Senin, 21 Juli 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 9

BAB 4 : LURAH WIRA TAMTAMA 1

Ditulis oleh : Apung GWAP

"Apa yang aneh paman?" tanya Karebet.
"Kau, cepat sekali naik pangkat, baru kemarin kau menjadi seorang prajurit, sekarang kau sudah menjadi seorang Lurah Wira Tamtama" kata Ganjur.
"Semua itu atas kemurahan Kanjeng Sultan Trenggana" kata Karebet.
"Karebet, kau sekarang sudah menjadi seorang Lurah Wira Tamtama, kau harus berhati-hati dalam menjalankan tugasmu, jangan melanggar peraturan yang ada di Kasultanan Demak" kata Ganjur.
"Ya paman" jawab Karebet. "Kalau kau lapar Karebet, didalam masih ada nasi, makanlah" kata pamannya.
"Terima kasih paman, aku mendapat jatah makan di dalem lor, sayang jatah nasinya kalau tidak dimakan" jawab Karebet.

Setelah berbicara beberapa saat, maka Karebetpun berpamitan kepada pamannya, Ganjur.
"Kalau kau ada waktu, kau tengok pamanmu yang semakin tua ini" kata pamannya.
"Ya paman" kata Karebet, dan iapun berjalan meninggalkan dalem Suranatan kembali menuju ke dalem lor.
Malam itu semua tertidur nyenyak, suara kentonganpun tidak mampu mengusir dinginnya udara malam dan suara binatang malam terdengar bersahutan mengisi sepinya malam.
Setelah lingsir wengi, makin sering terdengar suara kokok ayam bersahut-sahutan.
Pagi harinya, Karebet bertugas berjaga didepan pintu Kaputren, ketika tiba saat melakukan tugas nganglang, maka Karebetpun bersama seorang prajurit berjalan mengitari bangunan Kraton.
Mereka berdua nganglang berkeliling, mulai dari kaputren berjalan ke arah pintu gerbang, melewati depan Sasana Sewaka lalu menuju Kesatrian, berjalan memutar melewati gedung pusaka, setelah itu baru kembali ke Kaputren lagi.
 Lurah Karebet berjalan terus dan ketika sampai di pohon mangga dipojok Kaputren, terlihat Nyai Madusari keluar dari Kaputren, dan ketika berpapasan dengan Karebet Nyai Madusaripun berbisik :"Ki Lurah Karebet, kau ditanyakan Gusti Putri"
Lurah Karebet tersenyum, iapun merasa bingung tak tahu apa yang harus dilakukannya.
"Betapa sulitnya, meskipun hanya ingin bertemu saja dengan putri Sekar Kedaton" kata Karebet

Beberapa hari kemudian, disuatu pagi, matahari sudah semakin tinggi, ketika Lurah Karebet bertugas jaga berdua dengan seorang prajurit di depan ruang dalam, seorang emban yang sudah tua keluar dari ruang dalam dan Lurah Karebetpun bertanya kepadanya ;" Mau kemana biyung emban?"
"Oh Ki Lurah Karebet, saya mau ke kaputren, Gusti Putri Sekar Kedaton dipanggil ibunda Gusti Kanjeng Prameswari" kata emban Prameswari.
"Silahkan biyung emban" kata Lurah Karebet, dan embanpun segera berjalan menuju kaputren.
"Hm sebentar lagi Gusti Sekar Kedaton akan melewati pintu ini" kata Karebet dalam hati.
Didepan kaputren, biyung emban masih ditanya lagi oleh prajurit Wira Tamtama yang menjaga kaputren, sebuah peranyaan yang sama.
"Mau kemana biyung emban?" tanya prajurit Wira Tamtama.
"Mau ke kaputren, Gusti Putri Sekar Kedaton dipanggil Gusti Kanjeng Prameswari" jawab biyung emban.

Embanpun mengetuk pintu kaputren, dan tak lama kemudian pintupun dibuka oleh seorang emban kaputren, dan sesaat kemudian emban prameswaripun masuk kedalamnya dan berjalan ke ruangan Putri Sekar Kedaton.
"Siapa prajurit yang sekarang bertugas di ruang dalam, biyung emban?" tanya Putri Sekar Kedaton.
"Yang bertugas prajurit Soma dan Ki Lurah Karebet Gusti Putri" jawab emban prameswari.
 Sekejap terlihat sebuah senyum dan pandangan Sekar Kedaton yang berbinar-binar mendengar yang berjaga di ruang dalam adalah Lurah Karebet.
"Biyung emban, kau berjalanlah dulu ke Kanjeng ibu, katakan aku segera menghadap Kanjeng ibu, nanti diantar oleh Nyai Madusari" kata putri Sekar Kedaton.
"Sendika Gusti Putri" kata emban dan iapun segera keluar dari kaputren menuju ruangan dalam kraton.
"Nyai, saat ini yang berjaga diruang dalam, kakang Karebet dan kakang Soma" kata Sekar Kedaton.
"Ah itu mudah Gusti Putri" kata Nyai Madusari.
"Mudah bagaimana Nyai" tanya Gusti Putri Mas Cempaka.
"Serahkan ke saya Gusti Putri, yang penting nanti Gusti Putri bisa berbicara dengan Ki Lurah Karebet" kata Nyai Madusari.
"Awas nanti kalau nanti aku sampai tidak bisa berbicara dengan kakang Karebet" kata Sekar Kedaton.
"Pasti bisa Gusti Putri" jawab Nyai Madusari.
Putri Mas Cempaka dan Nyai Madusari segera berkemas dan berjalan keluar kaputren untuk menghadap Kanjeng Prameswari.

Didepan ruang dalam, prajurit Wira Tamtama yang sedang bertugas menjaga, Lurah Karebet dan Soma, melihat Sekar Kedaton dan Nyai Madusari berjalan menuju pintu ruang dalam yang mereka jaga.
Soma melihat Nyai Madusari tersenyum kepadanya.
"Aneh" kata Soma dalam hati :"Biasanya Nyai Madusari tersenyum kepada ki Lurah Karebet, sekarang dia tersenyum kepadaku, senyumnya memang menawan hati, Nyai Madusari memang seorang yang cantik "
"Soma, hari ini kau bertugas menjaga disini?" tanya Nyai Madusari.
"Ya Nyai Menggung" jawab Soma.
"Hari ini kau terlihat segar Soma" kata Nyai Menggung.
"Ah Nyai, aku merasa biasa saja" jawab Soma.
"Berapa umurmu Soma" kata Nyai Menggung.
"Lima windu Nyai" jawab Soma.
"Usia yang matang, ternyata kau awet muda, usiamu seperti baru empat windu" kata Nyai Madusari.
"Ah Nyai terlalu memuji" kata Soma.
"Anakmu sudah berapa Soma" tanya Nyai Madusari.
"Anak saya lima Nyai" kata Soma.
"Kau berasal dari kotaraja Demak?"
"Tidak Nyai, aku berasal dari Banyubiru" jawab Soma.
"Banyubiru dekat Rawa Pening itu?" kata Nyai Madusari.
"Ya Nyai" jawab Soma.
"Jauh sekali" kata Nyai Menggung

Soma dan Nyai Madusaripun berbicara panjang lebar, dan tidak memperhatikan Gusti Sekar Kedaton dan Karebet juga sedang berbicara berdua.
"Kakang Karebet, kau telah membuat aku menjadi tak bisa tidur" kata Gusti Mas Cempaka.
"Gusti Putri harus berusaha supaya bisa tidur, kalau tidak nanti Gusti Putri bisa sakit" kata Lurah Karebet.
"Aku memang sedang sakit kakang" kata Sekar Kedaton.
"Sakit apa Gusti Putri" tanya Lurah Karebet.
"Kakang Karebet pasti bisa menebak aku sakit apa sekarang, aku ingin selalu bisa dekat denganmu kakang" kata sang Bunga Cempaka.
"Ya Gusti Putri" kata Lurah Karebet.
"Bagaimana menurut pendapat kakang, kalau aku ingin bertemu denganmu kakang Karebet, aku yang akan ke dalem lor, atau kakang Karebet yang masuk ke Kaputren" kata Sang Putri pelan.
Lurah Karebet terkejut ketika mendengar kemauan Sekar kedaton, dan dengan hati-hati ia menjawab :"Dua-duanya jangan dilakukan Gusti Putri, berbahaya, Kanjeng Sultan akan murka kalau Gusti Putri keluar dari kaputren, tetapi kalau aku yang masuk kaputren, aku takut dengan Kanjeng Sultan" jawab Lurah Karebet.
"Semuanya terserah kakang Karebet, sudah kakang, aku mau menghadap Kanjeng ibu dulu" kata Sekar Kedaton.
"Ya Gusti Putri" kata Lurah Karebet.
"Nyai Madusari, ayo kita masuk kedalam menemui Kanjeng ibu" kata Sang Putri Bunga Cempaka.

Sesaat kemudian keduanyapun masuk keruang dalam, dan Nyai Madusari tersenyum manis kepada Soma.
"Ki Lurah Karebet" kata Soma.
"Ada apa kakang Soma" jawab Lurah Karebet.
"Sejak ditinggal mati Ki Tumenggung, sampai sekarang Nyai Madusari belum punya suami lagi" kata Soma.
Lurah Karebet tidak menjawab, pikirannya masih terngiang kata-kata dari Sekar Kedaton Kasultanan Demak, putri Kanjeng Sultan Trenggana.
"Kanjeng Sultan begitu baik terhadapku, tapi bagaimana nanti kalau Sekar Kedaton ingin bertemu denganku,... ah aku jadi bingung" kata Lurah Karebet hampir tidak terdengar.
"Hm perhatian Gusti Putri kepadaku ternyata besar sekali, apakah demi cinta aku harus melangkahi tembok kaputren? Dipojok kaputren ada sebuah pohon mangga, sekali lompat aku bisa masuk ke dalam kaputren, tetapi.........." kata Lurah Karebet dalam hati.

Lurah Karebet dan Soma, dua orang prajurit Wira Tamtama yang berjaga di ruang dalam, terdiam, mereka tenggelam dalam bayangan angan-angannya masing-masing.
Setelah agak lama, terlihat Putri Sekar Kedaton diikuti oleh Nyai Menggung, keluar dari ruang dalam, dan dengan senyum manisnya, Nyai Madusari menghampiri Soma.
"Soma, nanti kalau pohon belimbing di rumahku sudah masak, tolong ambilkan buahnya ya" kata Nyai Madusari.
"Ya Nyai" kata Soma.
Disebelahnya, Sekar Kedaton berbicara perlahan-lahan kepada Lurah Karebet
"Bagaimana kakang?" tanya Putri Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri" jawab Lurah Karebet.
"Terima kasih, sekarang aku akan kembali ke kaputren kakang" kata Sekar Kedaton sambil tersenyum

Lurah Karebetpun mengangguk sambil memandang mereka berdua berjalan menuju Kaputren.
Hari berganti hari, karebet masih tetap bertugas menjaga ruangan Kraton.
Suatu saat ketika Lurah Karebet lewat di pohon mangga dipojok kaputren, dia memandang dahannya yang kuat.
"Kalau aku naik ke dahan itu, sekali lompat pasti sampai didalam kaputren, tapi bagaimana kalau ketahuan prajurit Wira Tamtama ?" kata Lurah Karebet dalam hati.
Waktu terus merambat maju, siang berganti malam, malampun telah berlalu berganti pagi, pagipun kembali lagi menjadi malam, hingga pada suatu malam, pada saat wayah sepi wong, sebuah bayangan hitam bersembunyi dibalik pohon mangga dipojok kaputren, beberapa saat kemudian bayangan itu telah berada diatas dahan pohon mangga, dalam sekejap bayangan itupun telah lenyap ditelan kegelapan malam di balik tembok kaputren.

Beberapa saat sudah berlalu, sebuah bayangan yang mengenakan pakaian hitam, bersama bayangan yang lain, yang mengenakan sebuah kerudung hitam, duduk dibawah bayangan sebuah pohon didalam Kaputren.
"Kau akan terus kesini kakangmas......" ucap sebuah bayangan lirih.
"Ssssttt jangan sebut nama diajeng" desis bayangan yang satunya.
"Ya, kau akan terus kesini kakangmas?" ucapnya pelan.
"Ya, tetapi ini taruhannya adalah nyawa diajeng" kata bayangan itu.
"Ya kakang, aku tahu" jawab bayangan yang berkerudung,
"Apalah artinya aku diajeng, orang kleyang kabur kanginan, di kotaraja, rumahpun aku tak punya" kata bayangan hitam berbisik pelan di telinga bayangan yang berkerudung.
"Kakangmas, kalau aku mau, aku bisa mendapatkan suami seorang bupati atau adipati, tetapi yang kucari bukan itu kakang, aku merasa tenang didekatmu" bisik bayangan berkerudung hitam.
"Ya diajeng...... sudah terlalu lama aku disini, aku pulang dulu diajeng" katanya lirih sekali.
"Ya kakangmas, sepasar lagi kesini ya kakangmas" bisik bayangan berkerudung hitam.
"Ya diajeng." Lalu bayangan hitam itu berjongkok, dan tanpa suara dia bergeser kesebuah pohon, dan berlindung dibawah bayangannya, kemudian dalam sekejap bayangan itupun telah menghilang dikegelapan.

Waktu terus berjalan, matahari masih tetap menyinari bumi, terbit dari arah timur dan tenggelam di arah barat, bulanpun masih setia menempel diatas langit mengeluarkan cahaya yang redup, bintang juga tidak merasa lelah setiap saat berkedip di angkasa, dan tak terasa waktu sudah berjalan dua-tiga candra.
Dalam waktu dekat, di kesatuan Wira Tamtama, ada beberapa prajurit yang akan purnawira, dan berhembus kabar bahwa di Kasultanan Demak, tidak lama lagi akan diadakan sebuah pendadaran bagi para pemuda yang akan menjadi calon prajurit Wira Tamtama.
Beberapa prajurit dari kesatuan Wira Manggala telah disebar untuk menyampaikan wara-wara pendadaran ini keseluruh wilayah Kasultanan Demak, yang dekat dengan kotaraja maupun yang jauh.
Belasan Prajurit Wira Manggala disebar dan telah diberangkatkan menuju ke beberapa daerah, ada yang menuju daerah barat, Asem Arang, Tegalarang, menuju ke sebelah utara, Jepara, ada juga yang menuju ke timur dan selatan, Kudus, Pati, Tuban, Jipang, Trowulan, Sela, Kuwu, Sima, Banyubiru, Pingit, Sarapadan, Tingkir, Pengging, Pajang, Butuh, Wedi, Gunung Kidul bahkan menyeberang ke sebelah barat sungai Progo di daerah Kulon Progo, daerah Pegunungan Menoreh, Bagelen, sampai di kaki Gunung Slamet.
Selapan hari setelah adanya wara-wara pendadaran untuk mejadi calon prajurit, di dalam Kraton, bertempat di ruangan Wira Tamtama, Tumenggung Gajah Birawa mengumpulkan lima orang Lurah Wira Tamtama termasuk Lurah Karebet dan Lurah Wirya.

"Wara-wara adanya pendadaran untuk menjadi calon prajurit baru telah disebar, dan para prajurit Wira Manggala yang bertugas menyebarkan wara-wara ke seluruh wilayah Kasultanan Demak, semuanya telah kembali ke kotaraja" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Pendadaran untuk menjadi calon prajurit nanti akan diadakan di alun-alun.
Peserta pendadaran, nantinya akan diadu dengan seekor kerbau liar tanpa menggunakan senjata apapun. Nanti akan dapat dilihat apakah orang itu pantas diterima menjadi seorang prajurit Wira Tamtama atau tidak" kata Ki Tumenggung.
"Kalian nanti yang akan dapat mengusulkan ke Tumenggung Suranata, apakah peserta yang ikut menjalani pendadaran dapat diterima menjadi prajurit Wira Tamtama" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Kalian berlima nanti akan diatur tugasnya, paling tidak ada tiga orang dari kalian yang tidak sedang bertugas di dalam Kraton, dapat mengawasi dan mengatur jalannya pendadaran di alun-alun" kata Ki Tumenggung.
"Besok pagi belasan kerbau-kerbau liar yang baru ditangkap dari hutan akan datang dan nantinya akan dikandangkan di dekat alun-alun, kalau ternyata kerbaunya kurang, masih ada belasan kerbau liar yang disimpan didalam hutan, siap dibawa ke Demak"

"Pendadaran itu cukup setengah hari saja, tidak perlu sampai sore hari, yang belum mendapat kesempatan, bisa mengikuti pendadaran keesokan harinya" kata Ki Tumenggung.
"Pendadaran akan dimulai pada hari Radite Kasih, dua hari lagi, besok dimulai pembuatan blabar kawat, bambu pembatas sudah disiapkan, tinggal besok dipasang oleh para prajurit".
"Nanti akan ditentukan siapa yang bertugas pada hari Radite Kasih, Soma Manis, Anggara Jenar, Buda Palguna, Respati Cemani dan seterusnya." kata Ki Tumenggung.
"Akan disiagakan juga beberapa orang dukun yang bisa merawat luka sobek akibat terkena tanduk kerbau, dan beberapa dukun sangkal putung yang bisa merawat tulang yang terkilir atau patah" kata Ki Tumenggung.
"Yang akan mengikuti pendadaran calon prajurit cukup banyak, yang sudah dicatat ada lima puluh orang lebih dari bebagai daerah, nantinya sehari bisa enam orang yang ikut menjalani pendadaran"
"Nah kalau kalian sudah mengerti, silahkan kembali ke tugas masing2" kata Tumenggung Gajah Birawa.
Selesailah pertemuan itu, dan para Lurah Wira Tamtama kembali bertugas ditempatnya semula.

Keesokan harinya di alun-alun terlihat adanya kesibukan pembuatan arena untuk pendadaran penerimaan prajurit baru.
Pagar bambu telah dipasang, belasan kandang kerbau juga telah diisi, di setiap kandang diisi seekor kerbau liar, sebuah panggung para Lurah Wira Tamtama yang akan menilai pendadaran telah siap.
Pada hari pertama pendadaran, hari Radite Kasih, yang sedang bertugas adalah tiga orang Lurah yang telah ditunjuk oleh Tumenggung Suranata, sedangkan Lurah Karebet saat itu sedang bertugas menjaga gedung pusaka.
"Tugasku besok pagi bersama Ki Lurah Wirya, pada hari Soma Manis" kata Lurah Karebet dalam hati.
Siang harinya, ketika ada prajurit yang nganglang berjalan mengelilingi Kraton, Lurah Karebetpun bertanya:
"Bagaimana kabar pendadaran hari ini?"
"Kata prajurit penjaga pintu gerbang, empat orang berhasil lulus, satu orang menyerah karena tidak melanjutkan pendadaran, satu orang lagi gagal karena terkena tanduk sehingga terluka di pahanya, dua ekor kerbau mati, dua ekor kerbau lainnya pingsan" kata prajurit yang sedang nganglang.
"Terima kasih" kata Lurah Karebet, dan prajurit itupun meneruskan tugasnya, nganglang.

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Lurah Karebet sudah bangun, hari ini dia bertugas mengawasi jalannya pendadaran.
"Hari ini aku yang mengawasi pendadaran, bersama Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada" kata Lurah Karebet.
Pagi itu, di hari Soma Manis, hari kedua pendadaran, dengan memakai sabuk kain cinde berwarna merah, pakaian Lurah Wira Tamtama, Lurah Karebet berangkat ke alun-alun untuk bertugas mengawasi pendadaran calon prajurit Wira Tamtama.
Bersama dua orang Lurah Wira Tamtama lainnya, Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada, Lurah Karebet duduk di panggung, dan disebelah panggung duduk diatas lincak bambu, enam orang pemuda yang hari ini akan mengikuti pendadaran.
Di luar pagar arena, di beberapa tempat telah bersiap beberapa prajurit bersenjata tombak berlandeyan panjang untuk berjaga-jaga apabila ada seekor kerbau yang mengamuk dan merusak pagar dan keluar dari arena.

Beberapa prajurit berada di beberapa tempat di sekeliling arena, tugas mereka adalah menolong peserta pendadaran yang terluka.
Kandang kerbau liar berada di sebelah timur, sedangkan di sebelah barat ada sebuah pintu yang bagian luarnya dijaga oleh dua orang prajurit bersenjata tombak, dan dipinggangnya tergantung pula sebilah pedang panjang.
Pintu sebelah barat adalah pintu untuk menyelamatkan diri bagi para calon prajurit yang ingin menghentikan pertarungan, kalau peserta merasa tidak mampu mengalahkan seekor kerbau liar.
Rakyat yang tinggal di kotaraja Demak dan sekitarnya sudah banyak yang datang ke alun-alun untuk melihat jalannya pendadaran calon prajurit Wira Tamtama,

Ketika semua prajurit dan peserta sudah siap, maka seorang prajurit berdiri dan memanggil nama peserta :"Peserta pendadaran pertama, Sora"
Di sebelah panggung, seorang yang bertubuh tinggi besar, yang akan mengikuti pendadaran, berdiri dan berjalan menuju ke tempat prajurit yang telah memanggilnya.
"Kau Sora?" tanya prajurit yang bertugas.
"Ya" jawab jawab orang itu.
"Sora, kau berasal darimana ?
"Saya berasal dari Sarapadan" jawab Sora.
"Sora dari Sarapadan, tanpa membawa senjata, kau berani melawan seekor kerbau liar?" tanya prajurit yang bertugas.
"Berani" jawab Sora.
"Ya kalau kau berani silahkan kau turun di arena, kalau kau merasa tidak mampu melawan atau ingin mengakhiri pendadaran, kau bisa lari keluar melalui pintu sebelah barat" kata prajurit tersebut sambil tangannya menunjuk ke pintu sebelah barat .
"Kerbau sudah siap dan berada di kandang sebelah timur" kata Prajurit. Sora melihat kearah kandang sebelah timur, tampak seekor kerbau liar siap dilepaskan ke arena.
Sora dari Sarapadan berjalan ke arena, lalu membungkuk hormat ke arah Lurah Wira Tamtama maupun ke arah para penonton, dan setelah Sora terlihat siap maka sebuah pintu kandang yang berada disebelah timur, dibuka, dan seekor kerbau liar berjalan cepat menuju Sora yang terlihat seperti menantangnya, dan ketika hampir menyentuh Sora, maka kerbau itupun menanduknya.

Ketika kerbau liar itu menanduknya, secara cepat Sora menghindar kesamping, lalu iapun melompat disebelah sisi kepala kerbau.
Kerbau liar yg merasa tanduknya tidak mengenai sasaran, cepat berbalik, tepat pada saat itu Sora yang bertubuh tinggi besar dengan cepat menangkap tanduk kerbau.
Terjadi adu kekuatan antara Sora dengan seekor kerbau liar.
Tangan Sora dengan kuatnya memegang kedua tanduk kerbau, berusaha untuk memuntir leher kerbau supaya patah, tetapi kerbau liar adalah kerbau yang kuat, dengan sekali menghentakkan tanduk, ternyata kekuatan Sora berada dibawah kekuatan seekor kerbau liar.
Sora terkejut, ketika dirinya terlontar keatas dan jatuh disamping kerbau, dan ketika dirinya jatuh ketanah, posisi kaki yang tidak tepat, menyebabkan Sora tidak dapat bangun lagi.
Mengetahui Sora jatuh dan tidak dapat berdiri, maka para prajurit berlarian kedalam arena, dan kerbaupun tanpa menghiraukan Sora, mengejar prajurit yang mengganggunya, sedangkan prajurit yang lainnya berkesempatan untuk menolong Sora.
Sora diangkat oleh kelompok prajurit penolong, lalu dibawa keluar melalui pintu barat, dan disana Sora dirawat oleh seorang dukun sangkal putung.
Setelah mengetahui Sora sudah dapat diselamatkan, maka semua prajurit yang berada di arena kemudian melompat keluar arena, meninggalkan kerbau liar yang berdiri gagah ditengah lapangan menunggu lawannya.

Di panggung, prajurit memanggil peserta pendadaran selanjutnya.
"Peserta pendadaran kedua, Sukra" Seorang yang duduk disebelah panggung berdiri dan berjalan menuju ke tempat prajurit yang telah memanggilnya.
"Sukra, kau berasal darimana ? "Saya berasal dari Sela" jawab Sukra.
"Sukra dari Sela, tanpa membawa senjata, kau berani melawan seekor kerbau liar?" tanya prajurit yang bertugas.
"Ya, aku berani melawan kerbau liar"
"Ya kalau kau berani silahkan kau turun di arena, taklukkan kerbau itu, kalau kau merasa tidak mampu melawan atau ingin mengakhiri pendadaran, kau bisa lari keluar melalui pintu sebelah barat" kata prajurit tersebut sambil tangannya menunjuk ke pintu sebelah barat .
Sukra dari Sela membungkuk hormat ke Lurah Wira Tamtama maupun ke arah para penonton, lalu berjalan menuju ke arena yang ditengahnya masih ada kerbau liar yang telah mampu melempar peserta sebelumnya, Sora.

Kerbau liar, ketika melihat ada orang berjalan menghampirinya, maka kerbau itupun berlari menyerang kearah lawannya.
Sukra waspada melihat seekor kerbau siap menanduk kearahnya, dan ketika tanduk kerbau liar itu hampir menyentuhnya, dengan cepat dia menghindar kesebelah kiri, sehingga kerbau itu terdorong maju kedepan beberapa langkah.
Merasa tandukannya tidak mengena, kerbau liarpun berbalik dan menyerang kembali dengan menanduk kearah Sukra.
Sukra hanya menggeser sedikit badannya kearah kanan, secara cepat badannya berputar dan dengan tangan kanannya Sukra memukul belakang kepala kerbau dengan sekuat tenaganya, kerbaupun jatuh terduduk, tetapi sesaat kemudian kerbau itu bisa bangun dan berlari kembali menyerang orang yang berdiri didepannya.
Untuk kedua kalinya Sukra dari Sela menghindar kekanan, dan melakukan sebuah gerakan yang sama seperti gerakan yang sudah dilakukan, dengan cepat Sukra berputar dan untuk kedua kalinya memukul kepala kerbau dari samping dengan sisi telapak tangannya, dan kerbaupun terjerembab jatuh ketanah, pingsan.

Sorak dan tepuk tangan penonton mbata rubuh mengiringi kemenangan Sukra ketika mengalahkan seekor kerbau liar.
Belasan orang prajurit masuk ke arena dan menyeret kerbau yang masih pingsan, lalu dimasukkan ke dalam kandang.
Setelah memberi hormat ke panggung dan ke penonton, Sukrapun segera kembali ke tempatnya semula,
"Sukra dari Sela kemampuannya sudah cukup baik" kata Ki Lurah Mada, orang yang duduk disebelah Karebet.
"Ya, meskipun tangannya belum mampu memecahkan kepala seekor kerbau liar, tapi sudah mampu untuk membuatnya pingsan" jawab Ki Lurah Wirya.
"Ya sudah bagus, nanti kita bicarakan dulu sebelum kita laporkan ke Tumenggung Suranata" kata Ki Lurah Karebet.
Prajurit petugas segera berdiri dan mengumumkan peserta selanjutnya. "Peserta pendadaran ketiga, Bena"

Seorang yang bertubuh agak kurus, yang duduk disebelah panggung, berdiri, mulutnya komat kamit membaca beberapa mantra seperti yang diajarkan oleh gurunya, lalu kaki kanannya dihentakkan ke bumi tiga kali, setelah itu sambil mulutnya masih komat kamit membaca mantra menundukkan kerbau liar, ia berjalan menuju ke tempat prajurit yang telah memanggilnya.
"Saya yang bernama Bena" kata Bena. "Bena, kau berasal darimana ? tanya prajurit yang memangginya.
"Saya berasal dari Asem Arang, dari perguruan Gunung Brintik" jawab Bena yang bertubuh agak kurus.
"Bena dari Asem Arang, tanpa membawa senjata, kau berani melawan seekor kerbau liar?" tanya prajurit yang bertugas.
"Ya, aku berani" jawab Bena yang bertubuh agak kurus.
"Ya kalau kau berani silahkan turun di arena, kalahkan kerbau itu, kalau kau merasa tidak mampu melawan dan ingin mengakhiri pendadaran, kau bisa lari keluar melalui pintu sebelah barat" kata prajurit tersebut sambil tangannya menunjuk ke pintu sebelah barat .
"Kerbau yang akan kau lawan masih di kandang sebelah timur dan sudah disiapkan oleh para prajurit" kata prajurit yang bertugas sambil menunjuk ke arah kerbau yang masih berada di kandang, dan sudah siap dilepas ke arena.

Bena melihat ke arah timur, terlihat seekor kerbau liar yang badannya besar, berusaha untuk keluar dari kandang.
"Sial betul aku hari ini, yang lain hanya melawan seekor kerbau yang badannya kecil, giliran aku yang maju, harus melawan kerbau yang badannya paling besar" kata Bena yang berasal dari Asem Arang hampir tak kedengaran.
"Waduh, kerbaunya kelihatan galak, tanduknya besar dan panjang, pasti ujungnya runcing" kata Bena yang bertubuh agak kurus didalam hatinya.
"Hm semua ini gara-gara Nyai Sumi, randa wulanjar yang masih kinyis-kinyis itu, yang rumahnya wetan kali, dia yang menyuruhku mengikuti pendadaran ini" kata Bena didalam hatinya.
"Randa kembang itu ingin menjadi istri seorang prajurit Wira Tamtama"
Sekali lagi Bena melihat ke calon lawannya, seekor kerbau yang badannya paling besar, lalu terbayang tentang kecantikan Nyai Sumi yang berkulit kuning nemu giring, kemudian dikuatkan niatnya, dibulatkan tekadnya, diperbesar semangat dan keberaniannya, maju di pendadaran untuk menjadi seorang calon prajurit Wira Tamtama.

Bena merasa beruntung menjadi peserta pendadaran yang ke tiga, sehingga bisa melihat bagaimana Sora dilempar keatas oleh seekor kerbau liar, diapun bisa melihat jurus yang diperagakan Sukra sehingga mampu membuat kerbau liar menjadi pingsan.
"Tadi Sora memegang tanduknya, lalu dia terlempar ke atas, kalau Sukra lain lagi, ketika kerbau menanduk, dia menghindar kesamping, lalu dia pukul kepalanya" kata Bena dalam hati.
Bena dari Asem Arang, membungkukkan badannya, memberi hormat kepada para Lurah Wira Tamtama maupun ke arah para penonton, setelah itu diapun berjalan menuju ke lapangan pendadaran.
Ketika Bena sudah siap, maka pendadaranpun dimulai, pintu kandangpun dibuka, kerbaupun dilepas ke arena.
Ketika kerbau liar itu melihat ada orang berdiri didepannya, maka kerbau itupun menyerang kearah lawannya.

Bena waspada melihat seekor kerbau yang berjalan cepat dan siap menanduk kearahnya, dan ketika tanduk kerbau liar itu hampir menyentuh perutnya, dengan cepat dia menghindar kesamping, sehingga kerbau itu agak maju kedepan beberapa langkah.
Merasa tandukannya mengenai tempat kosong, kerbau liarpun berputar, ketika kepalanya menengok, datang pukulan dari tangan Bena mengenai kepala kerbau, tetapi kerbau liar itu adalah kerbau yang besar sehingga pukulan Bena tidak terasa.
Kembali kerbau liar menjadi marah dan menyerang Bena, dan Bena hanya menggeser sedikit badannya kesampang kanan, secara cepat badannya berputar dan dengan tangan kanannya, untuk kedua kalinya Bena memukul kepala kerbau, tetapi kerbau yang bertubuh besar itu tidak merasakan apapun juga, dan kembali menyerang orang yang berdiri didepannya.

Untuk ketiga kalinya Bena dari Asem Arang menghindar kekanan, dan melakukan sebuah gerakan yang sama seperti gerakan yang sudah pernah dilakukannya, berputar setengah lingkaran dan untuk ketiga kalinya Bena memukul kepala kerbau dari samping dengan sisi telapak tangannya, tapi kerbau itu hanya berhenti sesaat, kemudian kerbau itupun semakin marah dan menyerang Bena kembali.
Sudah tiga kali tangan Bena mengenai kepala kerbau liar, tetapi daya tahan kerbau liar itu memang luar biasa, dengan cepat dia menyerang kembali ke arah Bena.
Bena terkejut melihat tanduk kerbau hampir mengenai perutnya, tidak ada jalan lain terpaksa dia memegang tanduk kerbau liar yang besar, dan sesaat kemudian diapun terlempar keatas melayang melewati punggung kerbau dan jatuh dengan kakinya terlebih dulu, jatuh disamping kerbau liar.
Begitu menyentuh tanah, dengan cepat kakinya menendang perut kerbau dengan kerasnya, kerbaupun kaget dan bersamaan ketika kepala kerbau itu menengok, Benapun melompat memukul kepala kerbau itu dengan kepalan tangannya.

Empat kali kepala kerbau itu menerima pukulan tangan Bena, tapi ternyata kerbau itu sangat kuat dan terlihat kerbau itu menjadi semakin marah.
"Aku harus memukulnya sekuat tenaga pada pukulan yang kelima" kata Bena dalam hati.
Yang ditunggupun tiba, ketika datang serangan tandukan kerbau, diapun mundur selangkah lalu menggeser kesamping dan ketika kepala kerbau itu bersiap menanduk, dengan mengumpulkan segenap kekuatannya, tangan Bena memukul kepala kerbau dengan sisi telapak tangannya, dan terjadilah sebuah benturan yang keras, tangan Bena membentur kepala kerbau yang keras, akibatnya kerbau terdiam dan menggeleng-gelengkan kepalanya.
Akibat benturan itu, bukan hanya kerbau saja yang merasa kesakitan, tetapi Bena merasa tangannya tidak bisa digerakkan, dan Benapun merasa kesakitan pada jari tangannya.
Bena yang merasa tangannya cedera dan terasa sakit sekali, bergerak mundur beberapa langkah, dan ketika Bena melihat kerbau liar itu masih terlihat berdiam saja, maka dia mengambil keputusan yang tepat, digeserkan badannya ke arah barat, dan sekuat tenaga dia berlari keluar arena melalui pintu sebelah barat,

Melihat lawannya lari menjauh, maka kerbau liar itupun segera lari mengejar kearah lawannya.
Sorak sorai penonton terdengar disertai suara huuuu yang panjang, tetapi Bena sudah selamat sampai diluar pagar sebelah barat dan prajurit yang bertugaspun telah menutup pintunya kembali, sehingga kerbau liar tidak mampu mengejarnya, karena terhalang pagar pembatas.
Sampai diluar pagar, Bena dirawat oleh seorang dukun sangkal putung.
"Tanganmu terkilir" kata dukun tersebut dan tangan Bena segera dibetulkan olehnya.
Bena masih berdesis menahan sakit, ketika seorang anak muda mendekati Bena yang tangannya masih di rawat oleh dukun sangkal putung.
"Tanganmu cedera kakang" kata pemuda terebut.
"Tidak apa-apa, tanganku terkilir, hanya cedera ringan" jawab Bena. "Lalu nanti selanjutnya bagaimana kakang" kata adiknya.
"Kau pulanglah dulu ke Asem Arang bilang pada Nyai Sumi, aku akan mengembara mencari guru ilmu kanuragan, warsa depan kalau ada pendadaran, aku akan ikut lagi" kata Bena kepada adiknya.
"Mungkin nanti aku akan pergi berguru ke perguruan Sela, disana ada Ki Ageng Sela yang mampu menangkap petir" kata Bena pelan.

Setelah Bena menghentikan pertarungannya, maka prajurit yang bertugaspun segera memanggil peserta ke empat yang mengikuti pendadaran, untuk memasuki blabar kawat, melawan seekor kerbau liar yang telah menunggu di tengah lapangan.
Demikianlah, di hari itu Lurah Karebet bersama Lurah Wirya dan Lurah Mada sampai lewat tengah hari telah dapat menyelesaikan pendadaran enam orang calon prajurit Wira Tamtama.
"Dari sini kita bersama-sama menuju dalem lor, nanti disana kita bisa susun laporan kepada Ki Tumenggung Suranata tentang hasil pendadaran hari ini" kata Lurah Wirya.
"Ya, dari sini kita langsung ke dalem lor" kata Lurah Karebet.
Beberapa saat kemudian, disebuah ruangan di dalem lor yang merupakan rumah khusus prajurit Wira Tamtama, tiga orang lurah sedang duduk di amben besar, membicarakan hasil pendadaran tadi pagi.
"Yang kita bicarakan sekarang adalah hasil pendadaran hari ini untuk enam orang calon prajurit Wira Tamtama.
"Kita mulai dari hasil pendadaran yang pertama, Sora dari Sarapadan, dia gagal karena terkilir kakinya, bagaimana pendapat Ki Lurah Mada dan Ki Lurah Karebet" kata Lurah Wirya.
"Ya, apa boleh buat dia memang gagal" kata lurah Mada, dan Lurah Karebetpun menganggukkan kepalanya.
"Lalu hasil pendadaran yang kedua, Sukra dari Sela, ternyata pukulan Sukra tidak menyebabkan kerbaunya mati, hanya pingsan saja, bagai mana pendapat Ki Lurah berdua?" tanya Ki Lurah Wirya.
"Ya, Sukra berhasil mengalahkan kerbau liar" kata Lurah Karebet.
"Ya, meskipun kerbau itu cuma pingsan, Sukra sudah menang, itu sudah cukup bagi seorang prajurit" kata Lurah Mada.
"Hasil pendadaran yang ketiga, Bena dari Asem Arang, tangannya terkilir, dan Benapun menghentikan jalannya pendadaran dengan keluar melalui pintu barat" kata Lurah Wirya.

Belum sempat mereka menyelesaikan pembicaraan tersebut, seorang prajurit masuk ke ruangan dan berbicara dengan Lurah Karebet.
"Ada orang yang mencari Ki Lurah Karebet" kata prajurit Wira Tamtama.
"Mencari aku? Suruh tunggu diluar dulu, kami sedang membicarakan hal yang penting" kata Lurah Karebet.
"Dia tidak mau menunggu, orang itu memaksa masuk ke ruangan ini" kata prajurit tersebut.
Lurah Karebet belum sempat menjawab, seorang yang berbadan tinggi besar masuk kedalam ruangan, langsung menuju tempat Lurah Karebet.
"Siapa diantara kalian bertiga yang bernama Ki Lurah Karebet" kata orang yang baru masuk ke ruangan.
"Aku" kata Lurah Karebet.
"Wuaaah, saya kira orang yang bernama Ki Lurah Karebet adalah orang yang tinggi besar seperti saya, ternyata tubuhnya cuma kecil saja, hanya namanya saja yang membikin sakit telingaku ini" kata orang yang bertubuh tinggi besar itu.

"He siapa kau, tanpa tata krama berani masuk ruangan ini" kata Lurah Mada.
"Kau bertanya kepadaku he Ki Lurah? Baik, namaku adalah Dadung Awuk dari Pingit" kata orang yang bertubuh tinggi besar itu.
"Ada perlu apa kau masuk ke ruang ini Dadung Awuk?" tanya Ki Lurah Mada.
"Jauh-jauh dari Pingit aku datang ke kotaraja Demak, karena aku mendengar akan diadakannya pendadaran calon prajurit Wira Tamtama, dan aku ingin ikut pendadaran itu, apakah aku bisa diterima Ki Lurah Karebet?" kata Dadung Awuk yang bertubuh tinggi besar.
"Dadung Awuk, kalau kau mau ikut pendadaran, ada aturannya, ada syaratnya, pendadaran untuk calon prajurit Wira Tamtama telah diadakan di alun-alun, dan sekarang sudah memasuki hari kedua, calon prajurit akan di adu dengan seekor kerbau liar, kau harus bisa mengalahkan kerbau liar itu" kata Ki Lurah Karebet.
"Ki Lurah Karebet, peserta pendadaran akan diadu dengan seekor kerbau liar? Ki Lurah, Jangankan cuma seekor, dua ekor kerbau liar suruh maju ber-sama2, akan aku bunuh dua ekor kerbau itu sekaligus" kata Dadung Awuk.

Tanpa menunggu jawaban, Dadung Awuk mengambil dingklik tempat duduk yang ada di pojok ruangan dan diapun duduk disitu.
"Sudah saya katakan, semua ada aturannya, setiap hari ada enam peserta yang ikut pendadaran, kau adalah peserta yang terakhir, dan kalau kau mau ikut, kau akan menjalani pendadaran kira-kira enam atau tujuh hari lagi" kata Lurah Karebet.
"Tidak bisa Ki Lurah, tujuh hari terlalu lama, aku minta pendadaran untukku adalah besok pagi, kau dengar he Ki Lurah Karebet" kata Dadung Awuk.
Mendengar perkataan Dadung Awuk, Lurah Mada berdiri, tetapi Lurah Karebet memberi isyarat untuk duduk kembali.
Dadung Awukpun memandang ke Lurah Mada. "Ya Ki Lurah, betul Ki Lurah Karebet, sebaiknya kau tetap duduk saja" kata Dadung Awuk.
Lurah Mada menarik napas panjang, meredakan dadanya yang bergejolak.
"Bagaimana Ki Lurah Karebet, aku harus bisa ikut pendadaran untuk besok pagi, aku tidak mau menunggu tujuh hari" kata Dadung Awuk.

"Tidak bisa Dadung Awuk, nama-nama peserta pendadaran sudah diumumkan. Kalau kau ikut pendadaran besok pagi, berarti ada satu orang yang digeser waktu pendadarannya, tidak bisa begitu, kau baru saja datang, berarti nanti pelaksanaan pendadarannya juga mendapat bagian yang terakhir" kata Lurah Karebet.
"Tidak apa apa, hanya satu orang yang digeser pada hari berikutnya, tidak masalah, kalau orang itu marah, suruh dia berhadapan dengan aku, akan aku patahkan batang lehernya, kau dengar ini Ki Lurah, nah, sebaiknya kau memasukkan namaku untuk ikut pendadaran besok pagi Ki Lurah" kata Dadung Awuk.
"Tidak bisa Dadung Awuk, itu namanya tidak adil" kata Lurah Karebet.
"Adil atau tidak itu bukan urusanku, tugas Ki Lurah Karebet tinggal menulis namaku untuk ikut pendadaran besok pagi, selesai, mudah kan" kata orang tinggi besar itu.
"Tidak bisa Dadung Awuk!!!" kata Lurah Wirya dengan suara keras.
"Aku berbicara dengan Ki Lurah Karebet Ki Lurah, bukan bicara dengan kau!!" jawab Dadung Awuk dengan suara keras sambil tangannya menuding Lurah Wirya.

Lurah Wirya berdiri, tetapi ia duduk kembali setelah Karebet memberi isyarat untuk duduk lagi.
"Biar aku saja yang menyelesaikan persoalan ini" kata Lurah Karebet kepada dua orang lurah lainnya.
"Dadung Awuk" kata Ki Lurah Karebet :"Baiklah usulmu akan kami bicarakan dulu dengan dua orang lurah yang lain, karena disini ada lima orang lurah yang punya wewenang untuk mengawasi pendadaran"
"Wuah, itu terlalu bertele-tele, terlalu lama, aku tidak suka, he Ki Lurah bertiga, dengar, aku mau cerita" kata Dadung Awuk.
"Dengarlah, didaerahku, didaerah Pingit, tidak ada yang berani melawan aku, bahkan sampai di daerah Banyubiru dan Sumawana. He Ki Lurah, kau tahu daerah Banyubiru? Kalau belum tahu, dengarkan, Banyubiru ada didekat Rawa Pening. Kau tahu daerah Sumawana? Itu daerah yang dekat dengan candi Gedong Sanga, di kaki gunung Ungaran" kata Dadung Awuk.
"Aku berlatih sendiri, tanpa guru, kalau bertarung aku tidak penah kalah, aku selalu menang, aku berlatih di sebuah goa yang wingit, di bawah pohon yang angker, dan selama ini tidak ada yang bisa mengalahkan aku. Di daerah Pingit, aku pernah dikeroyok lima orang, tetapi semuanya bisa aku kalahkan" kata Dadung Awuk.
"Aku pernah membunuh seekor harimau kumbang, he kalian pernah melihat seekor harimau kumbang?
 Seekor harimau hitam yang bisa naik ke pohon. Harimau kumbang itupun telah aku bunuh, ketahuilah, selama ini aku telah banyak berjasa kepada Kasultanan Demak, kemarin, dalam perjalanan ke kotaraja ini, di daerah Rawa Pening, aku di cegat oleh dua orang perampok dan keduanya sudah aku kalahkan, nah itu berarti aku sudah berjasa kepada Kasultanan Demak" kata Dadung Awuk.

"Beberapa pasar yang lalu, aku ke Sarapadan, yang tidak jauh dari Pingit. disana aku menantang siapa saja yang berani melawan aku, kau tahu Ki Lurah, tidak ada satu orangpun yang berani melayani tantanganku, semua pintu tertutup. Pengecut semua, tidak ada satu orangpun yang berani keluar. Sarapadan menjadi sepi sekali, semua takut kepada Dadung Awuk" teriak Dadung Awuk.
"Aku adalah orang yang kebal, tidak ada senjata yang bisa melukai aku, kalian boleh memukul badanku, silahkan pilih mana bagian yang paling empuk, tubuhku ini boleh kalian pukul beramai-ramai" kata Dadung Awuk.
"Apalagi cuma tangan kalian he Ki Lurah bertiga, ditusuk pisaupun, jangankan luka, badanku tergorespun tidak" kata Dadung Awuk meneruskan.
"Nah Ki Lurah bertiga, kalian telah mendengar ceritaku, apakah besok pagi aku tetap tidak boleh ikut pendadaran? Apakah kalian berani menolak permintaanku?" tanya Dadung Awuk.
Lurah Mada dan Lurah Wirya berdiri, tetapi Lurah Karebet memberi isyarat untuk duduk dan berkata :" Duduklah Ki Lurah Wirya dan Ki Lurah Mada, dia tadi mencari aku, biar aku yang menyelesaikan persoalan ini.
"Dadung Awuk, permintaanmu tetap akan kami bicarakan dulu dengan dua orang lurah yang lain, kau tunggulah diluar, kami saat ini sedang membicarakan hal yang penting!!" kata Lurah Karebet dengan suara keras.

"Nada bicaramu keras sekali Ki Lurah Karebet, aku pernah mendengar cerita, kata orang kau berasal dari Pengging" kata Dadung Awuk.
"Ya, aku berasal dari Pengging, Dadung Awuk, ada apa dengan Pengging ?" tanya Lurah Karebet, yang nadanya semakin pelan dan dalam.
"He pantas, pantas, aku sudah mendengar cerita tentang Pengging ha" kata Dadung Awuk sambil tertawa.
"Apa yang akan kau katakan tentang Pengging, Dadung Awuk" kata Karebet sambil berdiri dari tempat duduknya.
Melihat Ki Lurah Karebet berdiri, maka Dadung Awukpun juga berdiri sambil tertawa terbahak-bahak.
"Wuah wuah, Ki Lurah Karebet ternyata sudah berani berdiri, tadi saya kira Ki Lurah tidak berani, bagus, bagus, ternyata kau memang ayam jantan dari Pengging, ayo keluarkan semua aji ajimu, ucapkan semua japa mantramu, pilihlah dagingku yang paling empuk, pukullah dadaku, pukullah sesuka hatimu Ki Lurah Karebet" kata Dadung Awuk.
Lurah Karebet lalu mengambil selembar daun sirih yang ada di tempat penyimpanan penginangan.
"Dadung Awuk, kau tahu apa yang kupegang ?" kata Ki Lurah Karebet sambil menggulung daun sirih dan sedikit menggigit ujungnya.
Dadung Awuk tertawa ketika melihat daun sirih yang digulung ditangan Lurah Karebet
"Wuah wuah, itu sadak kinang, ternyata ayam jantan dari Pengging takut melihat darah, tidak berani memegang pedang, yang dipegang adalah sadak kinang ha ha ha" kata Dadung Awuk sambil tertawa terbahak-bahak.

(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar