KERIS KYAI
SETAN KOBER 30
KARYA : APUNG SWARNA
BAB 11 : NAYAKA PRAJA 2
BAB 11 : NAYAKA PRAJA 2
Sementara
itu, di Sasana Sewaka, beberapa saat yang lalu, Wenang yang sebetulnya belum
tidur, mendengar suara burung kedasih yang tiba-tiba terdengar menjauh.
Pengalamannya
meninggalkan desa Butuh bertahun-tahun untuk berguru ilmu kanuragan di beberapa
perguruan di tanah Jawa, membuatnya mampu bersikap waspada.
Dengan tidak
menarik perhatian orang-orang yang berada di Sasana Sewaka, Wenang mengambil
pedang pendeknya, kemudian Wenangpun melangkahkan kakinya turun dari Sasana
Sewaka, menuju halaman belakang, dan pedangnyapun kemudian disangkutkan pada
ikat pinggangnya,
Matanya yang
tajam memandang ke arah suara burung kedasih, dan sempat dilihatnya sekelebat
orang yang sedang berlari, setelah itu bayangan itupun hilang di kegelapan
malam.
"Siapa
orang itu" katanya dalam hati, pada saai ini, semua sahabat-sahabatnya
sedang berada di Sasana Sewaka.
Dengan cepat
dan tangkas, Wenang berlari mengejar bayangan yang telah menghilang di
kegelapan malam, Wenang sama sekali tidak dapat melihatnya karena cahaya bulan
yang lemah tidak mampu untuk menerangi seluruh jalan disekitar dalem kadipaten.
Di kejauhan,
di arah barat, masih terdengar suara burung kedasih, Wenangpun dengan penuh
kewaspadaan berjalan hati-hati menuju ke arah suara itu.
"Orang
itu menuju ke arah barat" kata Wenang dalam hati.
Sementara
itu, agak jauh dari tempat Wenang berjalan mencari suara burung kedasih, Kebo
Kanigara sedang duduk diatas kayu yang mellintang, sedang berbicara dengan
kemenakannya, Adipati Hadiwijaya.
"Ternyata
setelah Pajang menjadi sebuah Kadipaten, banyak orang yang babat alas,
mendirikan rumah di sekitar kadipaten" kata Kebo Kanigara.
"Ya wa,
nanti kedepan, didaerah ini bisa menjadi sebuah kotaraja yang ramai. Kotaraja
Pajang" kata Adipati Hadiwijaya.
Kebo
Kanigara terdiam, hanya memandang tajam kepada kemenakannya.
"Mereka
yang mendirikan rumah di sini banyak yang berasal dari jauh, ada yang berasal
dari balik gunung Merapi, ada pula yang berasal dari seberang alas Mentaok, ada
juga yang berasal dari sebelah kulon kali Progo, dekat dengan ujung perbukitan
Menoreh" kata Kebo Kanigara.
"Mudah-mudahan
mereka kerasan tinggal di Pajang" kata Adipati Hadiwijaya.
Kebo
Kanigara terdiam, suasana menjadi sepi, bulan yang hanya separo mampu sedikit
memberi pendar cahaya di sekeliling tempat itu.
Tiba-tiba
Kebo Kanigara berkata lirih:" Ada orang yang datang, dia berjalan menuju
kemari"
Adipati
Hadiwijaya terkejut, ditajamkannya pendengarannya dan didengarnya suara langkah
kaki seseorang yang sedang berjalan menuju ke arahnya.
Keduanya
dengan cepat berdiri dan berlindung dibalik pohon, dan dengan matanya yang
tajam, meskipun cahaya bulan tidak sepenuhnya bisa membantu, tetapi dari bentuk
tubuhnya, Hadiwijaya bisa segera mengetahuinya.
"Itu
Wenang, dia pasti mengejar saya" kata Adipati Hadiwijaya lirih.
"Wenang,
orang yang besok akan kau angkat menjadi nayaka praja ?" tanya uwanya.
"Ya wa,
hanya dia yang belum aku ketahui tingkat ilmu kanuragannya, yang lainnya saya
sudah tahu wa" kata Hadiwijaya.
"Kau
akan mencoba kemampuan ilmu kanuragannya ?" tanya Kebo Kanigara.
Hadiwijaya
mengangguk, mereka yang ikut bergabung di Pajang, Pemanahan, Penjawi, Wuragil,
Mas Manca maupun Jaka Wila telah diketahui kemampuan ilmu kanuragannya, hanya
Wenang yang belum pernah dilihat kemampuannya.
Wenang, yang
pernah berkeliling di daerah bang kulon, belajar di beberapa perguruan,
berlatih olah kanuragan sampai Cirebon, ke Gunung Ciremai bahkan sampai ke
Segara Anakan, tentu mempunyai bekal yang cukup untuk dijadikan benteng
Kadipaten Pajang.
Kebo
Kanigara lalu mengeluarkan sebuah kain segi empat berwarna hitam yang
panjangnya tiga jengkal, lalu kain itupun diberikan kepada Hadiwijaya.
"Kau
pakai kain ini sebagai tutup muka dan kau pancing ia ke lapangan rumput yang
agak luas disebelah barat pohon randu alas" kata uwanya.
Adipati
Hadiwijaya kemudian menggunakan kain itu sebagai tutup muka, lalu dibagian
belakang kepala diikat dengan erat, dan iapun siap untuk mencoba kemampuan
Wenang dalam olah kanuragan.
Sementara
itu Wenang yang berjalan berhati-hati, dengan penuh kewaspadaan mencari suara
burung kedasih dan bayangan orang yang berkelebat berlari ke arah barat.
Tetapi
Wenang terkejut ketika dengan tidak diketahui dari mana datangnya, ia melihat
ada seseorang yang berjalan berlawanan arah, agak jauh di depannya, seakan-akan
sedang menghampirinya.
"Orang
itu sangat mencurigakan" kata Wenang dalam hati.
Dirabanya
ikat pinggangnya, ketika tangannya menyentuh hulu pedang pendeknya, maka iapun
berniat untuk menangkap orang yang mencurigakan, berjalan dimalam hari tanpa
membawa penerangan apapun.
"Orang
yang berjalan dimalam hari biasanya membawa sebuah obor" kata Wenang dalam
hati.
Dibawah
sinar bulan yang tidak begitu terang, Wenang tidak mengetahui siapakah orang
yang sedang berjalan menuju ke arahnya.
Orang itu
belum melihatnya, ia berjalan melenggang seenaknya dan ketika jaraknya sudah
semakin dekat, tinggal beberapa langkah lagi, maka orang itupun terlihat
terkejut ketika melihat Wenang, lalu iapun berbalik arah dan berlari menjauh.
Dengan sigap
Wenangpun mengejarnya dan berteriak :"Berhenti Ki Sanak"
Tetapi orang
itupun tetap belari cepat ke arah barat dan Wenangpun dengan sekuat tenaga
mengejarnya.
Wenang
mengerahkan semua kemampuannya untuk mengejar orang yang berlari didepannya,
tetapi orang itupun juga tidak mau ditangkap, maka iapun lari dengan sekuat
tenaga, berusaha melepaskan diri dari orang yang mengejarnya.
Beberapa
saat mereka berkejaran, setelah melewati sebuah pohon randu alas, tibalah
mereka disebuah tanah lapang yang tidak terlalu luas, lalu orang yang dikejar
telah berhenti dan berbalik arah, menghadap ke pengejarnya.
Setelah
berhadapan, barulah Wenang melihat dengan jelas, orang yang dikejarnya memakai
secarik kain berwarna hitam untuk menutupi wajahnya.
Wenang
adalah seorang pemuda yang cukup cerdik, ia sadar bahwa orang itu telah
berpura-pura lari ketakutan.
"Aku
telah dipancingnya berlari ke tanah lapang ini" kata Wenang dalam hati.
Diedarkannya
pandangannya, ada kemungkinan orang yang dikejarnya membawa beberapa kawan
untuk mengeroyoknya.
Tetapi
suasana didekat pohon randu alas saat itu terlihat sepi, tidak ada gerakan
apapun di sekitarnya.
"Ki
sanak, kenapa kau lari ?" tanya Wenang :"Kenapa kau memancingku
supaya aku mengejarmu ke tempat ini ? Kenapa wajahmu kau tutup dengan kain,
siapa kau sebenarnya ?
Orang itu
tidak menjawab apapun, hanya matanya yang tajam memandang ke arah Wenang.
"Kalau
kau tidak mau menjawab, kau akan kutangkap, dan kau akan kubawa menghadap
Kanjeng Adipati Hadiwijaya" kata Wenang.
Orang itupun
masih tetap diam, tetapi terlihat ia menjadi gelisah.
"Menyerahlah"
kata Wenang, tetapi ia terkejut ketika orang itu menyerangnya, dengan melompat
kedepan dan kakinya terjulur menendang lambungnya.
Dengan cepat
Wenang menghindar, memiringkan tubuhnya kearah kanan, sehingga tendangan orang
yang wajahnya ditutup kain hitam itu tidak mengenainya.
Iapun tidak
tinggal diam, tangannya bergerak kedepan dengan kekuatan penuh Wenang
menghantam pundak lawannya.
Lawannya
melangkah mundur, tetapi Wenang tidak melepaskannya, ia melompat dan dengan
sisi telapak tangannya ia menghantam kepala lawannya
Kecepatan
gerak Wenang memang mengagumkan, lawannya terkejut ketika sisi telapak tangan
Wenang tiba-tiba bergerak akan menghantam kepalanya, diapun tidak sempat
menghindar, yang dapat dilakukannya adalah menyilangkan kedua tangannya diatas
kepalanya, mencoba membenturkan kekuatan kedua tangannya dengan sisi telapak
tangan Wenang.
Terjadilah
benturan yang keras, dan ternyata keduanya terkejut, Wenang dengan segenap
kekuatan yang disalurkan disisi telapak tangannya seakan-akan merasa membentur
tembok baja yang kuat sehingga kekuatan tangannya terpental membalik
kebelakang, dan dengan susah payah Wenangpun mencoba menguasai dirinya, lalu
iapun segera melompat mundur dua langkah, mencoba menjaga jarak dari serangan
lawannya.
Lawannya tak
kalah terkejutnya, hantaman sisi telapak tangan Wenang telah dapat ditahan
dengan dua tangan bersilang diatas kepalanya, namun ternyata benturan itu mampu
mendorongnya selangkah mundur, karena kedua tangannya terasa seperti tertimpa
sebongkah batu hitam.
Benturan
pertama mengakibatkan keduanya bisa mengukur dan mengetahui kekuatan lawannya.
"Ternyata
tenaganya besar juga,ia mampu mendorongku mundur" desis orang yang
wajahnya tertutup kain hitam.
"Bukan
main, tenagaku tidak mampu membongkar pertahanan kedua tangannya yang
bersilang" kata Wenang didalam hati :"Kedua tangannya kuat
sekali"
Sadar bahwa
lawannya berilmu tinggi, Wenang yang berniat akan secepatnya menangkap orang
itu, segera mempersiapkan sebuah ilmu yang didapat dari seorang pertapa yang
menyendiri di Segara Anakan.
Wenangpun
akan berusaha melumpuhkan lawannya pada pancaran ilmunya yang pertama.
Direntangkannya
kedua tangannya kesamping, hanya sekejap, setelah itu Wenangpun berteriak
nyaring, melompat menyerang lawannya.
Kedua sisi
telapak tangannya silih berganti tanpa henti menyerang tubuh orang yang
wajahnya tertutup kain, dengan kecepatan yang mengagumkan.
Itulah ilmu
gerak Segara Muncar, ilmu yang menyerang seperti ombak Segara Kidul, yang
menghantam batu karang di tepi pantai, terus menerus tanpa berhenti.
Dengan cepat
Wenang dapat mendesak lawannya yang terpaksa bergerak mundur, telah dua kali
tangannya menyentuh pundak lawannya, tetapi kekuatan tubuh lawannya sangat luar
biasa, dia seperti tidak merasakan rasa sakit ketika pundaknya tersentuh
tangannya.
Cahaya bulan
yang lemah menyinari tanah lapang disebelah pohon randu alas, seperti
menyaksikan dua ekor ayam jantan yang sedang bertarung.
Terlihat
samar-samar orang yang menggunakan penutup wajah mengalami kesulitan, dia beberapa
kali melangkah mundur, terdesak oleh lawannya yang dapat bergerak cepat.
Secara
bergantian kedua telapak tangan Wenang mengepal kuat, menghantam kearah dada,
lalu berubah menjadi tusukan dua jari kearah mata, kemudian berubah lagi
menjadi serangan sisi telapak tangan menyerang pundak, hanya kurang dari
sejengkal, serangan sisi telapak tangan itu telah berubah menjadi cengkeraman
lima jari mengancam leher.
Lawannya
melompat mundur, ia tidak mau lehernya berlubang di lima tempat, dan iapun
tidak mau dicecar ilmu lawannya, telah dua kali pundaknya terasa sakit
tersentuh tangan lawannya.
Untuk
melawannya, maka iapun segera mempersiapkan sebuah ilmunya, setelah melompat
mundur, maka dengan cepat ia menghimpun tenaganya, melawan ilmu lawannya dengan
sebuah ilmu kebanggaannya, Trisula Manik.
Sesaat
kemudian Wenang melihat lawannya melompat kedepan sambil berteriak menyerang
dirinya, Wenang tak mau dirinya tersentuh tangan lawannya, maka iapun melompat
kesamping, lalu tangannya pun membalas menyerang.
Terjadilah
benturan dua macam ilmu gerak, dan beberapa saat kemudian Wenangpun merasakan
tekanan yang berat dari lawannya, dua buah tangan lawannya seakan-akan berubah
seperti menjadi tiga buah.
Benturan-benturan
yang terjadi, ternyata mampu mendorong Wenang bergerak mundur, badannya telah
dua kali terkena tangan lawannya.
"Ilmu
apa ini, mampu mendesak ilmu Segara Muncar, luar biasa ilmu kanuragan orang
ini, mampu mendorongku mundur, siapakah dia sebenarnya" kata Wenang dalam
hati, sambil tangannya menangkis serangan lawannya.
Dibawah
cahaya bulan yang remang-remang, orang yang wajahnya tertutup kain berwarna
hitam mendesak Wenang terus mundur kebelakang.
Ketika dua
tangan lawannya menyerang bergantian, maka Wenangpun menghindar kesamping,
tetapi ketika sekali lagi pundaknya terkena pukulan tangan yang ketiga, maka
Wenangpun melompat mundur dua langkah, tangannya dengan cepat meraba hulu
pedangnya dan dalam sekejap tangannya telah menggenggam erat pedang pendeknya.
Ketika sinar
bulan yang lemah menyentuh ujung pedang yang digenggam Wenang, maka lawannyapun
melihat betapa berbahayanya Wenang dengan ilmu yang mengandalkan gerak
kecepatan tangan dipadukan dengan tajamnya sebuah pedang pendek.
"Menyerahlah
sebelum terlambat, kau akan kubawa menghadap Kanjeng Adipati Hadiwijaya"
kata Wenang sambil bersiap menyerang dengan menggunakan pedang pendeknya.
"Berbahaya"
kata lawannya dalam hati.
Lawannya
menarik nafas panjang, ketika Wenang sedang berbicara, maka iapun mempergunakan
waktu yang sekejap itu untuk mateg aji yang dapat melindungi dirinya dari
sentuhan pedang pendek lawannya, dengan cepat dibangunnya sebuah kekuatan yang
luar biasa, aji Lembu Sekilan.
"Menyerahlah"
teriak Wenang sekali lagi.
Orang yang
wajahnya tertutup kain itu tidak menjawab, ketika ia merasa pemusatan kekuatan
aji Lembu Sekilan itu telah selesai, dan ilmu itu sepenuhnya telah manjing
didalam dirinya, maka dengan berani orang yang memakai penutup wajah mulai
bergerak menyerang lawannya yang bersenjatakan sebuah pedang pendek.
Wenangpun
maju menyongsong lawannya, pedangnya berkelebat mengitari lawannya yang memakai
kain penutup wajah.
Wenang
dengan kecepatan yang mengangumkan segera menggerakkan pedang pendeknya ke
kanan dan ke kiri, ia memang sejak semula tidak berniat membunuh lawannya,
hanya berusaha melumpuhkan dengan melukai tangan atau kakinya saja.
Dengan
lambaran ilmu Segara Muncar, pedang Wenang bergerak cepat sekali, seperti lebah
yang mengitari tubuh lawannya.
Beberapa
saat telah berlalu, sinar bulan yang lemah, hanya memperlihatkan pantulan
pendar cahaya di pedang pendek yang digerakkan oleh Wenang.
Wenang
melihat lawannya dengan gigih masih melawannya tanpa senjata apapun, tetapi
ternyata Wenang tidak mampu untuk mendesaknya mundur.
"Apa
boleh buat kalau ia mati atau terluka parah terkena pedangku" kata Wenang
yang mulai tidak sabar, dengan cepat ia bersiap menyerang di tempat yang
berbahaya.
"Ini
peringatan terakhir, menyerahlah, supaya tidak ada yang terbunuh disini, kau
akan kubawa ke hadapan Kanjeng Adipati Hadiwijaya" teriak Wenang.
Orang yang
wajahnya ditutup kain hitam itu tidak menjawab, maka Wenangpun menggerakkan
pedangnya kedepan, mulai menyerang lawannya dengan puncak ilmu Segara Muncar.
Wenang
memutar pedangnya seperti baling-baling, lalu tiba-tiba berubah lurus kedepan
menusuk pundak, sehingga membuat lawannya terkejut, dengan cepat iapun mundur
selangkah kebelakang, tetapi Wenangpun melompat maju sambil berteriak, dalam
sekejap telah merubah sebuah tusukan kepundak menjadi sabetan ke arah dada.
Lawannya
tidak sempat melompat mundur, sabetan pedang Wenang yang dilambari puncak ilmu
Segara Muncar yang mengarah ke dada, datangnya terlalu cepat.
Wenang yang
sudah memperhitungkan ujung pedangnya akan menggores dada lawannya, menjadi
kecewa, ketika pedangnya tertahan oleh sebuah perisai yang tidak terlihat, yang
berjarak hanya sekilan dari tubuh lawannya.
Kembali
Wenang mengeluarkan semua kemampuannya, ujung pedang pendeknya dipadukan dengan
puncak ilmu Segara Muncar, ilmu yang didapat dari Segara Anakan, segera
beterbaran mengarah ke semua bagian tubuh lawannya.
Pedang
pendek yang ujungnya selalu bergetar dan mempunyai kecepatan yang luar biasa
itu mampu bergerak beberapa kali akan menusuk tubuh lawannya.
Lawannya
segera melompat mundur, tetapi ia kalah cepat dengan datangnya serangan ujung
pedang pendek yang mengarah leher dan pundaknya.
Tetapi
sekali lagi Wenang terkejut, ketika ujung pedangnya yang bergetar cepat sekali,
yang digerakkannya secara tiba-tiba menusuk lurus kedepan, tetapi tidak bisa
menyentuh pundak lawannya, tertahan oleh sebuah perisai yang tidak kasat mata.
"Ilmu
apa ini, pedangku tak mampu menyentuh tubuhnya" kata Wenang dalam hati,
sambil terus menggerakkan pedang, menyerang lawannya tanpa henti.
Lawannya
yang merasa sudah cukup mengadu ilmu dengan Wenang, berniat akan mengakhiri
perkelahian ini, iapun kemudian bertempur semakin gigih, kedua tangannya
menyerang bergantian, mendesak Wenang ke arah pohon randu alas, ditepi tanah
lapang.
Wenang
terkejut ketika melihat lawannya menyusup maju di sela-sela ujung pedangnya,
dan mampu mendesaknya mundur.
Dengan penuh
percaya diri, lawannya berani menangkis ayunan pedang pendeknya dengan
tangkisan tangannya, tanpa takut tangannya terluka,
Wenang yang
memegang sebuah pedang pendek, terpaksa terus menerus terdesak mundur oleh
serangan lawannya yang tidak memegang senjata apapun.
Wenang
melompat mundur, kini ia telah berada dibawah pohon randu alas, ketika sisi
telapak tangan lawannya hampir mengenai kepalanya, dengan cepat Wenang
memiringkan kepalanya, tetapi alangkah terkejutnya, ketika kekuatan tangan
lawannya diubah menjadi pukulan terhadap tangannya yang memegang pedang, dan
tanpa bisa dicegah, pedangnyapun terlempar ketanah, disusul sebuah tendangan
kaki yang mengarah ke perutnya.
Wenangpun
tidak mau perutnya terkena kaki lawannya, iapun terpaksa bergerak mundur,
sehingga kaki lawannya mengenai tempat kosong, tetapi belum sempat berdiri
tegak, iapun terkejut ketika tanpa ia duga, tangan lawannya secara tiba-tiba
telah berhasil mendorong pundaknya.
Sebuah
tenaga yang sangat kuat telah mendorong pundaknya, sehingga ia jatuh berguling
ke samping beberapa kali, tetapi dengan tangkasnya Wenangpun melompat berdiri
diatas kedua kakinya yang kokoh, tangannya menyilang didepan dada, bersiap
menahan serangan dari lawannya yang ternyata mempunyai kemampuan yang tinggi.
Tetapi
Wenang terkejut sekali, ketika ia memandang kedepan, yang terlihat hanyalah
kegelapan malam, seberkas sinar bulan yang lemah telah menyentuh daun pohon
randu alas ditepi tanah lapang itu.
"Hilang,
kemana dia?" kata Wenang dalam hati.
Beberapa
saat Wenang masih berdiri dalam keadaan siaga penuh, menunggu lawannya muncul.
"Ternyata
orang yang wajahnya ditutup kain hitam telah melarikan diri masuk di kegelapan
malam" kata Wenang dalam hati.
"Kenapa
dia lari ? Orang itu berilmu tinggi, ilmunya jauh diatasku, siapakah dia
sebenarnya ?" katanya dalam hati.,
Setelah
ditunggu beberapa saat tidak ada gerakan apapun, maka Wenangpun kemudian
berjalan, dan memungut pedangnya yang jatuh terlempar ke tanah, lalu iapun duduk
dibawah pohon randu alas, pedangnyapun diletakkan disebelahnya.
Pundaknya
masih terasa sakit terkena tiga kali sentuhan tangan lawannya.
"Ilmunya
luar biasa, pedangku tak mampu melukainya" kata Wenang, dan iapun
mengingat-ingat beberapa ilmu yang luar biasa.
"Ilmu
apakah itu ? Puncak ilmu Segara Muncar yang ditambah dengan tajamnya sebuah
pedang pendek, tak mampu menyentuh tubuhnya, luar biasa" desisnya
perlahan.
Dari
beberapa gurunya, dia pernah diberi pengetahuan tentang bermacam-macam aji jaya
kawijayan guna kasantikan, ilmu yang kasat mata maupun ilmu yang tidak
terlihat.
"Lembu
Sekilan, ya itu adalah aji Lembu Sekilan yang ngedab-edabi, siapakah orang yang
telah mempunyai aji Lembu Sekilan itu" desis Wenang.
"Luar
biasa, ternyata ilmu yang dulu pernah dimiliki oleh mahapatih Gajah Mada
sekarang telah dimiliki oleh orang itu" kata Wenang dalam hati.
"Pantas
kalau pedangku tak mampu menyentuhnya, tertahan di jarak sekilan dari
tubuhnya" desis Wenang.
"Tubuhnya
menjadi kebal, selama Aji Lembu Sekilan masih manjing kedalam dirinya, tak ada
senjata yang mampu menggores tubuhnya" kata Wenang dalam hati.
"Tetapi
bagaimana dengan beberapa pusaka yang ampuh, apakah bisa menembus Aji Lembu
Sekilan ?" tanya Wenang kepada dirinya sendiri.
"Di
Majapahit ada keris Kyai Condong Campur, di ruang pusaka Demak ada keris Kyai
Nagasasra, Kyai Sabuk Inten, dan Kyai Sangkelat, di Panti Kudus, Kanjeng Sunan
Kudus mempunyai sebuah Trisula, keris Kyai Setan Kober dan keris Kyai Cinthaka,
di Kadilangu Kanjeng Sunan Kalijaga mempunyai keris Kyai Carubuk, di Sela,
Sutawijaya mempunyai tombak kyai Plered, apakah pusaka-pusaka itu mampu
menembus perisai Aji Lembu Sekilan?" tanya Wenang dalam hati.
Lalu
pertanyaan itupun telah dijawabnya sendiri :"Tentu setiap pusaka mempunyai
kekuatan yang berbeda, dan tentu tergantung pula dengan kekuatan pertahanan
orang yang mempunyai aji Lembu Sekilan"
"Kanjeng
Sunan Kalijaga mempunyai kotang Antakusuma yang dapat membuat pemakainya kebal
senjata, tetapi ternyata kekebalan itu dapat ditembus oleh keris Kyai
Nagasasra" desis Wenang.
"Kalau
diperbandingkan, mana yang lebih kuat, kotang Antakusuma dengan aji Lembu
Sekilan?" pertanyaan yang tidak terjawab itu muncul dari dalam dirinya.
"Darimana
dia bisa mendapatkan aji Lembu Sekilan itu?"Kata Wenang pelan.
Wenangpun
masih duduk dibawah pohon randu alas, diapun cukup cerdik untuk mengurai
pertarungannya tadi.
"Kenapa
wajahnya sengaja ditutup kain hitam, apakah aku sudah pernah melihat wajahnya
?"
"Kenapa
dia tidak berbicara sepatah katapun? Apakah dia seorang yang tidak dapat
berbicara, seorang yang bisu? Hm mungkin suaranya sudah pernah aku kenal"
pikir Wenang.
"Siapakah
orang itu? Kawan atau lawan? Kalau orang itu seorang lawan yang berniat jahat,
pasti yang diincar adalah kematian Kanjeng Adipati Hadiwijaya, dan sebagai
seorang pengikutnya, aku pasti sudah dibunuhnya" desis Wenang.
"Aku
terjatuh sampai terguling beberapa kali, karena dia mendorong pundakku,
tenaganya kuat sekali. Kenapa hanya mendorong, kalau dia memukul, tulang bahuku
bisa patah" kata Wenang masih menghitung kekuatan orang yang menjadi
lawannya.
"Ia
tidak berniat jahat, apakah orang itu salah seorang dari penghuni kadipaten
Pajang? Tidak mungkin, saat ini semua orang sedang berada di pendapa Sasana
Sewaka termasuk Ki Ageng Nis Sela" pikir Wenang.
"Apakah
orang itu Ki Lurah Wasana? Kelihatannya bukan, apalagi Ki Lurah Wasana tadi
masih berada di Sasana Sewaka bersama para prajurit Wira Manggala lainnya"
"Apakah
salah seorang tukang yang tidur di gubug? Tidak mungkin, orang itu bukan tukang
yang tidur digubug" kata Wenang dalam hati.
Sambil duduk
dibawah pohon randu alas, Wenang yang cerdik masih terus berpikir tentang orang
yang bertarung dengannya.
"Siapa?
Kelihatannya tidak ada lagi, semua sudah aku sebut namanya" kata Wenangpun
sambil mencoba mengingat kembali bentuk tubuh orang yang bertarung dengannya.
"Siapakah
yang mempunyai bentuk tubuh seperti itu ?"
Tiba-tiba
seperti tersengat kalajengking, Wenang terloncat, bentuk tubuh seperti itu ada
di Kadipaten Pajang :"Ada, orang itu ada"
Seketika itu
Wenangpun bangkit berdiri, mengambil pedang pendeknya lalu berlari meninggalkan
pohon randu alas, secepatnya kembali ke dalem kadipaten.
"Apakah
aku akan terlambat? Mudah-mudahan tidak terlambat" kata Wenang.
Tangkas dan
cepat, Wenang berlari menuju bulak amba, dan tak lama kemudian iapun menuju
dalem Kadipaten, bukan menuju ke Sasana Sewaka.
"Kelihatannya
terlambat, seharusnya aku mulai berlari pada saat pedangku terlempar, lari secepatnya
menuju dalem Kadipaten" kata Wenang.
Saat itu
suasana sepi, hanya terdengar suara cengkerik yang diselingi suara burung
malam.
Dengan baju
yang basah kuyup terkena keringat karena telah bertarung dan berlari,
perlahan-lahan Wenang naik ke pendapa, memasuki ruang dalam, ia berjalan
perlahan-lahan, dan ketika sampai didepan kamar tidur Adipati Hadiwijaya,
Wenangpun kemudian duduk bersila.
Dari dalam
kamar terdengar suara dengkur, suara orang yang sedang tertidur, Wenangpun
ragu-ragu, dia hanya duduk bersila, tetapi akhirnya iapun memantapkan tekadnya,
membangunkan Adipati Hadiwijaya, hatinya belum merasa puas, kalau belum bertemu
dengan Adipati Hadiwijaya.
"Mohon
maaf Kanjeng Adipati, saya Wenang, ada persoalan penting yang akan saya
sampaikan" kata Wenang sambil menundukkan kepala.
Suara
dengkur masih terdengar, sehingga Wenangpun mengulangi dengan suara yang agak
keras :"Mohon maaf Kanjeng Adipati, saya Wenang, ada persoalan penting
yang akan saya sampaikan"
Dari dalam
kamar, suara dengkur telah berhenti, lalu terdengar suara dari dalam kamar
:"Siapa?"
"Saya
Wenang, Kanjeng Adipati, ada persoalan penting yang akan saya sampaikan"
kata Wenang
Terdengar
langkah kaki menuju pintu, dan sesaat kemudian pintupun terbuka, lalu terdengar
suara Adipati Hadiwijaya perlahan :"Ada apa Wenang"
Wenang
melihat baju yang dipakai Hadiwijaya adalah baju yang bersih, berbeda dengan
baju yang dipakainya, basah kuyup terkena keringat.
"Baju
yang dipakai Kanjeng Adipati adalah baju yang kering dan bersih, tidak ada bekas
terkena setitik keringatpun" kata Wenang dalam hati.
Wenang juga
melihat mata Hadiwijaya redup, kelihatan kalau masih mengantuk sekali, dan
ketika Wenang memandangnya, terlihat Adipati Hadiwijaya sedang menguap.
"Seharusnya
aku mengadu kecepatan lari sejak tadi" kaya Wenang dalam hati sambil
memandang mata Adipati Hadiwijaya yang terlihat mengantuk.
Adipati
Hadiwijaya bertanya lagi sambil menguap sekali lagi :"Aku masih mengantuk,
ada apa Wenang ?"
"Saya
baru saja bertarung dengan seseorang yang mencurigakan, dia berilmu tinggi
Kanjeng Adipati" kata Wenang.
"Kau
baru saja bertarung dengan seseorang ? Pantas bajumu basah kuyup terkena
keringat" kata Adipati Hadiwijaya sambil memandang ke arah baju Wenang.
"Ya
Kanjeng Adipati, kami bertarung di tanah lapang agak jauh ke arah barat,
didekat pohon randu alas" kata Wenang.
"O
disitu, syukurlah kau bisa menang" kata Adipati Hadiwijaya memuji.
"Tidak
Kanjeng Adipati, saya kalah, dan saya terjatuh, ketika saya bisa bangkit
kembali, orang itu telah menghilang" kata Wenang menjelaskan
pertarungannya.
"Mungkin
orang itu akan mencuri, padi, ayam atau kambing, coba nanti kau periksa, apakah
ada barang kita yang hilang" kata Adipati Hadiwijaya dengan mata terpejam.
"Tidak
ada barang yang hilang, Kanjeng Adipati" jawab Wenang.
"Ya,
kalau tidak ada barang kita yang hilang, biar saja tidak apa apa, tetapi kalau
ada milik kita yang hilang, pencuri itu harus dihukum, nah kau beristirahatkah,
besok kita akan mengadakan pasewakan" kata Adipati
Hadiwijaya, dan iapun
masuk kedalam kamar lagi dan menutup pintunya.
"Sendika
dawuh Kanjeng Adipati" kata Wenang, kemudian iapun berdiri lalu berjalan
meninggalkan dalem Kadipaten menuju Sasana Sewaka untuk beristirahat.
"Ternyata
Kanjeng Adipati sedang tidur, suara dengkurnya terdengar sampai diluar
kamar" kata Wenang dalam hati, tetapi ternyata muncul pertanyaan lagi
:"Apakah betul Kanjeng Adipati sedang tidur?"
Tetapi untuk
bertanya langsung kepada Adipati Hadiwijaya, iapun merasa tidak mempunyai
keberanian.
Wenangpun
menggeleng-gelengkan kepalanya :"Pertanyaan yang tidak terjawab"
Ketika ia
berjalan naik ke Sasana Sewaka, seorang prajurit Wira Manggala yang belum tidur
bertanya kepadanya :"Darimana kau Wenang"
"Nganglang"
jawab Wenang.
Prajurit
itupun terdiam, tetapi iapun heran melihat baju yang dipakai Wenang terlihat
basah terkena air.
"Mungkin
Wenang terjebur di sungai, tetapi ia malu untuk berterus terang" kata
prajurit itu dalam hati.
Wenangpun
kemudian mengganti baju nya yang basah kuyup oleh keringat dengan baju yang
bersih, lalu iapun merebahkan dirinya, berusaha untuk tidur,
"Aku
terlambat, ketika aku terjatuh, seharusnya aku berlari secepatnya pulang ke
dalem Kadipaten, tidak usah duduk dibawah pohon randu alas'" katanya dalam
hati, masih menyesali keterlambatannya.
"Siapakah
orang yang luar biasa itu ?" Kata Wenang dalam hati.
"Orang
itu mempunyai ilmu yang luar biasa, yang bisa membuat sebuah bayangan tangan,
yang mampu mendesak mundur ilmu dari Segara Anakan"
"Tanpa
senjata apapun, kedua tangannya mampu melawan putaran pedang pendekku pada saat
aku memainkan puncak ilmu Segara Muncar" kata Wenang yang masih terus
memuji lawan yang tidak diketahui jati dirinya.
Ketika dari
jauh lamat-lamat terdengar bunyi kentongan yang ditabuh dengan irama dara
muluk, maka iapun berkata :" Sudah tengah malam"
Wenangpun
kemudian bangkit berdiri menuju kentongan yang tergantung di sudut pendapa,
lalu ditabuhnya kentongan itu dengan irama yang sama, dara muluk.
Setelah
memukul kentongan, Wenangpun berjalan kembali ke tempatnya, membaringkan
dirinya, berusaha untuk bisa tidur.
Sambil
membaringkan tubuhnya, Wenang masih terus menyesali keterlambatannya dalam
mengambil keputusan untuk berlari pulang ke Kadipaten.
"Kalau
saja aku tidak terlambat berlari, aku bisa mengetahui orang itu, tetapi kalau
ternyata salah, apakah mungkin ada orang yang lain, selain orang yang berada di
Kadipaten Pajang?" kata Wenang dalam hati sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
"Apa
yang diperbuat oleh orang yang mengejar suara burung kedasih ? Siapakah orang
yang menirukan suara burung kedasih? Apakah orang yang mengejar suara burung
kedasih sama dengan orang yang menyerangku?" tanya Wenang kepada diri
sendiri.
"Pasti
ada orang lain, karena semua orang saat itu sedang berada di Sasana
Sewaka"
"Orang
yang bertempur melawanku saja belum ketemu, apalagi mencari orang yang
menirukan suara burung kedasih" kata Wenang.
Semakin
dipikirkannya kemungkinan apa yang dialaminya malam ini, semakin tidak bisa
terjawab semua pertanyaan dan persoalan yang telah dilihatnya.
"Banyak
pertanyaan yang tidak terjawab, aku hanya bisa menebak saja, semuanya masih
gelap" desis Wenang sambil memejamkan matanya.
Badan yang
lelah setelah bertarung dengan orang tak dikenal, serta diusap oleh semilir
angin yang sejuk di Sasana Sewaka, maka Wenangpun bisa tertidur sejenak.
Bulanpun
masih beredar, hanya memancarkan sinar yang lemah di tlatah Pajang.
Malampun
telah berakhir, pagipun terasa segar, dan Sasana Sewakapun segera berbenah
diri, untuk menjadi tempat pasewakan pertama Kadipaten Pajang.
Tempat
pasewakan sudah terlihat bersih, hanya ada satu buah kursi untuk Adipati
Hadiwijaya, kursi yang dahulu pernah dipakai oleh eyangnya Adipati Dayaningrat,
dari Kadipaten Pengging Witaradya pada jaman Majapahit.
Ketika
Wenang melihat Sasana Sewaka yang telah siap menerima para bebahu yang akan
sowan Adipati Pajang, iapun merasa ada yang sedikit kekurangan pada ruangan
pasewakan.
Wenang
segera menghampiri Ki Pemanahan untuk membicarakan kekurangan di pasewakan.
"Ki
Pemanahan, apakah dulu waktu pisowanan agung, di dalam ruangan Sasana Sewaka
Demak ada sebuah songsong agungnya ?" tanya Wenang.
"Ya
ada, sebuah payung kebesaran Kasultanan Demak yang berwarna kuning, menandakan
kehadiran Kanjeng Sultan Demak" jawab Pemanahan.
"Kenapa
pada pasewakan Kadipaten Pajang kali ini tidak ada songsong yang menandakan
kehadiran Adipati Hadiwijaya?" tanya Wenang.
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar