Kamis, 17 Juli 2014

KERIS KYAI SETAN KOBER 8

BAB 3 : BUNGA CEMPAKA 2

Ditulis oleh : Apung GWAP

Agak jauh disebelahnya, beberapa orang prajurit sedang bekerja membersihkan dua buah tandu joli jempana, yang nantinya akan digunakan oleh Kanjeng Prameswari dan putri Sekar Kedaton.
Joli jempana milik Kasultanan Demak, yang terbuat dari kayu jati yang kokoh, beratap limasan, yang masing2 joli jempana hanya dapat memuat satu orang didalamnya.
Beberapa prajurit menggunakan sepotong kain yang telah dicelup air, untuk membersihkan ukiran yang terdapat pada hiasan joli jempana. Sebuah ukiran halus hiasan sulur-suluran.
Beberapa saat kemudian, pembersihan perahu dan joli jempana sudah bersih, pekerjaannya sudah selesai. Perahu akan dibawa ke sungai Tuntang, sedangkan joli jempana akan dibawa ke Kraton.
Beberapa tali sudah dipasang, disebelah kanan dan kiri perahu Kyai Garuda, dan perahupun telah siap untuk ditarik ke sungai Tuntang.
Demikian juga dengan dua buah perahu lainnya, juga sudah siap dan sudah dipasang tali, siap ditarik ke sungai.

Rangga Pideksa memerintahkan beberapa prajurit untuk mengalirkan air lewat saluran kecil yang terhubung ke sungai. Saluran itu dibendung dengan memasang beberapa buah kayu dan diisi dengan tanah, sehingga air tidak bisa mengalir ke tempat penyimpanan perahu.
Beberapa orang prajurit mengambil kayu yang dipergunakan untuk membendung air selokan sehingga airpun dapat mengalir ke tempat perahu.
Tidak lama kemudian airpun telah mengalir deras ke sungai kecil tempat penyimpanan perahu.
Saluran tempat perahu yang tadinya kering, sekarang menjadi penuh air, sehingga perahupun bisa terangkat dan terapung.
Rangga Pideksa bersama dengan beberapa orang prajurit, perlahan-lahan menarik perahu Kyai Garuda disebelah kanan dan kirinya, masuk ke anak sungai yang terhubung dengan sungai Tuntang.
Perlahan-lahan perahu Kyai Garuda bergerak maju sedikit demi sedikit, ditarik oleh sepuluh orang prajurit melalui darat, dengan memakai beberapa tali yang besar.
Dibelakang perahu Kyai Garuda, menyusul dua buah perahu lainnya yang juga ditarik oleh beberapa orang prajurit.,

Perahu Kyai Garuda telah sampai di sungai Tuntang, lalu perahu ditarik ketempat tambatan perahu, dibawah pohon ditepi sungai yang landai.
Ketika perahu Kyai Garuda telah sampai ditempatnya, maka tali penariknya dilepas, diganti dengan tali untuk ditambatkan ke sebuah batang pohon, serta dijaga oleh dua orang prajurit.
Matahari sudah condong kebarat, ketika pekerjaan menyiapkan perahu sudah selesai dikerjakan, dan dua buah joli jempanapun telah dibawa ke dalam Kraton.
Malam harinya, bulan hanya mengintip dibalik awan yang tipis, ada sebuah hati yang merenda harapan, betapa bulan terlihat malas bergerak, dia ingin malam segera berlalu.
"Malam ini kenapa terasa lama sekali, aku ingin malam cepat berganti pagi" kata Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka dalam hati.
"Kenapa aku sulit sekali tidur, atau karena besok pagi aku ketemu dengan Karebet ?" kata Sang Putri menganyam angan-angan.

Pada saat yang sama, Karebet hanya bisa gelisah di atas amben, harapannya hanya satu, besok pagi bisa dekat dengan Sang Bunga Cempaka di Kraton Demak.
Suara kentongan yang dipukul dengan irama dara muluk telah terdengar di seluruh kotaraja Demak, menandakan telah memasuki waktu tengah malam, dan dua hati yang sedang berbunga telah melayang ke alam mimpi.

Di ufuk timur terlihat semburat warna merah, semakin lama semakin terang, pertanda matahari sudah menampakkan dirinya, seiring dengan terdengarnya suara burung yang berkicau menyambut datangnya pagi. Dari dalem lor, langkah kaki Karebet begitu ringan ketika berjalan menuju Kraton, untuk menjalankan tugasnya sebagai prajurit Wira Tamtama.
Setelah melewati pintu gerbang Kraton, Karebet tiba di halaman didepan Sasana Sewaka, disana sudah ada beberapa prajurit, belum semuanya telah datang, masih menunggu Tumenggung Gajah Biirawa yang menjadi Manggala Yudha Wira Tamtama.
Beberapa kuda sedang diatur, yang mengendarai kuda hanya Kanjeng Sultan dan kerabat raja, joli jempana yang berjumlah dua buah sudah siap dihalaman, untuk Kanjeng Prameswari dan Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, sedangkan pengusung tiap tandu adalah empat orang abdi dalem yang bertubuh kuat.
Setelah Tumenggung Gajah Birawa, Tumenggung Gagak Anabrang dan Tumenggung Suranata telah datang, maka diaturlah tugas masing-masing prajurit.

Karebet mendapat tugas mengawal joli jempana yang berisi Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, sedangkan nanti pada saat berada di perahu, bersama prajurit yang lain Karebet mendapat tugas mendayung perahu Kyai Garuda. Ketika bende ditabuh untuk pertama kali, maka semua prajurit dan abdi dalem bersiap, kudapun juga sudah dipersiapkan, bendera Wira Tamtama, bendera Wira Braja dan bendera yang paling besar, bendera Gula Kelapa juga sudah berkibar.
Tak lama kemudian Tumenggung Gajah Birawa berjalan menuju ruang dalam menjemput Kanjeng Sultan dan Kanjeng Prameswari bersama sentana dalem.
Sesaat kemudian Kanjeng Sultan keluar ruangan diikuti Kanjeng Prameswari dan Gusti Mas Cempaka. Dibelakang Kanjeng Sultan, ada seorang prajurit yang membawa songsong, payung kerajaan, dibelakang songsong berjalan beberapa kerabat Sultan, diikuti oleh dua orang emban.
Diantara sentana dalem yang akan diajak ikut ke pantai, ada seorang yang sudah dikenal oleh Karebet, yaitu putra Pangeran Sekar Seda Lepen, Arya Penangsang.

Tumenggung Gagak Anabrang menyambut Kanjeng Sultan dan mempersilahkan naik ke punggung kuda, sedangkan Tumenggung Suranata mempersilahkan Kanjeng Prameswari untuk naik ke atas joli jempana.
Putri Sekar Kedaton, Gusti Mas Cempaka diantar oleh Tumenggung Gajah Birawa menuju ke joli jempana yang dijaga oleh seorang prajurit Wira Tamtama, Karebet.
Gusti Putri Mas Cempaka bersama Nyai Madusari, berjalan perlahan-lahan menuju tandu yang dijaga oleh Karebet.
Baru kali ini Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka merasa hatinya deg-deg-an melihat Karebet yang berpakaian prajurit Wira Tamtama yang terlihat menjemputnya.
Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka bergetar senang ketika Karebet mempersilahkan naik ke joli jempana dan berkata:"Silahkan Gusti Putri"
"Terima kasih kakang Karebet" kata Sang Putri..

Perlahan-lahan Sekar Kedaton Gusti Putri Mas Cempaka naik keatas tandu, dan pandangan Sang bunga Kraton tak lepas dari prajurit yang berdiri di sebelah tandu dan bersiap mengawalnya, Karebet.
Ketika semuanya sudah siap, suara bende terdengar untuk yang kedua kalinya, tandupun diangkat oleh empat orang abdi dalem yang bertubuh kuat, dan semua rombongan telah bersiap untuk berangkat.
Ketika penabuh bende telah menabuh untuk yang ke tiga kalinya maka mulailah rombongan Kanjeng Sultan bergerak maju.
Didepan sendiri, Tumenggung Suranata berjalan kaki sebagai cucuk lampah, lalu ada sebuah Bendera Gula Kelapa yang berkibar megah, dibelakangnya Kanjeng Sultan naik kuda dikelilingi oleh prajurit yang berjalan kaki, prajurit Wira Tamtama bersama Tumenggung Gajah Birawa.
Dibelakang Kanjeng Sultan, berjalan seorang prajurit yang membawa songsong kerajaan dan seorang prajurit membawa sebuah bende.

Kemudian disusul oleh prajurit yang membawa bendera Wira Tamtama, dibelakangnya sebuah joli jempana berisi Kanjeng Prameswari, yang diangkat oleh empat orang abdi dalem, didampingi oleh dua orang emban yang berjalan kaki, dibelakangnya ada lagi joli jempana berisi Sekar Kedaton, Gusti Putri Mas Cempaka, yang diangkat oleh empat orang abdi dalem dan didampingi oleh prajurit Wira Tamtama, Karebet.
Dibelakang tandu, berjalan Nyai Madusari yang diajak oleh Gusti Mas Cempaka untuk ikut berwisata ke pantai.

Dibelakang Karebet, ada Arya Penangsang yang duduk diatas punggung kuda hitam Gagak Rimang, sedangkan disebelahnya, berkuda pula dua orang kerabat Sultan, dibelakangnya ada pula prajurit yang membawa bendera Wira Braja, disampingnya berjalan Tumenggung Gagak Anabrang beserta prajurit Wira Braja
Rombongan bergerak ke timur, diatas joli jempana, Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka melihat dengan hati berdebar, seorang prajurit Wira Tamtama yang mengawalnya, Karebet. "Kakang Karebet" kata Sekar Kedaton perlahan dari atas joli jempana.

Karebet yang berjalan kaki disebelah joli jempana terkejut, dia menoleh ke arah tandu, dan Karebetpun tersenyum:"Ya Gusti Putri"
"Kau jangan jauh dariku" kata Sang Putri.
Karebet tidak menjawab, hanya tersenyum, dan itu sudah cukup membuat hati Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, menjadi deg deg pyur.
Dibelakang Karebet, ada sepasang mata yang tajam mengamati gerak gerik Karebet dari atas punggung seekor kuda hitam.
Arya Penangsang yang merasakan ada sesuatu yang telah terjadi pada Karebet maupun Gusti Mas Cempaka, sesuatu yang tidak terlihat, tetapi mudah ditebak.
"Hm selama ini Nimas Sekar Kedaton tidak pernah berbicara dengan seorang laki-laki, tetapi ternyata saat ini Nimas Cempaka sedang terpesona kepada Karebet" kata Penangsang dalam hati sambil terus mengawasi dengan cermat segala sesuatu yang dilakukan oleh Sekar Kedaton serta Karebet yang berjalan kaki didepan kudanya Gagak Rimang.

Ketika sekali lagi dilihatnya Karebet berbicara dengan wajah menghadap joli jempana yang didalamnya berisi Sekar Kedaton Putri Mas Cempaka, maka Arya Penangsangpun menjadi acuh tak acuh, terserah kepada keduanya, terserah kepada ayah Sekar Kedaton, Sultan Trenggana.
"Biar saja Nimas Sekar Kedaton jatuh cinta pada Karebet, itu haknya, dan itu bukan urusanku" katanya dalam hati, dan tanpa menghiraukan keduanya, Penangsang lalu mengelus-elus leher kuda hitam kesayangannya, Gagak Rimang.
Rombongan Sultan Trenggana bergerak terus, berjalan perlahan ke arah timur menuju sungai Tuntang, dan Arya Penangsangpun menepuk-nepuk leher Gagak Rimang, yang seperti tidak sabar ingin berlari kencang kedepan.

Arya Penangsangpun tidak menghiraukan ketika Sekar Kedaton berbicara pelan kepada Karebet, takut kalau ada yang mengetahuinya.
"Kakang Karebet" kata Sekar Kedaton.
"Ya, Gusti Putri" kata Karebet.
"Kau berasal dari mana kakang ?" tanya Gusti Mas Cempaka.
"Saya berasal dari Pengging Gusti Putri" jawab Karebet.
"Jangan bohong kakang, aku tahu kakang berasal dari Tingkir, kakang Karebet sering dipanggil dengan nama Jaka Tingkir" kata Sang Bunga Cempaka.
"Gusti Putri tahu dari mana?" tanya Karebet.
"Dari Nyai Madusari, dia bertanya ke paman Ganjur di dalem Suronatan" kata Sekar Kedaton.

Karebet tersenyum, dan senyumnya telah membuat hati Sekar Kedaton Mas Cempaka menjadi berbunga-bunga.
"Gusti Putri, sejak kecil saya diambil anak angkat oleh Nyai Ageng Tingkir, tetapi sebenarnya saya berasal dari Pengging" kata Karebet.
"Kau berasal dari Pengging kakang ?" tanya Putri Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri, Ki Ageng Pengging adalah ayah saya" jawab Karebet.
"Saya pernah mendengar nama Ki Ageng Pengging, Ayahanda Sultan pernah menyebutnya" kata Sang Putri Bunga Cempaka.
Rombongan Kanjeng Sultan berjalan terus, dan angan-angan Sekar Kedaton masih terus menghubungkan silsilah keluarga antara dirinya dengan Karebet.
"Kakang Karebet, kalau kakang putra Ki Ageng Pengging, berarti kakang adalah cucu dari eyang Asmayawati istri dari eyang Adipati Dayaningrat ? Eyang Asmayawati adalah adik dari eyang Patah" kata Sang Putri.
"Betul Gusti Putri, kita berdua adalah cucu buyut dari Sang Prabu Brawijaya" kata Karebet

Mendengar kata Karebet, betapa senangnya hati Sekar Kedaton Mas Cempaka ketika mengetahui Karebet masih mempunyai hubungan persaudaraan dengannya.
"Hm Karebet ternyata bukan dari keturunan pidak pedarakan yang tidak diketahui asal-usulnya, ternyata dia sama seperti diriku, keturunan dari Raja Majapahit eyang buyut Brawijaya, mudah-mudahan nanti ayahanda Sultan mengetahuinya, apakah besok calon menantu ayahanda Sultan juga harus jelas perhitungan bibit- bebet- bobot nya ?" kata Gusti Putri Mas Cempaka dalam hati.
Rombongan Sultan Trenggana hampir sampai di Sungai Tuntang dan Sekar Kedatonpun berkata :" Kakang Karebet, berjanjilah kau tidak akan jauh dariku"
"Ya Gusti Putri" kata Karebet sambil tersenyum kepada Sekar Kedaton Mas Cempaka.
Tidak lama kemudian, sampailah mereka ke tempat penambatan perahu di sungai Tuntang.
Rombongan Kanjeng Sultan berhenti, Kanjeng Sultan pun turun dari kuda, diikuti Kanjeng Prameswari dan Gusti Mas Cempaka turun dari joli jempana,

Arya Penangsang juga turun dari punggung kuda Gagak Rimang, dan ternyata disana sudah ada sahabatnya Lurah Pasar Pon yang akan mengurusi kudanya selama Arya Penangsang berada bersama Kanjeng Sultan.
Sedangkan kuda Kanjeng Sultan diurus oleh seorang abdi dalem gamel, demikian pula dengan Joli Jempana, dipinggirkan dan dijaga oleh beberapa orang prajurit.
Di tepi sungai Tuntang, terlihat perahu kerajaan yang canthik perahunya berupa kepala burung dengan paruh yang melengkung dan mata yang menatap tajam kedepan, Kyai Garuda, dengan bendera Gula Kelapa berkibar di atap perahu,
Disamping perahu Kyai Garuda, ada dua buah perahu untuk kerabat Kraton dan empat buah perahu yang ditumpangi oleh pasukan Wira Tamtama dan Wira Braja. Perahu untuk para prajurit ukurannya lebih kecil, dua buah perahu memakai bendera kesatuan Wira Tamtama dan dua lagi memakai bendera kesatuan Wira Braja, dan didalam perahu tersebut sudah tersedia perlengkapan serta bekal untuk makan siang di pantai

Dari tepi sungai menuju perahu Kyai Garuda telah dibuatkan jembatan yang dibuat dari beberapa buah bambu yang dijejer dan diikat rapi.
Enam orang prajurit termasuk Karebet, berjalan melalui jembatan bambu, naik ke perahu Kyai Garuda, mereka bertugas sebagai pendayung, ditambah dua orang prajurit yang membawa dua buah galah bambu panjang yang digunakan sebagai pendorong perahu.
Dua orang emban naik ke perahu, disusul oleh Nyai Madusari yang diperbolehkan ikut di perahu Kyai Garuda.
Setelah semuanya naik, Sekar Kedaton berjalan meniti jembatan bambu dengan hati-hati, dijaga oleh Tumenggung Suranata.
Di belakang Sekar Kedaton, menyusul Kanjeng Prameswari, lalu Kanjeng Sultanpun meniti jembatan bambu, dan diikuti oleh Tumenggung Gajah Birawa.

Yang terakhir naik ke perahu adalah seorang prajurit dengan membawa songsong, payung kerajaan yang menandakan keberadaan Sultan Demak didalam perahu Kyai Garuda, Songsongpun segera dimasukkan kedalam ploncon yang memang sudah ada diperahu, supaya tiang payungnya bisa berdiri tegak.
Setelah semuanya naik ke perahu, maka bambu yang digunakan sebagai jembatan ke perahu, segera diambil, dan semua prajurit dan sentana dalem, semua naik ke perahu.
Dua buah perahu sejajar paling depan, perahu paling kiri penumpangnya Ki Rangga Pideksa beserta Tumpak dan beberapa prajurit Wira Tamtama sedangkan perahu sebelah kanan adalah perahu yang berisi para prajurit Wira Braja.
Dibelakang perahu Kyai Garuda, ada dua buah perahu berisi kerabat Sultan termasuk putra Pangeran Sekar Seda Lepen, Arya Penangsang.

Paling belakang adalah dua buah perahu, yang sebelah kiri berisi prajurit Wira Braja bersama Tumenggung Gagak Anabrang, sedangkan perahu yang sebelah kanan berpenumpang para prajurit Wira Tamtama,
Dua buah perahu yang didepan, yang berisi prajurit Wira Tamtama dan prajurit Wira Braja perlahan-lahan mulai bergerak maju dan perahu Kyai Garuda juga mulai di dayung.
Karebet bersama lima orang prajurit lainnya, mendayung perahu Kyai Garuda, dibantu oleh dua orang prajurit yang membawa dua buah galah bambu panjang untuk mendorong perahu.
Dua buah galah bambu sudah dimasukkan kedalam air dan didorong sehingga perlahan-lahan perahu itupun bergerak maju.
Dibelakangnya dua buah perahu yang berisi kerabat Kraton bergerak pelan didayung oleh dua orang prajurit, disusul oleh dua buah perahu berpenumpang prajurit Wira Braja dan Wira Tamtama.
Tujuh buah perahu, bergerak perlahan-lahan menuju arah utara, angin yang berhembus, menambah segarnya udara di sungai Tuntang.

Putri Sekar Kedaton berwajah ceria menikmati perjalanan ini, disamping jenuh karena setiap hari terkurung di kaputren, saat ini di perahu yang sama terdapat seorang prajurit yang tampan bernama Karebet.
Perahu sudah hampir sampai di muara, angin telah berhembus semilir, Arya Penangsang yang berada di belakang perahu Kyai Garuda melihat sesuatu yang mencurigakan.
Arya Penangsang yang mempunyai pandangan yang tajam, melihat ada sesuatu yang bergerak-gerak dibawah perahu Kyai Garuda.
Kanjeng Sultan dan Kanjeng Prameswari beserta Sekar Kedaton, dan semua orang yang berada di perahu Kyai Garuda, kaget ketika merasakan perahu membentur sesuatu, dan terasa perahu Kyai Garuda terguncang.
Arya Penangsang yang duduk di perahu yang berada dibelakang perahu Kyai Garuda, melihat air bergolak disisi perahu, akibatnya perahu Kyai Garuda oleng bersamaan dengan jerit Kanjeng Prameswari dan Putri Sekar Kedaton.

Semua orang yang berada diatas perahu Kyai Garuda terkejut, mereka khawatir kalau perahu terguling, Tumenggung Gajah Birawa dan Tumenggung Suranata saling berpandangan, keduanya bersiap untuk terjun ke dalam air.
Meskipun jarak Arya Penangsang dengan perahu Kyai Garuda agak jauh, namun ia segera berdiri dan akan berniat melompat berenang ke air yang bergolak.
Baru saja Arya Penangsang berdiri akan melompat, dia terkejut ketika melihat di atas perahu Kyai Garuda, ada seorang prajurit dengan berani melompat terjun ke dalam air, tepat di tengah air yang bergolak.
Arya Penangsang melihat air dibawah perahu Kyai Garuda, masih terlihat air yang bergejolak, prajurit yang terjun ke air sudah tidak kelihatan lagi, menyelam didalam air sungai Tuntang, dan yang terlihat hanyalah pusaran air disertai beberapa gelembung udara,
"Prajurit yang terjun ke sungai pasti Karebet. Tidak ada prajurit yang berani terjun ke dalam pusaran air yang bergejolak, kecuali Karebet" kata Arya Penangsang dalam hati, dan matanya yang tajam melihat adanya sebuah pertarungan didalam air.
"Karebet saat ini sedang bertarung melawan seekor binatang di dalam air" kata Penangsang pelan kepada diri sendiri ;"Ternyata Karebet berani menyelam di pusaran air sungai yang bergejolak"

Perkiraan Arya Penangsang tidak salah, Sultan Trenggana beserta semua yang ada di perahu Kyai Garuda terkejut, ketika perahu menjadi oleng, dan mereka melihat Karebet melompat terjun ke air yang bergejolak, untuk mencari penyebab perahu menjadi oleng.
Perahu Kyai Garuda masih sedikit oleng, Kanjeng Prameswari dan para emban maupun Nyai Madusari masih ketakutan,
Apalagi Putri Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka, wajahnya pucat ketika perahu oleng serta menjerit ketakutan ketika dilihatnya Karebet dengan beraninya melompat terjun ke sungai.
Tidak beberapa lama, pusaran air dibawah perahu telah berkurang, tetapi air masih bergejolak dan Karebetpun belum terlihat keluar, dia masih menyelam didalam air.
Suasana menjadi tegang, menunggu kemunculan Karebet yang masih berada didalam air yang bergejolak.
Sesaat kemudian kepala Karebet muncul dipermukaan air untuk menghirup udara, dan sekejap kemudian Karebet menyelam lagi ke dalam air.
Gejolak dan pusaran air menjadi semakin kecil tinggal beberapa gelembung-gelembung saja yang muncul di permukaan air.

Tidak lama kemudian, agak bergeser ke tepi sungai, muncul lagi kepala Karebet ke permukaan air untuk bernapas, hanya sesaat, setelah itu Karebet tidak terlihat, ia menyelam lagi.
Setelah itu, ditepian sungai munculah Karebet yang berjalan ke arah daratan di pinggir sungai, tangannya menyeret seekor buaya yang telah lemas. Buaya yang besar, yang panjangnya lebih dari empat depa, dipegang ekornya dan diseret ke arah semak-semak dipingir kali.
Mengetahui Karebet telah bertarung didalam air dan mengalahkan seekor buaya besar, perahu yang berisi beberapa prajurit Wira Tamtama yang dipimpin oleh Rangga Pideksa kemudian merapat ke pinggir sungai untuk membantu Karebet menyeret seekor buaya yang telah lemas.
Bersama Karebet, Tumpak dan beberapa prajurit Wira Tamtama, mereka menyeret buaya ke tempat yang agak jauh.
Buaya muara yang ganas, yang telah lemas dan diseret ekornya ternyata belum menyerah, mulutnya masih berusaha untuk menyerang seorang prajurit yang membawanya.
Karebet terkejut ketika kepala buaya bergerak dengan mulut dan giginya yang tajam menyerang seorang prajurit, lalu dengan cepat Karebet memukul kepala buaya dengan telapak tangannya, sehingga buaya itu menjadi pingsan.
"Mari kita bawa buaya ini ke semak-semak, kita tidak usah khawatir, buaya ini akan tidur disini sampai besok pagi" kata Karebet kepada Tumpak dan para prajurit Wira Tamtama.
"Mari kita seret buaya itu ke tempat yang dekat dengan gerumbul perdu, supaya tidak membuat takut Kanjeng Prameswari" kata Karebet.

"Semuanya pegang buaya di ekornya" kata Ki Rangga Pideksa dan para prajurit beramai-ramai memegang ekor buaya dan menyeretnya agak jauh ke gerumbul perdu di tepi sungai.
"Kita letakkan disini, biar dia tidur sampai besok pagi" kata Karebet.
Setelah selesai membawa buaya yang pingsan menjauh, maka Karebetpun kembali naik perahu yang berisi prajurit Wira Tamtama, lalu diantar naik ke perahu Kyai Garuda.
Semua yang telah terjadi tidak lepas dari pandangan tajam Arya Penangsang yang berada di atas perahu dibelakang perahu Kyai Garuda.
"Ilmu kanuragan Karebet ternyata memang perlu diperhitungkan, tetapi kalau hanya melawan seekor buaya sebesar itu didalam air, akupun tidak takut" kata Arya Penangsang dalam hati.
Di atas perahu Kyai Garuda, mata Putri Sekar Kedaton berbinar-binar kagum dan gembira, melihat Karebet telah mengalahkan seekor buaya yang berukuran besar dalam sebuah pertarungan dibawah air.
"Kakang Karebet mampu mengalahkan seekor buaya besar" kata Sang Putri dalam hati.
"Karebet" kata Kanjeng Sultan Trenggana setelah Karebet berada diatas perahu.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Karebet yang duduk bersila di perahu Kyai Garuda dihadapan Sultan Trenggana.

"Buayanya sudah mati?" tanya Kanjeng Sultan. "Mohon ampun Kanjeng Sultan, buayanya hanya pingsan sampai besok pagi" jawab Karebet.
"Tumenggung Gajah Birawa" kata Kanjeng Sultan Trenggana. "Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.
"Mulai besok pagi, Karebet aku naikkan pangkatnya menjadi Lurah Wira Tamtama" kata Kanjeng Sultan. "Sendika dawuh Kanjeng Sultan" kata Tumenggung Gajah Birawa.
"Karebet, kau lelah ? Beristirahatlah" kata Kanjeng Sultan. "Mohon ampun Kanjeng Sultan, hamba tidak lelah, ijinkan hamba mendayung lagi" kata Karebet yang masih ingin berada di perahu Kyai Garuda supaya dekat dengan bunga istana, Gusti Mas Cempaka.
-Tapi pakaianmu basah- kata-kata yg hampir keluar dari mulut mungil Sekar Kedaton terpaksa ditelan kembali, ia sadar betapa ayahanda Sultan akan malu dan marah kalau mengetahui ia berbicara dengan seorang laki-laki. "Tumenggung Gajah Birawa" kata Kanjeng Sultan.
"Dawuh dalem Kanjeng Sultan" jawab Tumenggung Gajah Birawa.

"Perintahkan semua perahu supaya melanjutkan perjalanan ke pantai" kata kanjeng Sultan.
"Kasinggihan dawuh kanjeng Sultan" kata Ki Tumenggung.
Tumenggung Gajah Birawa melambaikan tangannya kepada para prajurit, kemudian dua perahu yang diidepan mulai berjalan kembali perlahan-lahan diikuti oleh perahu Kyai Garuda.
Enam orang prajurit masih mendayung perahu Kyai Garuda, Karebetpun masih mendayung sambil sekali-sekali matanya melirik ke arah Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka.
Sungai Tuntang menjadi semakin lebar, perahu Kyai Garuda sudah mulai masuk di daerah muara, sebentar lagi perahu sudah sampai di pantai.
Angin laut bertiup agak kencang, laut sudah semakin dekat, baju yang dipakai Karebet sudah agak kering, dan mereka berenam masih mendayung perahu Kyai Garuda.
Muara sungai Tuntang terlihat semakin lebar, jarak tepi sungai sebelah kiri dan tepi sebelah kanan menjadi semakin panjang.

Perahu Kyai Garuda masih terus bergerak meninggalkan muara sungai, dan perlahan-lahan menyusuri pantai dan debur ombak di pantai utara mampu sedikit menggoyang perahu Kyai Garuda.
Ketika terlihat beberapa pohon di tepi pantai, Kanjeng Sultanpun ingin beristirahat ditempat itu, lalu perahu Kyai Garuda segera didayung ke tepi, dua orang prajurit yang menggunakan galah bambu, mendorong perahu kepinggir.
Beberapa buah perahu yang mengiringi perahu kyai Garuda, yang berisi para prajurit beserta para sentana dalem segera menepi, dan semua penumpangnya turun ke tepi pantai.
Perahu-perahu tersebut kemudian ditambatkan pada sebuah kayu yang ditancapkan di pasir tepi pantai.
Setelah menurunkan para prajurit, sebuah perahu kecil segera di dorong dan ditempelkan pada perahu Kyai Garuda, untuk mengantar Kanjeng Sultan turun ketepi pantai, karena perahu Kyai Garuda tidak bisa sampai di tepi daratan.

Sebuah tangga kayu yang dibuat secara khusus telah dipasang menempel di dua perahu, untuk memudahkan perpindahan dari perahu Kyai Garuda turun ke perahu kecil.
Tumenggung Suranata turun ke perahu kecil, disusul oleh Kanjeng Sultan, kemudian diikuti oleh Kanjeng Prameswari, Sekar Kedaton dan Nyai Madusari dan dua orang emban, dan terakhir yang turun ke perahu kecil adalah Tumenggung Gajah Birawa.
Sesaat kemudian perahu itupun didorong ke arah daratan dan Kanjeng Sultanpun turun ke pasir pantai dan berjalan menuju kesebuah pohon di tepi pantai, diikuti oleh Kanjeng Prameswari dan Putri Sekar Kedaton.
Para prajurit pendayung perahu Kyai Garuda beserta pembawa songsong kerajaan, terpaksa turun terkena air laut yang dalamnya setinggi paha dan merekapun berjalan menuju pantai.
"Ini pakaianku yang baru, terpaksa jadi basah terkena air laut" kata seorang prajurit Wira Tamtama kepada Karebet yang berada disebelahnya.
"Pakaianku yang kupakai dari rumah dalam keadaan kering, lalu menjadi basah, baru saja kering, sekarang menjadi basah lagi " kata Karebet.
Lalu merekapun menuju tepian pantai, kemudian bersama-sama duduk berkelompok dibawah pohon.

Beberapa orang prajurit mendirikan empat buah bambu yang hanya saling berjarak tiga langkah, bagian atas bambu saling dihubungkan dengan bambu yang mendatar, lalu ditutup kain dan diikat dengan tali, maka jadilah sebuah bilik kecil.
Bilik yang tingginya sak-pengawe, dan didalam bilik kemudian digantungkan beberapa bumbung yang berisi air bersih.
Dibawah pohon, seorang prajurit menggelar tiga buah tikar yang terbuat dari anyaman tanaman sejenis pandan, serta meletakkan beberapa buah-buahan dalam sebuah mangkuk gerabah.
Diatas salah satu tikar yang digelar dibawah pohon, Kanjeng Sultan duduk bersama Kanjeng Prameswari, beserta Putri Sekar Kedaton, mereka menghirup udara laut yng segar dan menikmati debur ombak pantai utara, sedangkan disekeliling tempat itu, bertebaran para prajurit Wira Tamtama berjaga-jaga, dan ditempat yang agak jauh berjaga pula para Prajurit Wira Braja.

Dua orang emban melayani segala kebutuhan Sultan Trenggana dan Kanjeng Prameswari, sedangkan keperluan Sekar Kedaton dilayani oleh Nyai Madusari.
Waktu berjalan terus, di langit, matahari merayap perlahan kearah barat, dan saat ini sudah menjelang tengah hari.
Ditepi pantai, tertambat enam buah perahu, dan sebuah perahu yang memakai songsong kerajaan dan mempunyai bendera Gula Kepala, Kyai Garuda yang canthiknya berukir kepala sebuah burung Garuda.
Duduk diatas tikar, Gusti Mas Cempaka sedang termenung, angan-angannya tidak bisa lepas dari seorang prajurit Wira Tamtama.
"Mau makan buah pepaya Ajeng?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Tadi sudah makan pisang Kanjeng ibu" jawab Sekar Kedaton.
"Air kelapa mudanya diminum dulu, cah Ayu" kata Kanjeng Prameswari.
"Ya kanjeng ibu" kata Mas Cempaka.

Angin laut yang berhembus agak kencang, membuat kain bilik kecil sedikit bergoyang.
"Karebet berada dibawah pohon di samping perahu Wira Tamtama, dia pasti kelelahan setelah bertarung melawan buaya dan mendayung perahu dari kotaraja Demak sampai di sini, sekarang perutnya pasti sudah lapar" kata Sekar Kedaton dalam hati.
"Ajeng, kau mau makan sekarang cah ayu ? Kau sudah lapar ?" tanya Kanjeng Prameswari kepada Sekar Kedaton.
"Sudah, eh belum, eh sudah lapar Kanjeng ibu" jawab Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka.
"Kau melamun Ajeng ? Melamun apa ?" tanya Kanjeng Prameswari.
"Anu Kanjeng ibu, kalau bandar Jepara dari daerah ini masih jauh ?" kata gusti Mas Cempaka.
"Ah kau, tumben bertanya tentang letak bandar Jepara" kata Kanjeng Prameswari.
Sekar Kedaton Putri Mas Cempaka terdiam, seperti kebingungan ketika harus menjawab pertanyaan dari Kanjeng Prameswari.
Sultan Trenggana lalu memerintahkan kepada Tumenggung Gajah Birawa untuk mempersiapkan bekal makan siang yang telah dibawa dari Demak dan diletakkan di salah satu perahu.
Ki Tumenggung lalu berjalan menuju perahu dan memerintahkan kepada prajurit untuk membawa makanan ke tempat Kanjeng Prameswari.

Beberapa makanan diletakkan diatas tikar, nasi dan beberapa ayam panggang, adapula beberapa tusuk burung belibis panggang, beberapa buah tomat dan ketimun.
"Emban, kau buat sambal lombok hijau" kata Kanjeng Prameswari. "Sendika Gusti" kata emban yang betubuh gemuk.
Embanpun lalu membuat sambal lombok ijo sambil matanya melirik le burung belibis panggang yang berada didalam piring gerabah yang diletakkan diatas tikar.
"Hm kelihatannya burung belibis panggang enak sekali kalau dimakan dengan sambal lombok ijo" kata emban yang bertubuh gemuk itu dalam hati, sambil sekuat tenaga menahan keinginannya yang bisa mengakibatkan air liurnya menetes.
"Kalau sampai menetes aku pasti dihukum berat, mungkin aku disuruh mendayung perahu sampai kotaraja Demak" kata emban yang bertubuh gemuk.
"Besok dirumah aku akan memasak burung belibis panggang dan membuat sambal lombok ijo, serta makan nasi yang masih hangat" katanya dalam hati.

Setelah semua makanan sudah siap, maka Tumenggung Gajah Birawa mencicipi semua makanan yang ada, ditunggu sesaat, setelah tidak ada reaksi apapun, maka Kanjeng Sultan, Kanjeng Prameswari dan Sekar Kedaton mulai menyantap makanannya.
"Emban, sambel lombok ijo buatanmu enak sekali" kata Kanjeng Prameswari memuji.
"Kasinggihan dawuh Gusti" jawab emban yang bertubuh agak gemuk sedikit berbangga, tetapi pandangannya tak lepas dari burung belibis panggang.
Sultan Trenggana sangat menikmati makanan yang disajikan, dan dilayani oleh Kanjeng Prameswari, sedangkan Gusti Sekar Kedaton, meskipun kelihatan sedang mengunyah makanan, pikirannya melayang pada seorang prajurit Wira Tamtama yang telah menawan hatinya.
Setelah Kanjeng Sultan selesai makan, maka tiba giliran Nyai Madusari dan para emban, serta para prajurit yang secara bergantian makan bekal yang memang sudah disiapkan untuk mereka.
"Ternyata jatahku makan siang hari ini memang bukan burung belibis panggang" kata emban yang bertubuh gemuk dalam hatinya.

"Tidak apa-apa, yang penting ada sambalnya" katanya sambil menyeka keringat di dahinya
"Ternyata kalau aku kalau sedang makan, tubuhku bisa berkeringat, tetapi kalau lagi kerja malah tidak keluar keringat" kata emban yang bertubuh gemuk kepada temannya.
Beberapa saat kemudian makan siangpun telah selesai, dan tubuh embanpun dihembus semilir angin laut, sehingga emban yang bertubuh gemukpun terkantuk-kantuk.
"Aneh, aku jadi heran, setiap selesai makan, aku pasti merasa mengantuk" kata emban itu kepada temannya.
"Tidurlah, kau akan ditinggal sendiri disini, paling temanmu nantinya hanya seekor burung bangau tong-tong" kata emban temannya.
Yang terlihat gelisah adalah Sang Putri Sekar Kedaton Mas Cempaka yang merasa tikar tempat duduknya terlalu jauh dari prajurit Wira Tamtama yang telah membikin dirinya mabuk kepayang.
Sekali-sekali ujung matanya masih mencari keberadaan Karebet diantara beberapa orang prajurit Wira Tamtama.

Ketika sekali lagi Putri Sekar Kedaton melihat debur ombak di pantai utara disertai hembusan angin laut, timbul keinginan Sang Bunga Cempaka untuk berlari menyusuri tepi pantai, berdua bersama Karebet.
"Pantai disini semuanya landai, betapa nikmatnya kalau bisa berlarian kesana kemari di pasir pantai bersama Karebet, lalu kaki kita direndam dan diusap alun ombak dari laut" kata Sekar Kedaton dalam hati.
Sang Surya sudah sedikit condong ke arah barat, debur ombak laut tak kenal lelah berkejaran ke arah daratan, Sultan Trengganapun memerintahkan segera kembali ke kotaraja Demak.
Beberapa prajurit segera membereskan beberapa peralatan makan dan melipat kain penutup ruang bilik, dan membawanya ke salah satu perahu.

Perahu-perahu sudah disiapkan, dan para prajurit sudah berada di dalam perahu masing-masing, kecuali perahu kecil yang akan dipakai oleh Kanjeng Sultan untuk mendekat dan naik ke perahu Kyai Garuda.
Ketika semua sudah naik ke perahu, senyum Sang Bunga Cempaka telah mengembang, karena melihat Karebet sudah berada dekat dengannya, dengan memegang sebuah dayung.
Tumenggung Gajah Birawa memerintahkan kepada prajurit untuk segera mendayung, dan perlahan-lahan perahu Wira Tamtama dan perahu Wira Braja bergerak maju, disusul dibelakangnya perahu Kyai Garuda pelan-pelan memasuki muara sungai Tuntang.
Tidak seperti pada saat berangkat, sekarang perahu Kyai Garuda bergerak kearah selatan, perlahan-lahan dan berkelok menyusuri sungai Tuntang.
Meskipun perlahan, waktu merayap terus, perahu sudah hampir sampai di kotaraja Demak. "Duh sudah sampai kotaraja, cepat sekali, aku ingin lebih lama di perahu" kata Putri Sekar Kedaton didalam hatinya.

Matahari sudah hampir tenggelam ketika perahu merapat ke tepi sungai, dijalan yang menuju Kraton.
Setelah perahu merapat ke tepi sungai, semuanya turun dari perahu dan berkumpul di jalan yang menuju Kraton, dan semuanya membentuk sebuah barisan kembali, sama seperti waktu berangkat.
Arya Penangsangpun sudah berada dibelakang Karebet, duduk diatas punggung kuda hitamnya, Gagak Rimang.
Didepan sendiri telah bersiap Tumenggung Suranata, dan ketika terdengar suara bende dipukul, maka berjalanlah Tumenggung Suranata sebagai cucuk lampah barisan.
Karebetpun masih berjalan disebelah joli jempana putri Kanjeng Sultan.

"Kakang Karebet" kata Sekar Kedaton Gusti Mas Cempaka.
"Ya Gusti Putri" kata Karebet.
"Kau lelah kakang" kata Sang Putri.
"Sedikit Gusti Putri" jawab Karebet.
"Kakang Karebet, bagaimana caranya supaya kita bisa sering bertemu?" tanya Mas Cempaka perlahan takut kedengaran yang lain.
"Aku tidak tahu Gusti Putri" kata Karebet.
Mereka berdua terdiam dan keduanya tidak menemukan jawaban yang bisa membuatnya merasa puas.
"Kapan kakang Karebet tugas berjaga didepan Kaputren?" tanya Sekar Kedaton Putri Mas Cempaka.
"Saya tidak tahu Gusti Putri" jawab Karebet.

Rombongan berjalan terus, sudah terlihat pintu gerbang Kraton sebentar lagi akan masuk ke dalam halaman Kraton.
"Duh cepat sekali, rasanya belum puas bisa berbicara dengan kakang Karebet" kata Putri Bunga Cempaka Kraton Demak.
Karebet hanya tersenyum kepada Sekar Kedaton, dan senyum itu yang telah membuat Sang Putri menjadi tidak bisa tidur.
Rombongan telah memasuki halaman Kraton dan berhenti didepan Sasana Sewaka, Kanjeng Sultan telah turun dari kudanya, Kanjeng Prameswari dan Sekar Kedaton juga telah turun dari joli jempana, dan Tumenggung Gajah Birawa mengantar Kanjeng Sultan memasuki ruang dalam Kraton.
Beberapa saat kemudian Tumenggung Gajah Birawa keluar dari ruang dalam dan membubarkan para prajurit, sedangkan tandu dan perahu dikembalikan ke tempat penyimpanan oleh beberapa prajurit yang tidak ikut ke pantai..

Karebetpun lalu pulang ke dalem lor, untuk beristirahat, mandi dan tidur nyenyak setelah sehari penuh melaksanakan tugasnya sebagai seorang prajurit Wira Tamtama.
Malam itu bintang-bintang diangkasapun masih setia berkedip, dan di kotaraja Demak, banyak prajurit yang tertidur pulas hingga tidak mendengar suara kentongan yang ditabuh dengan nada dara muluk yang terdengar sampai diseluruh wilayah kotaraja Demak.

Malam sudah sampai pada ujungnya, Sang Surya mengintip dibalik cakrawala bang wetan, menggantikan tugas Sang Candra yang tanpa merasa lelah telah menyinarkan sinarnya yang redup ke seluruh pelosok bumi.
Burungpun berkicau bersahutan menyambut datangnya pagi.
Karebet, sebagai seorang prajurit Wira Tamtama yang bertugas mengawal raja dan keluarganya, berjalan menuju tempatnya bertugas, Kraton Demak.
Langkahnya ringan karena atas limpahan kasih Kanjeng Sultan, hari ini dia telah dinaikkan pangkatnya menjadi seorang lurah Wira Tamtama.
Di ruangan Wira Tamtama yang terletak didalam Kraton, Tumenggung Gajah Birawa telah memberikan kepada Karebet, selembar selendang cinde yang berwarna merah untuk dipakai sebagai rangkapan sabuk bagian dalam, sebagai tanda kelengkapan pakaian seorang lurah Wira Tamtama.

Malam harinya, di dalem Suranatan, paman Karebet, Ganjur, sedang beristirahat didepan rumah, setelah sehari penuh bekerja membersihkan halaman dalem Suronatan.
Ganjur duduk disebuah lincak bambu, bertelanjang dada, menikmati angin semilir di malam hari.
"Sudah agak lama Karebet tidak menengok pamannya yang telah tua ini" kata Ganjur seorang diri:
"Mudah-mudahan Karebet menjadi senang setelah tercapai keinginannya menjadi seorang Prajurit Wira Tamtama" kata Ganjur didlam hati
Pada saat yang bersamaan, di pintu gerbang dalem Suranatan, seseorang yang berpakaian lurah Wira Tamtama sedang berjalan menuju tempat tinggal Ganjur, dan ketika dia melihat pamannya sedang duduk termenung, maka langkahnya dibuat supaya tidak bersuara, berlindung dibawah bayangan pohon, perlahan-lahan dan hati-hati dia menuju tempat pamannya yang sedang duduk di depan rumahnya.
"Kalau Karebet mendapat kesempatan pulang ke Tingkir, aku mau ikut pulang ke desa" kata Ganjur dalam hati.

Tetapi tiba-tiba Ganjur terloncat hampir terjatuh, ketika didepannya secara tiba-tiba tanpa diketahui dari mana datangnya, telah berdiri seorang berpakaian lurah Wira Tamtama.
"Kau..." kata Ganjur dengan suara seperti orang yang hampir tercekik. "Ya paman, aku Karebet" kata Karebet.
"Kau Karebet, kau masih senang membuat pamanmu menjadi kaget, ayo masuk dulu" kata Ganjur.
Setelah keduanya masuk kedalam ruangan, baru terlihat jelas pakaian yang dipakai Karebet sekarang tidak seperti yang biasanya dipakai.
"Sabuk itu, kain cinde itu...."kata Ganjur terbata-bata.
"Ada apa dengan sabukku paman?" tanya Karebet.
"Kau memakai kain cinde berwarna merah" kata Ganjur.
"Ya paman, ada apa dengan kain cinde berwarna merah yang sekarang kupakai?" tanya Karebet.
"Kau telah menjadi seorang Lurah Wira Tamtama?" tanya Ganjur
"Ya paman"
"Aneh, kenapa bisa jadi begini? Cepat sekali" kata Ganjur seperti kepada diri sendiri.
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar