Selasa, 05 Agustus 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 11

BAB 5 : MASA PEMBUANGAN 1

Ditulis oleh : Apung GWAP

Meskipun jalannya lambat, akhirnya Nyai Madusaripun sampai juga di ruang dalam, dan di depan pintu yang tertutup, Nyai Menggung berdiri menunggu panggilan Sultan Trenggana.
"Masuklah Nyai Menggung" kata Kanjeng Sultan, dan dengan muka menunduk, Nyai Madusari masuk kedalam ruangan, menyembah dan duduk bersimpuh dihadapan Sultan Trenggana. Disamping Sultan Trenggana, duduk pula Kanjeng Prameswari.
"Nyai Menggung, kau kupanggil kesini, apakah kau tahu penyebab sakitnya Putri Sekar Kedaton?" tanya Sultan Trenggana.
Dengan detak jantung yang semakin cepat, Nyai Madusari menjawab:" Hamba tidak tahu Kanjeng Sultan"
Sultan Trenggana melihat wajah Nyai Madusari sebentar terlihat pucat, sebentar kemudian terlihat memerah, Dan Kanjeng Sultanpun tersenyum dalam hati.
"Nyai Menggung coba lihat kesini, kau tahu penyebab sakitnya Sekar Kedaton?" tanya Sultan Trenggana.
"Hamba tidak tahu Kanjeng Sultan" kata Nyai Madusari.
"Nyai Menggung, kau tahu apa hukumannya bagi orang yang telah berani berbohong kepada Sultan Demak ?" kata Kanjeng Sultan sambil membetulkan letak keris yang dipakainya, yang terasa sedikit kurang kebawah.

Ketika Nyai Madusari melihat Kanjeng Sultan menggeser kerisnya, menjadi gemetar dan iapun segera menjawab :"Hamba tahu penyebab sakitnya Gusti Putri, Kanjeng Sultan"
"Nah begitu, bagus nyai" kata Sultan Trenggana sambil tersenyum.
Dihadapan Sultan Trenggana, di wajah Nyai Madusari muncul keringat sebesar butir-butir jagung, wajahnya pucat, jantungnya berdetak kencang, iapun ingin segera pergi dari ruang itu, tetapi tidak berani meninggalkan Kanjeng Sultan.
"Sejak kapan Sekar Kedaton sakit dan apa yang pernah dikatakannya kepadamu ?" tanya Sultan Trenggana.
"Kasinggihan dalem, Gusti Putri sakit sejak Karebet mendapat hukuman diusir dari kotaraja Demak Kanjeng Sultan" kata Nyai Madusari.
"Hm ternyata Karebet" kata Sultan Trenggana dalam hati.
"Lalu apalagi ?" tanya Kanjeng Sultan.
"Sejak mereka berdua naik perahu ke pantai dulu, yang dipikiran dan dibicarakan Gusti Putri setiap hari hanya Karebet, Kanjeng Sultan" kata Nyai Madusari.

Sultan Trenggana berdiam diri, hingga akhirnya Kanjeng Sultanpun menganggap keterangan Nyai Madusari sudah cukup.
"Ya, sudah cukup, sekarang Nyai Menggung boleh kembali ke Kaputren" kata Kanjeng Sultan.
Nyai Madusari menyembah lalu bergeser menuju ke pintu lalu keluar dari ruangan dalam.
Nyai Madusari bergegas menuju Kaputren, kemudian setiba di Kaputren, diapun bercerita kepada Gusti Mas Cempaka tentang pembicaraannya dengan Kanjeng Sultan.
"Maafkan saya Gusti Putri" kata Nyai Madusari.
"Tidak apa-apa nyai, biarlah, sudah terlanjur basah, biar saja ayahanda Sultan marah kepada saya" kata Sekar Kedaton.
Pada saat itu, diruang dalam Kraton, setelah Nyai Madusari keluar, Kanjeng Sultan masih berbincang dengan Kanjeng Prameswari.
"Ternyata yang membuat Mas Cempaka sakit, dikarenakan dia terlalu memikirkan Karebet yang telah diusir dari kotaraja Demak, Ratu" kata Sultan Trenggana.
"Ya Kanjeng Sultan" jawab Kanjeng Ratu.
"Ternyata Karebet telah mampu membuat Sekar Kedaton jatuh cinta" kata Sultan Trenggana. "Ya Kanjeng Sultan, hamba sudah sedikit curiga waktu kita pesiar ke pantai, Ajeng Cempaka terlalu banyak memperhatikan Karebet yang sedang mendayung" kata Kanjeng Ratu.
"Ya, untuk anak muda seusianya, Karebet memang luar biasa" kata Sultan Trengana.
"Hamba perhatikan, Karebet melompat ke air setelah melihat Sekar Kedaton menjerit ketakutan" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya" kata Sultan Trenggana.
"Kanjeng, apakah mungkin kalau Karebet menjadi menantu Sultan Demak?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Mungkin saja Ratu" kata Kanjeng Sultan.

Kanjeng Prameswari terkejut, dan Ratu pun bertanya :"Kanjeng Sultan, kenapa Karebet layak menjadi suami Sekar Kedaton? Siapakah sebenarnya Karebet itu Kanjeng ?"
Kanjeng Sultan belum menjawab, Kanjeng Ratu sudah bertanya lagi :"Bagaimana dengan bibit, bobot dan bebetnya Kanjeng ?"
Kanjeng Sultan menarik nafas panjang, dan Kanjengpun berkata "Untuk bibit sebenarnya Karebet sudah memenuhi syarat, karena ia masih terhitung keponakanku sendiri, ia adalah anak ontang anting dari Ki Kebo Kenanga, cucu Adipaii Dayaningrat dari Pengging Witaradya yang merupakan putra dari eyang Brawijaya Pamungkas"
"Kanjeng Sultan, berarti Karebet sama seperti Cempaka, ternyata mereka berdua adalah cucu buyut Prabu Brawijaya" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya, betul, silsilah Karebet sudah jelas, dia adalah keturunan Raja Majapahit, sehingga bisa saja dia nanti menjadi suami Sekar Kedaton Kasultanan Demak, mungkin saja dia akan menjadi menantu kita" kata Sultan Trenggana.
"Bagaimana dengan bobotnya Kanjeng ?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Ya, Karebet adalah anak muda yang tak kenal takut, aku percaya kemampuan Karebet, dia bisa melindungi Sekar Kedaton, jarang ada anak muda yang punya kemampuan tinggi seperti Karebet" kata Kanjeng Sultan.
"Memang dia adalah anak muda yang berani, sewaktu perahu Kyai Garuda diganggu seekor buaya besar, Karebet berani terjun melawan buaya" kata Kanjeng Ratu.
"Ratu, aku pernah mencoba kemampuan Karebet, untuk anak seusia Karebet, ilmu kanuragannya memang luar biasa, bobotnya tidak perlu diragukan lagi" kata Sultan Trenggana.
"Kalau bebetnya, Kanjeng Sultan, kelihatannya dia tidak punya pijakan yang mapan" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya, itulah yang nanti akan menjadi pemikiran kita. Saat ini Karebet adalah anak muda yang kleyang kabur kanginan, seperti daun kering yang tertiup angin, disini dia tidak punya apapun juga, tetapi di Pengging dia punya pijakan yang kuat, karena dia sebetulnya adalah cucu Adipati Dayaningrat dari Pengging Witaradya." kata Sultan Trenggana.

"Kanjeng Sultan, sebaiknya, paling tidak nanti yang menjadi suami Sekar Kedaton adalah seorang Adipati" kata Kanjeng Ratu.
"Ya, memang sebaiknya yang menjadi suami Sekar Kedaton adalah seorang Adipati, itu juga nanti yang akan aku pikirkan" kata Sultan Demak
"Ya Kanjeng Sultan"
"Untuk memperkuat Kasultanan Demak, aku mempunyai rencana untuk membentuk beberapa Kadipaten baru di wilayah Kasultanan Demak" kata Sultan Trengana.
"Ya Kanjeng Sultan"
"Ratu, ada bererapa daerah yang bisa dijadikan sebuah Kadipaten, bisa saja nanti Karebet aku angkat menjadi Adipati di salah satu daerah, misalnya, Jepara, Pati, Bang Wetan, Jipang, Pengging, Pajang, diseberang Alas Mentaok yaitu di daerah Bagelen, daerah Asem Arang atau daerah pantai utara sebelah barat" kata Sultan Trenggana.
"Ya Kanjeng, selain Karebet yang perlu diangkat menjadi seorang Adipati adalah anak kita Pangeran Bagus Mukmin dan menantu kita, Pangeran Hadiri" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya, selain anak-anak kita, keponakan kita, putra kakangmas Pangeran Sekar Seda Lepen, Arya Penangsang, juga perlu diangkat menjadi seorang Adipati, tidak mungkin Arya Penangsang berada di dalam Kraton Demak terus menerus sampai tua" kata Sultan Trenggana.
"Ya Kanjeng Sultan"
"Kalau untuk Arya Penangsang, sebaiknya dia memimpin di daerah Jipang, yang dulu pernah menjadi tempat tinggal kakeknya, Sunan Ngudung" kata Sultan Trenggana.
"Ya Kanjeng Sultan"

"Pada saat Kasultanan Demak diperintah oleh ayahanda Sultan Patah, Sunan Ngudung pernah menjadi seorang senapati Kasultanan Demak, rencanaku, nanti kalau sudah tiba saatnya, Arya Penangsang akan aku angkat sebagai Adipati di daerah Jipang Panolan" kata Sultan Trenggana.
"Ya Kanjeng Sultan, ibunya berasal dari Jipang Panolan" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya memang betul, ibunya adalah putri dari Sunan Ngudung" kata Sultan Trenggana.
"Ya Kanjeng Sultan, sangat tepat kalau Arya Penangsang diangkat sebagai Adipati di Jipang Panolan" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya, itu masalah nanti Ratu, sekarang kita masih memikirkan masalah masa depan Sekar Kedaton" kata Sultan Trenggana.
Beberapa saat keduanya saling berdiam diri, Kanjeng Sultan dan Prameswari sedang merencanakan jalan yang terbaik bagi masa depan Sekar Kedaton Putri Mas Cempaka.
"Kanjeng Sultan, kalau diperbolehkan, hamba menginginkan calon suami Sekar Kedaton adalah seorang Adipati, bukan seorang Tumenggung, apalagi hanya seorang Lurah Wira Tamtama" kata Kanjeng Prameswari.

"Ya, sebaiknya memang demikian, untuk itu nanti akan aku pikirkan Kadipaten mana yang nantinya akan dipimpin oleh Karebet" kata Sultan Demak.
"Ya Kanjeng, nanti pada saat pahargyan pengantin, Karebet sebaiknya sudah menjadi seorang Adipati, bukan hanya seorang calon Adipati" kata Kanjeng Ratu.
"Ya Ratu, kalau pada saat pernikahan Karebet sudah menjadi seorang Adipati, bibit bobot bebetnya sudah tepat untuk menjadi menantu seorang Sultan Demak" kata Kanjeng Sultan.
"Kemudian persoalan sakitnya Sekar Kedaton bagaimana Kanjeng?" kata Kanjeng Pramesari.
"Ratu, sakitnya Sekar Kedaton hanya bisa disembuhkan kalau ia diberi harapan Karebet bisa kembali ke Demak dan bisa menjadi Lurah Wira Tamtama lagi" kata Sultan Trenggana.
"Apakah saat ini Karebet tidak bisa dipanggil ke Demak Kanjeng Sultan ? Kanjeng Sultan bisa memerintahkan beberapa prajurit untuk membacakan wara-wara di seluruh wilayah Kasultanan Demak" kata Kanjeng Prameswari.
"Tidak bisa Ratu, Karebet tidak bisa dipanggil dengan cara wara-wara di seluruh wilayah Kasultanan Demak, sebab yang aku ucapkan adalah Sabda Pandita Raja, Sultan Demak tidak bisa mencla mencle dalam membuat sebuah keputusan" kata Sultan Trenggana.
"Apakah kesalahan Karebet memang sedemikian besar Kanjeng ?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Tidak semua beban kesalahan itu menjadi tanggung jawab Karebet, Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada sudah bercerita semuanya. Biasa, itu darah muda, kalau aku sewaktu masih muda, menghadapi persoalan seperti itu, mungkin Dadung Awuk juga akan kubunuh" kata Kanjeng Sultan sambil tersenyum. "Lalu bagaimana rencana untuk memanggil Karebet, Kanjeng Sultan?" tanya Prameswari

"Harus dicarikan alasan, dicarikan sebab akibat, Karebet harus berbuat sesuatu yang nyata, mempunyai jasa terhadap Sultan, sehingga Karebet mendapat pengampunan dan kembali lagi ke kotaraja Demak. Nanti akan aku pikirkan sebuah cara supaya Karebet dapat kembali ke Demak" kata Sultan Trenggana.
"Lalu apa yang kita lakukan supaya Sekar Kedaton bisa sembuh Kanjeng Sultan ?" tanya Kanjeng Ratu.
"Coba Ratu berkunjung ke Kaputren, bilang kepada Sekar Kedaton, ayahanda Sultan sudah mengampuni kesalahan Karebet, dan sedang mencari sebuah cara supaya Karebet bisa kembali ke kotaraja Demak dan bisa kembali menjadi seorang Lurah Wira Tamtama lagi" kata Sultan Trenggana.
"Baik Kanjeng Sultan, hamba pergi ke Kaputren sekarang" kata Kanjeng Ratu.
Sesaat kemudian Kanjeng Prameswari keluar dari ruangan, memanggil seorang emban untuk mengantarnya menemui Sekar Kedaton, setelah itu telihat keduanya berjalan menuju Kaputren.
Di Kaputren, Sekar Kedaton menerima kunjungan ibundanya, Kanjeng Prameswari, dan Sekar Kedatonpun merasa bahwa kunjungan Kanjeng Prameswari kali ini pasti ada hubungannya dengan pemanggilan Nyai Madusari.
"Ajeng, badanmu masih demam" kata Kanjeng Ratu.
" Ya Kanjeng ibu" kata Sekar Kedaton.
"Cepat sembuh Ajeng, ibu kesini membawa kabar gembira" kata Kanjeng Prameswari.
"Kabar gembira apa Kanjeng ibu" kata Gusti Mas Cempaka.
"Ayahanda Sultan sudah mengampuni semua kesalahan Karebet, sekarang sedang dicari sebuah cara, supaya Karebet bisa kembali lagi ke Demak, menjadi seorang Lurah Wira Tamtama" kata Kanjeng Ratu.
Mendengar kata-kata ibunya, Sekar Kedaton yang selama ini berbaring sakit, berusaha untuk duduk, Nyai Madusari dan embanpun membantunya untuk bisa duduk di pinggir pembaringan.
"Betul Kanjeng ibu ? Ayahanda Sultan tidak marah kepada saya ?" tanya Sekar Kedaton.
"Tidak ajeng, ayahanda Sultan tidak marah kepadamu" kata Kanjeng Ratu.
Mendengar kata-kata ibunya, Gusti Putri Mas Cempaka terlihat menangis dipelukan ibunya.
Nyai Madusari dan embanpun terlihat tak bisa menahan keluarnya air mata.

Waktu terus berjalan hari demi hari, sepasar kemudian Gusti Sekar Kedaton sudah berangsur sembuh, senyumnya sudah mengembang, meskipun Karebet belum kembali ke kotaraja, tetapi ucapan Kanjeng Sultan memberikan pengampunan kepada Karebet, sudah memberinya sebuah harapan kesembuhan.
Kekuatan cinta Sekar Kedaton, mamberinya kekuatan untuk mengalahkan sakit yang dideritanya, apalagi kalau teringat janji Karebet yang disampaikan lewat Nyai Madusari sewaktu Karebet mau meninggalkan Demak, bahwa beberapa candra lagi Karebet akan kembali ke kotaraja Demak.
Pada saat yang bersamaan, di desa Butuh yang terletak didekat kaki gunung Merapi, Karebet sedang berusaha menyerap ilmu dari dua orang saudara seperguruan ayahnya.
Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, yang merupakan saudara seperguruan ki Ageng Pengging ternyata adalah orang yang mempunyai kemampuan tinggi dalam olah kanuragan maupun olah kajiwan.
Keduanya mumpuni dalam ilmu yang kasatmata maupun yang tidak kasatmata, mereka mampu merasakan benda yang agal maupun yang halus, dan merekapun mampu olah wadag maupun olah rasa.

Hari demi hari dilalui Karebet untuk lebih memperdalam ilmu kanuragannya, dan lebih mematangkan olah batinnya. Tak terasa waktu sudah berjalan lebih dari dua candra. Dalam waktu dua candra itu, ilmu Karebet maju pesat.
Dalam olah rasa, panggrahitanya menjadi semakin tajam, olah kanuragannya juga semakin matang, kecepatan geraknya semakin lincah, kekuatannya menjadi bertambah besar.
Pada malam itu bulan bersinar terang, di ruang depan rumah Ki Ageng Butuh, terlihat tiga orang sedang duduk berbicara.
Ketiganya, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Ngerang dan Karebet sedang berbincang apa sebaiknya yang akan dilakukan Karebet untuk bisa kembali ke Demak.
"Nakmas karebet" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng" sahut Karebet.
"Hari ini nakmas Karebet sudah lebih dari dua candra berada di rumah ini. kita harus menyusun rencana langkah-langkah apa yang akan nakmas tempuh untuk bisa kembali ke Demak" kata Ki Ageng Butuh.
"Perkataan Kanjeng Sultan Kalijaga tidak bakal bisa terbukti kalau nakmas Karebet tetap berada disini, nakmas harus ikhtiar, supaya nakmas bisa masuk dalam lingkungan Kraton Demak lagi" kata Ki Ageng Ngerang.
"Ya Ki Ageng" jawab Karebet.
"Terbunuhnya Dadung Awuk merupakan sebuah pelajaran yang sangat berharga bagi seorang calon raja. Itu adalah suatu kejadian yang harus nakmas jalani, sebuah penggalan sejarah yang memang harus terjadi. Apa yang bisa kita petik dari peristiwa terbunuhnya Dadung Awuk ? Ada beberapa keuntungan nakmas" kata Ki Ageng Butuh.
"Setelah Dadung Awuk terbunuh, maka nakmas Karebet mendapat kesempatan untuk memperdalam olah kanuragan disini selama dua tiga candra, nakmas menjalani laku prihatin, merasakan pahit getirnya menjadi orang yang menjalani hukuman, pernah berjalan tak tentu arah, makan apa saja yang ditemui, pala kapendem, pala kasimpar, pala gumantung, dan yang terpenting, kesalahan nakmas itu dilakukan sekarang. Bukan dilakukan pada saat nakmas menjadi raja. Apa jadinya kalau kesalahan seperti ini nakmas lakukan ketika sudah menjadi raja" kata Ki Ageng Butuh.
"Ya Ki Ageng" kata Karebet.

"Kalau kesalahan ini, nakmas lakukan sekarang saat nakmas menjadi Lurah Wira Tamtama, itu masih bagus , masih ada yang mengingatkan, masih ada yang menghukum, tetapi kalau kesalahan itu dilakukan setelah nakmas menjadi raja, maka nakmas akan menjadi raja yang bertindak adigang adigung adiguna" kata Ki Ageng Butuh.
"Sebaiknya nakmas besok pagi berangkat ke Demak, dapatkan keterangan tentang perkembangan kotaraja Demak, jangan masuk ke dalam kotaraja karena saat ini nakmas Karebet masih dalam menjalani hukuman dari Kanjeng Sultan" kata Ki Ageng Butuh.
"Nanti setelah sampai di kotaraja Demak, nakmas bisa bertanya kepada salah satu teman nakmas tentang perkembangan Demak, selama nakmas menjalani hukuman ini" kata Ki Ageng Ngerang.
"Setelah nakmas mendengar perkembangan Demak selama tiga empat candra, nakmas bisa ke Pengging, cobalah ziarah ke makam Ki Ageng dan Nyai Ageng Pengging, siapa tahu nanti setelah dari Pengging nakmas bisa tahu akan kemana nakmas pergi selanjutnya" kata Ki Ageng Butuh menambahkan.
"Baik Ki Ageng" kata Karebet.

Malam itu Ki Ageng Ngerangpun menginap dirumah Ki Ageng Butuh, dan Karebetpun mempersiapkan dirinya pergi ke Demak, untuk mengamati keadaan kotaraja Demak, dan mencari peluang untuk bisa kembali lagi sebagai Wira Tamtama Demak.
Malampun telah sampai ke ujungnya, di timur, langit telah semburat berwarna merah, fajarpun telah menyingsing diiringi suara kicau burung di hutan didekat kaki gunung Merapi.
Ketika pagi sudah semakin terang, Karebetpun berpamitan kepada Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang untuk pergi menuju kotaraja Demak.
Dengan membawa sebuah bungkusan berisi pakaian, bekal makanan dan sebuah pedang pendek, Karebet berjalan menuju Demak.
Karebet yang telah mengenal hampir seluruh daerah di Kasultanan Demak, tidak mengalami kesulitan, ketika harus menerobos hutan disekitar Sima, menyeberangi beberapa sungai kecil, bahkan menyeberang sungai Tuntang untuk mencapai tepi sungai sebelah barat, berjalan di jalur yang menuju kotaraja Demak.
Perjalanan Karebet tidak terlalu tergesa-gesa, sehingga ketika matahari hampir terbenam, perjalanan Karebet belum mencapai daerah Mrapen.
Ketika sinar bulan purnama memancar di seluruh wilayah Kasultanan Demak maupun ditempat lainnya, maka Karebetpun beristirahat dan berusaha untuk bisa tidur diatas dahan sebuah pohon.
Malam itu bulan yang bundarpun masih bergantung dilangit dan telah bergeser perlahan-lahan ke arah barat, bintang-bintang juga tanpa kenal lelah terus berkedip di angkasa, dan telah tiba saatnya di bang wetan segera terbit sang mentari pagi.

Ketika sinar sang surya menerangi bumi, maka seorang anak muda yang tak mengenal takut, ayam jantan dari Pengging, berjalan dengan membawa sebuah bungkusan menuju kotaraja Demak.
Karebet berjalan terus ke arah utara, dan setelah lewat tengah hari, sampailah Karebet di perbatasan kotaraja Demak. Teringat akan pesan Ki Ageng Butuh agar tidak memasuki kotaraja, maka Karebet hanya berjalan melihat-lihat disekitar perbatasan kotaraja saja.
Ketika Karebet sedang berjalan, dikejauhan melintas dengan cepat seekor ayam alas, secepat itu pula timbul keinginan untuk makan ayam bakar, sehingga hampir tak terlihat dengan cepat tangannya meraih sebuah batu sebesar telur ayam.
Karebet menengadahkan wajahnya, untuk mengetahui arah angin yang semilir mengusap wajahnya.
Perlahan-lahan dengan melawan arah angin, Karebet maju ke arah ayam hutan yang belum menyadari kehadiran manusia.
Ketika jarak semakin dekat dan sudah mencapai jarak satu lemparan, maka dengan cepat Karebetpun mengayunkan tangannya, dan sebuah batupun meluncur cepat ke arah ayam alas.
Ayam alas itupun terkejut dan dengan cepat dia lari kedepan, tetapi batu yang dilempar Karebet lebih cepat lagi

Suara ayam alas memekik kesakitan terdengar ketika badannya terkena batu, sehingga ayam alaspun menggelepar, dan dengan cepat Karebet mengambilnya
"Masih hidup, tinggal menyembelih" kata Karebet dalam hati, dan iapun pergi ke sebuah sungai kecil, untuk menyembelih ayam dan membersihkannya.
Ketika senja sudah menjelang, langitpun semakin redup, gelap yang menyelimuti bumi, sedikit berkurang dengan munculnya bulan purnama.
Malam yang tidak begitu gelap, seperti ada sebuah bayangan raksasa ketika sebatang pohon nyamplung didepan Karebet terkena cahaya bulan.
Karebetpun mencari tempat yang berjarak beberapa langkah dari jalan yang biasa dilalui orang, didekat sebuah pohon nyamplung, dan iapun berniat membuat sebuah perapian, untuk membakar seekor ayam hutan yang telah dibersihkan dan dipotong-potong dengan menggunakan pedang pendeknya.
Dari dalam kantung ikat pinggang yang dibawanya, Karebetpun mengeluarkan sebuah batu titikan dan sebuah batu hitam, serta sejumput serabut aren yang sudah kering. Setelah batu titikan itu dipukul dengan sebuah batu hitam, maka batu titikan itupun mengeluarkan bunga api, setelah beberapa kali mengeluarkan bunga api, maka serabut aren yang kering bisa menangkap bunga api, akibatnya serabut aren keringpun menjadi terbakar.
Setelah itu dibakarnya daun-daun dan ranting-ranting kering, sehingga tak lama kemudian didepan karebet menyala sebuah perapian.

Bulan purnama masih bersinar, ketika Karebet baru saja menghabiskan beberapa potong ayam bakar, telinganya yang tajam menangkap derap kuda yang akan lewat dijalan yang tidak jauh dari tempat ia membakar ayam.
"Suara derap kuda" desis Karebet.
"Hanya seekor kuda yang berjalan tidak terlalu cepat" kata Karebet dalam hati.
Karebet lalu mematikan perapian yang telah dibuatnya dan iapun berdiri dan berjalan beberapa langkah untuk melihat siapakah penunggang kuda yang akan melintas di jalan itu.
Dengan dibantu cahaya bulan purnama, mata Karebet yang tajam melihat dan mengamati wajah dan perawakan penunggang kuda, dan ketika sudah mengetahui siapa yang berada dipunggung kuda maka Karebetpun terlihat tersenyum.

Kuda dengan seorang penunggang diatas punggungnya, berlari tidak terlalu kencang, penunggangnya masih termasuk muda, beberapa warsa lebih tua dibandingkan dengan Karebet.
Penunggang kuda itu terkejut ketika melihat ada seseorang dengan membawa sebatang pedang ditangannya, berdiri di sebelah pohon nyamplung, di tengah jalan yang akan dilalui kudanya.
Ketika ia melihat wajah orang itu, ternyata ia memakai secarik kain untuk menutupi wajahnya.
Dengan cepat ia menarik kekang kudanya, sehingga kudanyapun berhenti.
Setelah kudanya berhenti, orang yang wajahnya ditutup secarik kain, bertolak pinggang di tengah jalan, dan berkata dengan suara yang keras :"Apakah aku berhadapan dengan Tumpak?'
Penunggang kuda yang bernama Tumpak, terkejut ketika namanya disebut oleh orang yang bertolak pinggang, dengan cepat iapun turun dari punggung kudanya, dan tangannya telah meraba hulu pedang pendeknya.
"Ya, aku Tumpak, kau siapa ?" kata Tumpak.
"Bagus, kau Tumpak, jadi kau yang selama ini mengaku sebagai prajurit Wira Tamtama ?" kata orang yang wajahnya ditutup dengan secarik kain.
Melihat orang yang berdiri di tengah jalan sudah memegang sebatang pedang, maka Tumpakpun segera mencabut pedang pendeknya.
"Sekali lagi aku bertanya, kenapa kau mengaku sebagai prajurit Wira Tamtama ?" kata orang itu.
"Kenapa mengaku ? Aku memang seorang prajurit Wira Tamtama" kata Tumpak.
"Bohong !! " bentak orang itu sambil mengacungkan pedang pendeknya kearah wajah Tumpak.
"Mimpi apa aku tadi malam, hari ini aku bertemu dengan orang gila yang membawa senjata" kata Tumpak dalam hati.
"Orang gila ini sangat berbahaya, pedangnya bisa membunuh orang" desis Tumpak dan sebagai seorang prajurit Wira Tamtama, Tumpak berniat melumpuhkan orang yang membawa pedang, yang telah mencegatnya.

Dibawah cahaya bulan purnama, Tumpak mempertajam pandangannya, tetapi wajah orang itu tetap tidak bisa ditebak karena memakai secarik kain penutup wajah.
"Tumpak yang mengaku prajurit Wira Tamtama, kau boleh berjalan terus, tapi kudamu harus kau tinggal disini" kata orang yang berdiri di tengah jalan.
"Kau siapa ?" tanya Tumpak.
Orang yang menutup wajahnya dengan secarik kain tidak langsung menjawab, matanya yang tajam mengamati wajah Tumpak, setelah memastikan orang yang didepannya adalah Tumpak, maka iapun tertawa terbahak-bahak.
"Aku adalah penjelmaan Lintang Kemukus dari Langit Sap Pitu" Jawab orang itu sambil tertawa keras.
"Mengapa kau tutup wajahmu dengan kain ?" kata Tumpak.
"Aku punya sepuluh lembar kain seperti ini, memang kenapa kalau aku memakai kain ini ? Ternyata kau usil sekali, kain ini milikku sendiri, bukan milikmu, kau keberatan ? Atau kau akan minta kepadaku kain yang seperti ini ?" kata orang itu.
"Aku tidak mencari musuh, tetapi kalau kau mencari perkara, kau akan ku tangkap, dan akan diadili di kraton Demak, menyerahlah" kata Tumpak.
"Aku yang sedang mencari musuh, hei kau dengar Tumpak, aku memang mencari musuh, aku memang mencari perkara, kau mau apa, sekarang kau telah menjadi musuhku, kalau kau tidak mau menyerah, kau akan kugantung dengan kaki diatas, di pohon nyamplung itu" kata orang itu sambil tangannya menunjuk ke pohon nyamplung di sebelahnya.
"Baru kali ini aku bertemu dengan orang gila seperti kau" kata Tumpak.

Mendengar perkataan Tumpak, orang itu menjadi marah, sambil menuding wajah Tumpak dengan pedang pendeknya, iapun berkata :" Kau mengatakan aku gila ? Aku bunuh kau disini, pedangku hari ini akan mendapat seorang korban lagi, seorang yang mengaku sebagai prajurit Wira Tamtama yang bernama Tumpak, dan pohon nyamplung ini akan menjadi saksi, setelah kau kubunuh, kudamu akan menjadi milikku"
Tanpa menunggu jawaban Tumpak, maka orang yang wajahnya ditutup kain menyerang Tumpak dengan sebuah tusukan pedang.
"Orang ini benar-benar gila" kata Tumpak sambil menggeser tubuhnya kesamping, lalu iapun menusuk lawannya lurus kedepan, dan dengan mudah orang itupun menghindar dengan bergeser mundur.
Orang itupun menyerang dengan tebasan menyilang keatas, Tumpakpun bergeser kesamping dan menyongsongnya dengan sabetan menyilang kebawah, dan terjadilah benturan keras lawan keras, percikan bunga api terlihat jelas di malam hari.
Tumpak melihat pedang orang itu hampir terlepas, dengan susah payah orang itu memperbaiki genggaman tangannya pada hulu pedang, maka Tumpakpun berbesar hati, tenaganya lebih besar dari tenaga lawannya.
"Dua kali benturan lagi, pedangnya pasti terlepas" kata Tumpak didalam hatinya, dan iapun menyerang lawannya dengan sekuat tenaga.

Setiap terjadi benturan pedang, lawannya selalu kesulitan dalam memegang hulu pedangnya, tetapi pertarungan sudah berjalan beberapa saat, benturan pedang telah terjadi belasan kali, tetapi pedang lawannya belum juga terlepas dari genggaman tangannya.
Ketika terjadi benturan keras, pedang orang itu hampir terlepas, dengan cepat Tumpak sekali lagi membenturkan pedangnya dengan memukul pedang lawannya, ternyata meskipun kesulitan memegang hulu pedang, tetapi pedang itu belum terlepas juga.
Kembali Tumpak memukul pedang lawannya didekat pangkal pedangnya, tetapi Tumpak kembali menjadi kecewa, ketika melihat tangan lawannya ternyata masih memegang pedang pendeknya.
"Aneh, harusnya pedang itu sudah jatuh ke tanah" kata Tumpak dalam hati.
Tiba-tiba orang itu melompat mundur sambil berteriak marah.
"Hai Tumpak yang mengaku prajurit Wira Tamtama, kau akan aku bunuh seperti aku membunuh Jagabaya dari Randu Sanga kemarin, sekarang aku yang ganti menyerang, lihat seranganku" kata orang yang wajahnya ditutupi secarik kain, setelah itu iapun menyerang Tumpak seperti angin ribut.
Tumpak mengeluh dalam hati, serangan orang itu seperti lebah yang mengelilingi tubuhnya, tangan lawannya yang hanya dua buah berubah seakan-akan berubah menjadi tiga buah tangan.

Dengan segenap kemampuannya, Tumpak memutar pedangnya seperti baling-baling, untuk melindungi dari tusukan dan sabetan pedang lawannya.
Ketika pedang lawannya akan menusuk pundaknya, maka dengan segenap kekuatannya pedang Tumpak membentur pedang lawannya, tetapi pedangnya selalu mengenai tempat kosong, kecepatan pedang Tumpak tidak mampu mengimbangi kecepatan pedang lawannya.
Betapa beratnya melawan ketiga tangan yang menyerangnya, pedangnya kadang-kadang ditangan kanan, tetapi sekejap kemudian pedang itu telah berpindah, digenggam di tangan kiri.
Tumpak menjadi ragu-ragu, samar-samar ia merasa pernah melihat gerakan pedang yang seperti itu.
"Dimana aku melihat ilmu pedang seperti ini, dimana ?" kata Tumpak dalam hati.
"Dulu aku pernah melihat tangan yang hanya dua buah bisa berubah seakan-akan menjadi tiga buah, dimana ?" kata Tumpak sambil melompat mundur.
Tiba-tiba Tumpak terkejut seperti disengat kalajenging, dia teringat ilmu itu pernah digunakan bersama-sama dengannya disuatu tempat, bukan sebagai lawan, tetapi sebagai kawan.
"Disana, di dekat pantai, bersama Ki Rangga Pideksa" kata Tumpak dalam hati :" Betul, aku ingat sekarang, waktu itu kita pernah bersama-sama melawan dua orang perampok kakak beradik, Klabang Ireng dan Klabang Ijo"
Wajah lawannya tidak dapat dilihat karena tertutup secarik kain, tapi perawakannya yang tegap, mengingatkan Tumpak pada seseorang. "Kelihatannya lawanku adalah dia, itulah sebabnya maka dia pakai kain penutup wajah, supaya aku tidak dapat mengenalnya" desis Tumpak :"Pantas kalau aku tidak dapat menjatuhkan pedangnya"

Setelah merasa pasti dengan siapa dia berhadapan, maka Tumpakpun melompat mundur dan tertawa keras.
Lawannya terkejut ketika melihat Tumpak melompat mundur dan tertawa, dan iapun tersenyum ketika melihat Tumpak menyarungkan kembali pedangnya.
Melihat Tumpak menyarungkan pedangnya, lawannya juga menyarungkan pedangnya pula.
"Hai Bintang jadi-jadian, aku tahu, kau sebenarnya bukan Lintang Kemukus yang berekor, apalagi Lintang Panjer Rina yang bersinar cemerlang, kau adalah penjelmaan dari Lintang Gubug Penceng yang bentuknya jelek" kata Tumpak sambil tertawa.
Lawannya juga tertawa, Tumpak mendengar sebuah tawa yang sudah sangat dikenalnya, sebuah tawa yang dulu pernah akrab dengan telinganya
"Ternyata Tumpak masih ingat gerakan dari ilmu Trisula Manik" desis orang yang menutup wajahnya dengan kain.
Bersamaan dengan berakhirnya suara tertawa, maka secarik kain yang menutupi wajahnyapun telah dilepas.
"Ha ha benar dugaanku, kau Ki Lurah Karebet" kata Tumpak sambil tertawa.
Karebetpun tertawa :"Kau salah Tumpak, aku bukan lagi seorang Lurah Wira Tamtama".
Lalu keduanya saling mendekat dan bersalaman, dan kedua tangan Tumpakpun memegang kedua lengan Karebet.
"Karebet, kau masih suka bercanda, kau senang melihat aku berkeringat di malam hari" kata Tumpak.
"Pedangmu semakin tajam Tumpak, aku jadi takut" kata Karebet sambil tertawa.
"Aku pusing melihat pedangmu mengitari tubuhku, suaranya seperti suara nyamuk ditelingaku" kata Tumpak.
"Pedangku hampir terlepas terbentur pedangmu, tenagamu kuat sekali" kata karebet.
Tumpakpun tertawa :"Kemana saja kau selama ini ?"
"Panjang ceritanya, kaupun mau kemana Tumpak? Malam-malam naik kuda menuju ke arah selatan" tanya Karebet.

"Sehabis bertugas jaga di Kraton aku berangkat, aku mau pergi ke Godong, ayahku sakit, sudah lama aku tidak menengok ayahku" kata Tumpak.
"Kapan kita bisa saling bercerita ?" tanya Karebet.
"Besok aku tidak bertugas, besok pagi aku masih berada di Godong, agak siang baru pulang ke kotaraja, besok siang saja kita bercerita sepuasnya" kata Tumpak.
"Dimana kita ketemu ?" tanya Karebet.
"Besok pada saat tengah hari, kau kutunggu di dekat api Mrapen, berjalan sedikit ke barat ada pohon munggur, kita bertemu disana, dibawah pohon munggur" kata Tumpak.
"Baik Tumpak, besok pada waktu tengah hari kita bertemu di bawah pohon munggur sebelah barat api Mrapen" kata Karebet.
"Kau memang sirik kepadaku, kau tidak senang melihat orang santai, malam ini kau buat aku berkeringat" kata Tumpak sambil tertawa. Karebetpun juga tertawa lepas.
Tumpakpun lalu naik ke punggung kudanya, dan kudanyapun berjalan ke arah selatan, ke Godong.
Pandangan mata Karebet masih melihat ke arah Tumpak sampai hilang di kegelapan malam.
Setelah Tumpak tidak kelihatan, maka Karebetpun kembali ke dekat pohon nyamplung, ke tempat perapiannya yang sudah padam.
Malam ini Karebet berusaha untuk bisa tidur meskipun cuma sebentar, besok siang dia berjanji untuk menemui Tumpak di bawah pohon munggur di sebelah barat api Mrapen.

Malam itu alam tidak terlalu gelap, karena terkena sinar bulan yang memancar lemah keseluruh negeri Demak.
Ketika fajar memerah diufuk timur, beberapa kali telah terdengar kokok ayam hutan, dan kemudian disusul pula bunyi kicau burung di pepohonan, terlihat Karebet menggeliat bangun, untuk memulai menjalani putaran roda kehidupannya.
Ketika bumi sudah semakin terang, Karebet yang masih berada di luar batas kotaraja Demak, bersiap-siap untuk berjalan menuju ke selatan menemui Tumpak di sebelah barat api Mrapen.
Waktunya masih agak banyak, sehingga Karebetpun merasa tidak perlu tergesa-gesa.
Perlahan-lahan Karebet berjalan ke arah selatan menyusuri sungai Tuntang, setelah sampai di ara-ara amba, Karebet tidak lurus ke selatan, tetapi sedikit berbelok ke arah barat, menuju daerah Mrapen.
Matahari semakin tinggi, tetapi masih belum sampai ke puncak langit, dan Karebetpun telah lebih dulu tiba di daerah Mrapen.
Suasana sepi sekali, Tumpakpun belum kelihatan, kemudian Karebetpun berjalan ke arah barat, menuju ke pohon munggur yang besar dan berdaun sangat rindang.
Karebetpun lalu duduk di sebuah batang kayu yang berada dibawah pohon munggur :"Disini udara terasa sejuk, kemarin Tumpak bilang kita ketemu disini, dibawah pohon munggur ini"
Tak lama kemudian, matahari terus merambat naik hampir mencapai puncak langit, dan dari arah timur, terlihat seorang penunggang kuda berjalan menuju pohon munggur, dia tersenyum ketika melihat Karebet duduk terkantuk-kantuk, disebuah batang pohon yang rebah, dibawah pohon munggur yang rindang.
Setelah kendali kudanya diikat di sebuah dahan sebuah pohon, maka penunggang kuda yang ternyata adalah Tumpak, mengambil sebuah bungkusan dan dibawanya menuju ke tempat Karebet.
"Kau bawa apa Tumpak ?" tanya Karebet.
"Nasi jagung dan sayur terong yang agak pedas, aku juga bawa telur rebus, ini ada pula gembili yang telah di rebus, sesisir pisang, air minumnya ada di dalam bumbung ini, aku tahu kau pasti sudah lapar Karebet" kata Tumpak.
"Tenyata kau memang seorang peramal yang baik Tumpak, ramalanmu betul, aku memang sudah lapar" kata Karebet.
"Kau kira yang lapar cuma kau saja Karebet, akupun juga lapar, mari kita makan dulu sebelum kita bercerita" kata Tumpak sambil tertawa.


Beberapa saat kemudian keduanya makan nasi jagung dengan sayur terong dan telur rebus.
"Makannya tanduk Karebet, nasi jagungnya masih banyak" kata Tumpak :"Ini pisangnya, sudah matang, rasanya manis"
"Apakah pisang yang kau bawa semanis senyum Nyai Madusari ?" tanya Karebet ketika teringat mereka berdua pernah makan pisang pemberian Nyai Madusari.
"Tidak, tetapi pisang ini rasanya memang manis, semanis wajahku" jawab Tumpak sambil tertawa.
Setelah selesai makan, maka rasa kantukpun mulai terasa menyerang, ketika wajah Tumpak terkena semilir angin dibawah pohon yang rindang.
"Karebet, setelah makan, aku malah mengantuk sekarang" kata Tumpak.
"Tidurlah, nanti kudamu akan kubawa ke Tingkir dan kau pulang ke kotaraja berjalan kaki" kata Karebet.
"Nah Karebet, sekarang kau dulu yang bercerita setelah kau dihukum Kanjeng Sultan, harus meninggalkan kotaraja malam itu juga " kata Tumpak.
"Ya, aku akan cerita yang aku alami setelah aku mendapat hukuman dari Kanjeng Sultan" kata Karebet.
"Dengarkan Tumpak, malam itu aku harus pergi dari kotaraja Demak, aku berjalan ke Gubug, lalu ke Cengkal Sewu, dari sana aku menuju desa Butuh, aku tinggal dirumah saudara seperguruan ayahku, Ki Ageng Butuh" cerita Karebet.
"Kemarin dari desa Butuh aku berjalan menuju Demak dan kulihat kau naik kuda, lalu kita bertarung" kata Karebet.
"Hari ini aku menuju kesini, lalu kau datang, kita bertemu dan akupun makan nasi jagung dan sayur terong, begitulah ceritanya, selesai" kata Karebet.
"Cuma itu ?" tanya Tumpak.
"Ya, memang cuma itu" jawab Karebet.
"Sependek itu ? tanya Tumpak.

"Ya, ceritanya memang pendek" jawab Karebet.
"Kau curang Karebet, ceritamu hanya pendek, kalau nanti giliran aku yang cerita, pasti kau suruh cerita yang panjang-panjang, sampai mulutku berbusa-busa" kata Tumpak.
"Ya cerita tentang aku memang cuma itu, masa aku harus mengarang sebuah cerita bohong tentang perjalananku mengitari gunung Merapi, lalu disana aku tersandung oyot mimang dan selama tiga candra aku hanya mengelilingi gunung Merapi terus menerus tidak bisa pulang" kata Karebet.
Mendengar kata-kata Karebet, Tumpakpun tertawa berderai, membayangkan kalau Karebet tersandung oyot mimang dan selama tiga candra dia berjalan mengelilingi gunung Merapi.
"Nah sekarang giliran kau yang bercerita" kata Karebet.
Tumpakpun menganggukkan kepalanya, lalu iapun mulai bercerita.
"Dengarkan baik-baik Karebet, aku mau cerita. Sewaktu ada pendadaran calon prajurit Wira Tamtama, datang seorang yang memaksa ikut pendadaran meskipun kedatangannya terlambat, namanya Dadung Awuk dari Pingit, karena kesombongannya, diapun terbunuh. Apakah kau sudah tahu siapa yang membunuh Dadung Awuk?" kata Tumpak sambil tertawa.
"Belum, belum" jawab Karebet yang juga ikut tertawa.

Keduanya tertawa berkepanjangan, tawa dua orang sahabat yang beberapa candra tidak bertemu.
"Setelah Dadung Awuk mati, dua hari kemudian, ada seorang yang datang bermaksud ingin mengikuti pendadaran" kata Tumpak.
"Pada hari ke empat, setelah selesai pendadaran, ada seseorang yang datang menemui Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada, seorang yang telah berumur, yang berasal dari Sela" kata Tumpak.
"Dari Sela ? Siapa namanya ?" tanya Karebet.
"Orang itu bernama Ki Ageng Sela, orang yang punya kemampuan menangkap petir" kata Tumpak.
Karebet terkejut, Ki Ageng Sela adalah merupakan salah satu gurunya, karena iapun pernah beberapa candra belajar ilmu kanuragan diperguruan Sela, tetapi kenapa gurunya juga mengikuti pendadaran calon prajurit Wira Tamtama ?
"Mungkin hanya sebagai pancadan untuk menjadi seorang Senapati atau menjadi seorang raja" kata Karebet dalam hati.

"Ki Ageng Sela yang merupakan keturunan dari Ki Getas Pendawa, minta diikutkan dalam pendadaran calon prajurit, kemudian Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada mengijinkan Ki Ageng Sela untuk mengikuti pendadaran dan mendapat giliran pendadaran yang terakhir, dan Ki Ageng Selapun ternyata juga bersedia meskipun harus ikut pendadaran paling akhir" kata Tumpak.
"Nah pada waktu pendadaran Ki Ageng Sela, dihari yang terakhir, Ki Ageng Sela melawan seekor kerbau liar yang badannya besar. Ketika kerbau itu menyerang, dengan cepat Ki Ageng Sela menghindar ke samping, lalu tangannya dengan cepat memukul kepala kerbau. Sekali pukul ternyata kepala kerbau itu pecah, dan darahpun bercucuran, muncrat kemana-mana, kerbau itupun mati" kata Tumpak.
"Ya, Ki Ageng Sela pasti mampu memecahkan kepala seekor kerbau dengan sekali pukul" kata Karebet.
"Ya, tetapi ternyata, ketika pada saat Ki Ageng Sela memukul kepala kerbau, dia memalingkan mukanya, entah karena Ki Ageng Sela tidak tega membunuh seekor kerbau, atau karena Ki Ageng Sela takut melihat darah. Mungkin Ki Ageng Sela lupa, bahwa ini adalah pendadaran calon prajurit Wira Tamtama, calon prajurit yang seharusnya tidak takut melihat darah mengucur" kata Tumpak selanjutnya.
"Apakah Ki Ageng Sela dinyatakan lulus ?" tanya Karebet.
"Empat orang Lurah Wira Tamtama yang punya wewenang untuk memutuskan kelulusan hasil pendadaran menjadi ragu-ragu, bingung apakah mau meluluskan Ki Ageng Sela atau tidak" jawab Tumpak.
(bersambung)

5 komentar: