ke kotaraja menjadi prajurit Wira Tamtama ? Bagaimana ceritanya ?" tanya Ki Kebo Kanigara.
"Begini wa," kata Karebet, dan mulailah ia bercerita mulai saat berpisah dengan uwanya Ki Kebo Kanigara di alas Roban, selanjutnya diceritakan juga ketika ia bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga sewaktu berada di sebuah gubug di sawah, lalu iapun pergi ke Demak dan diangkat menjadi prajurit Wira Tamtama.
Kemudian ia bercerita telah melakukan kesalahan membunuh Dadung Awuk sehingga dihukum oleh Kanjeng Sultan, dicopot dari Wira Tamtama dan diusir dari kotaraja, lalu diceritakan pula pertemuan dengan saudara seperguruan ayahnya, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang.

Karebet juga bercerita ketika ia bertemu dengan Ki Buyut Banyubiru sampai membunuh Kebo ndanu di perkemahan hutan Prawata, tidak lupa diceritakan pula hubungannya dengan Sekar Kedaton, Putri Mas Cempaka.
Kebo Kanigara mendengarkan cerita Karebet sambil berpikir, bagaimana mencarikan jalan terbaik untuk Karebet, karena ia berangan-angan, sudah saatnya keponakannya, yang mempunyai darah Pengging dan masih merupakan keturunan Raja Majapahit, bisa menjadi Raja di Tanah Jawa.
"Jadi Kanjeng Sunan Kalijaga mengatakan kau sebagai seorang calon Raja, dan menyuruhmu untuk pergi ke Demak ?" tanya uwanya.
"Ya wa, Kanjeng Sunan mengatakan itu ketika melihat saya di desa Tingkir" jawab Karebet.
"Lalu Ki Ageng Butuh telah melihat Pulung Kaprabon sudah manjing kedalam tubuhmu ?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, Ki Ageng Butuh memang berkata begitu" kata Karebet.
"Kemudian tentang hubunganmu dengan Putri Mas Cempaka, apakah Sekar Kedaton mencintaimu ?" tanya Kebo Kanigara.
"Ya wa, ketika saya diusir dari kotaraja, Nimas Cempaka  sampai jatuh sakit" jawab Karebet.
"Karebet, aku beri gambaran sekilas suasana Kraton Demak saat ini, andaikan nanti kau diambil menantu oleh Sultan Trenggana, jalan yang kau akan tempuh masih panjang, jangan bertindak tergesa-gesa, jangan nggege mangsa, biarlah semua berjalan apa adanya, biarlah semua berjalan sebagaimana mestinya" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa" kata Karebet.

"Kalau dilihat dari trah Trenggana, misalnya Sultan Trenggana lengser kaprabon, masih ada dua orang yang lebih berhak menjadi raja, urutan pertama adalah anak Sultan Trenggana, yang bernama Bagus Mukmin yang biasa dipanggil Pangeran Arya, sedangkan urutan kedua adalah Pangeran Hadiri atau Pangeran Hadirin, menantu Sultan Trenggana" kata Kebo Kanigara.
"Karebet, kalau kau menjadi menantu Sultan Trenggana, kau akan berada di urutan yang ketiga, kau dan Pangeran Hadiri adalah sama-sama menantu Sultan Trenggana, tetapi Pangeran Hadiri berada di urutan yang lebih tua, sehingga dia lebih berhak atas tahta Demak" kata uwanya.
"Sedangkan anak bungsu Sultan Trenggana, adik Sekar Kedaton yang benama Pangeran Timur, masih terlalu kecil, sehingga kelihatannya masih terlalu jauh untuk dimasukkan kedalam persaingan perebutan tahta Kasultanan Demak" kata Kebo Kanigara.
Karebet mendengarkan semua perkataan uwanya dengan penuh perhatian.
"Satu lagi yang harus kau perhitungkan adalah Penangsang, putra dari Pangeran Sekar Seda Lepen" kata uwanya.

"Karebet, ada dua trah yang bersaing di dalam Kraton Demak, trah Trenggana bersaing dengan trah Sekar Seda Lepen" cerita uwanya.
"Raden Patah, Sultan Demak pertama mempunyai empat anak, anak yang pertama Pangeran Pati Unus yang lebih dikenal dengan nama Pangeran Sabang Lor, dia menjadi Sultan Demak yang kedua menggantikan Raden Patah" lanjut cerita uwanya.
"Anak Raden Patah yang kedua Pangeran Suryawiyata, telah dibunuh oleh Pangeran Arya, kemudian namanya lebih dikenal sebagai Pangeran Sekar Seda Lepen, Pangeran Sekar yang meninggal di tepi sungai, dia adalah ayahanda Penangsang" cerita uwanya.
"Anak Raden Patah yang ketiga Pangeran Trenggana yang menjadi Sultan Demak yang ketiga menggantikan Pati Unus, sedangkan anak Raden Patah yang keempat perempuan, Ratu Mas dan saat ini berada di Cirebon" kata Kebo Kanigara menjelaskan panjang lebar.
"Penangsang juga berhak atas tahta, kalau saja ayahnya, Pangeran Sekar Seda Lepen tidak dibunuh oleh Pangeran Arya, sepeninggal Pati Unus sebagai Sultan Demak kedua, kemungkinan Pangeran Sekar Seda Lepenlah yang akan menjadi Sultan Demak ketiga, bukan Trenggana" cerita uwanya.
"Ayahanda Penangsang, Pangeran Sekar Seda Lepen meninggal karena ditusuk keris Kyai Brongot Setan Kober" kata Kebo Kanigara.
"Keris Kyai Setan Kober?" tanya Karebet.
"Ya, Pangeran Suryawiyata, ayah dari Penangsang mati ditusuk keris Kyai Setan Kober  oleh Pangeran Arya" kata Kebo Kanigara.

"Pangeran Suryawiyata atau sering disebut dengan Pangeran Sekar pada saat meninggal, berada di tepi sungai, sehingga ia disebut juga Pangeran Sekar Seda Lepen" Kebo Kanigara berhenti sebentar, dan iapun menarik napas dalam-dalam.
"Keris Kyai Setan Kober adalah keris pusaka milik Kanjeng Sunan Kudus, keris itu dipinjam Pangeran Arya lewat istri Sunan Kudus, tanpa sepengetahuan Kanjeng Sunan Kudus, lalu keris itu dipakai untuk membunuh Sekar Seda Lepen, dan saat ini keris Kyai Setan Kober berada di Panti Kudus" kata Kebo Kanigara.
"Karena Pangeran Sekar Seda Lepen telah meninggal, dan saat itu anaknya yang bernama Penangsang masih kecil, dan ketika Pati Unus yang menjadi Sultan Demak kedua telah meninggal, maka Pangeran Trenggana lah yang menjadi Sultan Demak ketiga" kata uwanya.
"Aku tidak tahu apakah saat ini Arya Penangsang sudah mengetahui siapa pembunuh ayahnya, tetapi selama Sultan Trenggana masih hidup, Arya Penangsang tidak akan mampu membalas dendam atas kematian ayahnya karena Penangsang tidak akan mampu mengimbangi ilmu Sultan Trenggana dan Penangsang tidak mau menentang raja, karena bisa dianggap sebagai pemberontak, yang harus melawan seluruh kekuatan prajurit Kasultanan Demak" kata uwanya.
"Nah itulah alur cerita dari trah Sekar Seda Lepen, dan kalau diurut dari Raden Patah, garis keturunan langsung anak laki-laki saat ini hanya ada tiga, Penangsang, Pangeran Arya dan Pangeran Timur yang saat ini masih anak-anak" cerita uwanya.

"Tidak ada yang tahu isi hati orang lain, mungkin pada suatu saat nanti Penangsang juga mempunyai keinginan menjadi raja, karena ia adalah anak laki-laki keturunan langsung dari Raden Patah, Sultan Demak pertama dan melihat watak Penangsang yang pemarah dan tak kenal takut, maka tidak mungkin dia akan membiarkan ayahnya mati dibunuh tanpa balas, diamnya Penangsang saat ini adalah seperti api dalam sekam, dendamnya akibat ayahnya dibunuh Pangeran Arya, suatu saat nanti pasti akan meledak" kata uwanya.
"Nah Karebet, jangan kau anggap ringan Penangsang, kau jangan membuat persoalan dengan dia, saat ini kedudukanmu belum sejajar dengan Penangsangn dan hindari semua pertentangan dengan Penangsang, selama kau belum menjadi menantu Sultan Trenggana" kata uwanya.
"Kau dengan Penangsang mempunyai ilmu kanuragan yang seimbang, hanya yang sabar dan cerdik, yang akan mendapat kemenangan, itulah gambaran keadaan yang nanti akan kau hadapi, kalau kau menjadi menantu Sultan Trenggana" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, akan saya perhatikan" kata Karebet.
"Satu lagi Karebet, kau jangan melakukan kesalahan sekecil apapun, yang bisa menyebabkan semua yang telah kita rencanakan menjadi berantakan" kata uwanya.
"Baik wa, aku akan lebih berhati-hati" kata Karebet.
"Aku akan selalu dibelakangmu, nanti akan kita pikirkan langkah-langkah selanjutnya" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa, setelah ini siwa akan kemana ?" tanya Karebet
"Aku saat ini berada di sekitar kotaraja hingga sekitar satu candra lagi" jawab Kebo Kanigara.
"Kalau ada sesuatu yang penting, bagaimana saya bisa menghubungi siwa Kebo Kanigara ?" tanya Karebet.
"Disini, di tempat ini kau letakkan batang kayu ini dibawah rumpun bambu itu, maka aku yang akan mencarimu di kotaraja dengan suara burung Kedasih. Ingat Karebet, aku akan menirukan suara burung Kedasih" kata uwanya.

"Kalau kau dengar suara burung Kedasih, kau keluar menuju ke arah jalan ini" kata Kebo Kanigara.
"Baik wa" kata Karebet.
"Saat ini kita hanya bisa menunggu tindakan yang dilakukan oleh Sultan Trenggana tentang hubunganmu dengan Sekar Kedaton, nah Karebet, matahari hampir tenggelam, kita berpisah dulu, kalau ada sesuatu yang penting, segera kau kabari aku" kata Kebo Kanigara sambil memakai capingnya.
"Baik wa, sekarang saya akan pulang ke dalem Suranatan" kata Karebet.
Setelah mencium tangan Ki Kebo Kanigara, maka merekapun berpisah, Karebet berjalan ke arah utara, menuju dalem Suranatan, sedangkan Kebo Kanigara berjalan ke arah selatan.
Karebet berjalan terus memasuki kotaraja dan tak lama kemudian Karebetpun sudah masuk pintu gerbang dalem Suranatan.
Seperti biasanya, pamannya terlihat sedang duduk di lincak didepan rumah.
"Kau baru pulang Karebet" kata Ki Ganjur ketika Karebet sampai didepan pintu.
"Ya paman" jawab Karebet.
"Rombongan Kanjeng Sultan sudah pulang dari hutan Prawata" kata Ki Ganjur.
"Kapan rombongan Kanjeng Sultan lewat didepan ?" tanya Karebet.
"Baru saja" kata pamannya.
"Ya paman, sekarang aku mau mandi dulu" kata Karebet langsung masuk kedalam rumah.

Setelah mandi dan membersihkan badan, maka Karebetpun kemudian duduk pula disebelah Ki Ganjur.
"Kau bertemu dengan Kanjeng Sunan Kalijaga ?" tanya Ki Ganjur.
"Ya paman, aku bertemu Kanjeng Sunan" kata Karebet"
"Bagus, belajarlah mengaji ke Kadilangu" kata Ganjur.
"Ya paman" kata Karebet.
"Kau tidak makan ? Masih ada nasi didalam gledeg" kata pamannya.
"Tidak paman aku tidak lapar" kata Karebet.
Keduanya lalu berbincang-bincang sampai mendekati wayah sepi wong.
"Karebet, aku akan tidur" kata Ki Ganjur.
"Ya paman, aku juga sudah mengantuk" kata Karebet, dan merekapun masuk ke dalam rumah.
Malam semakin larut, suara kentongan yang dipukul dengan nada dara muluk telah terdengar, dua orang yang berada di rumah paman Ganjur di dalem Suranatanpun telah tertidur nyenak.
Matahari telah muncul di langit sebelah timur, semakin lama semakin tinggi.
Pagi yang cerah, Karebet berjalan menuju ke Kraton, untuk mengawali tugasnya sebagai seorang Lurah Wira Tamtama setelah mendapat pengampunan dari Kanjeng Sultan.
Ketika Karebet memasuki pintu gerbang Kraton, penjaga pintu gerbang menyalaminya, penjaga itu berdecak kagum padanya, ternyata cerita Karebet membunuh kerbau liar yang mengamuk, sudah tersebar ke semua prajurit di kotaraja, apalagi sepulang dari hutan Prawata, ada enam orang prajurit yang terluka ketika melawan amukan kerbau liar.

"Kau luar biasa Karebet, kerbau itu mati terkena pukulan tanganmu" kata penjaga pintu gerbang Kraton.
"Sebetulnya kerbau itu sudah terlalu lelah setelah dikeroyok belasan prajurit, sehingga ketika tiba giliranku, aku menjadi agak mudah mengalahkannya"  kata Karebet sambil tertawa.
Prajurit itu tersenyum, dia sama sekali tidak percaya atas penjelasan karebet.
"Kau sudah menjadi Lurah Wira Tamtama lagi ?" tanya prajurit itu.
"Belum, mudah-mudahan nanti Ki Tumenggung Gajah Birawa memberi aku sebuah selendang cinde berwarna merah" kata Karebet sambil tersenyum.
Prajurit penjaga pintu gerbangpun tertawa tetapi tetap saja ia masih heran akan kekuatan yang dimiliki oleh Karebet,
Belasan prajurit terlatih yang dipimpin oleh Rangga Pideksa, tidak bisa mengalahkan seekor kerbau liar, malah enam orang prajurit telah terluka, tetapi akhirnya Kerbau itu mati terkena pukulan telapak tangan Karebet.
Prajurit itu masih memandang Karebet yang berjalan menjauh menuju ruang Wira Tamtama.
Karebetpun melanjutkan langkahnya menuju ruang Wira Tamtama untuk menemui Ki Tumenggung Gajah Birawa.
Karebetpun berjalan menuju ruang Wira Tamtama, didalam ruangan hanya ada seorang prajurit Wira Tamtama.
"Saya akan menunggu kedatangan Ki Tumenggung Gajah Birawa" kata Karebet.
Beberapa saat kemudian Tumenggung Gajah Birawa datang di ruang Wira Tamtama, kemudian Ki Tumenggungpun menyuruh Karebet supaya mendekat.
"Karebet, seperti keputusan Kanjeng Sultan kemarin, kau sudah mendapat pengampunan, mulai hari ini kau kembali bertugas sebagai seorang Lurah Wira Tamtama" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Terima kasih Ki Tumenggung" kata Karebet.

Lalu Ki Tumenggungpun mengambil sebuah bungkusan dan diberikan kepada Karebet.
"Itu pakaian Lurah Wira Tamtama milikmu yang dulu, masih aku simpan, sekarang bisa kau pakai lagi" kata Ki Tumenggung sambil memberikan pakaian milik Karebet.
"Untuk hari ini, sementara kau bertugas di ruang dalam, untuk selanjutnya, tugasmu nanti akan diatur sesuai kebutuhan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Ya Ki Tumenggung" kata Karebet.
"Sekarang kau bisa mulai bertugas di ruangan dalam" kata Ki Tumenggung.
"Terima kasih Ki Tumenggung, saya ke ruang dalam dulu" kata Karebet setelah menerima pakaian Lurah Wira Tamtama miliknya.
Karebetpun segera keluar dari ruangan Wira Tamtama dan menuju ruang ganti pakaian dan selanjutnya berjaga di ruang dalam.
Tumenggung Gajah Birawa memandang Karebet sampai hilang dibalik pintu, dan Ki Tumenggung yang pernah mencoba beradu kekuatan melawan Karebet, menjadi semakin heran dengan kekuatan Karebet yang mampu membakar kepala kerbau dengan sekali pukulan telapak tangan.
"Hm Karebet memang berilmu tinggi" kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati.

"Hm Karebet memang berilmu tinggi" kata Tumenggung Gajah Birawa dalam hati.
Matahari terus merambat naik, menjelang tengah hari, Karebet bersama seorang prajurit lainnya yang berjaga, melihat Nyai Madusari keluar dari Kaputren menuju ke arah ruang dalam.
"Mau kemana Nyai Madusari" tanya Karebet.
"Mau ke ruang dalam Karebet, eh Ki Lurah" jawab Nyai Menggung.
"Silahkan nyai" kata Karebet mempersilahkan.
"Ki Lurah, saya akan menghadap Gusti Kanjeng Prameswari, Gusti Putri, mohon ijin untuk menghadap ibundanya" kata Nyai Madusari selanjutnya.
Karebet tersenyum, kalau diijinkan menghadap Kanjeng Prameswari, sebentar lagi Sekar Kedaton akan lewat dipintu yang dijaganya.
Nyai Madusari masuk ke ruang dalam, berbicara sebentar dengan emban Prameswari, dan tak lama kemudian Nyai Madusari keluar dari ruang dalam dan berhenti didepan Karebet, lalu iapun berkata :"Sebentar lagi Gusti Putri akan menghadap Kanjeng Prameswari"
"Ya nyai" kata Karebet.

Nyai Madusari segera berjalan menuju Kaputren, dan tak lama kemudian terlihat dua orang keluar dari pintu Kaputren.
Nyai Madusari bersama Sekar Kedaton Mas Cempaka berjalan menuju ruangan dalam, menghadap Kanjeng Prameswari.
Ketika sampai didepan Karebet, Nyai Madusari mengajak penjaga yang lain untuk berbicara, sedangkan Sekar Kedaton berhenti didepan Karebet, dan perlahan-lahan Putri Mas Cempakapun berkata :"Kau selamat Karebet"
"Ya Gusti Putri, saya baik-baik saja" jawab Karebet.
"Kau tambah kurus Karebet" kata Mas Cempaka.
Karebet tersenyum, Sekar Kedaton melihat senyum Karebet merasa, senyum inilah yang dirindukan selama ini, senyum yang telah membuatnya nyaman sekaligus membuatnya mabuk kepayang.
"Ya Gusti Putri, janji saya untuk kembali ke kotaraja sudah saya tepati" kata Karebet.
"Ya, tapi terlalu lama Karebet" kata Mas Cempaka.
"Kesempatan baru datang sekarang Gusti Putri" kata Karebet.
Sekar Kedaton hanya tersenyum mendengar perkataan Karebet.
"Saya dengar Gusti Putri jatuh sakit" kata Karebet selanjutnya.
"Ya, itu semua gara-gara kau Karebet" kata Sekar Kedaton sambil tersenyum.
"Sebetulnya sejak aku sakit, kesalahanmu sudah diampuni oleh ayahanda Sultan, Karebet" kata Mas Cempaka.

Sekar Kedaton melihat sekelilingnya, dilihatnya prajurit yang satu lagi masih berbincang dengan Nyai Madusari, dan ketika tidak ada seorangpun yang memperhatikannya maka Putri Mas Cempaka berbisik :"Kau berani membawa aku lari keluar dari Kraton Karebet ?"
Karebet terkejut mendengar tantangan Sekar Kedaton, dengan hati-hati ia menjawab :"Gusti Putri, bukannya saya tidak berani, tetapi nanti Kanjeng Prameswari bisa menangis tiga hari tiga malam kalau mengetahui Gusti Putri hilang, bersabarlah Gusti Putri".
"Baiklah Karebet, aku akan bersabar dua tiga candra lagi, kalau tidak ada perubahan, paling lambat tiga bulan lagi kau harus membawa aku meninggalkan Kraton, kemanapun kau pergi, aku ikut Karebet" kata Sekar Kedaton sambil tersenyum.
"Karebet, aku akan menghadap Kanjeng Ibu dulu" kata Gusti Putri, lalu bersama Nyai Madusari, keduanya menuju ruang dalam.
Demikianlah waktupun berjalan terus, matahari terbit di ufuk timur, tenggelam di cakrawala barat, gelappun menyelimuti bumi, bulanpun malu-malu bersembunyi dibalik awan.
Hari berganti hari, setiap hari Gusti Putri Mas Cempaka menghadap ibundanya, dengan berbagai macam alasan, dan ini tidak pernah terjadi sebelumnya, sehingga membuat Kanjeng Prameswari cemas.
Selama tiga pasar, sejak Karebet bertugas di Kraton, setiap hari Sekar Kedaton berkunjung ke ibundanya, dan ini membuat Kanjeng Prameswari memberanikan diri membicarakannya dengan Kanjeng Sultan.

Pada malam harinya, Kanjeng Prameswari berkata kepada Kanjeng Sultan :"Mohon ampun Kanjeng Sultan, kalau diperkenankan hamba ingin berbicara"
"Kau ingin bicara apa Ratu" kata Kanjeng Sultan Trenggana.
"Mengenai anak kita, Sekar Kedaton Kanjeng Sultan" kata Kanjeng Prameswari.
"Ada apa dengan Cempaka, Ratu"
"Apakah tidak sebaiknya Kanjeng Sultan mulai memikirkan kelanjutan hubungan Sekar Kedaton dengan Karebet" kata Kanjeng Ratu.
"O soal Cempaka dan Karebet, aku sudah memikirkan, malah bukan hanya itu, aku juga sudah memikirkan yang lain, aku merencanakan membangun empat buah bangunan baru, yang berupa bangunan pesanggrahan dua buah, yang berupa bangunan Kadipaten dua buah" kata Sultan Trenggana.
"Bangunan itu nanti akan aku berikan untuk anak kita Pangeran Arya, untuk menantu kita Pangeran Hadiri, untuk keponakan kita Penangsang dan untuk calon menantu kita Karebet" kata Kanjeng Sultan.
"Sedangkan untuk anak kita yang bungsu, Pangeran Timur kita pikirkan besok karena dia masih terlalu kecil" kata Kanjeng Sultan selanjutnya.

"Mereka berempat akan dibuatkan bangunan untuk pesanggrahan dan kadipaten ? Didaerah mana Kanjeng Sultan" tanya Kanjeng Prameswari.
"Yang sudah aku tentukan baru satu, Arya Penangsang akan menjadi Adipati di Jipang Panolan, sedangkan Pangeran Arya, Pangeran Hadiri dan Karebet belum aku tentukan, karena besok aku baru akan membicarakannya dulu dengan Patih Wanasalam" kata Kanjeng Sultan.
"Terima kasih Kanjeng Sultan" kata Kanjeng Prameswari.
"Mungkin lusa Karebet akan aku tanya mengenai sikapnya terhadap Cempaka" kata Kanjeng Sultan selanjutnya.
Keesokan harinya, Kanjeng Sultan memberi perintah kepada seorang prajurit yang berjaga di ruang dalam.
"Panggil Patih Wanasalam, supaya menghadap sekarang" kata Kanjeng Sultan.
Prajurit itupun segera pergi ke Kepatihan menemui Ki Patih Wanasalam.

(bersambung)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar